belajar dan berbagi

Bekal-Bekal Pernikahan Menurut Sunnah Nabi

Bekal-Bekal Pernikahan Menurut Sunnah Nabi

Mukadimah

Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam.

Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulai bagaimana mencari kriteria bakal calon pendamping hidup, hingga bagaimana memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam menuntunnya. Begitu pula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, begitu pula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona. Islam mengajarkannya.
Akan tetapi dalam buku ini, hanya dibahas tentang manfaat menikah, hal-hal yang berkaitan dengan meminang (khitbah), akad nikah, rukun-rukun, dan syarat-syaratnya serta pembahasan tentang pesta perkawinan atau walimatul ‘urs. Semoga kita bisa mengambil manfaat dari pembahasan-pembahasan tersebut.

Manfaat Menikah

Nikah mempunyai manfaat yang sangat besar diantaranya:
1. Tetap terjaganya keturunan manusia, memperbanyak jumlah kaum muslimin dan menggetarkan orang kafir dengan adanya generasi yang berjuang di jalan Allah dan membela agamanya.
2. Menjaga kehormatan dan kemaluan dari berbuat zina yang diharamkan yang merusak masyarakat
3. Terlaksananya kepemimpinan suami atas istri dalam memberikan nafkah dan penjagaan kepadanya.
Allah berfirman:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)” (4: 34)
4. Mendapatkan ketenangan dan kelembutan hati bagi suami dan istri serta ketenteraman jiwa mereka.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (QS. Ar-Ruum:21).
5. Menjaga masyarakat dari akhlak yang keji (zina, pent) yang menghancurkan moral serta menghilangkan kehormatan.
6. Terjaganya nasab dan ikatan kekerabatan antara yang satu dengan yang lainnya serta terbentuknya keluarga yang mulia yang penuh kasih sayang, ikatan yang kuat dan tolong-menolong dalam kebenaran.
7. Mengangkat derajat manusia dari kehidupan ala binatang menjadi kehidupan insan yang mulia.
Dan masih banyak manfaat besar lainnya dengan adanya pernikahan yang syar’i, mulia dan bersih yang tegak berlandaskan Al Qur’an dan As Sunnah.
Menikah adalah ikatan syar’i yang menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam:
“Berwasiatlah tentang kebaikan kepada para wanita, sesungguhnya mereka bagaikan tawanan di sisi kalian. Kalian telah menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah (akad nikah, pent)” Akad nikah adalah ikatan yang kuat antara suami dan istri.
Allah berfirman:
“Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”.(QS.4:21) yaitu akad (perjanjian) yang mengharuskan bagi pasangan suami istri untuk melaksanakan janjinya.
Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”. (QS. Al-Maidah:1)

Khitbah (Meminang)

Rasulullah bersabda:
“Apabila seorang diantara kalian mengkhitbah (meminang) seorang wanita, maka jika dia bisa melihat apa yang mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Dalam hadits lain:
“Lihatlah dia, sebab itu lebih patut untuk melanggengkan diantara kalian berdua” (HR. At-Tirmidzi, 1087)
Hadits tersebut menunjukkan bolehnya melihat apa yang lazimnya nampak pada wanita yang dipinang tanpa sepengetahuannya dan tanpa berkhalwat (berduaan) dengannya.
Para ulama berkata: “Dibolehkan bagi orang yang hendak meminang seorang wanita yang kemungkinan besar pinangannya diterima, untuk melihat apa yang lazimnya nampak dengan tidak berkholwat (berduaan) jika aman dari fitnah”.

Dalam hadits Jabir, dia berkata: “Aku (berkeinginan) melamar seorang gadis lalu aku bersembunyi untuk melihatnya sehingga aku bisa melihat darinya apa yang mendorongku untuk menikahinya, lalu aku menikahinya” (HR. Abu Dawud, no. 2082).
Hadits ini menunjukkan bahwa Jabir tidak berduaan dengan wanita tersebut dan si wanita tidak mengetahui kalau dia dilihat oleh Jabir. Dan tidaklah terlihat dari wanita tersebut kecuali yang biasa terlihat dari tubuhnya. Hal ini rukhsoh (keringanan) khusus bagi orang yang kemungkinan besar pinangannya diterima. Jika kesulitan untuk melihatnya, bisa mengutus wanita yang dipercaya untuk melihat wanita yang dipinang kemudian menceritakan kondisi wanita yang akan dipinang.
Berdasarkan apa yang diriwayatkan bahwa Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Ummu Sulaim untuk melihat seorang wanita (HR. Ahmad).
Barangsiapa yang diminta untuk menjelaskan kondisi peminang atau yang dipinang, wajib baginya untuk menyebutkan apa yang ada padanya dari kekurangan atau hal lainnya, dan itu bukan termasuk ghibah.
Dan diharamkan meminang dengan ungkapan yang jelas (tashrih) kepada wanita yang sedang dalam masa ‘iddah (masa tunggu, yang tidak bisa diruju’
oleh suami atau ditinggal mati suaminya, pent). Seperti ungkapan: “Saya ingin menikahi Anda”.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanitawanita itu dengan sindiran” (QS. 2: 235)
Dan dibolehkan sindiran dalam meminang wanita yang sedang dalam masa ‘iddah. Misalnya dengan ungkapan: “Sungguh aku sangat tertarik dengan wanita yang seperti anda” atau “Dirimu selalu ada dalam jiwaku”.
Ayat tersebut menunjukkan haramnya tashrih, seperti ungkapan: “Saya ingin menikahi anda” karena tashrih tidak ada kemungkinan lain kecuali nikah. Maka tidak
boleh memberi harapan penuh sebelum habis masa ‘iddahnya.
Diharamkan meminang wanita pinangan saudara muslim lainnya. Barangsiapa yang meminang seorang wanita dan diterima pinangannya, maka diharamkan
bagi orang lain untuk meminang wanita tersebut sampai dia diijinkan atau telah ditinggalkan.
Berdasarkan sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah seorang laki-laki meminang wanita yang telah dipinang saudaranya hingga dia menikah atau telah meninggalkannya” (HR. Bukhari dan Nasa’i).
Dalam riwayat Muslim: “Tidak halal seorang mukmin meminang wanita yang telah dipinang saudaranya hingga dia meninggalkannya”. Dalam hadits Ibnu Umar: “Janganlah kalian meminang wanita yang telah dipinang saudaranya” (Muttafaqun‘alaih). Dalam riwayat Bukhari: “Janganlah seorang laki-laki meminang di atas pinangan laki-laki lain hingga peminang sebelumnya meninggalkannya atau dengan seijinnya”.
Hadits-hadits tersebut menunjukkan atas haramnya pinangan seorang muslim di atas pinangan saudaranya, karena hal itu menyakiti peminang yang pertama dan menyebabkan permusuhan diantara manusia dan melanggar hak-hak mereka. Jika peminang pertama sudah ditolak atau peminang kedua diijinkan atau dia sudah meninggalkan wanita tersebut, maka boleh bagi peminang kedua untuk
meminang wanita tersebut. Sesuai dengan sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Hingga dia diijinkan atau telah ditinggalkan”. Dan ini termasuk kehormatan seorang muslim dan haram untuk merusak kehormatannya.
Sebagian orang tidak peduli dengan hal ini, dia maju untuk meminang seorang wanita padahal dia mengetahui sudah ada yang mendahului meminangnya dan telah diterima oleh wanita tersebut.
Kemudian dia melanggar hak saudaranya dan merusak pinangan saudaranya yang telah diterima.
Hal ini adalah perbuatan yang sangat diharamkan dan pantas bagi orang yang maju untuk mengkhitbah wanita yang telah didahului oleh saudaranya ini untuk tidak diterima dan dihukum, juga mendapat dosa yang sangat besar. Maka wajib bagi seorang muslim untuk memperhatikan masalah ini dan menjaga hak saudaranya sesama muslim. Sesungguhnya sangat besar hak seorang muslim atas saudara muslim lainnya. Janganlah meminang wanita yang sudah dipinang saudaranya dan jangan membeli barang yang dalam tawaran saudaranya dan jangan menyakiti
saudaranya dengan segala bentuk hal yang menyakitkan.
Akad Nikah, Rukun dan Syarat-Syaratnya
Disunnahkan ketika hendak akad nikah, memulai dengan khutbah sebelumnya yang disebut khutbah Ibnu Mas’ud (khutbatul hajjah, pent) yang disampaikan oleh calon mempelai pria atau orang lain diantara para hadirin. Dan lafadznya sebagai berikut:
“Sesungguhnya segala puji bagi Allah. Kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan-Nya, serta kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami dan keburukan amal usaha kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak yang berhak
diibadahi melainkan Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya”. (HR. Imam yang lima dan Tirmidzi menghasankan hadits ini).
Setelah itu membaca tiga ayat Al-Qur’an berikut ini:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”. (QS. Ali ‘Imran: 102).
“Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya, dan daripada keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (QS. An Nisaa’: 1)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar”. (QS. Al-Ahzab: 70-71).
Adapun rukun-rukun akad nikah ada 3, yaitu:
1. Adanya 2 calon pengantin yang terbebas dari penghalang-penghalang sahnya nikah, misalnya: wanita tersebut bukan termasuk orang yang diharamkan untuk dinikahi (mahram) baik karena senasab, sepersusuan atau karena sedang dalam masa ‘iddah, atau sebab lain. Juga tidak boleh jika calon mempelai laki-lakinya kafir sedangkan mempelai wanita seorang muslimah. Dan sebab-sebab lain dari penghalang-penghalang syar’i.
2. Adanya ijab yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikannya dengan mengatakan kepada calon mempelai pria: “Saya nikahkan kamu dengan Fulanah”.
3. Adanya qobul yaitu lafadz yang diucapkan oleh calon mempelai pria atau orang yang telah diberi ijin untuk mewakilinya dengan mengucapkan :
“Saya terima nikahnya”.
Syaikhul islam Ibnu Taymiah dan muridnya, Ibnul Qoyyim, menguatkan pendapat bahwa nikah itu sah dengan segala lafadz yang menunjukkan arti nikah, tidak terbatas hanya dengan lafadz Ankahtuka atau Jawwaztuka.
Orang yang membatasi lafadz nikah dengan Ankahtuka atau Jawwaztuka karena dua lafadz ini terdapat dalam Al Qur’an.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia” (QS. Al-Ahzab: 37)
Dan firman-Nya yang lain:
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu” (QS. An-Nisa’:22)
Akan tetapi kejadian yang disebutkan dalam ayat tersebut tidak berarti pembatasan dengan lafadz tersebut (tazwij atau nikah). Wallahu a’lam. Dan akad
nikah bagi orang yang bisu bisa dengan tulisan atau isyarat yang dapat difahami. Apabila terjadi ijab dan qobul, maka sah-lah akad nikah tersebut walaupun diucapkan dengan senda gurau tanpa bermaksud menikah (Jika terpenuhi syarat dan tidak ada penghalang sah-nya akad, pent). Karena Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ada 3 hal yang apabila dilakukan dengan main-main maka jadinya sungguhan dan jika dilakukan dengan sungguh-sungguh maka jadinya pun sungguhan. Yaitu: talak, nikah dan ruju’” (HR. Tirmidzi, no. 1184).
Adapun syarat-syarat sahnya nikah ada 4, yaitu:
1. Menyebutkan secara jelas (ta’yin) masing-masing kedua mempelai dan tidak cukup hanya mengatakan: “Saya nikahkan kamu dengan anak saya” apabila mempunyai lebih dari satu anak perempuan. Atau dengan mengatakan: “ Saya nikahkan anak perempuan saya dengan anak laki-laki anda” padahal ada lebih dari satu anak laki-lakinya. Ta’yin bisa dilakukan dengan menunjuk langsung kepada calon mempelai, atau menyebutkan namanya, atau sifatnya yang dengan sifat itu bisa dibedakan dengan yang lainnya.
2. Kerelaan kedua calon mempelai. Maka tidak sah jika salah satu dari keduanya dipaksa untuk menikah, sebagaimana hadits Abu Hurairah:
“Janda tidak boleh dinikahkan sehingga dia diminta perintahnya, dan gadis tidak dinikahkan sehingga diminta ijinnya.” Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana ijinnya?”. Beliau menjawab: “Bila ia diam”. (HR. Bukhari dan Muslim). Kecuali jika mempelai wanita masih kecil yang belum baligh maka walinya boleh menikahkan dia tanpa seijinnya.
3. Yang menikahkan mempelai wanita adalah walinya. Berdasarkan sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya wali” (HR. Imam yang lima kecuali Nasa’i).
Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa wali maka nikahnya tidak sah. Di antara hikmahnya, karena hal itu merupakan penyebab terjadinya perzinahan dan wanita biasanya dangkal dalam berfikir untuk memilih sesuatu yang paling maslahat bagi dirinya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an tentang masalah pernikahan, ditujukan kepada para wali:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu” (QS. An-Nuur: 32)
“Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka” (QS. Al-Baqoroh: 232)
dan ayat-ayat yang lainnya.
Wali bagi wanita adalah: bapaknya, kemudian yang diserahi tugas oleh bapaknya, kemudian ayah dari bapak terus ke atas, kemudian anaknya yang laki-laki kemudian cucu laki-laki dari anak laki-lakinya terus ke bawah, lalu saudara laki-laki
sekandung, kemudian saudara laki-laki sebapak, kemudian keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sekandung kemudian sebapak, lalu pamannya yang sekandung dengan bapaknya, kemudian pamannya yang sebapak dengan bapaknya, kemudian anaknya paman, lalu kerabat-kerabat yang dekat keturunan nasabnya seperti ahli waris, kemudian orang yang memerdekakannya (jika dulu ia seorang budak, pent), kemudian baru hakim sebagai walinya.
4. Adanya saksi dalam akad nikah, sebagaimana hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Jabir:
"Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali dan dua orang saksi yang adil (baik agamanya, pent)." (HR. Al-Baihaqi dari Imran dan dari Aisyah, shahih, lihat Shahih Al-Jamius Shaghir oleh Syaikh Al-Albani no. 7557).
Maka tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil.
Imam Tirmidzi berkata: “Itulah yang difahami oleh para sahabat Nabi dan para Tabi’in, dan para ulama setelah mereka. Mereka berkata: “Tidak sah menikah tanpa ada saksi”. Dan tidak ada perselisihan dalam masalah ini diantara mereka.
Kecuali dari kalangan ahlu ilmi Muta’akhirin (belakangan)”.

Walimatul ‘Urs (Pesta Perkawinan)

Walimah asalnya berarti sempurnanya sesuatu dan berkumpulnya sesuatu. Dikatakan ﻞﺟﺮﻟﺍﱂﻭﺃ(Awlamar Rajulu) jika terkumpul padanya akhlak dan kecerdasannya. Kemudian makna ini dipakai untuk penamaan acara makan-makan dalam resepsi pernikahan disebabkan berkumpulnya mempelai laki-laki dan perempuan dalam ikatan perkawinan. Dan tidak dinamakan walimah untuk selain resepsi pernikahan dari segi bahasa dan istilah fuqoha (para ulama). Padahal ada banyak jenis acara makan-makan yang dibuat dengan sebab-sebab tertentu, tetapi masing-masing memiliki penamaan tersendiri.
Hukum walimatul ‘urs adalah sunnah menurut jumhur ulama. Sebagian ulama mewajibkan walimah karena adanya perintah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam dan wajibnya memenuhi undangan walimah.
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Abdurrahman bin ‘Auf radiyallahu ‘anhu ketika dia mengkhabarkan bahwa dia telah menikah ﺓﺎﺸﺑﻮﻟﻭﱂﻭﺃ
“Adakanlah walimah walaupun hanya dengan menyembelih seekor kambing” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan juga Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan walimah ketika menikah dengan Zainab, Sofiyyah, dan Maimunah binti Al-Harits.
Mengenai ukuran atau kadar dari pesta perkawinan, sebagian ahli ilmu berperdapat bahwa tidak kurang dari satu ekor kambing dan yang lebih utama adalah
lebih dari itu. Seperti yang difahami dari hadits Abdurrahman bin ‘Auf di atas: “Adakanlah walimah walaupun hanya dengan menyembelih seekor kambing” (HR. Bukhari dan Muslim). Dan ini jika diberi kelebihan rezeki oleh Allah kepadanya. Dan jika tidak mampu maka sesuai dengan kadar kemampuannya.
Rasulullah juga mengadakan walimah ketika menikah dengan Sofiyyah berupa makanan khais yaitu tepung, mentega dan keju yang dicampur kemudian diletakkan diatas nampan. Hal ini menunjukkan bolehnya mengadakan walimah tanpa menyembelih kambing dan juga boleh mengadakannya walaupun dengan yang lebih sederhana dari itu.
Tidak boleh berlebih-lebihan (isrof) dalam walimatul ‘urs seperti yang terjadi pada zaman sekarang, misalnya dengan menyembelih banyak kambing, unta dan meyediakan banyak makanan untuk bermewah-mewahan dan berlebih-lebihan padahal tidak termakan semuanya, akhirnya makanan-makanan tersebut dibuang di tempat-tempat sampah. Ini termasuk hal yang dilarang oleh syari’at dan akal yang
sehat tidak akan pernah membolehkan hal tersebut.
Dan dikhawatirkan bagi pelakunya dan orang yang setuju dengan perbuatan tersebut akan mendapat hukuman dari Allah dan dicabutnya nikmat.
Disamping hal itu, walimah yang seperti di atas tidak lepas dari kejelekan dan kesombongan serta berkumpulnya orang-orang yang biasanya tidak lepas dari kemungkaran. Terkadang walimah ini dilakukan di hotel-hotel yang menyebabkan para wanita tidak menghiraukan lagi pakaian yan menutup aurat, hilangnya rasa malu, bercampurnya wanita dengan laki-laki yang bisa jadi hal ini sebagai penyebab turunnya azab yang besar dari Allah.
Terkadang juga diselingi dalam pesta tersebut musik dan nyanyian yang menyenangkan para seniman, juga fotografer untuk memotret para wanita dan kedua mempelai, disamping menghabiskan harta yang banyak tanpa faedah bahkan dengan cara yang rusak dan menyebabkan kerusakan. Maka bertaqwalah kepada Allah wahai orang-orang yang seperti ini dan takutlah terhadap azab Allah.
Allah berfirman:
“Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang telah Kami binasakan, yang sudah bersenang-senang dalam kehidupannya” (QS. Al-Qoshosh: 58)

“Makan dan minumlah, dan janganlah berlebihlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orangorang yang berlebih-lebihan” (Al-A’rof: 31)
“Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan” (Al-Baqoroh: 60)
Dan ayat-ayat yang berkaitan dengan ini sangat banyak dan jelas.
Wajib bagi yang diundang untuk menghadiri walimatul ‘urs apabila terpenuhi syarat-syarat berikut ini:
1. Walimah tersebut adalah walimah yang pertama jika walimahnya dilakukan berulangkali. Dan tidak wajib datang untuk walimah yang selanjutnya,berdasarkan sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam:
“Walimah pertama adalah hak (sesuai dengan syari’at, pent), walimah kedua adalah baik, dan walimah yang ketiga adalah riya’ dan sum’ah” (HR. Abu Dawud dan yang lainnya).
Syaikh Taqiyuddin berkata: “Diharamkan makan dan menyembelih yang melebihi batas pada hari berikutnya meskipun sudah menjadi kebiasaan masyarakat atau untuk membahagiakan keluarganya, dan pelakunya harus diberi hukuman”
2. Yang mengundang adalah seorang muslim
3. Yang mengundang bukan termasuk ahli maksiat yang terang-terangan melakukan kemaksiatannya, yang mereka itu wajib dijauhi.
4. Undangannya tertuju kepadanya secara khusus, bukan undangan umum.
5. Tidak ada kemungkaran dalam walimah tersebut seperti adanya khamr (minuman keras), musik, nyanyian dan biduan, seperti yang banyak terjadi dalam acara walimah sekarang.
Apabila terpenuhi syarat-syarat tersebut, maka wajib memenuhi undangan walimah, sebagaimana sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Sejelek-jelek makanan adalah hidangan walimah yang orang-orang miskin tidak diundang tetapi orang-orang yang kaya diundang. (Meskipun demikian) barangsiapa yang tidak memenuhi undangan walimah berarti dia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”. (HR. Muslim).
Dan disunnahkan untuk mengumumkan pernikahan dan menampakkannya sebagaimana sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Umumkanlah acara pernikahan”. Dan dalam riwayat lain:
“Tampakkanlah acara pernikahan” (HR. Ibnu Majah)
Disunnahkan pula menabuh rebana sebagaimana sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam:
“Pembeda antara nyanyian serta musik yang halal dan yang haram adalah nyanyian dan rebana dalam acara pernikahan” (HR. Nasa’i, Ahmad dan Tirmidzi. Dan Tirmidzi menghasankannya).
Lebih lengkap (artikel asli) silahkan download Bekal-Bekal Pernikahan Menurut Sunnah Nabi
Artikel tentang isteri silahkan baca : Sandal Jepit Isteriku
MAKALAH FIQH MUAMALAH

MAKALAH FIQH MUAMALAH

KATA PENGANTAR


Alhamdulillah dengan rasa syukur kehadirat Allah SWT dengan ramaht-Nya dan inayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Pengertian Jual Beli, Syarat dan Hukum Jual Beli”.
Makalah ini dibuat dengan maksud yakni memperoleh keridhoan Allah semata, akhir kata saya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan sekaligus bermanfaat untuk menambah pengetahuan sehubungan dengan jual beli.

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Allah ST menjadikan manusia, masing-masing saling membutuhkan satu sama lain, supaya mereka tolong menolong, tukar-menukar keperluan dalam segala urusan.
Dengan cara demikian kehidupan masyarakat menjadi teratur dan subur, pertalian yang satu dengan yang lain menjadi teguh. Akan tetapi sifat loba dan tamak tetap ada pada manusia suka mementingkan diri sendiri.

B. Tujuan
Adapun tujuan mempelajari tentang jual beli adalah:
1. Agar mahasiswa bisa mengetahui aturan-aturan jual beli.
2. Agar mahasiswa bisa mengetahui jual beli yang sah dan tidak sah.

BAB II
DEFENISI, LANDASAN DAN RUKUN JUAL BELI


A. Pengertian Jual Beli
Menurut etimologi, jual beli diartikan



Artinya:
“Pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain)”

Kata lain dari al-bai’ adalah asy-syira’, al-mubadah, dan at-tijarah. Berkenaan dengan kata at-tijarah, dalam Al-Qur’an surat Fathir ayat 29 dinyatakan:



Artinya:
“Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi”
(QS. Fathir: 29)

Adapun jual beli menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam mendefenisikannya, antara lain:
a. Menurut ulama Hanafiyah


“Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus orang dibolehkan)”.



b. Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’


Artinya:
“Pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan”.

c. Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mugni


Artinya:
Pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan mulik”.

B. Landasan Syara’
Jual beli disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’ yakni:
a. Al-Qur’an diantaranya


Artinya:
“Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”.
(QS. Al-Baqarah:275)


Artinya:
“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli”
(QS. AL-Baqarah:282)



Artinya:
“Kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan suka sama suka”.
(QS. An-Nisa:29)
b. As-Sunah, di antaranya:





Artinya:
“Nabi SAW ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik. Beliau menjawab, “Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang babrur”.
(HR. Bajjar, Hakim menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn Rafi’)

Maksud mabrur dalam hadis di atas adalah jual-beli yang terhindar dari usaha tipu menipu dan merugikan orang lain.



Artinya:
“Jual beli harus dipastikan harus saling meridai.”
(HR. Baihaqi dan Ibnu Majjah)

c. Ijma’
Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.

C. Rukun dan Pelaksanaan Jual Beli
Dalam menetapkan rukun jual-beli, diantara para ulama terjadi perbedaan pendapat. Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual-beli adalah ijab dan qabul yang menunjukkan pertukaran barang secara rida, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
Adapun rukun jual-beli menurut jumhur ulama ada empat, yaitu:
a. Ba’i (penjual)
b. Mustari (pembeli)
c. Shighat (ijab dan qabul)
d. Ma’qud ‘alaih (benda atau barang)


BAB III
SYARAT JUAL-BELI


Dalam jual beli terdapat empat macam syarat, yaitu syarat terjadinya akad (in’iqad), syarat sahnya akad, syarat terlaksananya akad (nafadz), dan syarat lujum.
Secara umum tujuan adanya semua syarat tersebut antara lain untuk menghindari pertentangan diantara manusia, menjaga kemaslahatan orang yang sedang akad, menghindari jual-beli gharar (terdapat unsur penipuan), dan lain-lain.
Jika jual beli tidak memenuhi syarat terjadinya akad, akad tersebut batal. Jika tidak memenuhi syarat sah, menurut ulama Hanafiyah, akad tersebut fasid. Jika tidak memenuhi syarat nafadz, akad tersebut mauquf yang cenderung boleh, bahkan menurut ulama Malikiyah, cenderung kepada kebolehan. Jika tidak memenuhi syarat ljum, akad tersebut mukhayyir (pilih-pilih), baik khiyar untuk menetapkan maupun membatalkan.
Diantara uma afiqih berbeda pendapat dalam menetapkan persyaratan jual-beli. Dibawah ini akan dibahas sekilas pendapat setiap madzhab tentang persyaratan jual beli tersebut.
1. Menurut Ulama Hanafiyah
Persyaratan yang ditetapkan oleh ulama Hanabilah berkaitan dengan syarat jual-beli adalah:
a. Syarat Terjadinya Akad (In’iqad)
Adalah syarat-syarat yang telah ditetapkan syara’. Jika persyaratan ini tidak terpenuhi, jual beli batal. Tentang syarat ini, ulama Hanafiyah menetapkan empat syarat, yaitu berikut ini.
1) Syarat Aqid (orang yang akad)
Aqid harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a) Berakal dan Mumayyiz
Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan harus baligh. Tasharruf yang boleh dilakukan oleh anak mumayyiz dan berakal secara umum terbagi tiga:
• Tasharruf yang bermanfaat secara murni, seperti hibah
• Tasharruf yang tidak bermanfaat secara murni, seperti tidak sah talak oleh anak kecil
• Tasharruf yang berada di antara kemanfaatan dan kemadaratan, yaitu aktivitas yang boleh dilakukan, tetapi atas seizin wali
b) Aqih harus berbilang, sehingga tidaklah sah akad dilakukan seorang diri. Minimal dilakukan dua orang, yaitu pihak yang menjual dan membeli.

2) Syarat dalam Akad
Syarat ini hanya satu, yaitu harus sesuai antara ijab dan qabul. Namun demikian, dalam ijab qabul terdapat tiga syarat berikut ini.
a) Ahli Akad
Menurut ulama Hanafiyah, seorang anak yang berakal dan mumayyiz (berumur tujuh tahun, tetapi belum baligh) dapat menjadi ahli akad. Ulama Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa akad anak mumayyiz bergantung pada izin walinya. Adapun menurut ulama Syafi’iyah, anak mumayyiz yang belum baligh tidak dibolehkan melakukan akad sebab ia belum dpaat menjaga agama dan hartanya (masih bodoh).
Allah SWt berfirman


Artinya:
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan”.
(QS. An-Nisa’:5)
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa yang disebut orang-orang yag belum sempurna akalnya pada ayat di atas adalah anak yatim yang masih kecil atau orang dewasa yang tidak mampu mengurus hartanya.
b) Qabul harus sesuai dengan ijab
c) Ijab dan qabul harus bersatu, yakni berhubungan antara ijab dan qabul qalaupun tempatnya tidak bersatu.

3) Tempat Akad
Harus bersatu atau berhubungan antara ijab dan qabul.

4) Ma’qud ‘alaih (objek akad)
Ma’qud ‘alaih harus memenuhi empat syarat:
a) Ma’qud ‘alaih harus ada, tidak boleh akad atas barang-barang yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada, seperti jual beli buah yang belum tampak, atau jual beli anak hewan yang masih dalam kandungan. Secara umum dalil yang digunakan sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah SAW melarang jual beli yang belum tampak hasilnya.
b) Harta harus kuat, tetap, dan bernilai, yakni benda yang mungkin dimanfaatkan dan disimpan.
c) Benda tersebut milik sendiri.
d) Dapat diserahkan.

b. Syarat Pelaksanaan Akas (Nafadz)
1. Benda dimiliki aqid atau berkuasa untuk akad
2. Pada benda tidak terdapat milik orang lain
Oleh karena itu, tidak boleh menjual barang sewaan atau barang gadai, sebab barang tersebut bukan miliknya sendiri, kecuali kalau diizinkan oleh pemilik sebenarnya, yakni jual beli yang ditangguhkan (mauquf).
Berdasarkan nafadz dan waqaf (penangguhan), jual beli terbagi dua:
a) Jual beli nafidz
Jual beli yang dilakukan oleh orang yang telah memenuhi syarat dan rukun jual beli sehingga jual beli tersebut dikategorikan sah.
b) Jual beli mauquf
Jual beli yang dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi syarat dan rukun nafadz, yakni bukan milik dan tidak kuasa untuk melakukan kada, seperti jual beli fudhul (jual beli bukan milik orang lain tanpa ada izin). Namun demikian, jika pemiliknya mengizinkan jual beli fudhul dipandang sah. Sebaliknya, jika pemilik tidak mengizinkan dipandang batal.
Ulama fiqih berbeda pendapat dalam menghukumi jual beli fudhul.

c. Syarat Sah Akad
Syarat ini terbagi atas dua yaitu umum dan khusus:
1. Syarat umum
Adalah syarat-syarat yang berhubungan dengan semua bentuk jual beli yang telah ditetapkan syara’. Diantaranya adalah syarat-syarat yang telah disebutkan di atas. Juga harus terhindar kecacatan jual beli yaitu ketidakjelasan, keterpaksaan, pembatasan dengan waktu (tauqit), penipuan (gharar), kemadaratan, dan persyaratan yang merusak lainnya.
2. Syarat Khusus
Adalah syarat-syarat yang hanya ada pasa barang-barang tertentu. Jual beli ini harus memenuhi persyaratan berikut:
a) Barang yang diperjual belikan harus dapat dipegang yaitu pada jual beli benda yang harus dipegang sebab apabila dilepaskan akan rusak atau hilang.
b) Harga awal harus diketahui, yaitu pada jual beli amanat.
c) Serah terima benda dilakukan sebelum berpisah, yaitu pad ajual beli yang bendanya ada di tempat.
d) Terpenuhi syarat penerimaan.
e) Harus seimbang dalam ukuran timbangan, yaitu dalam jual beli yang memakai ukuran atau timbangan.
f) Barang yang diperjualbelikan sudah menjadi tanggungjawabnya. Oleh karena itu, tidak boleh menjual barang yang masih berada di tangan penjual.

d. Syarat Lujum (kemestian)
Syarat ini hanya ada satu, yaitu akad jual beli harus terlepas atau terbebas dari khiyat (pilihan) yang berkaitan dengan kedua pihak yang akad dan akan menyebabkan batalnya akad.

2. Madzab Maliki
Syarat-syarat yang dikemukakan oleh ulama Malikiyah yang berkenaan dengan aqih (orang yang akad), shighat, dan ma’qud ‘alaih (barang) berjumlah 11 syarat.
a. Syarat Aqih
Adalah penjual atau pembeli. Dalam hal ini terdapat tiga syarat, ditambah satu bagi penjual:
1) Penjual dan pembeli harus mumayyiz
2) Keduanya merupakan pemilik barang atau yang dijadikan wakil
3) Keduanya dalam keadaan sukarela. Jual beli berdasarkan paksaan adalah tidak sah
4) Penjual harus sadar dan dewasa
Ulama Malikiyah tidak mensyaratkan harus Islam bagi aqid kecuali dalam membeli hamba yang muslim dan membeli mushaf. Begitu pula dipandang sahih jual beli orang yang buta.

b. Syarat dalam Shighat
1) Tempat akad harus bersatu
2) Pengucapan ijab dan qabul tidak terpisah
Di antara ijab dan qabul tidak boleh ada pemisahan yang mengandung unsur penolakan dari salah satu aqid secara adat.
c. Syarat Harga dan yang Dihargai
1) Bukan barang yang larang syara’
2) Harus suci, maka dibolehkan menjual khamr, dan lain-lain
3) Bermanfaat menurut pandangan syara’
4) Dapat diketahui oleh kedua orang yang akad
5) Dapat diserahkan

3. Madzhab Syafi’i
Ulama Syafi’iyah mensyaratkan 22 syarat, yang berkaitan dengan aqih, shighat dan ma’qud alaih. Persyaratan tersebut adalah:
a. Syarat Aqid
1. Dewasa atau Sadar
Aqih harus baligh dan berakal, menyadari dan mampu memelihara agama dan hartanya. Dengan demikian, akad anak mumayyiz dipandang belum sah.
2. Tidak dipaksa atau tanpa hak
3. Islam
Dipandang tidak sah, orang kafir yang membeli kitab Al-Qur’an atau kitab-kitab yang berkaitan dengan agama seperti hadis, kitab-kitab fiqih, dan juga membeli hamba yang muslim. Hal itu didasarkan antara lain pada firman Allah SWT:





Artinya:
“Dan Allah sekali-kali tidak memberi jalan bagi orang kafir untuk menghina orang mukmin”.
(QS. An-Nisa’: 141)
4. Pembeli bukan musuh
Umat Islam dilarang menjual barang, khususnya senjata, kepada musuh yang akan digunakan untuk memerangi dan menghancurkan kaum muslimin.

b. Syarat Shighat
1) Berhadap-hadapan
Pembeli atau penjual harus menunjukkan shighat akadnya kepada orang yang sedang bertransaksi dengannya, yakni harus sesuai denganorang yang dituju. Dengan demikian tidak sah berkata, “Saya menjual kepadamu!” Tidak boleh berkata, “Saya menjual kepada Ahmad”, padahal nama pembeli bukan Ahmad.
2) Ditunjukan pada seluruh badan yang akal
Tidak sah mengatakan, “Saya menjual barang ini kepada kepala atau tangan kamu”.
3) Qabul diucapkan oleh orang yang dituju dalam ijab
Orang yang mengucapkan qabul haruslah orang yang diajak bertransaksi oleh orang yang mengucapkan ijab, kecuali jika diwakilkan.
4) Harus menyebutkan barang atau harga
5) Ketika mengucapkan shighat harus disertai niat (maksud)
6) Pengucapan ijab dan qabul harus sempurna
Jika seseorang yang sedang bertransaksi itu gila sebelum mengucapkan qabul, jual beli yang dilakukannya batal.
7) Ijab qabul tidak terpisah
Anatara ijab dan qabul tidak boleh diselingi oleh waktu yang terlalu lama, yang menggambarkan adanya penolakan dari salah satu pihak.
8) Antara ijab dan qabul tidak terpisah dengan pernyataan lain
9) Tidak berubah lafazh
Lafazh ijab tidak boleh berubah, seperti perkataan, “Saya jual dengan lima ribu, kemudian berkata lagi, “Saya menjualnya dengan sepuluh ribu, padahal barang yang dijual masih sama dengan barang yang pertama dan belum ada qabul.
10) Bersesuaian anatar ijab dan qabul secara sempurna
11) Tidak dikaitkan dengan sesuatu
Akad tidak boleh dikaitkan dengan sesuatu yang tidak ada hubungan dengan akad.
12) Tidak dikaitkan dengan waktu

c. Syarat Ma’qud ‘Alaih (Barang)
1) Suci
2) Bermanfaat
3) Dapat diserahkan
4) Barang milik sendiri atau menjadi wakil orang lain
5) Jelas dan diketahui oleh kedua orang yang melakukan akad

4. Madzhab Hambali
Menurut ulama Hanabilah, persyaratan jual beli terdiri atas 11 syarat, baik dalam aqih, shighat dan ma’qud ‘alaih.
a. Syarat Aqid
1) Dewasa
Aqid harus dewasa (baliqh dan berakal), kecuali pada jual beli barang-barang yang sepele atau telah mendapat izin dari walinya dan mengandung unsur kemaslahatan.
2) Ada Kerinduan
Masing-masing aqid harus saling meridai, yaitu tidak ada unsur paksaan, kecuali jika dikehendaki oleh mereka yang memiliki otoritas untuk memaksa, seperti hakim atau penguasa.
Ulama Hanabilah menghukumi makruh bagi orang yang menjual barangnya karena terpaksa atau karena kebutuhan yang mendesak dengan harga di luar harga lazim.

b. Syarat Shighat
1) Berdasa di tempat yang sama
2) Tidak terpisah
Antara ijab dan wabul tidak terdapat pemisah yang menggambarkan adanya penolakan
3) Tidak dikaitkan dengan sesuatu
Akad tidak boleh dikaitkan dengan sesuatu yang tidak berhubungan dengan akad.

c. Syarat Ma’qud ‘Alaih
1) Harus berupa harta
Ma’qud ‘alaih adalah barang-barang yang bermanfaat menurut pandangan syarat. Adapun barang-barang yang tidak bermanfaat hanya dibolehkan jika dalam keadaan terpaksa, misalnya membeli khamar sebab tidak ada lagi air lainnya. Dibolehkan pula membeli burung karena suaranya bagus.
Ulama Hanabilah mengharamkan jual beli Al-Qur’an baik untuk orang muslim maupun kafir sebab Al-Qur’an wajib diagungkan, sedangkan menjualnya berarti tidak mengagungkannya.
Begitu pula mereka me;arang jual beli barang-barang mainan dan barang-barang yang tidak bermanfaat lainnya.
2) Milik penjual secara sempurna
Dipandang tidak sah jual beli fudhul, yakni menjual barang tanpa seizin pemiliknya.
3) Barang dapat diiserahkan ketika akad


4) Barang diketahui oleh penjual dan pembeli
Ma’qud ‘alaih harus jelas dan diketahui kedua pihak yang melangsungkan akad. Namun demikian, dianggap sah jual beli orang yang buta
5) Harga diketahui oleh kedua pihak yang akad
6) Terhindar dari unsur-unsur yang menjadikan akad tidak sah
Barang, harga, dan aqid harus terhindar dari unsur-unsur yang menjadikan akad tersebut menjadi tidak sah, seperti riba.



BAB IV
HUKUM (KETETAPAN) BAI’ BESERTA
PEMBAHASAN BARANG DAN HARGA


1. Hukum (Ketetapan) Akad
Hukum akad adalah tujuan dari aqad. Dalam jual beli, ketetapan akad adalah menjadikan barang sebagai milik pembeli dan menjadikan harga atau uang sebagai milik penjual.
Secara mutlak hukum aqad dibagi 3 bagian:
a. Dimaksudkan sebagai taklif, yang berkaitan dengan wajib, haram, sunah, makruh, dan mubah.
b. Dimaksudkan sesuai dengan sifat-sifat syara’ dan perbuatan, yang sah, luzum, dan tidak luzum, seperti pernyataan, “Akad yang sesuai dengan rukun dan syaratnya disebut sahih lazim.”
c. Dimaksudkan sebagai dampak tasharruf syara’, seperti wasiat yang memenuhi ketentuan syara’ berdampak pada beberapa ketentuan, baik bagi orang yang diberi wasiat maupun bagi orang atau benda yang diwasiatkan

Hukum atau ketetapan yang dimaksud pada pembahasan akad jual beli ini, yakni menetapkan barang milik pembeli dan menetapkan uang milik penjual.

2. Tsuman (Harga) dan Mabi’ (Barang Jualan)
a. Pengertian Harga dan Mabi’
Secara umum, mabi’ adalah ......................... (perkara yang menjadi tentu dengan ditentukan). Sedangkan pengertian harga secara umum, adalah ............... (perkara yang tidak tentu dengan ditentukan).
Defenisi di atas, sebenarnya sangat umum sebab sangat bergantung pada bentuk dan barang yang diperjual belikan. Adakalanya mabi’ tidak memerlukan penentuan. Sebaliknya harga memerlukan penentuan, seperti penetapan uang muka.

b. Penentuan Mabi’ (Barang Jualan)
Penentuan mabi’ adalah penentuan barang yang akan dijual dari barang-barang lainnya yang tidak akan dijual, jika penentuan tersebut menolong atau menentukan akad, apabila mabi’ tidak ditentukan dalam akad, penentuannya dengan cara penyerahan mabi’ tersebut.

c. Perbedaan Harga, Nilai dan Utang
1. Harga
Harga hanya terjadi pada akad, yakni sesuatu yang direlakan dalam akad, baik lebih sedikit, lebih besar, atau sama dnegan nilai barang. Biasanya, harga dijadikan penukar barang yang diridai oleh kedua pihak yang akad.
2. Menilai Sesuatu
Sesuatu yang dinilai sama menurut pandangan manusia.
3. Utang
Utang adalah sesuatu yang menjadi tanggungan seseorang dalam urusan harta, yang keberadaannya disebabkan adanya beberapa iltijam, yakni keharusan untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu untuk orang lain, seperti merusak harta gashab, berutang, dan lain-lain.

d. Perbedaan Mani’ dan Harga
Kaidah umum tentang mani’ dan harga adalah segala sesuatu yang dijadikan mabi’ adalah sah dijadikan harga, tetapi tidak semua harga dapat menjadi mabi’.
Diantara perbedaan antara mabi’ dan tsaman adalah:
1. Secara umum uang adalah harga, sedangkan barang yang dijual adalah mabi’
2. Jika tidak menggunakan uang, barang yang akan ditukarkan adalah mabi’ dan penukarannya adalah harga.

e. Ketetapan Mabi’ dan Harga
Hukum-hukum yang berkaitan dengan mabi’ dan harga antara lain:
1) Mabi’ disyaratkan haruslah harta yang bermanfaat, sedangkan harga tidak disyaratkan demikian.
2) Mabi’ disyaratkan harus ada dalam kepemilikan penjual, sedangkan harga tidak disyaratkan demikian.
3) Tidak boleh mendahulukan harga pada jual beli pesanan, sebaliknya mabi’ harus didahulukan.
4) Orang yang bertanggung jawab atas harga adalah pembeli, sedangkan yang bertanggung jawab atas mabi’ adalah penjual.
5) Menurut ulama Hanafiyah, akad tanpa menyebutkan harga adalah fasid dan akad tanpa menyebutkan mabi adalah batal.
6) Mabi’ rusak sebelum penyerahan adalah batal, sedangkan bila harga rusak sebelum penyerahan, tidak batal.
7) Tidak boleh tasharruf atas barang yang belum diterimanya, tetapi dibolehkan bagi penjual untuk tasharruf sebelum menerima.

f. Hukum atas mabi’ dan harga rusak serta harga yang tiada laku
1. Kerusakan barang
Tentang hukum barang yang rusak, baik seluruhnya, sebagian, sebelum akad, dan setelah akad, terdapat beberapa ketentuan yaitu:
a) Jika barang rusak semuanya sebelum diterima pembeli
• Mabi’ rusak dengan sendirinya atau rusak oleh penjual, jual beli batal
• Mabi’ rusak oleh pembeli, akad tidak batal, dan pembeli harus membayar
• Mabi’ rusak oleh orang lain, jual-beli tidaklah batal, tetapi pembeli harus khiyar antara membeli dan membatalkan
b) Jika barang rusak semuanya setelah diterima pembeli
• Mabi’ rusak dengan sendirinya atau rusak oleh penjual, pembeli, atau orang lain, jual beli tidaklah batal sebab barang telah keluar dari tanggungan penjual. Akan tetapi, jika yang merusak orang lain, tanggung jawabnya diserahkan kepada perusaknya.
• Jika mabi’ rusak oleh penjual, ada dua sikap
1) Jika pembeli telah memegangnya, baik dengan seizin penjual atau tidak, tetapi telah membayar harga, penjual bertanggung jawab.
2) Jika penjual tidak mengizinkan untuk memegangnya dan harga belym di serahkan, akad batal.
Ulama Syafi;iyah berpendapat bahwa setiap barang merupakan tanggungan penjual sampai barang tersebut dipegang pembeli.
c) Barang rusak sebagian sebelum diterima pembeli:
Ulama Hanadiyah berpendapat:
• Jika rusak sebagian diakibatkan sendirinya, pembeli berhak khiyar (memilih), boleh membeli atau tidak.
• Jika rusak oleh penjual, pembeli berhak khiyar
• Jika rusak oleh pembeli, jual beli tidaklah batal
d) Barang rusak sebagian setelah dipegang pembeli
• Tanggung jawab bagi pembeli, baik rusak oleh sendirinya taupun orang lain.
• Jika disebabkan oleh pembeli, dilihat dari dua segi. Jika dipegang atas seizin penjual, hukumnya sama seperti barang yang dirusak oleh orang lain. Jika dipegang bukan atas seizinnya, jual beli batal atas barang yang dirusaknya.


2. Kerusakan Harga
Harga rusak ditempat akad sebelum dipegang:
• Jika harga berupa uang, akad tidak batal sebab dapat diganti dengan yang lain.
• Jika harga menggunakan barang yang dapat rusak dan tidak dapat diganti waktu itu, emnurut ulama Hanadiyah, akadnya batal.

3. Harga Tidak Berlaku
Ulama Hanafiyah berpendapat, jika uang tidak berlaku sebelum diserahkan kepada penjual, akad batal. Pembeli harus mengembalikan barang kepada penjual atau menggantinya jika rusak.
Adapun menurut Abu Yusuf dan Muhammad (dua orang sahabat Imam Hanafi), akad tidak batal, tetapi penjual berhak khiyar, baik dengan membatalkan jual beli atau mengambil sesuatu yang sesuai dengan nilai uang yang tidak berlaku tersebut.

g. Tasharruf atas mabi’ dan harga sebelum memegang
1. Tasharuff mabi’
Menurut ulama Hanafiyah, mabi’ yang dapat dipindahkan tidak boleh di tasharruf kan sebelum diterima atau dipegang oleh pembeli, sebab Rasulullah SAW, melarangnya sebagaimana dinyatakan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
2. Tasharruf harga sebelum dipegang
Dibilehkan tasharruf atas harga sebelum memegang sebab termasuk utang. Begitu pula dibolehkan tasharruf atas urang-utang lainnya, seperti mahar, upah, pengganti barang yang rusak dan lain-lain.

h. Penyerahan mabi’ dan harga
Penyerahan harga dari pembeli dan mabi’ (barang) dari penjualan harus dilakukan oleh penjual dan pembeli. Dengan kata lain, hal itu harus dilakukan oleh penjual dan pembeli. Dengan kata lain, hal itu merupakan kewajiban kedua belah pihak yang melakukan akad.

i. Hak menahan mabi’ (al-habsu)
Telah disinggung bahwa pembeli diharuskan terlebih dahulu menyerahkan harga. Hal itu menunjukkan bahwa ia memiliki hak untuk mengekang barang sehingga ia membayar harganya, baik sebagian maupun seluruhnya.
Syarat dibolehkannya mengekang mabi’ ada dua:
1) Salah satu pengganti dari jual beli harus berupa utang (seperti uang, dinar, dan lain-lain).
2) Harga yang ditetapkan harus dibayar waktu itu, jika disepakati ada penangguhan, gugurlah hak mengekang.

j. Penyerahan dan cara meyakinkan
Penyerahan atau pemegangan menurut ulama Hanadiyah adalah penyerahan atau pembebas antara mabi’ dan pembeli sehingga tidak ada lagi penghalang di antara keduanya. Pembeli dibolehkan tasharruf atas barang yang tadinya milik penjual.
Pemegangan dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:
1) Penyerahan atau pembebasan
2) Pembeli merusak barang yang ada di tangan penjual
3) Penitipan barang kepada pembeli atau meminjamannya
4) Pemetikan, yakni pembeli memetik buah pedagang

3. Hukum dan Sifat Jual Beli
Ditinjau dari hukum dan sfat jual beli, jumhur ulama membagi jual beli menjadi dua macam, yaitu jual beli yang dikategorikan sah (sahih) dan jual beli yang dikategorikan tidak sah. Jual beli sahih adalah jual beli yang memenuhi ketentuan syara’, baik rukun maupun syaratnya, sedangkan jual beli tidak sah adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukun sehingga jual beli menjadi rusak (fasid) atau batal. Dengan kata lain, menurut jumhur ulama, rusak dan batal memiliki arti yang sama. Adapun ulama Hanadiyah membagi hukum dan sifat jual beli menjadi sah, batal dan rusak.
Perbedaan pendapat antara jumhur ulama dan ulama Hanafiyah berpangkal pada jual beli atau akad yang tidak memenuhi ketentuan yara’ berdasarkan hadis:





Artinya:
“Barang siapa yang berbuat suatu amal yang tidak kami perintahkan, maka tertolak. Begitu pula barang siapa yang memasukkan suatu perbuatan kepada agama kita, maka tertolak”.
(Muslim dari Siri Aisyah)

Berdasarkan hadis di atas, jumhur ulama berpendapat bahwa akad atau jual beli yang keluar dari ketentuan syara’ harus ditolak atau tidak dianggap, baik dalam hal muamalat maupun ibadah.
Adapun menurut ulama Hanasiyah, dalam masalah muamalah terkadang asa satu kemaslahatan yang tidak ada ketentuannya dari syara’ sehingga tidak sesuai atau ada kekurangan dengan ketentuan syariat. Akad seperti itu adalah rusak, tetapi tidak batal. Dengan kata lain, ada akad yang batal saja dan ada pula yang rusak saja. Lebih jauh tentang penjelasan jual beli sahih, fasad, dan batal adalah berikut ini.
Jual beli sahih adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu rukun, atau yang tidak sesuai dengan syariat, yakni orang yang akad bukan ahlinya, seperti jual beli yang dilakukan oleh orang gila dan anak kecil.
Jual beli rusak adalah jual beli yang sesuai dengan ketentuan syariat pada asalnya, tetapi tidak sesuai dengan syariat pada sifatnya, seperti jual beli yang dilakukan oleh orang yang mumayyiz, tetapi bodoh sehingga menimbulkan pertentangan.
Adapun dalam maslaah ibadah, ulama Hanadiyah sepakat dengan jumhur ulama bahwa batal dan fasad adalah sama.

4. Jual Beli yang Dilarang dalam Islam
Jual beli yang dilarang dalam Islam sangatlah banyak. Jumhur ulama, sebagaimana disinggung di atas, tidak membedakan antara fasid dan batal. Dengan kata lain, menurut jumhur ulama, hukum jual beli terbagi dua, yaitu jual beli sahih dan jual beli fasid, sedangkan menurut ulama Hanafiyah jual beli terbagi tiga, jual beli sahih, fasid dan batal.
Berkenaan dengan jual beli yang dilarang dalam Islam, Wahbah Al-Juhalili meringkasnya sebagai berikut:
1) Terlarang sebab Ahliah (Ahli Akad)
Ulama telah sepakat bahwa jual beli dikategorikan sahih apabila dilakukan oleh orang yang baligh, berakal, dapat memilih, dan mampu ber tasharruf secara bebas dan baik. Mereka yang dipandang tidak sah jual belinya adalah berikut ini.
a. Jual beli orang gila
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli orang yang gila tidak sah. Begitu pula sejenisnya, seperti orang mabuk, sakalor, dan lain-lain.
b. Jual beli anak kecil
Ulama fiqih sepakat bahwa jual bali anak kecil (belum mumayyiz) dipandang tidak sah, kecuali dalam perkara-perkara yang ringan atau sepele. Menurut ulama Syafi’iyah jual beli anak mumayyiz yang belum baligh, tidak sah sebab tidak ada ahliah.
Adapun menurut ulama Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabilah jual beli anak kecil dipandang sah jika diizinkan walinya. Mereka antara lain beralasan, salah satu cara untuk melatih kedewasaa adalah dengan memberikan keleluasaan untuk jual beli, juga pengalaman atas firman Allah SWT.



Artinya:
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pendai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya”.
(QS. An-Nisa: 6)
c. Jual beli orang buta
Jual beli orang buta dikategorikan sahih menurut jumhur jika barang yang dibelinya diberi sifat (diterangkan sifat-sifatnya). Adapun menurut ulama Syafi’iyah jual beli orang buta itu tidak sah sebab ia tidak dapat membedakan barang yang jelek dan yang baik.
d. Jual beli terpaksa
Menurut ualam Hanafiyah, hukum jual beli orang terpaksa, seperti jual beli fudhul (jual beli tanpa seizin pemiliknya), yakni ditangguhkan (mauquf). Oleh karena itu, keabsahannya ditangguhkan sampai rela (hilang rasa terpaksa). Menurut ulama Malikiyah, tidak lazim, baginya ada khiyar. Adapun menurut ulama ada keridaan ketika akad.
e. Jual beli fudhul
Jual beli fudhul adalah jual beli milik orang tanpa seizin pemiliknya. Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, jual beli ditangguhkan sampai ada izin pemilik. Adapun menurut ulama Hanabilah dan Syafi’iyah jual beli fudhul tidak sah.
f. Jual beli orang yang terhalang
Maksud terhalang di sini adalah terhalang karena kebodohan, bangkrut, ataupun sakit. Jual beli orang yang bodoh yang suka menghamburkan hartanya, menurut pendapat ulama Malikiyah, Hanafiyah dan pendapat paling sahih di kalangan Hanabilah, harus ditangguhkan. Adapun menurut ulama Syafi’iyah, jual beli tersebut tidak sah sebab tidak ada ahli dan ucapannya dipandang tiodak dapat dipegang.
g. Jual beli Malja
Jual beli malja’ adalah jual beli orang yang sedang dalam bahaya, yakni untuk menghindar dari perbuatan zalim. Jual beli tersebut fasid, menurut ulama Hanafiyah dan batal menurut ualama Hanabilah.

2) Terlarang Sebab Shighat
Ulama fiqih telah sepakat atas sahnya jual beli yang didasarkan pada keridaan di antara pihak yang melakukan akad, ada kesesuaian di antara ijab dan qabul, berada di satu tempat, dan tidak terpisah oleh suatu pemisah.
Jual beli yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dipandang tidak sah. Beberapa jual beli yang dipandang tidak sah atau masih diperdebatkan oleh para ulama adalah berikut ini.
a. Jual beli mu’athah
Jual beli mu’athah adalah jual beli yang telah disepakati oleh pihak akad, berkenaan dengan barang maupun harganya, tetapi tidak memakai ijab qabul. Jumhur ulama menyatakan sahih apabila ada ijab dari salah satunya. Begitu pula dibolehkan ijab qabul dengan isyarat, perbuatan, atau cara-cara lain yang menunjukkan keridhaan. Memberikan barang dan menerima uang dipandang sebagai shighat dengan perbuatan atau isyarat.
b. Jual beli melalui surat atau melalui utusan
Disepakati ulama fiqih bahwa jual beli melalui surat atau utusan adalah sah. Tempat berakad adalah sampainya surat atau utusan dari aqid pertama kepada aqid kedua. Jika qabul melebihi tempat, akad tersebut dipandang tidak sah, seperti surat tidak sampai ke tangan yang dimaksud.
c. Jual beli dengan isyarat atau tulisan
Disepakati kesahihan akad dengan isyarat atau tulisan khususnya bagi yang uzur sebab sama dengan ucapan. Selain itu, isyarat juga, menunjukkan apa yang ada dalam tai aqid. Apabila isyarat tidak dapat dipahami dan tulisannya jelek (tidak dapat dibaca), akad tidak sah.
d. Jual beli barang yang tidak ada di tempat akad
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli atas barang yang tidak ada di tempat adalah tidak sah sebab tidak memenuhi syarat in’iqad (terjadinya akad).
e. Jual beli tidak bersesuaian antara ijab dan qabul
Hal ini dipandang tidak sah menurut kesepakatan ulama. Akan tetapi, jika lebih baik, seperti meninggikan harga, menurut ulama Hanafiyah membolehkannya, sedangkan ulama Syafi’iyah menganggapnya tidak sah.
f. Jual beli munjiz
Jual beli munjiz adalah yang dikaitkan dengan suatu syarat atau ditangguhkan pada waktu yang akan datang. Jual beli, dipandang fasid menurut ulama Hanafiyah, dan batal menurut jumhur ulama.

3) Terlarang Sebab Ma’qud Alaih (Barang Jualan)
Secara umum, ma’qud alaih adalah harta yang dijadikan alat pertukaran oleh orang yang akad, yang biasa disebut mabi’ (barang jualan) dan harga.
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli dianggap sah apabila ma’qud alaih adalah barang yang tetap atau bermanfaat, berbentuk, dapat diserahkan, dapat dilihat oleh orang-orang yang akad, tidak bersangkutan dengan milik orang lain, dan tidak ada larangan dari syara’.
Selain itu, ada beberapa masalah yang disepakati oleh sebagian ulama, tetapi diperselisihkan oleh ulama lainnya, diantaranya berikut ini.
a. Jual beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidaka ada
Jumhur ulama sepakat bahwa jual beli barang yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada adalah tidak sah.
b. Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan
Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan, seperti burung yang ada di usara atau ikan yang ada di air tidak berdasarkan ketetapan syara’.
c. Jual beli gharar
Jual beli gharar adalah jual beli barang yang mengandung kesamaran. Hal itu dilarang dalam Islam sebab Rasulullah SAW bersabda:



Artinya:
“Janganlah kamu membeli ikan di dalam air karena jual beli seperti itu termasuk gharar (menipu)”.
(HR. Ahmad)

Menurut Ibn Jazi Al-Maliki, ghahar yang dilarang ada 10 (sepuluh) macam:
1) Tidak dapat diserahkan, seperti menjual anak hewan yang masih dalam kandungan induknya.
2) Tidak diketahui harga dan barang
3) Tidak diketahui sifat barang atau harga
4) Tidak diketahui ukuran barang dan harga
5) Tidak diketahui masa yang akan datang, seperti “Saya jual kepadamu, jika Jaed datang”
6) Menghargakan dua kali pada satu barang
7) Menjual barang yang diharapkan selamat
8) Jual beli husha’ misalnya pembeli memegang tongkat, jika tongkat jatuh wajib membeli
9) Jual beli munabadzah, yaitu jual beli dengan cara lempar-melempari, seperti seseorang melempar bajunya, kemudian yang lain pun melempar bajunya, maka jadilah jual-beli.
10) Jual beli mulasamah apabila mengusap baju atau kain, maka wajib membelinya.

d. Jual beli barang yang najis dan yang terkena najis
Ulama sepakat tentang larangan jual beli barang yang najis, seperti khamar. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang barang yang terkena najis (al-mutanajis) yang tidak mungkin dihilangkan, seperti minyak yang terkena bangkai tikus. Ulama Hanafiyah membolehkannya untuk barang yang tidak untuk dimakan, sedangkan ulama Malikiyah membolehkannya setelah dibersihkan.
e. Jual beli air
Disepakati bahwa jual beli air yang dimiliki, seperti air sumur atau yang disimpan di tempat pemiliknya dibolehkan oleh jumhur ulama madzhab empat. Sebaiknya ulama Zhahiriyah melarang secara mutlak. Juga disepakati larangan atas jual beli air yang mubah, yakni yang semua manusia boleh memanfaatkannya.
f. Jual beli barang yang tidak jelas (majhul)
Menurut ulama Hanafiyah, jual beli ini adalah fasid, sedangkan menurut jumhur batal sebab akan mendatangkan pertentangan di antara manusia.
g. Jual beli barang yang tidak ada di tempat akad (gaib), tidak dapat dilihat
Menurut ulama Hanafiyah, jual beli seperti ini dibolehkan tanpa harus menyebutkan sifat-sifatnya, tetapi pembeli berhak khiyar ketika melihatnya. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menyatakan tidak sah, sedangkan ulama Malikiyah membolehkannya bila disebut sifat-sifatnya dan mensyaratkan 5 (lima) macam:
1) Harus jauh sekali tempatnya
2) Tidak boleh dekat sekali tempatnya
3) Bukan pemiliknya harus ikut memberikan gambaran
4) Harus meringkas sifat-sifat barang secara menyeluruh
5) Penjual tidak boleh memberikan syarat
h. Jual beli sesuatu sebelum dipegang
Ulama Hanafiyah melarang jual beli barang yang dapat dipindahkan sebelum dipegang, tetapi untuk barang yang tetap dibolehkan. Sebaliknya, ulama Syafi’iyah melarangnya secara mutlak. Ulama Malikiyah melarang atas makanan, sedangkan ulama Hanabilah melarang atas makanan yang diukur.
i. Jual beli buah-buahan atau tumbuhan
Apabila belum terdapat buah, disepakati tidak ada akad. Setelah ada buah, tetapi belum matang, akadnya fasid menurut ulama Hanafiyah dan batal menurut Jumhur ulama. Adapun jika buah-buahan atau tumbuhan itu telah matang, akadnya dibolehkan.

4) Terlarang Sebab Syara’
Ulama sepakat membolehkan jual beli yang memenuhi persyaratan dan rukunya. Namun demikian, ada beberapa masalah yang diperselisihkan di antara para ulama, diantaranya berikut ini.
a. Jual beli riba
Riba nasiah dan riba fadhl adalah fasid menurut ulama Hanafiyah, tetapi menurut jumhur ulama.
b. Jual beli dengan uang dari barang yang diharamkan
Menurut ulama Hanafiyah termasuk fasid (rusak) dan terjadi akad atas nilainya, sedangkan menurut jumhur ulama adalah batal sebab ada nash yang jelas dari hadis ukhari dan Muslim bahwa Rasulullah SAW mengharamkan jual beli khamar, bangkai, anjing dan patung.
c. Jual beli barang dari hasil pencegatan barang
Yakni mencegat pedagang dalam perjalanannya menuju tempat yang dituju sehingga orang yang mencegatnya akan mendapatkan keuntungan. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hal itu makruh tahrim. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat, pembeli boleh khiyar. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jual beli seperti itu termasuk fasid.
d. Jual beli waktu azan Jum’at
Yakni bagi laki-laki yang berkewajiban melaksanakan shalat Jum’at. Menurut ulama Hanafiyah pada waktu azan pertama, sedangkan menurut ulama lainnya, azan ketika khatib sudah berada di mimbar. Ulama Hanafiyah menghukuminya makruh tahrim, sedangkan ulama Syafi’iyah menghukumi sahih haram. Tidak jadi pendapat yang masyhur di kalangan ulama Malikiyah, dan tidak sah menurut ulama Hanabilah.
e. Jual beli anggur untuk dijadikan khamar
Menurut ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah zahirnya sahih, tetapi makruh, sedangkan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah adalah batal.
f. Jual beli induk tanpa anaknya yang masih kecil
Seseorang telah sepakat akan membeli suatu barang, namun masih dalam khiyar, kemudian datang orang lain yang menyuruh untuk membatalkannya sebab ia akan membelinya dengan harga lebih tinggi.
g. Jual beli memakai syarat
Menurut ulama Hanafiyah, sah jika syarat tersebut baik, seperti, “Saya akan membeli baju ini dengan sayarat bagian yang rusak dijahit dulu”. Begitu pula menurut ulama Malikiyah membolehkannya jika bermanfaat. Menurut ulama Syafi’iyah dibolehkan jika syarat maslahat bagi salah satu pihak yang melangsungkan akad, sedangkan menurut ulama Hanabilah, tidak dibolehkan jika hanya bermanfaat bagi salah satu yang akad.
5. Macam-Macam Jual Beli
Jual beli berdasarkan pertukarannya secara umum dibagi empat macam:
a. Jual beli saham (pesanan)
Jual beli saham adalah jual beli melalui pesanan, yakni jual beli dengan cara menyerahkan terlebih dahulu uang muka kemudian barangnya diantar belakangan.
b. Jual beli muwayadhah (barter)
Jual beli muqayadhah adalah jual beli dengan cara menukar barang dengan barang, seperti menukar baju dengan sepatu.
c. Jual beli muthlaq
Jual beli muthlaq adalah jual beli barang dengan sesuatu yang telah disepakati sebagai alat pertukaran, seperti sepatu.
d. Jual beli alat penukar dengan laat penukar
Jual beli alat penukar dengan alat penukar adalah jual beli barang yang biasa dipakai sebagai alat penukar dengan alat penukar lainnya, seperti uang perak dengan uang emas.

Berdasarkan segi harga, jual beli dibagi pula menjadi empat bagian:
1) Jual beli yang menguntungkan (al-murabbahah)
2) Jual beli yang tidak menguntungkan, yaitu menjual dnegan harga aslinya (at-tauliyah)
3) Jual beli rugi (al-khasarah)
4) Jual beli al-musawah, yaitu penjual menyembunyikan harga aslinya, tetapi kedua orang yang akad saling meridai, jual beli seperti inilah yang berkembang sekarang

BAB V
SAH ATAU TIDAK NYA JUAL BELI ANAK DI BAWAH UMUR


Ada beberapa pendapat mengatakan salah satunya, penjualan anak belum sampai umur, belum berakal penuh, tidak sah penjualannya. Dari pada itu Abu Hanifah mensyaratkan sahnya penjualan dengan terlebih dahulu ada izin dari para wali dan dengan diizinkan oleh para wali di benarkan penjualan itu.
Kalau menurut saya penjualan itu sah di lakukan, apabila kedua belah pihak sudah dewasa atau baliqh, berakal mempunyai kemampuan, kemampuan atas kemauannya sendiri dan dia bisa memelihara hartanya.
Seandainya penjualan atau tukar menukar barang sesama anak kecil dan mereka merasa tidak ada yang dirugikan menurut saya penjualan itu sah-sah saja, karena dia jual beli sesama anak kecil dan para wali mereka tidak melarang. Contohnya jual beli sesana anak kecil
Si A menjual sebuah kelereng kepada si B dan si B membelinya

Lebih lengkap dan dengan susunan lebih rapi silahkan download :
MAKALAH FIQH MUAMALAH

Religius Blogger Template

Religius Blogger Template blogger templates that match you are using on a blog that discuss about religion. As usual this has been my template complete with html code for meta tag and keywords.


free download blogger template



Religius Blogger Template for blogspot template 3 column
D e m o | Download




Terapi Mandiri dengan Tekhnologi Al-Qur'an

Terapi Mandiri dengan Tekhnologi Al-Qur'an

Tepatnya malam Senin, saya habiskan waktu untuk Browsing dan Browsing tidak tau kemana arah tujuannya. Banyak yang aku temukan disana, diantaranya adalah menemukan sebuah software "Terapi Mandiri Dengan Teknologi Al-Qur'an"
Petunjuk menggunakan software Terapi Mandiri Dengan Teknologi Al-Qur'an
Terapi #1,
digunakan untuk mengobati segala macam gangguan jin dan setan, baik yang bersemayam di tubuh manusia maupun yang menghuni tempat-tempat yang diyakini dihuni makhluk-makhluk halus, baik dari golongan jin maupun setan.
Serta dapat digunakan untuk perlindungan diri dari segala macam bentuk kejahatan dan memperoleh kesehatan jasmani/rohani.

Penting untuk Anda lakukan :
1. Bagi Anda yang beragama Islam, berwudhu terlebih dahulu sebelum memulai proses terapi. (bersihkan diri Anda dari najis, hadas kecil dan hadas besar).
2. Ambillah posisi sesantai dan serileks mungkin dan pasrahkan segalanya hanya pada Allah sang pemilik kesembuhan. Jika tidak memungkinkan dengan cara duduk, dapat dilakukan dengan cara berbaring atau sambil tiduran, dan lakukanlah sesantai mungkin.
3. Berdoalah kepada Allah, memohon kesembuhan dari segala macam penyakit jasmani dan rohani, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi.
4. Sebisa mungkin Anda mengikuti seluruh bacaan yang dilantunkan, atau mendengarkan dengan khusuk seluruh bacaan. Letakkan tangan kanan atau kiri secara bergantian pada bagian yang terasa sakit.
5. Jika tiba-tiba badan terasa gemetar, bergerak sendiri, atau ingin menangis, Anda tidak perlu khawatir. Hal ini merupakan proses alami karena pada saat itu software kami sedang bekerja dengan cara menyelaraskan kinerja otak dan merefleksikan ke seluruh anggota tubuh untuk menghilangkan seluruh energi negatif. Meskipun tidak semua orang mengalami hal seperti ini, tergantung pada sensitivitas seseorang. Kami memberi jaminan bahwa sama sekali tidak ada dampak negatif apapun dalam menggunakan software ini. (sekalipun jika Anda bukan seorang muslim).
6. Setelah selesai melakukan terapi, segera ucapkan rasa syukur Anda kepada Allah dan memohon selalu dalam lindungan-Nya.
Catatan :
Sekurang-kurangnya Anda lakukan 3x (tidak harus sekaligus, namun boleh selang beberapa hari). Sangat baik jika Anda melakukannya pada malam hari atau pagi hari sebelum memulai aktivitas lainnya.
Dapat juga digunakan untuk menetralisir tempat-tempat yang diyakini dihuni oleh makhluk-makhluk halus atau jin pengganggu dengan cara menjalankan software terapi mandiri dengan teknologi Al-Qur'an di ruangan tersebut dan jangan lupa memohon pertolongan kepada Allah. Dengan cara demikian makhluk halus atau jin pengganggu akan menyingkir tanpa syarat dan tanpa resiko apapun.

Terapi #2,
digunakan untuk mengobati segala macam serangan ghaib seperti sihir, santet, teluh, guna-guna dan serangan ilmu hitam lainnya.
Serta dapat digunakan untuk perlindungan diri dari segala macam bentuk kejahatan dan memperoleh kesehatan jasmani/rohani.
Selamat menggunakan produk kami, dan tidak ada daya dan kekuatan apapun melainkan atas ijin dan pertolongan Allah.

Download Terapi Mandiri Dengan Teknologi Al-Qur'an

Perkara membatalkan puasa

Perkara membatalkan puasa

Berikut ini adalah beberapa perkara yang dapat membatalkan puasa
1. Makan, baik makanan yang biasa dimakan, seperti roti, maupun makanan yang tidak biasa dimakan, seperti pasir, meskipun sangat sedikit. Tolok ukur dalam hal ini adalah suatu tindakan yang dapat dinamakan makan secara ‘urfi, meskipun misalnya melalui jalur hidung.
2. Minum, baik minuman yang biasa diminum, seperti air, maupun minuman yang tidak biasa diminum, seperti perasan air batang kayu, meskipun sangat sedikit. Tolok ukur dalam hal ini adalah suatu tindakan yang dapat dinamakan minum secara ‘urfi, meskipun misalnya melalui jalur hidung.
3. Hubungan suami istri, baik obyeknya adalah laki-laki maupun perempuan, manusia maupun binatang, melalui jalur depan maupun jalur belakang, dan baik masih hidup maupun sudah mati. Sengaja melakukan hubungan suami istri dengan cara apapun itu dapat membatalkan puasa, meskipun air sperma kita tidak keluar. Adapun jika kita melakukan hubungan suami istri lantaran lupa atau karena suatu paksaan yang mencabut hak pilih kita (al-qahr), maka hal ini tidak membatalkan puasa. Akan tetapi, melakukan hubungan suami istri lantaran sebuah paksaan yang tidak sampai pada batas ini (al-ikrāh) dapat membatalkan puasa. Hubungan suami istri terwujud dengan terbenamnya hasyafah atau kadar hasyafah. Bahkan, tidak jauh (lā yab‘ud) bila puasa orang yang tidak memiliki hasyafah batal dengan sekadar ia memasukkan kemaluannya (musammā ad-dukhūl).
4. Mengeluarkan air sperma dengan jalan onani, berpegangan, berciuman, atau cara-cara yang lain yang dimaksudkan untuk mengeluarkan air sperma. Bahkan, jika kita tidak bermaksud untuk mengeluarkan air sperma sekalipun, akan tetapi menurut kebiasaan, air sperma kita akan keluar dengan cara-cara itu, maka tindakan itu juga dapat membatalkan puasa. Ya, jika air sperma kita keluar tanpa kita melakukan sebuah tindakan yang dapat menyebabkan air sperma keluar, walaupun air sperma kita itu keluar lantaran kebiasaan kita (bila kita berada dalam kondisi seperti itu), akan tetapi semua itu terjadi tanpa niat dan maksud dari kita, maka hal ini tidak membatalkan puasa. Begitu juga halnya berkenaan air sperma yang keluar setelah kita bermimpi basah dengan jalan istibrā’ atau bersamaan dengan air kencing sebelum kita mandi wajib.
5. Sengaja menetap dalam kondisi junub hingga fajar menyingsing pada bulan Ramadhan dan ketika kita mengqadha puasa bulan Ramadhan. Bahkan, jika kita menetap dalam kondisi junub ketika kita mengqadha puasa Ramadhan, sekalipun tidak atas dasar kesengajaan, maka menurut pendapat yang lebih kuat puasa kita adalah batal. Begitu juga, jika kita tidak mandi jenabah pada malam hari bulan Ramadhan sebelum fajar menyingsing lantaran lupa hingga berlalu satu atau beberapa hari, maka menurut pendapat yang paling kuat puasa kita adalah batal.
6. Sengaja berbohong terhadap Allah swt., Rasulullah saw., dan para imam maksum as., berdasarkan pendapat yang lebih kuat, dengan cara menyandarkan suatu perkataan (al-isnād) kepada mereka. Begitu juga, berbohong terhadap para nabi dan washī. Sengaja berbohong ini tidak berbeda apakah berhubungan dengan masalah agama atau dunia. Berbohong ini bisa terwujud dengan menggunakan cara apapun. Yang penting, cara itu adalah manifestasi berbohong, meskipun dengan menggunakan isyarat dan tulisan.
7. Memasukkan seluruh kepala ke dalam air berdasarkan ihtiyāth wajib, meskipun tubuh kita berada di luar air. Air mudhāf tidak memiliki hukum air mutlak dalam hal ini. Ya, berkenaan dengan perasan air bunga, khususnya perasan air bunga yang sudah hilang aromanya, ihtiyāth jangan kita tinggalkan.
8. Memasukkan debu yang kasar ke dalam tenggorokan. Dan bahkan debu yang tidak kasar berdasarkan ihtiyāth. Hanya saja, menurut pendapat yang lebih kuat, debu yang tidak kasar tidak membatalkan puasa. Apakah debu yang tidak dapat kita hindari juga dapat membatalkan puasa? Masih isykāl. Menurut pendapat yang lebih kuat, uap air tidak memiliki hukum debu yang kasar, kecuali apabila uap air itu berubah menjadi air dalam rongga mulut dan lantas kita menelannya. Berdasarkan pendapat yang lebih kuat juga, asap tidak memiliki hukum debu yang kasar. Ya, berdasarkan ihtiyāth wajib, rokok memiliki hukum debu yang kasar.
9. Enema dengan menggunakan benda cair, meskipun karena kita sakit atau lantaran faktor-faktor yang serupa. Tidak masalah kita menggunakan benda padat untuk enema asalkan digunakan untuk pengobatan, seperti supositoria (obat perangsang buang air yang dimasukkan ke dalam dubur). Adapun memasukkan benda seperti ganja yang digunakan sebagai makanan dan supaya tubuh kita segar kembali, hal ini adalah isykāl, dan ihtiyāth dengan menghindarinya jangan kita tinggalkan. Begitu juga (kita harus meninggalkan) segala sesuatu yang dapat berfungsi sebagai makanan melalui jalan enema ini, dan bahkan jalan selain enema, seperti infus. Dan tidak masalah kita menggunakan benda yang tidak berfungsi sebagai makanan.
10. Sengaja muntah sekalipun terpaksa. Akan tetapi, muntah yang tidak sengaja tidak membatalkan puasa. Tolok ukur dalam hal ini adalah suatu tindakan bisa dinamakan muntah. Jika sesuatu keluar pada saat kita bersendawa dan sampai di rongga mulut, lalu kita tidak sengaja menelannya, maka puasa kita tidak batal. Akan tetapi, jika kita sengaja menelannya, maka puasa kita batal dan kita harus mengqadhanya serta membayar kafarah.

Police Perkara membatalkan puasa



Simple Pink Blogger Template

template toko online blogspotFree download blogger template Simple Pink Blogger Template. This name was created because according to its color is pink, and this blogger template I created with very simple. Amenity has been provided with html code for meta tags. So you just enter the blog title, blog description keyword on blogs and edit html pages

free download blogger template



Simple Pink Blogger Template for blogspot template 3 column
D e m o | Download

blogger 3 columns templates

Back To Top