belajar dan berbagi

HUKUM ISLAM DI INDONESIA

PEMBAHASAN
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
PADA MASA KEEMASAN DAN PADA MASA TAQLID


A. Pada Masa Keemasan
1. Periode pembinaan pengembangan dan pembukuan hukum Islam
Disamping periode Nabi Muhammad dan pada periode Khulafaur Rasyidin, maka terdapat pula periode pembinaan, pengembangan dan pembukuan hukum Islam. Periode ini dilakukan di masa pemerintahan Khalifah Umayyah (662-750) dan Khalifah Abbasiyah (750-1258).
Hukum fiqh Islam sebagai salah satu aspek kebudayaan Islam mencapai puncak perkembangannya di zaman Khalifah Abbasiyah yang memerintah selama lebih kurang 500 tahun. Di masa ini lahir para ahli hukum Islam yang menemukan dan merumuskan garis-garis hukum fiqh Islam serta muncul berbagai teori hukum yang masih dianut dan dipergunakan oleh umat Islam sampai sekarang.
Pada periode pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M) pemerintahan Abbasiyah, telah mencapai masa keemasannya. Secara politis, para Khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Disisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbasiyah mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat yaitu dari tahun 750 M – 754 M. Karena itu, pembina sebenarnya dari daulat Abbasiyah adlah Abu Ja’far al-Manshur (754-775 M). Dia dengan keras menghadapi lawan-lawannya dari Bani Umayyah, Khawarij dan juga Syi’ah yang merasa dikucilkan dari kekuasaan. Untuk lebih menjaga kestabilan ibu kota negara yang baru berdiri yaitu al-Hasyimiyah, dekat Kufah, al-Manshur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Baghdad dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota ini al-Manshur melakukan fonsolidasi dan penertiban pemeritahannnya. Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazir sebagai koordinator departemen. Dia juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara dan kepolisian negara. Di samping membenahi angkatan bersenjata. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa Dinasti Bani Umayyah di tingkatkan peranannya dengan tambahan tugas.
Kalau dasar-dasar pemerintahan daulat Abbasiyah di letakkan dan dibangun oleh Abu al-Abbas dan Abu Ja’far al-Manshur, maka puncak keemasan dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya yaitu:
1. Al-Mahdi (775-785 M)
2. Al-Hadi (775-786 M)
3. Harun al-Rasyid (786-809 M)
4. Al-Ma’mun (813-833 M)
5. Al-Mu’tashim (833-842 M)
6. Al-Wasiq (842-847 M)
7. Al-Mutawakkil (8470861 M)
Pada masa khalifah-khalifah ini banyak kemajuan yang terjadi pad hukum Islam. Diantaranya di galakkannya penerjemahan buku-buku asing. Berdirinya sekolah dan salah satu karya terbesar yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar.
Bani Abbasiyah ini merupakan lanjutan dari pemerintahan Bani Umayyah. Jika dibandingkan dengan Bani Umayyah, Bani Abbasiyah lebih maju. Dengan berpindahnya ibu kota ke kota Baghdad, pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi jauh dari pengaruh Arab sedangkan dinasti Bani Umayyah sangat beorientasi kepada Arab. Kemudian dalam penyelenggaraan negara, pada Bani Abbas ada jabatan wazir yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani Umayyah. Demikian pula ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas sebelumnya tidak ada tentara khusus yang profesional.
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Yakni dalam bidang tafsir. Dalam metode-metode tafsir sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh dan terutama dalam bidang teologi.
Dalam periode pembinaan, pengembangan dan pembukuan ini banyak faktor yang mendorong orang untuk menetapkan hukum dan merumuskan garis-garis hukum yaitu:
a. Wilayah Islam sudah sangat luas, terbentang dari perbatasan India sampai Tiongkok di Timur sampai ke Spanyol (Eropa) di sebelah Barat
b. Telah ada karya-karya tulis tentang hukum yang dapat dipergunakan sebagai bahan landasan untuk membangun serta mengembangkan hukum fiqh Islam
c. Telah tersedia pula para ahli yang mampu berijtihad memecahkan berbagai masalah hukum dan masyarakat
Dalam periode ini timbul para mujtahid atau Imam tersebut diatas. Dulu jumlahnya banyak, tetapi kini yang masih mempunyai pengikut adalah 4 yakni:
1. Abu Hanifah (al-Nukman ibn Tsabit): 700-767 M
2. Malik bin Anas: 713 -795 M
3. Muhammad Idris as-Syafi’i: 767-820 M
4. Ahmad bin Hambal (Hanbal): 781-855 M
Dan sebagaimana diketahui, sumber utama hukum Islam itu adalah al-Quran dan as-Sunnah Nabi Muhammad. Al-Quran sudah dicatat di masa Nabi Muhammad, di himpun dalam satu naskah di zaman khalifah Abu Bakar, dua tahun setelah Nabi Muhammad wafat dan disalin serta dibukukan dalam satu Mushaf al-Quran standar di zaman khalifah Usman.
Demikian atas usaha para ahli, pada pertengahan abad ke-3 H atau akhir abad ke-9 dan permulaan abad ke-10 M tersusunlah kitab-kitab Hadist yang terkenal dengan nama al-Kutub as-Sittah (Enam buah kitab Hadist)
Selain dari itu, perlu di catat pula bahwa pad periode ini pulalah metode-metode tertentu pengambilan hukum dari al-Quran dan Sunnah, penetapan dan penemuan hukum yang tidak ada ketentuannya dalam dua sumber utama hukum Islam itu dikembangkan. Yang terpenting diantaranya adalah: ijma’, qiyas, masalih al-mursalah, istihsan, istishab, al-‘urf.
2. Masa kelesuan pemikiran
Sejak permulaan abad ke-4 H atau abad ke-10 – 11 M, ilmu hukum Islam mulai berhenti berkembang. Ini terjadi di akhir penghujung pemerintahan atau dinasti Abbasiyah. Pada masa ini para ahli hukum hanya membatasi diri mempelajari pikiran-pikiran para ahli sebelumnya yang telah dituangkan kedalam buku berbagai mazhab.
Yangmemnjadi ciri umum pemikiran hukum dalam periode ini adalah para ahli hukum tidak lagi memusatkan usahanya untuk memahami prinsip-prinsip atau ayat-ayat hukum yang terdapat dalam al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad, tetapi pikirannya ditumpukan pada pemahaman perkataan-perkataan, pikiran-pikiran hukum para Imamnya saja. Perkembangan masyarakat yang berjalan terus dan persoalan-persoalan hukum yang ditumbuhkannya pada masa ini tidak lagi diarahkan dengan hukum dan dipecahkan sebaik-baiknya seperti zaman-zaman sebelumnya. Dengan kata lain, masyarakat terus berkembang sedang pemikiran hukumnya berhenti.
Diantara faktor-faktor atau keadaan yang menyebabkan kemunduran atau kelesuan pemikiran Islam di masa itu adalah hal-hal sebagai berikut:
1. Kesatuan wilayah Islam yang luas itu, telah retak dengan munculnya beberapa negara baru, baik di Eropa (Spanyol), Afrika Utara, di Kawasan Timur Tengah dan Asia.
2. Ketidakstabilan politik yang mempengaruh kegiatan pemikiran hukum. Artinya orang tidak bebas mengutarakan pendapatnya.
3. Pecahnya kesatuan kenegaraan atau pemerintahan itu menyebabkan merosotnya kewibawaan pengendalian perkembangan hukum. Dan bersamaan dengan itu muncul pula orang-orang yang sebenarnya tidak mempunyai kelayakan untuk berijtihad, namun mengeluarkan berbagai garis hukum dalam bentuk fatwa yang membingungkan masyarakat.
4. Timbullah gejala kelesuan berpikir di mana-mana karena kelesuan berpikir itu, para ahli tidak mampu lagi menghadapi perkembangan keadaan dengan mempergunakan akal pikiran yang merdeka dan bertanggung jawab.

B. Pada Masa Taqlid
Periode taqlid ini adalah periode dimana semangat ijtihad mutlak para ulama sudah pudar dan berhenti. Semangat kembali kepada sumber-sumber pokok tasyri’, dalam rangka menggali hukum-hukum dari teks al-Quran dan Sunnah dan semangat mengistimbatkan hukum-hukum terhadap suatu masalah yang belum ada ketetapan hukumnya dari nash dengan menggunakan dalil-dalil syara’, sudah pudar dan berhenti. Mereka hanya mengikuti hukum-hukum yang telah dihasilkan oleh imam-imam mujtahid terdahulu.
Periode taqlid ini mulai sekitar pertengahan abad IV H/X M. Pada masa ini pula terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kebangkitan umat Islam dan menghalangi aktivitas mereka dalam pembentukan hukum atau perundang-undangan hingga terjadinya kemandekan. Semangat kebebasan dan kemerdekaan berpikir para ulama sudah mati. Mereka tidak lagi menjadikan al-Quran dan Sunnah sebagai sumber utama, akan tetapi justru mereka sudah merasa puas dengan berpegang kepada fiqh imam-imam mujtahid terdahulu, yakni Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan rekan-rekannya. Mereka mencurahkan segenap kemampuan mereka untuk memahami kata-kata dan ungkapan-unkapan para imam mujtahid mereka. Dan mereka tidak berusaha mencurahkan segenap kemampuannya untuk memahami nash-nash syariat dan prinsip-prinsipnya yang umum.
1. Sebab-sebab terhentinya gerakan ijtihad
Ada 4 faktor penting yang menyebabkan terhentinya gerakan ijtihad dan suburnya kebiasaan bertaqlid kepada para imam terdahulu, yaitu:
a. Terpecah-pecahnya Daulah Islamiyah ke dalam beberapa kerajaan yang antara satu dengan yang lainnya saling bermusuhan, saling memfitnah, memasang berbagai perangkap, tipu daya dan pemaksaan dalam rangka meraih kemenangan dan kekuasaan.
b. Pada pariode ketiga para imam Mujtahid terpolarisasi dalam beberapa golongan. Masing-masing golongan membentuk menjadi aliran hukum tersendiri dan mempunyai khittah tersendiri pula. Misalnya ada kalanya dalam rangka membela dan memperkuat mazhabnya masing-masing dengan cara mengemukakan argumentasi yang melegitimasi kebenaran mazhabnya masing-masing mengedepankan kekeliruan mazhab lain yang dinilai bertentangan dengan mazhabnya.
c. Umat Islam mengabaikan sistem kekuasaan perundang-undangan, sementara di sisi lain mereka juga tidak mampu merumuskan peraturan yang bisa menjamin agar seseorang tidak ikut berijtihad kecuali yang memang ahli dibidangnya.
d. Para ulama dilanda krisis moral yang menghambat mereka sehingga tidak bisa sampai pada level orang-orang yang melakukan ijtihad. Di kalangan mereka terjadi saling menghasut dan egois mementingkan diri sendiri.
2. Kesungguhan ulama dalam pembentukan hukum pada periode ini
Para ulama pada tiap-tiap mazhab bisa dibagi menjadi beberapa level atau tingkatan, yaitu:
a. Level pertama; ahli ijtihad dalam mazhab
Mereka ini tidak berijtihad dalam hukum syariat secara ijtihad mutlak, mereka hanya berijtihad mengenai berbagai kasus yang terjadi dengan dasar-dasar ijtihad yang telah dirumuskan oleh para imam mazhab mereka. Diantara mereka adalah al-Hasan bin Ziyad (204 H/820 M) dari mazhab Hanafi, Ibn al-Qasim (191 H) dan Asyhab (204 H/820 M) dari mazhab Maliki dan al-Buwaithy (231 H) dan al-Muzanniy (264 H) dari mazhab Syafi’i
b. Level kedua; ahli ijtihad mengenai beberapa masalah yang tidak ada riwayat dari imam mazhabnya.
Mereka ini tidak menyalahi para imam mereka dalam berbagai hukum cabang dan juga tidak menyalahi dasar-dasar ijtihad yang mereka gunakan. Mereka yang termasuk dalam level ini adalah al-Khashaf (261 H), al-Thahawiy (lahir 230 H) dan al-Karkhiy (340 H) dan penganut mazhab Hanafi. Al-Lakhamiy (498 H), Ibnu al-‘Arabiy (542 H) dan Ibnu Rusdy (1198 M) dan penganut mazhab Malikiyah. Abu Hamid al-Ghazaliy (505 H/1111 M) dan Abu Ishaq al-Isfirayiniy (418 H) dari penganut mazhab Syafi’iyah.
c. Level ketiga; ahli takhrij
Mereka ini tidak berijtihad dalam mengistimbatkan hukum mengenai berbagai masalah. Akan tetapi, karena keterikatan mereka kepada dasar-dasar dan rujukan mazhab yang dianutnya, maka merka tidak berusaha mengeluarkan illat-illat hukum dan prinsip-psrinsipnya. Yang termasuk dlam level ini ialah al-Jashshash (370 H) dan rekan-rekannya dari penganut mazhab Hanafiyah.

d. Level keempat; ahli tarjih
Mereka ini mampu membandingkan diantara beberapa riwayat yang bermacam-macam yang bersumber dari pada imam mazhab merekadan sekaligus mampu mentarjih, menetapkan mana yang kuat antara satu riwayat dengan riwayat lainnya. Mereka yang termasuk dalam level ini ialah al-Qaduriy (428 H) dan pengarang kitab al-Hidayah dan rekan-rekannya sesama penganut mazhab Hanafi.
e. Level kelima; ahli taqlid
Mereka ini mampu membeda-bedakan riwayat-riwayat yang jarang dikenal dan riwayat yang sudah terkenal dan jelas, dan mampu membeda-bedakan antara dalil-dalil yang kuat dan yang lemah. Mereka yang termasuk dalam level ini antara lain adalah para pengarang kitab matan-matan yang terkenal dan ma’tabar dikalangan mazhab Abu Hanafiah, seperti pengarang kitab al-Kanz dan al-Wiqayah.
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa sesungguhnya kesungguhan aktivitas para ulama dalam pembentukan hukum pada periode ini adalah mencurahkan perhatiannya kepada pendapat-pendapat dan hukum-hukum yang sudah dibentuk dan ditetapkan oleh para imam mazhab mereka.
Labels: Makalah

Thanks for reading HUKUM ISLAM DI INDONESIA. Please share...!

0 Komentar untuk "HUKUM ISLAM DI INDONESIA"

Yang sudah mampir wajib tinggalkan komentar

Back To Top