belajar dan berbagi

Makalah Tentang Warits

Makalah Tentang Warits


BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah
Permasalahan warits sampai saat ini diperdebatkan dan berbagai persepsi pendapat.
Didalam makalah ini akan dijelaskan secara terperinci tentang hukum-hukum warits khususnya hak warits wanita.

2. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian warits dan semua yang berkaitan dengan warits?
b. Bagaimana pembagian warits wanita menurut berbagai pendapat?
c. Bagaimana cara pembagian warits yang benar?



3. Tujuan Masalah
a. Untuk mengetahui apa itu warist dan semua yang berkaitan dengan warits.
b. Untuk mengetahui bagaimana pembagian warits wanita menurut berbagai pendapat.
c. Untuk mengetahui bagaimana cara pembagian warits yang benar.

BAB II
PEMBAHASAN
“WARITS”

1. Pengertian Warits
Warits adalah sesuatu yang menjadi milik seseorang pada saat masih hidup dan ditinggalkan setelah meninggal dunia, baik berupa harta kekayaan, hak maupun hal-hal yang bersifat khusus. Demikian juga terhadap semua hak milik yang datang setelah kematiannya, yang merupakan hasil dari usahanya semasa masih hidup.

2. Unsur-Unsur Pewarisan (Rukun Warits)
a. Ada orang yang meninggal (pewaris)
b. Ada yang masih hidup (ahli warits)
c. Adanya benda yang ditinggalkan (warisan)

3. Sebab-Sebab Terjadinya Warits Mewaritsi
a. Perkawinan
Jika salah seorang dari pasangan suami istri meninggal dunia, maka dia meninggalkan warisan kepada yang masih hidup. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 12:

          
Artinya:

Dan bagi kalian (suami-istri) seperdua dari harta yang ditinggalkan istri-istri kalian jika mereka tidak mempunyai anak-anak. (Q.S An-Nisa:12)
Dalam warits mewaritsi karean sebab perkawinan disyaratkan adanya kehidupan rumah tangga antara suami istri tersebut tetap berlangsung sampai salah satu dari keduanya meninggal dunia.

b. Hubungan darah
Mereka inilah yang disebut dengan hubungan keturunan yang sebenarnya, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat6:




Artinya:
Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (warits mewaritsi) didalam kitab Allah. (Q.S Al-Ahzab: 6)

Kaum kerabat dilihat dari pembagian harta warisan ada tiga:
- Ashabul furud
- Ashobah
- Hubungan kekeluargaan

c. Wala’ (memerdekakan hamba)
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

•••
Artinya:
Wala’ itu suatu pertalian daging seperti pertalian daging nasab (keturunan). (H.R Ibnu Hibban Hakim dan Ad-Darimiy)

Wala’ itu dibagi menjadi dua macam:
- Wala’ yang merupakan hubungan kekerabatan yang ditetapkan syariat antara orang yang memerdekakan dengan hamba yang dimerdekakan.
- Wala’ yang merupakan perjanjian antara dua orang dimana masing-masing akan mewarisi jika salah satu dari keduanya meninggal.

4. Syarat-Syarat Mendapat Warits
a. Kematian
b. Ahli warits benar-benar masih hidup ketika orang yang meninggalkan warisan itu meninggal dunia atau pada saat kematiannya ditetapkan oleh hakim.
c. Tidak ada penghalang yang menghalangi untuk mendapatkan warisan.

5. Hal-Hal Yang Menghalangi Mendapat Warits
a. Pembunuhan yang dilakukan secara sengaja sebagaimana Hadits Nabi Muhammad SAW:

Artinya:
Tidak ada bagian warisan sedikitpun bagi pembunuh. (H.R Nasa’i dan Abu Daud)

b. Perbedaan agama
Nabi SAW bersabda:
••
Artinya:
Seseorang muslim tidak mewaritsi orang kafir dan orang kafir tidak mewaritsi orang muslim. (H.R Muttafaqun’alaih)
c. Perbedaan tempat tinggal (kewarganegaraan)
Menurut Mazhab Hanafiyah dan Syafi’iyah, bahwa perbedaan tempat tinggal menyebabkan terhalangnya pembagian atau penerimaan warisan diantara mereka.
Sedangkan menurut Mazhab Malikiyah dan Hanabilah, bahwa perbedaan tempat tinggal tidak menyebabkan terlarangnya pembagian atau penerimaan harta warisan dikalangan orang-orang non muslim.

d. Perbudakan
Perbudakan disini baik perbudakan penuh maupun tidak penuh, seperti Muba’adh, Makatah, Ummul Walad.

6. Ashabul Furud
Ashabul furud adalah yang mendapatkan bagian warisan yang telah ditentukan bagi mereka dalam Al-Qur’an dan Hadits yaitu:
a. Tsani (1/2)
b. Rubu’ (1/4)
c. Tsuduks (1/6)
d. Tsumun (1/8)
e. Tsulusaini (2/3)
f. Tsulus (1/3)
Ashabul furud itu ada dua belas orang:
a. Yang berhak mendapatkan setengah dari harta warits adalah
1. Suami, jika istri yang meninggal itu tidak meninggalkan anak, baik laki-laki maupun perempuan.
2. Anak perempuan tunggal.
3. Anak perempuan dari anak laki-laki, jika tidak memiliki anak perempuan serta tidak ada ahli warits lain yang menjadi penghalang perolehan warisan.
4. Saudara perempuan kandung, yaitu ketika dia seorang diri serta tidak ada orang yang menghalanginya.

b. Yang berhak mendapat seperempat
1. Suami, jika istri yang meninggal dunia meninggalkan anak laki-laki atau perempuan cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.
2. Istri atau beberapa istri(tidak lebih dari empat orang), jika suami tidak meninggalkan anak laki-laki maupun perempuan dan cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.

c. Yang berhak mendapatkan bagian seperdelapan
Istri atau beberapa istri jika suaminya meninggalkan anak baik laki-laki maupun perempuan atau cucu laki-laki maupun perempuan dari anak laki-laki.

d. Yang berhak mendapatkan bagian dua pertiga
1. Dua anak perempuan atau lebih, dengan syarat tidak ada anak laki-laki.
2. Dua anak perempuan atau lebih dari anak laki-laki, apabila tidak ada anak permpuan serta tidak ada ahli waris yang menyebabkan terhalangnya mendapat warits.
3. Dua orang saudara perempuan kandung atau lebih, jika tidak ada ahli warits yang lain yang menghalanginya.
4. Dua orang saudara perempuan seayah, jika tidak ada saudara perempuan kandung serta tidak ada ahli warits yang menjadi penghalang mendapat warits.
e. Yang berhak mendapatkan sepertiga
1. Ibu, jika yang meninggal dunia tidak meninggalkan anak atau cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki dan tidak pula meninggalkan dua orang saudara atau lebih baik laki-laki maupun perempuan.
2. Saudara seibu dua atau lebih, baik laki-laki maupun perempuan jika tidak ada orang lain yang berhak menerima.

f. Yang berhak mendapat seperenam
1. Ayah, jika yang meninggal mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki.
2. Ibu, jika dia mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki atau beserta dua saudara kandung atau lebih baik saudara laki-laki maupun perempuan kandung, seayah saja atau seibu saja.
3. Kakek, jika beserta anak atau cucu dari anak laki-laki dan tidak ada ayah.
4. Nenek, jika tidak ada ibu.
5. Cucu perempuan dari anak laki-laki satu atau lebih, ketika bersama dengan seorang anak perempuan serta tidak ada ahli warits lain yang menghalanginya.
6. Saudara perempuan sebapak, ketika bersama dengan saudara perempuan kandung serta tidak ada ahli warits yang menghalanginya.
7. Saudara laki-laki atau perempuan seibu, jika tidak ada hajib (yang menghalanginya).

7. Perbedaan Pendapat Tentang Hak Warits Wanita
Hak warits yang dimaksud adalah penguasaan dan pemilikan sebagian orang yang hidup atas harta benda yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia, selain wasiat persoalan warisan merupakan tradisi umat manusia yang sudah dikenal sejak dulu, baik oleh masyarakat primitif maupun yang sudah berperadaban.
a. Menurut masyarakat primitif
Sesungguhnya sebagian masyarakat primitif atau yang belum berperadaban meniadakan hak warits bagi kaum wanita dan yang lemah. Mereka dilakukan sebagai binatang yang dapat diambil manfaatnya tanpa memperoleh manfaat sebagai layaknya. Wanita, menurut mereka sama halnya dengan barang dagangan dan komoditi lain yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Ia dapat dibelanjakan sesuai kebutuhan dan keadaan. Jika wanita dapat dimanfaatkan lagi, ia menjadi tidak berharga sama sekali, seakan-akan ia tidak termasuk jenis manusia. Warisan atau hak warits bagi mereka hanya berlaku dan dimiliki oleh orang-orang kuat saja seperti ketua kabilah, kepala ulan, kepala rumah tangga atau menjadi hak orang yang paling berani di kaum tersebut.

b. Menurut masyarakat yang sudah berperadaban
Adapun pada masyarakat yang sudah berperadaban seperti kaum Rumawi, misalnya mereka mengutuskan kepala rumah tangga mereka menyembah sebagai pemukaan dan penghormatan baginya. Semua anggota keluarga berada di bawah perlindungan, pembiayaan dan asuhannya. Rumah tangga akhirnya terbebas sama sekali dan terpisah dari jalannya roda pemerintahan dan politik. Keluarga merupakan suatu unit yang terpisah yang kendalinya berada ditangan kepala keluarga. Bila ada anggota keluarga yang meninggal, maka yang akan mewarisinya harus meminta izin dari kepala keluarga dan istri mendiang yang dulu dinikahi dengan membayarkan mahar padanya, kini harus diwarisi oleh kepala keluarga karena pemiliknya mutlak, sedangkan orang lain tidak berhakmewarisinya.
Adapun yang mewarisi kepala keluarga ialah salah satu anak lelakinya ataupun saudara laki-laki selama ia masih tinggal di rumah tersebut, karena kehormatan rumah tangga dan keluarga telah berpindah ketangannya sebagai pewaris baru baik ia anak atau saudara laki-laki mendiang.
Sedangkan wanita (istri, anak wanita, saudara wanita dan ibu) mereka tidak berhak mewarisi sesuatu dari mendiang karena dikhawatirkan sebagian harta kekayaan mendiang akan berpindah kerumah-rumah suaminya. Atas dasar ini, wanita menurut tradisi Rumawi tidak berhak mewarisi ayah, saudara laki-laki, anak laki-laki, suami mereka dan kerabat-kerabat yang lain.

c. Menurut bangsa Yunani
Hak warits menurut bangsa Yunani tidak berbeda jauh dengan aturan bangsa Rumawi. Harta-harta hanya dapat dikuasai oleh anak laki-laki yang paling besar. Dia mewarisi bapaknya atau saudara laki-lakinya. Wanita menurut mereka tidak berhak sama sekali. Baik ia istri, anak wanita atau saudara wanitanya.

d. Menurut bangsa Timur
Menurut bangsa ini, mereka tidak memberikan harta warits kepada wanita dan mereka tidak memperhitungkan sama sekali. Bangsa-bangsa tersebut memperlakukan mereka seperti binatang, khususnya bangsa India Kuno dan Cina.

e. Menurut bangsa Persia
Bangsa Persia terkenal dengan mengasihi wanita dari keluarganya sendiri, poligami dan adopsi untuk mempertahankan agar hartanya tidak lari dari keluarganya. Istri yang paling dicintai oleh suami biasanya mendapatkan warisan yang paling banyak dan tidak menutup kemungkinan bagiannya sama besarnya dengan bagian anak laki-lakinya. Adapun istri-istri yang lain tidak boleh mewarisinya, begitu pula saudara perempuan, anak perempuan dan ibunya.
f. Menurut bangsa Arab Jahiliyah
Adapun bangsa Arab Jahiliyah sudah dikenal luas bahwa mereka tidak memberikan warisan kepada wanita. Bahkan lebih kejam daripada itu mereka mengubur anak wanitanya hidup-hidup untuk menghilangkan aib dan noda keluarganya.
Begitulah keadaan bangsa-bangsa yang telah silam. Adapun berbagai masyarakat modern apalagi Barat, hukum-hukum waritsnya meski bentuk dan caranya berbeda banyak dipengaruhi syariat Islam.

g. Menurut pendapat kami
Menurut kami, ketidak-adilan yang ditemui oleh para istri (wanita) tidak terdapat dalam hukum Islam sama sekali.
Pada hakekatnya disyari’atkan hukum-hukum dan Undang-Undang bersumber pada keadilan. Dan keadilan tersebut tidak akan pernah terealisasi. Hak waris di dalam Islam telah didasarkan atas asas kasih sayang yang menjadi bagian dari fitrah.

BAB III
PENUTUP

a. Kesimpulan
Hak warits didalam Islam telah didasarkan atas asas kasih sayang yang menjadi bagian dari fitrah. Jika salah satu orang dari pasangan suami istri meninggal dunia, maka dia meninggalkan warisan kepada yang masih hidup.
Keutamaan laki-laki adalah kelebihannya mampu mengatur dan berpikir, berbeda dengan wanita yang hidupnya berada di dunia sensasi dan emosi. Pemberian harta warisan kepada tangan yang mampu berpikir dan menguasai aturan-aturan pemakaiannya adalah lebih utama dari pada bila diberikan kepada tangan yang tidak dapat mengaturnya, yang penuh sensasi dan emosi.
Oleh karena itu kepiawaian mengatur harta menjadikan laki-laki mewarisi dua pertiga dan sepertiga harta tersebut adalah oleh wanita dan sepertiganya lagi dipergunakan oleh laki-laki.

DAFTAR PUSTAKA


Al-Ghafar, Wanita Islam dan Gaya Hidup Modern, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993
Muhammad, Fathul Qorib, Surabaya: Al-Hidayah, 1992
Perangin Effendi, Hukum Warits, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001
Usman Suparman, Ikhtisar Hukum Warits, Jakarta: Darul Ulum Press, 1993
‘Uwaidah Muhammad, Fiqh Wanita, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998


Meta Tag Analyzer Tool

Meta Tag Analyzer Tool

Meta Tags Analizer useful to look at:
- PageRank
- Status
- Last Modified
- Web Server
- Content Type
- Charset
- Content Length
You can also see the meta tags, the report of a blog / website. Meta tags report you can see is:

How many words Tittle and what words are used on a blog / website
How many words Description and what words are used on a blog / website
How many words Keywords and what words are used on a blog / website
How many words Robots and what word is used in a blog / website
How many words Author and what words to use on a blog / website

For more details, you can go directly to the Meta Tag Analyzer of this tool providers, or directly try to use the tool below.







Meta Tag Analyzer



Check your meta tags!


example: http://www.host.com.

URL



(optional)

User Agent * (optional)




Please enter the access code as displayed above.

Access code






Online Meta Tag Analyzer
provide by SEOCentro.



PERKEMBANGAN KEMANDIRIAN DAN PENYESUAIAN DIRI PESERTA DIDIK

PERKEMBANGAN KEMANDIRIAN DAN PENYESUAIAN DIRI PESERTA DIDIK

Pengertian Kemandirian
Istilah "kemandirian" berasal dari kata dasar "diri" yang mendapat xwalan "ke" dan akhiran "an", kemudian membentuk satu kata keadaan itau kata benda. Karena kemandirian berasal dari kata dasar "diri", maka iembahasan mengenai kemandirian tidak bisa lepas dari pembahasan entang perkembangan diri itu sendiri, yang dalam konsep Carl Rogers disebut dengan istilah self, karena diri itu merupakan inti dari ;emandirian. Konsep yang sering digunakan atau berdekatan dengan kemandirian adalah autonomy.

Menurut Chaplin (2002), otonomi adalah kebebasan individu nanusia untuk memilih, untuk menjadi kesatuan yang bisa memerintah, nenguasai dan menentukan dirinya sendiri. Sedangkan Seifert dan Ioffnung (1994) mendefinisikan otonomi atau kemandirian sebagai "the ibility to govern and regulate one's own thoughts, feelings, and actions reely and responssibly while overcoming feelings of shame and doubt." Dengan demikian dapat dipahami bahwa kemandirian atau itonomi adalah kemampuan untuk mengendalikan dan mengatur jikiran, perasaan dan tindakan sendiri secara bebas serta berusaha endiri untuk mengatasi perasaan-perasaan malu dan keragu-raguan.
Erikson (dalam Monks, dkk, 1989), menyatakan kemandirian :dalah usaha untuk melepaskan diri dari orangtua dengan maksud untuk nenemukan dirinya melalui proses mencari identitas ego, yaitu nerupakan perkembangan ke arah individualitas yang mantap dan )erdiri sendiri. Kemandirian biasanya ditandai dengan kemampuan nenentukan nasib sendiri, kreatif dan inisiatif, mengatur tingkah laku, iertanggung jawab, mampu menahan diri, membuat keputusan¬eputusan sendiri, serta mampu mengatasi masalah tanpa ada pengaruh ari orang lain. Kemandirian merupakan suatu sikap otonomi di mana eserta didik secara relatif bebas dari pengaruh penilaian, pendapat dan eyakinan orang lain. Dengan otonomi tersebut, peserta didik diharapkan kan lebih bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Secara singkat apat disimpullcan bahwa kemandirian mengandung pengertian:
• Suatu kondisi di mana seseorang meiruliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan dirinya sendiri.
• Mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi.
• Memiliki kepercayaan diri dan melaksanakan tugas-tugasnya.
• Bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya.

Bentuk-bentuk Kemandirian
Robert Havighurst (1972) membedakan kemandirian atas tiga bentuk kemandirian, yaitu:
• Kemandirian emosi, yaitu kemampuan mengontrol emosi sendiri dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi pada orang lain.
• Kemandirian ekonomi, yaitu kemampuan mengatur ekonomi sendiri dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orang lain.
• Kemandirian intelektual, yaitu kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi.
• Kemandirian sosial, yaitu kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung pada aksi orang lain.

Sementara itu, Steiberg (1993) membedakan karakteristik kemandirian atas tiga bentuk, yaitu: 1) kemandirian emosional (emotional autonomy); 2) kemandirian tingkah laku (behavioral autonomy); dan 3) kemandirian nilai (valve autonomy). Lengkapnya, Steinberg menulis:
The first emotional autonomy-that aspect of independence related to changes in the individual's close relationships, especially with parent. The second behavioral autonomy-the capacity to make in¬dependent decisions and follow through with them. The third char-acterization involves an aspect of independence referred to as value autonomy-wich is more than simply being able to resist pressures to go along with the demands of other; it means having a set a principles about right and wrong, about what is important and what is not.

Kutipan di atas menunjukkan karakteristik dari ketiga aspek kemandirian, yaitu:
1. Kemandirian emosional, yakni aspek kemandirian yang menyatakan perubahan kedekatan hubungan emosional antar individu, seperti hubungan emosional peserta didik dengan guru atau dengan orangtuanya.
2. Kemandirian tingkah laku, yakni suatu kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan tanpa tergantung pada orang lain dan melakukannya secara bertanggung jawab.
3. Kemandirian nilai, yakni kemampuan memaknai seperangkat prinsip tentang benar dan salah, tentang apa yang penting dan apa yang tidak penting.

Tingkatan dan Karakteristik Kemandirian
Sebagai suatu dimensi psikologis yang kompleks, kemandirian dalam perkembangannya memiliki tingkatan-tingkatan. Perkembangan kemandirian seseorang berlangsung secara bertahap sesuai dengan tingkat perkembangan kemandirian tersebut. Lovinger (dalam Sunaryo Kartadinata, 1988), mengemukakan tingkatan kemandirian dan karakteristiknya, yaitu:
1. Tingkat pertama, adalah tingkat impulsif dan melindungi diri. Ciri-cirinya:
a. Peduli. terhadap kontrol dan keuntungan yang dapat diperoleh dari interaksinya dengan orang lain.
b. Mengikuti aturan secara spontanistik dan hedonistik.
c. Berpikir tidak logis dan tertegun pada cara berpikir tertentu (stereotype).
d. Cendentng melihat kehidupan sebagai zero-sum games.
e. Cenderung menyalahkan dan mencela orang lain serta lingkungannya.
2. Tingkat kedua, adalah tingkat konformistik. Ciri-cirinya:
a. Peduli terhadap penampilan diri dan penerimaan sosial.
b. Cenderung berpikir stereotype dan klise.
c. Peduli akan konformitas terhadap aturan eksternal.
d. Bertindak dengan motif yang dangkal untuk memperoleh pujian.
e. Menyamakan diri dalam ekspresi emosi dan kurangnya introspeksi.
f. Perbedaan kelompok didasarkan atas ciri-ciri eksternal.
g. Takut tidak diterima kelompok.
h. Tidak sensitif terhadap keindividualan.
i. Merasa berdosa jika melanggar aturan.
3. Tingkat ketiga, adalah tingkat sadar diri?
a. Mampu berpikir alternatif.
b. Melihat harapan dan berbagai kemungkinan dalam situasi.
c. Peduli untuk mengambil manfaat dari kesempatan yang ada.
d. Menekankan pada pentingnya memecahkan masalah.
e. Memikirkan cara hidup.
f. Penyesuaian terhadap situasi dan peranan.
4. Tingkat keempat, adalah tingkat saksama (conscientious). Ciri-cirinya:
a. Bertindak atas dasar nilai-nilai internal.
b. Mampu melihat diri sebagai pembuat pilihan dan pelaku tindakan.
c. Mampu melihat keragaman emosi, motif, dan perspektif diri sendiri maupun orang lain.
d. Sadar akan tangbaung jawab.
e. Mampu melakukan kritik dan penilaian diri.
f. Peduli akan hubungan mutualistik
g. Memiliki tujuan jangka panjang.
h. Cenderung melihat peristiwa dalam konteks sosial.
i. Berpikir lebih kompleks dan atas dasar pola analitis.
5. Tingkat kelima, adalah tingkat individualitas. Ciri-cirinya:
a. Peningkatan kesadaran individualitas.
b. Kesadaran akan konflik emosional antara kemandirian dan ketergantungan.
c. Menjadi lebih toleran terhadap diri sendiri dan orang lain.
d. Mengenal eksistensi perbedaan individual.
e. Mampu bersikap toleran terhadap pertentangan dalam 'I kehidupan.
f. Membedakan kehidupan internal dengan kehidupan luar ! dirinya.
g. Mengenal kompleksitas diri.
h. Peduli akan perkembangan dan masalah-masalah sosial.
6. Tingkat keenam, adalah tingkat mandiri. Ciri-cirinya:
a. Memiliki pandangan hidup sebagai suatu keseluruhan.
b. Perkembangan Kemandirian Dan Penyesuaian Diri Peserta Didik
c. Cenderung bersikap realistik dan objektif terhadap diri sendiri dan orang lain.
d. Peduli terhadap pemahaman abstrak, seperti keadilan sosial.
e. Mampu mengintegrasikan nilai-nilai yang bertentangan.
f. Toleran terhadap ambiguitas.
g. Peduli akan pemenuhan diri (self-fulfilment).
h. Ada keberanian untuk menyelesaikan konflik internal.
i. Responssif terhadap kemandirian orang lain.
j. Sadar akan adanya saling ketergantungan dengan orang lain.
k. Mampu mengekspresikan perasaan dengan penuh keyakinan dan keceriaan.

Pentingnya Kemandirian Bagi Peserta Didik
Pentingnya kemandirian bagi peserta didik, dapat dilihat dari situasi kompleksitas kehidupan dewasa ini, yang secara langsung atau tidak langsung memengaruhi kehidupan peserta didik. Pengaruh kompleksitas kehidupan terhadap peserta didik terlihat dari berbagai fenomena yang sangat membutuhkan perhatian dunia pendidikan, seperti perkelahian antarpelajar, penyalahgunaan obat (narkoba) dan alkohol, perilaku agresif, dan berbagai perilaku menyimpang yang sudah mengarahkan pada tindak lriminal. Dalam konteks proses belajar, terlihat adanya fenomena peserta didik yang kurang mandiri dalam belajar, yang dapat menimbulkan gangguan mental setelah memasuki pendidikan lanjutan, kekiasaan belajar yang kurang baik (seperti tidak betah belajar lama atau belajar hanya menjelang ujian, membolos, menyontek, dan mencari bocoran soal-soal ujian).
Fenomena-fenomena di atas, menuntut dunia pendidikan untuk mengembangkan kemandirian peserta didik. Sunaryo Kartadinata (1988) menyebutkan beberapa gejala yang berhubungan dengan penmasalahan kemandirian yang perlu mendapat perhatian dunia pendidikan, yaitu:
1. Ketergantungan disiplin kepada kontrol luar dan bukan karena niat sendiri yang ikhlas. Perilaku seperti ini akan mengarah pada perilaku formalistik, ritualistik dan tidak konsisten, yang pada gilirannya akan menghambat pembentukan etos kerja dan etos kehidupan yang mapan sebagai salah satu ciri dari kualitas sumber daya dan kemandirian manusia.
2. Sikap tidak peduli terhadap lingkungan hidup. Manusia mandiri bukanlah manusia yang lepas dari lingkungannya, melainkan manusia yang bertransenden terhadap lingkungannya. Ketidakpedulian terhadap lingkungan hidup merupakan gejala perilaku impulsif, yang menunjukkan bahwa kemandirian masyarakat masih rendah.
3. Sikap hidup konformistis tanpa pemahaman dan konformistik dengan mengorbankan prinsip. Mitos bahwa segala sesuatunya bisa diatur yang berkembang dalam masyarakat menunjukkan adanya ketidakjujuran dalam berpikir dan bertindak serta kemandirian yang masih rendah.

Gejala-gejala tersebut merupakan bagian kendala utama dalam mempersiapkan individu-individu yang mengarungi kehidupan masa mendatang yang semakin kompleks dan penuh tantangan. Oleh sebab itu, perkembangan kemandirian peserta didik menuju ke arah kesempurnaan menjadi sangat penting untuk dilakukan secara serius, sistematis dan terprogram.

Perkembangan Kemandirian Peserta Didik dan implikasinya Bagi Pendidikan
Kemandirian adalah kecakapan yang berkembangan sepanjang rentang kehidupan individu, yang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor pengalaman dan pendidikan. Oleh sebab itu, pendidikan di sekolah perlu melakukan upaya-upaya pengembangan kemandirian peserta didik, di antaranya:
1. Mengembangkan proses belajar mengajar yang demokratis, yang memungkinkan anak merasa dihargai.
2. Mendorong anak untuk berpartisipasi aktif d~alam pengambilan keputusan dan dalam berbagai kegiatan sekolafi.
3. Memberi kebebasan kepada anak untuk mengekplorasi lingkungan, mendorong rasa ingin tahu mereka.
4. Penerimaan positif tanpa syarat kelebihan dan kekurangan anak, tidak membeda-bedakan anak yang satu dengan yang lain.
5. Menjalin hubungan yang harmonis dan akrab dengan anak.

Penyesuaian diri merupakan suatu konstruk psikologi yang luas dan kompleks, serta melibatkan semua reaksi individu terhadap tuntutan baik dari lingkungan luar maupun dari dalam diri individu itu sendiri. Dengan perkataan lain, masalah penyesuaian diri menyangkut seluruh aspek kepribadian individu dalam interaksinya dengan lingkungan dalam dan luar dirinya.

Pengertian dan Teori Penyesuaian Diri
Individu adalah makhluk yang unik dan dinamik, tumbuh dan berkembang, serta memiliki keragaman kebutuhan, baik dalam jenis, tataran (level), maupun intensitasnya. Keragaman cara individu dalam memenuhi kebutuhannya menunjukkan adanya keragaman pola penyesuaian diri individu. Bagaimana individu memenuhi kebutuhannya akan menggambarkan pola penyesuaian dirinya. Proses pemenuhan kebutuhan ini pada hakikatnya merupakan proses penyesuaian diri. Dalam hal ini Mustafa Fahmi (1977) menulis:
"Pengertian luas tentang proses penyesuaian terbentuk sesuai dengan hubungan individu dengan lingkungan sosialnya, yang dituntut dari individu tidak hanya mengubah kelakuannya dalam menghadapi kebutuhan-kebutuhan dirinya dari dalam dan keadaan di luar, dalam lingkungan di mana dia hidup, akan tetapi juga dituntut untuk menyesuaikan diri dengan adanya orang lain dan macam-macam kegiatan mereka... Jika mereka ingin penyesuaian, maka hal itu menuntut adanya penyesuaian antara keinginan masing-masingnya dengan suasana lingkungan sosial tempat mereka bekerja."

Sifat dinamik dari perilaku individu memungkinkannya mampu memperoleh penyesuaian diri yang baik. Penyesuaian Jiri itu sendiri bersifat dinaznik dan bukan statik. Bahkan menurut Hollander (1981), sifat dinamis (dynamism) ini menjadi kualitas esensial dari penyesuaian diri. Lebih jauh Hollander menulis:
The essential quality of adjustment is its dynamism, or potential for change. Adjustment occurs whenever the individual faces new environmental conditions that require a responsse. An example is that of students who go from high school to college, especially of the first is small and the second large.
Adjustment also takes the form of fitting one's psychological needs to cultural norms. Even physiologically based needs, such as hunger, are satisfied in sociallyapproved ways. What we eat, and how we eat are illustrations of actions learned from a society's pattern of culture.
Adjustment involves learning to meet new circumstances through changes in actions or attitudes. Basically, learning means actual orpotential alterations in behavior which may be more orless permanent. Although we may seek the familiar and more comfortable patterns of past behavior, they may not be appropriate under changed conditions. Therefore, adjustment means adopting new ways of acting, or at times returning to old ones which are more appropriate. "
Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa kualitas penyesuaian yang penting adalah dinamisme atau potensi untuk berubah. Penyesuaian terjadi kapan saja individu menghadapi kondisi-kondisi lingkungan baru yang membutuhkan suatu respons. Penyesuaian juga tampil dalam bentuk menyesuaikan kebutuhan psikologis seseorang dengan norma-norma budaya. Bahkan kebutuhan dasar secara fisiologis, seperti rasa lapar, dipenuhi menurut cara-cara yang ditentukan secara sosial. Apa yang kita makari, dan bagaimana kita makan merupakan ilustrasi dari tindakan yang dipelajari dari suatu pola kebudayaan suatu masyarakat.
Penyesuaian mencakup belajar untuk menghadapi keadaan baru melalui perubahan dalam tindakan atau sikap. Sepanjang hidupnya individu akan mengadakan perubahan perilaku, karena memang dia dihadapkan pada kenyataan dirinya maupun lingkungannya yang terus ben.ibah. Iru berarti bahwa "adjustment is a lifelong process, and people must continue to meet and deal with the stresses and challenges of life in order to achieve a healthy personality" (Derlega & Janda, 1978).
Schneiders (1964) juga menyebut penyesuaian diri (adjustment) sebagai: "A process involving both mental and behavioral responsses, by wich an individual strives to cope successfully with inner needs, tensions, frustration and conflicts, and to effect a degree of harmony between theseinner demands and those imposed on him by the objective world in which he lives."
Jadi, penyesuaian diri pada prinsipnya adalah suatu proses yang mencakup respons mental dan tingkah laku, dengan mana individu berusaha untuk dapat berhasil mengatasi kebutuhan-kebutuhan dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik dan frustrasi yang dialaminya, sehingga terwujud tingkat keselarasan atau harmoni antara tuntutan dari dalam diri dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan di mana ia tinggal.
Menurut Baum (1985), tingkah laku penyesuaian diri diawali dengan stres, yaitu suatu keadaan di mana lingkungan mengancam atau membahayakan keberadaan atau kesejahteraan atau kenyamanan diri seseorang.
Setiap individu memberikan reaksi yang berbeda dalam menghadapi situasi tertentu sesuai dengan proses pendekatan yang digunakannya. Seseorang mungkin dapat bereaksi tanpa adanya beban, tetapi orang lain mungkin menganggapnya sebagai situasi yang membebani atau mengancamnya. Adanya perbedaan tersebut berkaitan erat dengan bagaimana seseorang mempersepsi, menilai dan mengevaluasi situasi yang dihadapinya. Persepsi, penilaian dan evaluasi terhadap realitas inilah yang disebut sebagai realitas individu.
Dalam mempersepsikan suatu situasi, individu akan membuat sejumlah asumsi tentang dirinya, tentang dunia di luar dirinya dan tentang relasi dirinya dengan dunia di luar dirinya melalui self system yang dimilikinya. Self system ini diperoleh dari proses belajar sepanjang rentang hidupnya. Menurut Voleman (1971), berfungsinya self system pada seseorang melibatkan asumsi-asumsi yang dibuat sendiri oleh individu yang bersangkutan. Asumsi-asumsi tersebut meliputi:
1. Reality assumption, yaitu pandangan individu mengenai dirinya sendiri, apa yang dipikirkannya, siapa dirinya dan apa sebenarnya sifat-sifat dari lingkungannya.
2. Possibility assumption, yaitu pandangan individu mengenai hal-hal yang mungkin tentang perubahan-perubahan, tentang kesempatan pengembangan diri dan hubungannya dengan lingkungan sosialnya.
3. Value assumption, yaitu pandangan individu tentang baik dan buruk, salah dan benar, tentang yang diakui dan yang tidak diakui.

Asumsi-asumsi inilah yang akhirnya membentul: frame of refer-ence yang merupakan suatu pandangan yang menetap pada diri individu dalam hubunganya dengan lingkungan, serta merupakan hal penting untuk mengaralikan tingkah laku individu tersebut. Dalam beberapa hal frame of reference yang dimiliki individu merupakan dasar untuk mengevaluasi pengalaman-pengalaman baru, untuk coping dengan dunianya. Oleh sebab itu, konsekuensi logis dari frame of reference ini adalah individu cenderung mempertahankan asumsi-asumsi yang sudah dimilikinya dan menolak informasi baru yang berlainan.
http://www.ikhsanudin.com/2010/05/perkembangan-kemandirian-dan.html
PERKEMBANGAN KONSEP DIRI

PERKEMBANGAN KONSEP DIRI

Konsep diri merupakan salah satu aspek perkembangan psikososial peserta didik yang penting dipahami oleh seorang guru. Hal ini karena konsep diri merupakan salah satu variable yang menentukan dalam proses pendidikan. Banyak bukti yang menguatkan bahwa rendahnya prestasi dan motivasi belajar siswa serta terjadinya penyimpangan-penyimpangan perilaku siswa di kelas banyak disebabkan oleh persepsi dan sikap negative siswa terhadap kesulitan belajar, lebih disebabkan oleh sikap siswa yang memandang dirinya tidak mampu melaksanakan tugas-tugas di sekolah.

Pengertian Konsep Diri
Sebagai sebuah konstruk psikologi , konsep diri didefenisikan secara berbeda oleh para ahli. Seifert dan Hoffnung (1994), misalnya, mendefiniskan konsep diri sebagai “suatu pemahaman mengenai diri arau ide tentang diri sendiri” . Santrock (1996) menggunakan istilah konsep diri mengacu pada evaluasi bidang tertentu dari diri sendiri. Sementara itu, Atwater (1987) menyebutkan bahwa konsep diri adalah keseluruhan gambaran diri, yang meliputi persepsi seseorang tentang diri, perasaan, keyakinan, dan nilai-nilai yang berhubungan dengan dirinya. Selanjutnya, Atwater mengidentifikasi konsep diri atas tiga bentuk. Pertama, body image, kesadaran tentang tubuhnya, yaitu bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri. Kedua, ideal self, yaitu bagaimana cita-cita dan harapan-harapan seseorang mengenai dirinya. Ketiga, social self, yaitu bagaimana orang lain melihat dirinya.
Menurut Burns (1982), konsep diri adalah hubungan antara sikap dan keyakinan tentang diri kita sendiri. Sedangkan Pemily (dalam Atwater; 1984), mendefisikan konsep diri sebagai system yang dinamis dan kompleks dari keyakinan yang dimiliki seseorang tentang dirinya, termasuk sikap, perasaan, persepsi, nilai-nilai dan tingkah laku yang unik dari individu tersebut. Sementara itu, Cawagas (1983) menjelaskan bahwa konsep diri mencakup keseluruhan pandangan individu akan dimensi fisiknya, karakteristik pribadi nya, motivasinya, kelemahannya, kelebihannya atau kecakapannya, kegagalannya, dan sebagainya.
Berdasarkan pada beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah gagasan tentang diri sendiri yang mencakup keyakinan, pandangan dan penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri. Konsep diri terdiri atas bagaimana cara kita melihat diri sendiri sebagai pribadi, bagaimana kita merasa tentang diri sendiri, dan bagaimana kita menginginkan diri sendiri menjadi manusia sebagaimana yang kita harapkan.
Konsep diri dapat digambarkan sebagai system operasi yang menjalankan computer mental yang memengaruhi kemampuan berpikir seseorang. Setelah ter-install, konsep diri akan masuk ke pikiran bawah sadar dan akan berpengaruh terhadap tingkat kesadaran seseorang pada suatu waktu. Semakin baik atau positif kjonsep diri seseorang maka akan semakin mudah ia mencapai keberhasilan. Sebab, dengan konsep diri yang baik/positif, seseorang akan bersikap optimis, berani mencoba hal-hal baru, berani sukses dan berani pula gagal, penuh percaya diri, antusias, merasa diri berharga, berani menetapkan tujuan hidup, serta bersikap dan berpikir secara positif. Sebaliknya, semakin jelek atau negative konsep diri, maka akan semakin sulit seseorang untuk berhasil. Sebab, dengan konsep diri yang jelek/negatif akan mengakibatkan tumbuh rasa tidak percaya diri, takut gagal sehingga tidak berani mencoba hal-hal yang baru dan menantang, merasa diri bodoh, rendah diri, merasa diri tidak berguna, pesimis, serta berbagai perasaan dan perilaku inferior lainnya.

Konsep Diri dan Harga Diri
Dalam kajian psikologi perkembangan, sering dijumpai istilah “harga diri” (self-esteem) di samping istilah “konsep diri” (self concept). Bahkan sejumlah peneliti tidak selalu menyebutkan perbedaan yang jelas antara harga diri dan konsep diri. Bahkan tidak jarang mereka menggunakan kedua istilah tersebut secara bergantian untuk menunjuk pada pengertian yang sama. Akan tetapi, sejumlah ahli lain mengatakan bahwa kedua istilah tersebut tidak sama, meskipun mempunyai hubungan. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Dacey dan Kenny (1997):
Where as self-concept answers the question “Who am I?” , self-esteem answers the question “ How do I feel about who I am?” Self-esteem is related to self-concept. As weel defined self-concept leads to high self-esteem, which in turn often leads to successful behavior.

definisi konsep diri Menurut Santrock (1998), Santrock (1998), self-esteem adalah dimensi penilaian yang menyeluruh dari diri. Self-esteem juga sering disebut dengan self-worth atau self-image. Sedangkan, self-concept adalah penilaian terhadap domain yang spesifik.
Coopersmith (1967) dalam karya klasifiknya The Antecedents of Self-Esteem , mendefinisikan harga diri (self-esteem) sebagai berikut:
Self-esteem refers to the evaluation that individual makes and customarily maintains with regard to himself: it expresses an attitude of approval or disapprobal and indicates the extent to which the individuals believes himself to be capable, significant, successful, and worthy.

Jadi, harga diri adalah evaluasi individu terhadap dirinya sendiri secara positif atau negative. Evaluasi individu tersebut terlihat dari penghargaan yang ia berikan terhadap eksistensi dan keberartian dirinya. Individu yang memiliki harga diri positif akan menerima dan mengharga dirinya atas kekurangan ataui ketidaksempurnaan dirinya, ia selalu merasa puas dan bangga dengan hasil karyanya sendiri dan selalu percaya diri dalam menghadapi berbagai tantangan. Sebaliknya, individu yang memiliki harga diri negative merasa dirinya tidak berguna, tidak berhargam dan selalu menyalahkan dirinya atas ketidaksempurnaan dirinya. la cenderung tidak percaya diri dalam melakukan setiap tugas dan tidak yakin dengan ide-ide yang dimilikinya (Santrock, 1998).


Dimensi Konsep Diri
Para ahli psikologi juga berbeda pendapat dalam menetapkan dimensi-dimensi konsep diri. Namun, secara umum sejumlah ahli menyebutkan 3 dimensi konsep diri, meskipun dengan menggunakan istilah yang berbeda-beda. Calhoun dan Acocella (1990) misalnya, menyebutkan 3 dimensi utama dari konsep diri, yaitu: dimensi pengetahuan, dimensi pengharapan, dan dimensi penilaian. Paul J. Centi (1993) menyebutkan ketiga dimensi konsep diri dengan istilah: dimensi gambaran diri (self¬image), dimensi penilaian diri (self-evaluation), dan dimensi cita-cita diri (self-ideab. Sebagian ahli lain menyebutnya dengan istilah: citra diri, harga diri, dan diri ideal.

Pengetahuan
Dimensi pertama dani konsep diri adalah apa yang kita ketahui tentang diri sendiri atau penjelasan dari "siapa saya" yang akan memberi gambaran tentang diri saya. Gambaran diri tersebut pada gilirannya akan membentuk citra diri. Gambaran diri tersebut mezupakan kesimpulan dari: pandangan kita dalam berbagai peran yang kita pegang, seperti sebagai orangtua, suami atau istri, karyawan, pelajar, dan seterusnya; pandangan kita tentang watak kepribadian yang kita rasakan ada pada diri kita, seperti jujur, setia, gembira, bersahabat, aktif, dan seterusnya; pandangan kita tentang sikap yang ada pada diri kita; kemampuan yang kita miliki, kecakapan yang kita kuasai, dan berbagai karakteristik lainnya yang kita lihat melekat pada diri kita. Singkatnya, dimensi pengetahuan (kognitif) dari konsep diri mencakup segala sesuatu yang kita pikirkan tentang diri kita sebagai pribadi, seperti "saya pintar", "saya cantik", "saya anak baik", dan seterusnya.
Persepsi kita tentang diri kita seringkali tidak sama dengan kenyataan adanya diri yang sebenarnya. Penglihatan tentang diri kita hanyalah merupakan rumusan, definisi atau versi subjektif pribadi kita tentang diri kita sendiri. Penglihatan itu dapat sesuai atau tidak sesuai dengan kenyataan diri kita yang sesungguhnya. Demikian juga, gambaran diri yang kita miliki tentang diri kita seringkali tidak sesuai dengan gambaran orang lain atau masyarakat tentang diri kita. Sebab, dihadapan orang lain atau masyarakat kita seringkali berusaha menyembunyikan atau menutupi segi-segi tertentu dari diri kita untuk menciptakan kesan yang lebih baik. Akibatnya, di mata orang lain atau masyarakat kita kerap tidak tampak sebagaimana kita melihat diri sendiri (Centi, 1993).
Gambaran yang kita berikan tentang diri kita juga tidak bersifat permanen, terutama gambaran yang menyangkut kualitas diri kita dan membandingkannya dengan kualitas diri anggota kelompok kita. Bayangkan bila Anda memberi gambaran tentang diri Anda sebagai "anak yang pandai" karena Anda memiliki nilai tertinggi ketika lulus dari suatu SMA. Namun, ketika Anda memasuki suatu perguruan tinggi yang sangat sarat dengan persaingan dan merasakan diri Anda dikelilingi oleh siswa-siswa dari sejumlah SMA lain yang lebih pandai, maka tiba-tiba Anda mungkin merubah gambaran diri Anda sebagai "mahasiswa yang tidak begitu pandai".

Harapan .
Dimensi kedua dari konsep diri adalah dimensi harapan atau diri yang dicita-citakan dimasa depan. Ketika kita mempunyai sejumlah pandangan tentang siapa kita sebenarnya, pada saat yang sama kita juga mempunyai sejumlah pandangan lain tentang kemungkinan menjadi apa diri kita di masa mendatang. Singkatnya, kita juga mempunyai pengharapan bagi diri kita sendiri. Pengharapan ini merupakan diri-ideal (self-ideal) atau diri yang dicita-citakan.
Cita-cita diri (self-ideal) terdiri atas dambaan, aspirasi, harapan, keinginan bagi diri kita, atau menjadi manusia seperti apa yang kita inginkan. Tetapi, perlu diingat bahwa cita-cita diri belum tentu sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya dimiliki seseorang. Meskipun demikian, cita-cita diri Anda akan menentukan konsep diri Anda dan menjadi faktor paling penting dalam menentukan perilaku Anda. Harapan atau cita-cita diri Anda akan membangkitkan kekuatan yang mendorong Anda menuju masa depan dan akan memandu aktivitas Anda dalam perjalanan hidup Anda. Apapun standar diri ideal yang Anda tetapkan, sadar atau tidak Anda akan senantiasa berusaha untuk dapat memenuhinya.
Oleh sebab itu, dalam menetapkan standar diri ideal haruslah lebih realistis, sesuai dengan potensi atau kemampuan diri yang dimiliki, tidak terlalu tinggi dan tidak pula terlalu rendah. Adalah sangat tidak realistis ketika seorang gadis SMA kelas III yang pendek dan gemuk bercita-cita ingin menjadi seorang pragawati atau model terkenal. Cita-cita diri yang terlalu tinggi akan menyebabkan seseorang mengalami stres atau kekecewaan, karena tidak dapat membuktikan cita-cita dirinya itu dalam kehidupannya yang nyata. Sebaliknya, cita-cita diri yang terlalu rendah, akan menyebabkan kurangnya kemauan seseorang untuk mencapai suatu prestasi atau tujuan yang sebenarnya ia mampu meraihnya.
Penilaian. Dimensi ketiga konsep diri adalah penilaian kita terhadap diri kita sendiri. Penilaian diri sendiri merupakan pandangan kita tentang harga atau kewajaran kita sebagai pribadi. Menurut Calhoun dan Acocella (1990), setiap hari kita berperan sebagai penilai tentang diri kita sendiri, menilai apakah kita bertentangan : 1) pengharapan bagi diri kita sendiri (saya dapat menjadi apa), 2) standar yang kita tetapkan bagi diri kita sendiri (saya seharusnya menjadi apa). Hasil dari penilaian tersebut membentuk apa yang disebut dengan rasa harga diri, yaitu seberapa besar kita menyukai diri sendiri. Orang yang hidup dengan standar dan harapan-harapan untuk dirinya sendiri-yang menyukai siapa dirinya, apa yang sedang dikerjakannya, dan akan kemana dirinya - akan memiliki rasa harga diri yang tinggi (high self-esteem). Sebaliknya, orang yang terlalu jauh dari standar dan harapan-harapannya akan merruliki rasa harga diri yang rendah (low self-esteem). Dengan demikian dapat dipahami bahwa penilaian akan membentuk penerimaan terhadap diri (self acceptance), serta harga diri (self-esteem) seseorang.
Menurut Centi (1993), meski kita dapat memandang diri sebagai amat berharga atau sama sekali tidak berharga, biasanya kita senang dengan beberapa ciri atau sikap yang kita miliki atau rasa memiliki, dan tidak senang dengan beberapa ciri dan sikap yang lain. Sebagai seorang gadis, misalnya, kita bangga atas kecakapan studi, tetapi dalam waktu yang sama tidak bangga dengan kemampuan pergaulan kita. Seorang ayah dapat puas dengan profesinya sebagai dosen dan psikiater, tapi kecewa dengan peranannya sebagai suami dan kepala keluarga. Cara melihat diri kita sebagai merruliki ciri-ciri positif dan negatif tersebut merupakan titik awal untuk menilai diri kita apa adanya, secara realistis.
Ketiga dimensi konsep diri sebagaimana diuraikan di atas bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan satu kesatuan yang saling berhubungan dan saling tergantung satu sama lain. Tingkat harga diri kita dipengaruhi oleh gambaran diri: apakah diri kita sebagaimana yang kita liliat dan cita-cita diri: diri macam apa yang kita inginican. Semakin lebar jurang antara gambaran diri dan cita-cita diri, semakin rendah harga diri. Sebaiknya ada kesesuaian antara gambaran diri dan cita-cita diri, tetapi jangan sama. Bila terdapat kesamaan, maka orang yang bersangkutan akan mencapai tahap kepenuhan. Seseorang yang merasa sudah tercapai cita-cita dirinya, tidak terdorong untuk meningkatkan diri dan meraih prestasi yang lebih tinggi. Sebaliknya, apabila terdapat jurang yang terlalu lebar antara gambaran diri dan cita¬cita diri, maka orang yang bersangkutan akan menderita "penyakit" menolak diri (self rejection), yang sering terjadi pada orang yang kurang sehat secara psikologis dan tidak mampu menyesuaikan diri.
Konsep diri kita memang tidak pernah terumuskan secara jelas dan stabil. Pemahaman diri selalu berubah-ubah, mengikuti perubahan pengalaman yang terjadi hampir setiap saat. Seorang siswa yang memiliki harga diri tinggi tiba-tiba dapat berubah menjadi rendah diri ketika gagal ujian dalam suatu mata pelajaran penting. Sebaliknya, ada siswa yang kurang berprestasi dalam studi dan dihinggapi rasa rendah diri, tiba-tiba merasa memiliki harga diri tinggi ketika ia berhasil memenangkan suatu lomba seni atau olah raga.

Konsep Diri dan Perilaku
Konsep diri mempunyai peranan penting dalam menentukan tingkah laku seseorang. Bagaimana seseorang memandang dirinya akan tercermin dari keseluruhan perilakunya. Artinya, perilaku individu akan selaras dengan cara individu memandang dirinya sendiri. Apabila individu memandang dirinya sebagai orang yang tidak mempunyai cukup kemampuan untuk melakukan suatu tugas, maka seluruh perilakunya akan menunjukkan ketidakmampuannya tersebut. Menurut Felker (1974), terdapat tiga peranan penting konsep diri dalam menentukan perilaku seseorang, yaitu:
Pertama, self-concept as maintainer of inner consistency. Konsep diri memainkan peranan dalam mempertahankan keselarasan batin seseorang. Individu senantiasa berusaha untuk mempertahankan keselarasan batinnya. Bila individu memiliki ide, perasaan, persepsi atau pikiran yang tidak seimbang atau saling bertentangan, maka akan terjadi situasi psikologis yang tidak menyenangkan. Untuk menghilangkan ketidakselarasan tersebut, individu akan mengubah perilaku atau memilih suatu sistem untuk mempertahankan kesesuaian antara individu dengan lingkungannya. Cara menjaga kesesuaian tersebut dapat dilakukan dengan menolak gambaran yang diberikan oleh lingkungannya mengenai dirinya atau individu berusaha mengubah dirinya seperti apa yang diungkapkan lingkungan sebagai cara untuk menjelaskan kesesuaian dirinya dengan lingkungannya.
Kedua, self-concept as an interpretation of experience. Konsep diri menentukan bagaimana individu memberikan penafsiran atas pengalamannya. Seluruh sikap dan pandangan individu terhadap dirinya sangat memengaruhi individu tersebut dalam menafsirkan pengalamannya. Sebuah kejadian akan ditafsirkan secara berbeda antara individu yang satu dengan individu lainnya, karena masing¬masing individu mempunyai sikap dan pandangan yang berbeda terhadap diri mereka. Tafsiran negatif terhadap pengalaman hidup disebabkan oleh pandangan dan sikap negatif terhadap dirinya sendiri. Sebaliknya, tafsiran positif terhadap pengalaman hidup disebabkan oleh pandangan dan sikap positif terhadap dirinya. Ketiga, self-concept as set of expectations. Konsep diri juga berperan sebagai penentu pengharapan individu. Pengharapan ini merupakan inti dari konsep diri. Bahkan McCandless sebagaimana dikutip Fellcer (1974) menyebutkan bahwa konsep diri seperangkat harapan¬harapan dan evaluasi terhadap perilaku yang merujuk pada harapan-harapan tersebut. Siswa yang cemas dalam menghadapi ujian akhir dengan mengatakan "saya sebenarnya anak bodoh, pasti saya tidak akan mendapat nilai yang baik", sesungguhnya sudah mencerminkan harapan apa yang akan terjadi dengan hasil ujiannya. Ungkapan tersebut menunjukkan keyakinannya bahwa ia tidak mempunyai kemampuan untuk memperoleh nilai yang baik. Keyakinannya tersebut mencerminkan sikap dan pandangan negatif terhadap dirinya sendiri. Pandangan negatif terhadap dirinya menyebabkan individu mengharapkan tingkah keberhasilan yang akan dicapai hanya pada taraf yang rendah. Patokan yang rendah tersebut menyebabkan individu bersangkutan tidak mempunyai motivasi untuk mencapai prestasi yang gemilang (Pudjijogyanti, 1988).

Konsep Diri dan Prestasi Belajar .
Sejumlah ahli psikologi dan pendidikan berkeyakinan bahwa konsep L.. dan prestasi belajar mempunyai hubungan yang erat. Nylor (1972) misalnya, mengemukakan bahwa banyak penelitian yang membuktikan hubungan positif yang kuat antara konsep diri dengan prestasi belajar di sekolah. Siswa yang memiliki konsep diri positif, memperlihatkan prestasi yang baik di sekolah, atau siswa yang berprestasi tinggi di sekolah memiliki penilaian diri yang tinggi, serta menunjukkan hubungan antarpribadi yang positif pula. Mereka menentukan target prestasi belajar yang realistis dan mengarahkan kecemasan akademis dengan belajar keras dan tekun, serta aktivitas-aktivitas mereka selalu diarahkan pada kegiatan akademis. Mereka juga memperlihatkan kemandirian dalam belajar, sehingga tidak tergantung kepada guru semata.
Untuk mengetahui hubungan antara konsep diri dan prestasi belajar, Fink (dalam Burns, 1982) melakukan penelitian dengan melibatkan sejumlah siswa laki-laki dan perempuan yang dipasangkan berdasarkan tingkat inteligensi mereka. Di samping itu. mereka digolongkan berdasarkan prestasi belajar mereka, yaitu kelompok berpretasi lebih (overachievers) dan kelompok berprestasi kurang (un-derachievers). Hal penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan konsep diri antara siswa yang tergolong overachiever dan underachiever. Siswa yang tergolongan overachiever menunjukkan konsep diri yang lebih positif, dan hubungan yang erat antara konsep diri dan prestasi belajar terlihat jelas pada siswa laki-laki.
Penelitian Walsh (dalam Burns, 1982), juga menunjukkan bahwa siswa-siswa yang tergolong underchiever mempunyai konsep diri yang negatif, serta memperlihatkan beberapa karakteristik kepribadian; 1) mempunyai perasaan dikritik, ditolak dan diisolir; 2) melakukan mekanisme pertahanan diri dengan cara menghindar dan bahkan bersikap menentang; 3) tidak mampu mengekspresikan perasaan dan perilakunya.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian tersebut jelas bahwa konsep diri dan prestasi belajar siswa di sekolah mempunyai hubungan yang erat. Siswa yang berprestasi tinggi cenderung memiliki konsep diri yang berbeda dengan siswa yang berprestasi rendah. Siswa yang berprestasi rendah akan memandang diri mereka sebagai orang yang tidak mempunyai kemampuan dan kurang dapat melakukan penyesuaian diri yang kuat dengan siswa lain. Mereka juga cenderung memandang orang¬orang di sekitarnya sebagai lingkungan yang tidak dapat menerimanya.
Siswa yang memandang dirinya negatif ini, pada gilirannya akan menganggap keberhasilan yang dicapai bukan karena kemampuan yang dimilikinya, melainkan lebih mereka kebetulan atau karena faktor keberuntungan saja. Lain halnya dengan siswa yang memandang dirinya positif, akan menganggap keberhasilan sebagai hasil kerja keras dan karena faktor kemampuannya.

Karakteristik Perkembangan Konsep Diri Peserta Didik
Konsep diri bukanlah sesuatu yang dibawa sejak lahir. Kita tidak dilahirkan dengan konsep diri tertentu. Bahkan ketika kita lahir, kita tidak memiliki konsep diri, tidak memiliki pengetahuan tentang diri, dan ticlak memiliki pengharapan bagi diri kita sendiri, serta tidak memiliki penilaian apa pun terhadap diri kita sendiri.
Dengan demikian, konsep diri terbentuk melalui proses belajar yang berlangsung sejak masa pertumbuhan hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman, dan pola asuh orangtua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan konsep diri seseorang. Sikap dan respons orangtua serta lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya. Anak-anak yang tumbuh dan dibesarkan dalam pola asuh yang keliru atau negatif, seperti perilaku orangtua yang suka memukul, mengabaikan, kurang memberikan kasih sayang, melecehkan, menghina, tidak berlaku adil, dan seterusnya, ditambah dengan lingkungan yang kurang mendukung, cenderung mempunyai konsep diri yang negatif.
http://www.ikhsanudin.com/2010/05/perkembangan-konsep-diri.html
PERKEMBANGAN KETERAMPILAN KOGNITIF

PERKEMBANGAN KETERAMPILAN KOGNITIF

Dalam bab ini kita akan membicarakan salah satu aspek perkembangan kognitif yang sangat penting bagi proses belajar peserta didik di sekolah, yakni keterampilan kognitif, yang meliputi kemampuan metakognitif, strategi kognitif, gaya kognitif, dan pemikiran kritis.

Metakognitif
Seiring dengan perkembangan kognitifnya, anak-anak usia sekolah mulai berusaha mengetahui tentang pikirannya sendiri, tentang bagaimana ia belajar dan mengingat situasi-situasi yang dialami setiap hari, mulai menyadari proses-proses kognitifnya dan bagaimana seseorang dapat meningkatkan penilaian kognitif mereka, serta memilih strategi-strategi yang cocok untuk meningkatkan kinerja kognitif mereka. Para ahli psikologi menyebut tipe pengetahuan ini dengan metakognitif (metacognitive) yaitu pengetahuan tentang kognisi (Wellman, 1988).

Pengertian Metakognisi
Dalam beberapa decade belakangan ini, metakognisi telah mendapat perhatian yang besar bagi sejumlah ahli psikologi. Bahkan dalam literatur-literatur pendidikan di Negara-negara maju, istilah metakognisi telah menjadi sebuah kata yang membuzer, tanpa adanya consensus tentang apa metakognisi, bagaimana mengukurnya, dan bagaimana hubungannya dengan faktor-faktor lain (Garner & Alexander, 1989).
Metakognisi (metacognition) merupakan sebuah konstruks psikologi yang kompleks. Untuk lebih memahamai pengertian dari istilah metakognisi ini, berikut akan dikutip rumusan yang diajukan oleh para ahli psikologi.
John Flavell (1976), pencetus istilah metakognitif, secara sederhana mengartikan metakognitif sebagai “knowing about knowing” pengetahuan tentang pengetahuan.
Menurut McDeviit dan Ormrod (2002) “the term metacognition refers both to the knowledge that people have about their own cognitive processes and to the intentional use of certain cognitive processes to improve learning and memory.”
Sementara itu, Bouffard, dkk., (2002) “metacognition refers both to the explicit knowledge individuals have about their cognitive resources and to the deliberate self-regulation they can exercise when applying this knowledge.”
Menurut Margaret W. Matlin (1994), metakognitif adalah “knowledge and awareness about cognitive processes-or our thoughts about thinking.” Lebih jauh Matlin menulis:
Metacognition is an intriguing process because we use our cognitive processes to contemplate our cognitive processes. Metacognition is important because our knowledge about our cognitive processes can improve future cognitive performance.

Dari beberapa defenisi di atas dapat dipahami bahwa metakognitif pengetahuan dan kesadaran tentang proses kognisi, atau pengetahuan tentang pikiran dan cara kerjanya. Metakognitif merupakan suatu proses menggugah rasa ingin tahu karena kita menggunakan proses kognitif kita untuk merenungkan proses kognitif kita sendiri. Metakognitif ini memiliki arti yang sangat penting, karena pengetahuan kita tentang proses kognitif kita sendiri dapat memadu kita dalam menata suasana dan menyeleksi strategi untuk meningkatkan kemampuan kognitif kita di masa mendatang.
Pandangan-pandangan kontemporer tentang kognisi meyakini bahwa metakognitif sangat menentukan efisiensi sistem intelektual secara keseluruhan (Flavell, Green & Flavell, 1995). “Metacognitive abilities stand over and above the abilities required to be successful at ficiency of performances,” demikian kata Nelsn (dalam Damon, et all, 1997). Ini menunjukkan bahwa metakognitif merupakan fungsi eksekutif yang membentuk dna membimbing bagaimana seseorang menggunakan pikirannya dan merupakan proses kognitif yang paling tinggi dan canggih. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Purpura, 1997 (dalam Brown, 2000).
Metacognitive is a term used in information-processing theory to indicate an “executive” function, strategies that involve planning for learning, thinking about the learning process as it is taking place, monitoring of one’s production or comprehension, and evaluating learning after an activity is completed.

Metakognitif tidak sama dengan kognitif atau proses berpikir (seperti membuat perbandingan, ramalan, menilai, membuat sintesis atau menganalisis). Sebaliknya, metakognitif merupakan suatu kemampuan di mana individu berdiri di luar kepalanya dan mencoba untuk memahami cara ia berpikir atau memahami proses kognitif yang dilakukannya dengan melibatkan komponen-komponen perencanaan (functional planning), pengontrolan (self-monitoring), dan evaluasi (self-evaluation).

Komponen Metakognitif
Pada umumnya, teori-teori tentang kemampuan metakognitif mendapat inspirasi dari penelitian J.H. Flavel mengenai pengetahuan metakognitif dan penelitian A.L Brown mengenai metakognitif atau pengontrolan pengaturan diri (self-regulatory) selama pemecahan masalah. Akan tetapi, kalau dilihat lebih jauh ke belakang, ternyata riset-riset tentang metakognisi memiliki akar sejarah yang panjang dalam bidang psikologi, terutama yang memfokuskan perhatiannya pada perkembangan kognitif, memori, pemrosesan eksekutif, dan strategi belajar (Brown, et al., 1983). Model-model yang muncul belakangan ini lebih merupakan sintesis dari kedua penelitian awal tersebut. Model-model sintesis dari metakognisi ini mencoba untuk mengoordinasikan pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge) dan aktivitas metakognitif (metacognitive activity) (Ferrari & Sternberg, 1998).
Pengetahuan Metakognisi. Pengetahuan metakognisi meliputi usaha monitoring dan refleksi atas pikiran-pikiran saat ini, refleksi ini membutuhkan pengetahuan factual (factual knowledge) tentang tugas tujuan-tujuan atau diri sendiri dan pengetahuan strategis (strategic knowledge) tentang bagaimana dan kapan menggunakan prosedur-prosedur tertentu untuk memecahkan masalah. Sedangkan aktivitas metakognitif meliputi penggunaan self-awareness dalam menata dan menyesuaikan strategi yang digunakan selama berpikir dan memecahkan masalah.
Menurut John Flavell (1976), pengetahuan metakognitif secara umum dapat dibedakan menjadi 3 variabel, yaitu:
1. Variabel Individu. Variable individu mencakup pengetahuan tentang persons, manusia (diri sendiri dan juga orang lain), yang mengandung wawasan bahwa manusia, termasuk saya sendiri memiliki keterbatasan dalam jumlah informasi yang dapat diproses. Tidak mungkin semua informasi yang masuk ke pikiran dapat diproses. Dalam variable individu ini tercakup pula pengetahuan bahwa kita lebih paham tentang suatu bidang dan lemah di bidang lain (saya lebih menguasai mata pelajaran matematika dibandingkan dengan mata pelajaran sejarah). Demikian juga pengetahuan tentang perbedaan kemampuan Anda dengan orang lain (mengetahui bahwa guru lebih terampil dalam bahasa Inggris dibandingkan dengan saya).
2. Variabel Tugas. Variabel tugas mencakup pengetahuan tentang tugas-tugas (taks), yang mengandung wawasan bahwa beberapa kondisi sering menyebabkan kita lebih sulit atau lebih mudah memecahkan suatu masalah atau menyelesaikan suatu tugas. Misalnya, semakin banyak waktu yang aku luangkan untuk memecahkan masalah, semakin baik aku mengerjakannya; sekiranya materi pembelajaran yang disampaikan guru sukar dan tidak akan diulangi lagi, maka saya tentu harus lebih konsentrasi dan mendengarkan keterangan guru dengan saksama.
3. Variabel Strategi. Variable strategi mencakup pengetahuan tentang strategi, pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu atau bagaimana mengatasi kesulitan. Variabel strategi ini mengandung wawasan seperti: beberapa langkah kognitif akan menolong saya menyelesaikan sejumlah besar tugas kognitif (mengingat, mengomunikasikan, membaca). Akan tetapi, beberapa strategi akan menolong saya menyelesaikan beberapa tugas lebih daripada tugas-tugas lain.

Aktivitas Kognisi. Aktivitas kognisi disebut juga pengaturan kognisi (regulation of cognition) mencakup usaha-usaha siswa memonitor, mengontrol atau menyesuaikan proses kognitifnya dan merespons tuntutan tugas atau perubahan kondisi (Baker, 1994), aktivitas kognisi secara tipikal juga dipandang sebagai upaya untuk meregulasi atau menata kognisi yang mencakup perencanaan (planning) tentang bagaimana menyelesaikan suatu tugas, menyeleksi strategi kognitif yang akan digunakan, memonitor keefektifan strategi yang telah dipilih, dan memodifikasi atau mengubah strategi yang digunakan ketika menemui maslah (Pintrich et al., 2000).

Perkembangan Metakognitif
Kemampuan metakognitif untuk memonitor kemajuan sendiri dan menggunakan strategi yang berbeda untuk belajar dan mengingat, mengalami perkembangan sesuai dengan pertambahan usia. Secara umum, pengetahuan metakognitif mulai berkembang pada usia 5-7 tahun, dan terus berkembang selama usia sekolah, masa remaja, bahkan sampai masa dewasa. Meskipun demikian, hasil penelitian menemukan adanya perbedaan invividual di antara para peserta didik dalam usia yang sama.
Penelitian Flavel tentang metakognitif lebih difokuskan pada anak-anak. Flavel menunjukkan bahwa anak-anak yang masih kecil telah menyadari adanya pikiran, memiliki keterkaitan atau terpisah dengan dunia fisik, dapat menggambarkan objek-objek dan peristiwa-peristiwa secara akurat atau tidak akurat, dan secara aktif menengahi interpretasi tentang realiutas dan emosi yang dialami. Anak-anak usia 3 tahun telah mampu memahami bahwa pikiran adalah peristiwa mental internal yang menyenangkan, yang referensial (merunjuk pada peristiwa-peristiwa nyata atau khayalan), dan yang unik bagi manusia, mereka juga dapat membedakan pikiran dengan pengetahuan.
Sejumlah peneliti lain lebih tertarik untuk mempelajari kemampuan metakognitif anak-anak, apakah anak-anak yang masih kecil telah mampu memahami pikiran-pikiran mereka sendiri dan pikiran-pikiran orang lain. Hala, Chandler dan Fritz (1991) misalnya, menemukan bahwa anak-anak yang masih kecil usia 2 atau 2,5 tahun telah mengerti bahwa untuk menyembunyikan sebuah objek dari orang lain mereka harus menggunakan taktik penipuan, seperti berbohong atau menghilangkan jejak mereka sendiri.
Wellman dan Gelman (1997) juga menunjukkan bahwa pemahaman anak tentang pikiran manusia tumbuh secara ekstensif sejak tahun-tahun pertama kehidupannya. Kemudian pad ausia 3 tahun anak menunjukkan suatu pemahaman bahwa kepercayaan dan keinginan-keinginan internal dari seseorang berkaitan dengan tindakan-tindakan orang tersebut. Secara lebih terperinci Wellman menunjukkan kemajuan pikiran anak usia 3 tahun dalam empat tipe pemahaman yang menjadi dasar bagi pikiran teoritis mereka, yaitu: a) memahami bahwa pikiran terpisah dari objek-objek lain; b) memahami bahwa pikiran menghasilkan keinginan dan kepercayaan; c) memahami tentang bagaimana tipe-tipe keadaan mental yang berbeda-beda saling berhubungan; dan d) memahami bahwa pikiran digunakan untuk menggambarkan realitas eksternal.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa kesadaran metakognitif telah berkembang jauh sebelum anak masuk sekolah. Kemudian, melalui interaksinya dengan dunia sekolah, kesadaran metakognitif anak akan terus mengalami perkembangan hingga remaja, bahkan sampai dewasa. Pada usia 7 atau 8 tahun kemampuan metakognitif anak meningkat secara mencolok. Pada masa ini, penilaian anak terhadap isyarat kognitif meningkat tajam. Hal ini mungkin disebabkan anak semakin menyadari kehendak sadar (stream of consciousness) dari pikirannya sendiri dan orang lain (Flavell, at al., 1995). Sejumlah ahli teori belakangan juga percaya bahwa konsep tentang proses berpikir dan kesadaran tentang pikiran dan belajar berkembang dengan baik selama masa pertengahan anak-anak dan remaja (Ferrari & Sternberg, 1998; Wellman & Hickling, 1994).
Pemahaman anak-anak tentang pentingnya pikiran berdampak terhadap kesadaran metakognitif mereka tentang factor-faktor yang mempengaruhi prestasi mereka ketika menghadapi tugas-tugas tertentu. Sejumlah ahli perkembangan percaya bahwa pengetahuan metakognitif menguntungkan pembelajaran di sekolah, dan apabila peserta didik kurang menguasai pengetahuan metakognitif ini, guru dapat mengajarkannya kepada mereka.

Strategi Kognitif
Strategi kognitif merupakan salah satu kecakapan aspek kognitif yang penting dikuasai oleh seorang peserta didik dalam belajar atau memecahkan masalah. Strategi kognitif merupakan kemampuan tertinggi dari domain kognitif, setelah analisis, sintesis, dan evaluasi. Strategi kognitif ini dapat dipelajari oleh peserta didik. Proses pembelajaran bukan semata-mata proses penyampaian materi bidang ilmu tertentu saja, sebaliknya yang lebih penting adalah proses pengembangan kemampuan strategi kognitif peserta didik. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Pressley (dalam Santrock, 2006), kunci pendidikan adalah membantu siswa mempelajari serangkaian strategi yang dapat menghasilkan solusi problem. Pemikir yang baik menggunakan strategi secara rutin untuk memecahkan masalah. Pemikir yang baik juga tahu kapan dan di mana mesti menggunakan strategi (pengetahuan metakognitif tentang strategi). Memahami kapan dan dimana mesti menggunakan strategi sering muncul dari aktivitas monitoring yang dilakukan siswa terhadap situasi pembelajaran.

Pengertian Strategi Kognitif
Strategi secara sederhana dapat didefenisikan sebagai: “specific methods of approaching a problem or task, modes of operation for achieving a particular end, planned designs for controlling and manipulating certain information (Brown, 2000). McDevitt dan Ormrod (2002), mendefinisikan strategi kognitif sebagai “specific mental process that people use to acquire or manipulation information.” Jadi, yang dimaksud dengan strategi kognitif adalah proses mental atau kognitif tertentu yang digunakan orang untuk memperoleh atau memanipulasi informasi.
Menurut Gagne (dalam Paulina Pannen, dkk, 2001) strategi kognitif adalah kemampuan internal yang terorganisasi yang dapat membantu siswa dalam proses belajar, proses berpikir, memecahkan masalah, dan mengambil keputusan.
Menurut Bell-Gredler (dalam Paulina Pannen, 2001), strategi kognitif merupakan proses berpikir induksi, dimana siswa belajar untuk membangun pengetahuan berdasarkan fakta atau prinsip yang diketahuinya. Strategi kognitif tidak berhubungan dengan materi bidang ilmu tertentu, karena merupakan keterampilan berpikir siswa yang internal dan dapat diterapkan dalam berbagai bidang ilmu. Ini terlihat ketika siswa mempelajari materi suatu bidang ilmu, mereka juga terlibat dalam proses untuk mengembangkan strategi kognitif.
Strategi kognitif didasarkan pada paradigm konstruktivisme, teori metakognisi, dan pengalaman-pengalaman praktis di lapangan. Hakikat dari paradigm konstruktivisme adalah ide bahwa siswa harus menjadikan informasi.
Siswa ideal menurut paradigma ini adalah seorang pelajar yang memiliki kemampuan mengatur dirinya sendiri (self-regulated learner). Self-regulated learner adalah seseorang yang memiliki pengetahuan tentang strategi belajar yang efektif, atau biasa disebut academic learning skill, yang dipadu dengan control diri dan motivasi yang tetap terpelihara. Self-regulated learners have a combination of academic learning skills and self-control that makes learning easier, so they are more motivated to learn; in other words, they have the skill and the will to learn, demikian ungkapan Woolfolk (1995).
Jadi, self-regulated learners secara sederhana dapat dipahami sebagai seseorang yang mampu (skill) dan mau (will) belajar. Bagi self-regulated learners, motivasi belajar adalah untuk belajar itu sendiri, bukan hanya karena ingin mendapatkan nilai, atau motivator eksternal lainnya, dan mereka mampu bertahan menekuni tugas jangka panjang hingga tugas itu selesai.
Menurut Paulina Pannen, (2001), proporsi paradigma konstruktivisme dapat diterjemahkan menjadi pernyataan-pernyataan yang lebih operasiaonal sebagai berikut:
1. Kepercayaan, nilai dan norma, motivasi, pengetahuan dan keterampilan, serta intuisi setiap orang akan sangat berpengaruh terhadap strategi dan kemampuan dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
2. Permasalahan yang dihadapi setiap orang tidak pernah dapat dipisahkan dari konteks situasinya. Strategi dan kemampuan seseorang dalam menghadapi maslaah-masalah tersebut adalah unik.
3. Jika dikumpulkan strategi-strategi yang digunakan orang per orang dalam menghadapi masalah tertentu, maka akan terlihat adanya pola dasar yang sama (generalizable) dari strategi-strategi tersebut. Pola dasar tersebut perlu dan dapat dipelajari oleh orang lain guna menjadi bekal dasar dalam memecahkan masalah.

Jenis-Jenis Strategi Kognitif
Istilah strategi kognitif telah digunakan dalam berbagai bidang, seperti konseling dan terapi, dengan maksud sebagai strategi untuk membantu klien keluar dari permasalahan yang dihadapinya. Dalam bidang pembelajaran, strategi kognitif sering juga disebut sebagai strategi belajar dan memecahkan masalah.
Strategi belajar di sini dapat diartikan sebagai: “general methods or techniques that help in solving a variety of problems” (Seifer & Hoffnung, 1994), atau “specific methods of learning information” (McDevitt dan Ormrod, 2002). Strategi belajar, dengan demikian adalah metode-metode atau teknik-teknik tertentu yang digunakan untuk dapat membantu siswa mempelajari informasi baru dan memecahkan berbagai masalah belajar secara lebih efektif.
Terdapat berbagai jenis strategi kognitif yang digunakan oleh peserta didik dalam belajar dan memecagjan masalah. West, Farmer & Wolff (1991) mengidentifikasi tiga jenis strategi kognitif, yaitu:
1. Chunking. Strategi chunking dilakukan dengan cara mengorganisasikan materi secara sistematis melalui proses mengurutkan, mengklasifikasi, dan menyusun. Strategi ini dipandang dapat membantu peserta didik dalam mengelola informasi yang sangat banyak atau proses yang sangat kompleks. Dengan chunking peserta didik dapat memilah-milah suatu materi pembelajaran atau suatu maslaah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan kemudian menyusun bagian-bagian tersebut secara berurutan.
2. Spatial. Strategi spatial merupakan strategi untuk menunjukkan hubungan antara satu hal dengan hal lain. Strategi ini meliputi strategi pembingkaian (framing), dan pemetaan kognitif (cognitive mapping).
3. Multipurpose. Multipurpose merupakan strategi kognitif yang dapat digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain rehearsal, imagery dan mnemonics.


MAKALAH POSISI AKAL DAN NAFSU

MAKALAH POSISI AKAL DAN NAFSU

KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum Wr. Wb

Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik, meskipun jauh dari kesempurnaan. Tak lupa pula shalawat dan salam penulis sampaikan kepada junjungan besar Nabi Muahmmad SAW.
Adapun tujuan penulis membuat makalah ini untuk menyelesaikan tugas mata kuliah “Tafsir Ayat Tarbawi” dan untuk menambah ilmu pengetahuan tentang “Posisi Akal dan Nafsu” .

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam pembuatan makalah ini terdapat kekurangan, karena terbatasnya kemampuan dan pengetahuan penulis.
Demikianlah makalah ini penulis buat, bila terdapat kesalahan penulis mohon maaf. Semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua. Kritik dan saran yang dapat memajukan makalah ini selalu penulis tunggu.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb




Jambi, Mei 2010
Penulis

DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR…………………………… i
DAFTAR ISI…………………………… ii
BAB I PENDAHULUAN…………………………… 1
1.1 Latar Belakang……………………………1
1.2 Tujuan……………………………1
BAB II PEMBAHASAN……………………………2
2.1 Posisi Akal dan Nafsu……………………………2
BAB III PENUTUP……………………………6
3.1 KesimpulanKATA PENGANTAR……………………………i


BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Membahas tentang akal dan nafsu yang terdapat pada setiap manusia tidak akan habisnya. Akal dapat menjadikan kita untuk selalu berfikir luas dan berbuat baik, sedangkan nafsu dapat menjadikan kita selalu berfikir untuk memiliki segalanya.
Makalah ini mencoba untuk menyajikan ayat Al-Qur’an dan penafsirannya yang berhubungan dengan akal dan nafsu sehingga kita bias mengetahui dimana posisi akal dan nafsu.


1.2 Tujuan
Tujuan penulis dalam makalah ini adalah untuk:
1. Mengetahui dan memahami posisi akal dan nafsu pada QS. Ali-Imran: 190-191, Shaad: 26, Al-Mu’minuun: 71.
2. Mengetahui dampak penggunaan akal dan nafsu di dalam diri manusia.

BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Posisi Akal dan Nafsu
Manusia sebagai pelaku dan sasaran pendidikan memiliki alat yang dapat digunakan untuk mencapai kebaikan adalah hati nurani dan akal. Sedangkan untuk mencapai keburukan adalah hawa nafsu.
Kajian terhadap akal dan hawa nafsu ini menjadi penting karena mengingat dampaknya yang ditimbulkan dari kedua itu bagi kehidupan manusia amat besar. Sehubungan dengan hal tersebut ada beberapa ayat didalam Al-Qur’an yang isinya tentang akal dan hawa nafsu, diantaranya QS. Ali Imran: 190-191, Shaad: 26 dan Al-Mu’minum: 71.

2.2 QS. Ali Imran: 190-191

Artinya:
190. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.
191. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka.

Tafsir Surah Ali Imran: 190
Allah SWT berfirman, memperingatkan kepada hamba-hamba-Nya bahwa apa yang diciptakan-Nya berupa langit dan bumi, malam dan siang, planet dan bintang, dan keajaiban-keajaiban yang terdapat pada keduanya (bumi dan langit), semua itu mengandung tanda atau bukti-bukti atas kekuasaan Allah, bagi orang-orang yang mempergunakan pikirannya (akal), untuk mengingat Allah dan memikirkan ciptaan Allah.

Tafsir Surah Ali Imran: 191
Allah menyifatkan orang-orang yang berakal sehat itu bahwa mereka selalu ingat kepada Allah (dzikir), dalam segala kondisi manusia sedang duduk, berdiri dan berbaring. Manusia memikirkan ciptaan Tuhan berupa langit dan bumi, merenungi hikmah yang terkandung dalam ciptaan itu yang menandakan adanya Maha Pencipta, Maha Kuasa dan Maha Agung. Seraya berkata: “Ya Tuhan Kami! TIdaklah kau ciptakan semua ini dengan sia-sia/tanpa hikmah. Maka jauhkanlah kami dari siksa api neraka dengan hikmah-Mu dan kuasa-Mu, mudahkanlah bagi kami mengerjakan amal-amal yang Engkau ridha, amal-amal yang menunjukkan kami ke surge dan menjauhkan kami dari adzab-Mu yang pendih”.
Kita harus mengetahui fakta bahwa semakin jauh jarak kita dari tujuan mulia, maka semakin dekatlah kita kepada neraka, dan sebaliknya.

2.3 QS. Shaad: 26

Artinya:
26. Hai Daud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesunggunya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.

Tafsir Surah Shaad: 26
Adam adalah Bapak pertama dari manusia, sebagai khalifah Allah di muka bumi, dengan akal budi yang dianugerahkan Allah kepadanya dan kepada manusia yang berfikir.
Adapun Daud sebagai penguasa (raja)/khalifah Allah menyambut tugas Adam. Dengan tegas Allah mengingatkan Daud agar menjadi pemimpin yang adil. Tidak membeda-bedakan antar kelompok, miskin dengan kaya dan sebagainya. Hukumlah diantara manusia dengan benar, jika salah katakana salah dan jika benar katakan benar. Jangan engkau mengikuti hawa nafsu, karena hawa nafsu dapat menyebabkan manusia melakukan perbuatan yang tidak sejalan dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya. Perbuatan yang demikian itu akan merugikan dirinya dan orang lain. Perbuatan itu (hawa nafsu) menyebabkan kita jauh dari jalan Allah dan mendapatkan azab dari Allah karena telah melupakan hari perhitungan (hisab).

2.4 QS. Al-Mu’minuun: 71


Artinya:
71. Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada didalamnya. Sebenarnya kami mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al-Qur’an) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.

Tafsir Surah Al-Mu’minuun: 71
Sekiranya Al-Qur’an mengikuti hawa nafsu manusia, yang penuh dengan keinginan menang sendiri, membenci dan sebagainya, maka akan terjadi kebinasaan dan kehancuran. Tapi, kami tidak mengikuti kehendak mereka, kami telah mendatangkan kepada mereka kitab suci Al-Qur’an yang merupakan peringatan untuk mereka dan menempatkan mereka pada kedudukan yang tinggi agar menjadi umat yang teratur. Tetapi mereka menghinakan dan mengolok-ngoloknya.

BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Posisi akal memiliki dampak positif kehidupan manusia, sedangkan posisi nafsu memiliki dampak negative. Jika manusia lebih banyak menggunakan akal dalam perbuatan dan sifatnya, maka langit dan bumi akan aman dan tak ada manusia yang rugi dan dirugikan. Namun, jika manusia lebih banyak mengikuti hawa nafsunya, maka langit dan bumi dan semua yang ada didalamnya akan binasa.

3.2 Saran
Semoga makalah ini bermanfaat untuk kita, khususnya penulis. Penulis mengharapkan pembahasan makalah ini mengenai posisi akal dan nafsu pada QS Ali Imran: 190-191, Shaad: 26, Al-Mu’minuun:71 dapat menambah pengetahuan kita. Dan jadikanlah diri anda sebagai mahasiswa/mahasiswi yang senantiasa menggunakan akal (pikiran) untuk memahami dan mengingat Allah SWT.

MAKALAH PANDANGAN PARA ULAMA TENTANG WASIAT WAJIBAH FIQH MAWARIS PERBANDINGAN

MAKALAH PANDANGAN PARA ULAMA TENTANG WASIAT WAJIBAH FIQH MAWARIS PERBANDINGAN


PENDAHULUAN


a. Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara yang sebagian besar penduduknya beragama Islam. Islam merupakan agama yang mengatur serta menunjukkan kita untuk menjadi umat yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bertakwa tidak hanya menjalankan sholat maupun puasa tetapi mempelajari dunia. Salah satunya yaitu tentang ilmu mawaris yang merupakan ilmu untuk menyelesaikan masalah waris misalnya siapa-siapa saja yang mendapatkan warisan dan berapa jumlahnya.

Dari beberapa hal diatas sering muncul perbedaan pendapat para ulama tentang hal tersebut. Misalnya perbedaan dalam hal wasiat, oleh karena itu penulis mengambil judul “Perbedaan Pendapat Para Ulama Tentang Wasiat Wajibah” sebagai judul makalah.

b. Batasam Masalah
Dalam penulisan makalah ini penulis membatasi masalah tentang:
1. Pengertian wasiat wajibah?
2. Perbedaan ulama dalam hal wasiat wajibah?


PEMBAHASAN

a. Pengertian Wasiat Wajibah
Wasiat diambil dari bahasa Arab Al-Washiyah yang artinya pesan, perintah atau nasehat.
Ulama fiqh mendefenisikan wasiat dengan menyerahkan harta dengan suka rela dari seseorang kepada pihak lain yang berlaku setelah orang itu wafat, baik harta itu berbentuk materi ataupun berbentuk manfaat.
Wasiat bukan hanya dikenal dalam sistem hukum Islam tetapi juga di dalam sistem hukum barat, misalnya yang dinamakan testament yaitu suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal.
Secara terminologi wasiat adalah:
•
•
Artinya:
“Pemberian seseorang kepada orang lain, berupa benda, utang atau manfaat agar si penerima memiliki pemberian itu setelah di pewasiat meninggal dunia”.
Menurut Abd Al-Rahim dalam bukunya Al-Muhabadat Fil Al-Miras Al-Muqaram mendefenisikan wasiat adalah tindakan seseorang memberikan hak kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik berupa benda atau manfaat secara suka rela atau tidak mengharapkan imbalan yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah peristiwa kematian orang yang berwasiat kematian orang yang berwasiat.

b. Pendapat Para Ulama Tentang Wasiat Wajibah
Wasiat wajibah adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak tergantung kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia.
Ketentuan wasiat wajibah merupakan hasil ijtihad para ulama dalam menafsirkan surah Al-Baqarah 180.
        •         
Artinya:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.
Ulama menafsirkan Q.S Al-Baqarah 180 berpendapat bahwa wasiat (kepada ibu – bapak dan kerabat) yang asalnya wajib sampai sekarang pun kewajiban tersebut tetap dan dapat diperlakukan, sehingga pemberian wasiat wajibah kepada walidain dan aqrabin yang mendapatkan bagian harta peninggalan tetap diterapkan dan dilaksanakan, sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa ketentuan wasiat wajibah tidak dapat diterapkan dan dilaksanakan karena ketetapan hukum mengenai wasiat dalam ayat tersebut telah dinasakh baik oleh Al-Qur’an maupun Hadits.
Para ulama berbeda pendapat tentang pemberian wasiat wajibah ada yang membolehkan dan sebagian melarangnya. Perbedaan ini karena perbedaan menafsirkan surah Al-Baqarah 180 terhadap ketentuan hukum wasiat.
1. Pendapat yang membolehkan wasiat wajibah
Sebagian ulama berpendapat bahwa wsiat kepada walidin dan aqrabin sampami sekarang masih tetap diberlakukan. Ini merupakan pendapat Abi Abdillah Muhammad bin Umar Al-Razr, Sayyid Quthb, Muhammad Abduh, Said bin Jabir, Rabi’ bin Anas, Qatadah, Muqatil bin Hayyan, Ibnu Abas dan Al-Hasan.
Alasan para ulama membolehkan wasat wajibah adalah:
- Seluruh Al-Qur’an adalah muhkamat artinya tidak ada yang nasakh dalam Al-Qur’an.
Jadi Q.S Al-Baqarah 180 tidak dinasakhkan baik oleh ayat-ayat mawaris ataupun Hadits.
- Q.S Al-Baqarah 180 dinasakhkan oleh ayat mawaris tetapi hanya sebagian saja.
- Q.S Al-Baqarah 180 bersifat umum.

2. Pendapat ulama yang menolak wasiat wajibah
Menurut Ibnu Umar dan Baidhawi mereka berpendapat bahwa ketentuan surah Al-Baqarah 180 telah dinasakhkan dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Alasan para ulama yang tidak memberlakukan wasiat wajibah:
- Ketentuan wasiat wajibah dalam Al-Baqarah 180 telah dinasakhkan oleh ayat-ayat mawaris.
- Ketentuan wasiat wajibah dalam Al-Baqarah 180 tidak dapat diterapkan dan dilaksanakan karena ayat tersebut rtelah dinasakhkan oleh Hadits Washiyyati li waritsin buku oleh ayat-ayat mawaris. Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Qurtubi.
- Al-Baqarah 180 tidak dapat diberlakukan karena telah dinasakhkan oleh ayat mawaris dan Hadits Rasulullah SAW. Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Baidhawi.
- Sedangkan menurut Ibnu Katsir menyatakan wasiat wajibah dalam Al-Baqarah 180 tidak dapat diterapkan karena ayat tersebut telah dinasakhkan oleh ijma’.
PENUTUP

a. Kesimpulan
Dari uraian makalah tersebut maka dapat kami simpulkan bahwa:
1. Wasiat wajibah adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak tergantung kepada kemauan atau kehendak dari si mayit.
2. Perbedaan pendapat para ulama tentang wasiat wajibah ada yang memperbolehkan dan tidak ini dikarenakan perbedaan dalam menafsirkan Al-Qur’an surah Al-Baqarah 180.

b. Saran
Penulis menyarankan kita sebagai umat Islam harus menggunakan ilmu faraid dalam memecahkan masalah waris agar kita selamat di dunia maupun di akhirat serta memahami perbedaan pendapat yang terjadi kalangan para ulama dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.

DAFTAR PUSTAKA

Amin Suma Muhammad, Hukum Keluarga Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2005
Rofiq Ahmad, Fiqh Mawaris. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2001
Usman Suparman. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Gaya Media. 2002


Reset Absorber Brother Printer

Reset Absorber Brother Printer

With the Error code printers layer Unable to Clean 46
(Non-fax, without the number keys)
1. Sign in to manu "MAINTENANCE" by press MEN, MONO and arrows above 4X
2. Find eight and search 0 (80) use the button "OK"

3. Press 2, 7, 8 and 3 with an arrow, to reset the "COUNTER" use the button "OK"
4. Press STOP / EXIT to return to the "MAINTENANCE"
5. Search in 1999 to get out of "MAINTENANCE"

By FAX (button)
Say the menu * 2, 8, 6, and 4 within 2 seconds, if it's too late to press stop again to repeatKingston 4 GB Class 4 SDHC Flash Memory Card SD4/4GB


how to reset printer brother


RESUME KAUM KHAWARIJ DAN ALIRAN MURJI’AH

RESUME KAUM KHAWARIJ DAN ALIRAN MURJI’AH


A. Munculnya Kaum Khawarij
Khawarij adalah aliran dalam teologi Islam yang pertama muncul. Kahwarij adalah salah satu nama aliran di dalam ilmu kalam. Dinamakan khawarij karena:
a. Golongan ini keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib.
b. Khawarij berasal dari kata kharaja yang diartikan keluar. Mengandung maksud bahwa mereka (sebagian pengikut Ali) keluar dari barisan Ali.
c. Adanya nama khawarij didasarkan pada surat An-Nisa ayat 100.


Artinya:
Barang siapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Rasul-Nya (Q.S An-Nisa:100) Khawarij berarti setiap musllim yang ingin keluar dari kesatuan umat Islam.

Khawarij dalam terminologi ilmu kalam adalah suatu sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim), dalam perang siffin pada tahun 37 H/684 M dengan kelompok bughat (pemberontakan) Muawiyah bin Sufyan perihal persengketaan khilafah.
Menurut sejarah, kaum ini keluar dari Ali karena golongan kaum khawarij berkeyakinan bahwa semua masalah antara Ali dan Mu’awiyah haru diselesaikan dengan merujuk kepada hukum-hukum Allah yang tertuang dalam surah Al-Maidah ayat 44.



Artinya:
“Barang siapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir”.

Berdasarkan ayat ini Ali, Mu’awiyah dan orang-orang yang menyetujui takhim telah menjadi kafir karena mereka dalam memutuskan perkara tidak merujuk Al-Qur’an.
Mereka pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Kehidupannya di padang pasir serba tandus, menyebabkan mereka bersifat sederhana baik dalam cara hidup maupun pemikiran. Namun mereka keras hati, berani, bersikap merdeka, tidak bergantung kepada orang lain dan cenderung radikal, perubahan yang dibawakan agama kedalam diri merak tidak mampu mengubah sifat-sifat Badawi yang mereka miliki itu.
Ajaran Islam sebagaimana yang terdapat didalam Al-Qur’an dan Hadits mereka pahami secara literal atau lafdjiyah serta harus dilaksanakan sepenuhnya.


B. Khawarij Dan Doktrin-Doktrin Pokoknya
1. Khalifah atau iman harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam.
2. Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab.
3. Khalifah dipilih secara permanenbt selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’at Islam.
4. Khalifah sebelum Ali (Abu Bakat, Umar dan Utsman) adalah sah tetapi setelah tahun ketujuh dari masa kekhalifahannya, Utsman r.a dianggap telah menyeleweng.
5. Khalifah Ali adalah sah tetapi setelah terjadi arbitrase (tahkim).
6. Muawiyah dan Amr bin Al-Ash serta Abu Musa Al-Asy’ari juga dianggap telah menyeleweng dan telah menjadi kafir.
7. Pasukan perang jamal yang melawan Ali juga kafir.
8. Seseorang yang berdosa besar tidak lagi di sebut muslim sehingga harus dibunuh.
9. Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka.
10. Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng.
11. Adanya wa’ad dan wa’i.
12. Amar ma’ruf nahi munkar.
13. Memalingkan ayat-ayat Al-Qur’an yang tampak mutasabihat (samar).
14. Qur’an adalah makhluk.
15. Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.

C. Perkembangan Khawarij
Golongan itu terbentuk semenjak pemimpin mereka Abdullan ibnu Wahab Ar-Rasidi meninggal dunia.
Golongan tersebut sebagai berikut:
1. Al-Muhakkimah
Golongan ini terdiri dari golongan khawarij yang asli dari pengikut Ali belum tercampuri orang-orang yang memiliki pendapat utama bagi khawarij.
Dosa besar yang diperbuat oleh seseorang dapat digolongkan kafir, dalam arti luas bagi yang berbuat zina merupakan perbuatan dosa besar, maka pezina adalah kafir, bahkan keluar dari agama Islam.

2. Al-Azariqah
Generasi khawarij yang terbesar setelah muhaklamah mengalami kehancuran golongan ini dipimpin Nafi ibn Al-Azraq.
Pemikiran dan sikap mereka bersifat radikal, kecenderungan persoalan yang dilontarkan adalah masalah musyrik diantaranya:
1. Semua Islam yang tidak sepaham dengan Azariqah.
2. Orang yang sepaham, tetapi tidak mau hijrah di kalangan mereka.
Menurut paham azariqah, daerahnya saja yang merupakan wilayah Islam dan daerah lain adalah kafir yang wajib diperangi dan orang musyrik menurutnya bukan orang dewasa saja tetapi juga anak-anak.

3. Najdat
Dipimpin oleh Najdat ibn Amir Al-Hanafi dari Yamamah. Golongan ini berpendapat bahwa orang yang berdosa besar yang menjadi kafir dan kekal.
Didalam aliran Najdat yang terjadi perpecahan karena perbedaan pendapat antara lain:
a. Dosa besar tidak membuat pengikut najdah menjadi kafir.
b. Dosa kecil bisa menjadi dosa besar.
c. Pembagian barang-barang perampasan perang.
d. Najdah bersikap lunak kepada khalifah Abd Al-Malik ibn Marwan dari dinasti Ummayah.

4. Ajjaridah
Menurut mereka surat Yusuf mengandung cerita cinta Al-Qur’an sebagai kitab suci tidak mungkin mengandung Al-Qur’an. Oleh karena itu mereka tidak mengakui bahwa kitab surat Yusuf bagian dari Al-Qur’an. Kaum ini juga terpecah menjadi beberapa golongan, diantaranya yaitu:
a. Golongan Maimunah, kaum ini berpendapat bahwa baik atau buruknya perbuatan manusia timbul dari kemauan dan kekuasaan manusia sendiri.
b. Golongan Al-Syu’albiyah dan Al-Hazimiah. Golongan ini berpendapat bahwa Tuhan adalah sebab dari semua perbuatan atau perilaku manusia. Dengan demikian manusia dalam hal perbuatan tidak bisa menolak kehendak Allah.

5. Al-Sufriah
Pemimpin golongan ini adalah Ziad ibn Al-Asfat. Hal-hal yang membuat mereka kurang ekstrim dari yang lain adalah pendapat-pendapat berikut:
a. Orang sufriah yang tidak berhijrah tidak dipandang kafir.
b. Mereka tidak berpendapat bahwa anak-anak kaum musyrik boleh dibunuh.
c. Selanjutnya tidak semua dari mereka berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar menjadi musyrik.
d. Daerah golongan Islam yang tidak sepaham dengan mereka bukan dari haib, yaitu daerah yang harus diperangi, yang diperangi hanyala ma’askar atau camp pemerintah. Sedang anak-anak dan perempuan tidak boleh dijadikan tawanan.


6. Al-Ibadah
Memisahkan diri dari golongan Al-Azariqah paham moderat mereka dapat dilihat dari ajaran-ajaran berikut:
a. Orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka bukanlah mikmin dan bukanlah musyrik tetapi kafir.
b. Daerah orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka kecuali camp pemerintah merupakan dari tauhid daerah orang yang mengesakan Tuhan dan tidak boleh diperangi.
c. Dosa besar tidak membuat orang keluar dari Islam.
d. Yang boleh dirampas dalam perang hanyalah kuda dan senjata, emsa dan perak harus dikembalikan kepada empunya.


ALIRAN MURJI’AH

A. Asal Usul Kemunculan Murji’ah
Nama murji’ah dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan dan pengharapan. Arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah.
Kaum murji’ah muncul akibat adanya pertentangan politik dalam Islam dalam suasana demikian, kaum murji’ah muncul dengan gaya dan corak tersendiri.
Dalam teologi mengenai dosa besar, kaum murji’ah berpendapat bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar masih mukmin.
Aliran murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar.
1. Murji’ah yang moderat berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar bukanlah dan tidak kekal di dalam neraka, tetapi akan di hukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang ia lakukan dan ada kemungkinan Tuhan akan mengampuninya sehingga mereka tidak akan masuk neraka sama sekali.
2. Adapun golongan murji’ah yang ekstrim tokohnya adalah jahm bin safwan dan pengikutnay disebut Al-Jami’ah. Golongan ini berpendapat bahwa orang Islam yang percaya pada Tuhan, kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidak menjadi kafir, karena kafir dan iman tempatnya bukan di dalam bagian tubuh manusia tetapi di dalam hati sanubari.


Doktrin-Doktri Murji’ah
a. Berkaitan dengan doktrin teologi murji’ah W.Montgomery watt merincinya sebagai berikut:
1. Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat kelak.
2. Penangguhan Ali untuk menduduki rangking ke empat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidin.
3. Pemberian harapan (giving of hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
4. Doktri-doktrin murji’ah menyerupai pengajaran (mazhab) para skeptis dan para empiris dari kalanha helenis.

b. Masih berkaitan dengan doktrin teologi murji’ah, Harun Nasution menyebutkan 4 ajaran pokoknya, yaitu:
1. Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amir bin Ash dan Abu Musa Al-Asy’ari yang terlibat tahkim dan menyerahkan kepada Allah di hari kiamat kelak.
2. Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
3. Meletakkan (pentingnya) iman dari pada amal.
4. Memberikan pengharapa kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.

Sekte-Sekte Murji’ah
Harun Nasution secara garis besar mengklasifikasikan murji’ah menjadi 2 sekte, yaitu golongan moderat dan golongan ekstrim. Murji’ah moderat berpendirian bahwa pendosa besar tetap mukmin, tidak kafir, tidak pula kekal dalam neraka. Mereka disiksa sebesar dosanya dan bila diampuni oleh Allah sehingga tidak masuk neraka, sama sekali iman adalah pengetahuan Tuhan dan Rasul-Rasul-Nya serta apa saja yang datang darinya dari keseluruhan dalam garis besar.
Yang termasuk kelompok ekstrim adalah Al-Jahmiah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusia, Al-Ubaidiyah dan Al-Hasaniyah. Pandangan tiap-tiap kelompok itu dapat di jelaskn sebagai berikut:
a. Jami’ah, kelompok Jahm bin Safwan dan para pengikutnya berpandangan bahwa orang yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan, tidaklah menjadi kafir karena iman dan kufir itu bertempat di dalam hati bukan pada lain dalam manusia.
b. Shahiliyah, kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah pengetahuan Tuhan. Sedangkan kufur adalah tidak tahu Tuhan. Shalat bukan merupakan ibadah kepada Allah, yang disebut ibadah adalah iman kepadanya dalam arti mengetahui Tuhan, begitu pula zakat, puasa dan haji bukanlah ibadah, melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan.
c. Yunusia dan Ubaidiyah, melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang, mati dalam iman, dosa-dsa dan perbuatan-perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan.
d. Hasaniah, menyebut bahwa jika seseorang mengatakan,”saya tahu melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu babu yang diharamkah itu adalah kambing ini”. Maka orang tersebut tetap mukmin, bukan kafir, begitu pula orang yang mengatakan “saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke Ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah di India atau tempat lain”.

Back To Top