KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Kemudian shalawat dan salam tak lupa di ucapkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang mana telah membawa kita dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang, penuh dengan ilmu pengetahuan.
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Kemudian shalawat dan salam tak lupa di ucapkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang mana telah membawa kita dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang, penuh dengan ilmu pengetahuan.
Alhamdulillah penulis dapat menyusun dan menyelesaikan makalah ini yang mudah-mudahan dapat bermanfaat baik bagi pembaca maupun penulis sendiri. Makalah ini berjudul “Sejarah Perjuangan Perempuan”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini, baik dalam bentuk semangat, motivasi, maupun dalam pengadaan buku.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sepenuhnya sempurna, maka dari itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca dengan harapan penulis dapat membuat makalah lain yang lebih baik lagi.
Semoga makalah ini dapat memenuhi tujuan pembuatannya dan dapat menambah pengetahuan kita semua. Amin ....
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Jambi, Juli 2010
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pada tahun 1948 setelah di tetapkannya Deklarasi Hak Azazi Manusia oleh PBB, perjuangan kaum perempuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender mulai aktif di lakukan. Isu global yang sangat menarik perhatian dunia, terutama setelah berakhir perang dingin antara blok barat dan blok timur.
Perubahan tersebut sejalan dengan pergeseran pradigma pembangunan dari pendekatan keamanan dna kestabilan menuju kesejahteraan dari pendekatan produksi menjadi pendekatan manusia yang lebih Demokratis.
Pada hakekatnya maslaah gender adalah menganut prinsip “Kemitraan dan Keharmonisan” meskipun dalam kenyataannya sering terjadi perlakuan diskriminasi, marjinalisasi, sub ordinasi, beban ganda, dan tindak kekerasan. Kaum perempuan menyadari ketertinggalan dibanding kaum laki-laki dalam aspek kehidupan untuk itu maka di kembangkan konsep emansipasi (kesamaan) antara laki-laki dan perempuan pada tahun 1950 dan 1960.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu sejarah perjuangan perempuan?
1.3 Tujuan
a. Setelah mempelajari materi ini peserta dapat meningkatkan pengetahuan dan memahami tentang sejarah perjuangan perempuan.
b. Dapat menjelaskan tentang sejarah perjuangan perempuan di tingkat Internasional maupun Nasional dalam rangka memahami tentang pelajaran Gender.
c. Mendiskusikan atau tukar pikiran tentang perjuangan yang di hadapi oleh perempuan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Periode Kolonial
Pada periode panjang ini gerakan perempuan sangat identik dengan semangat pembebasan negeri dan perlawanan terhadap penjajahan.
Dalam sejarah, Belanda tiba di Nuasantara sejak akhir abad-16 yaitu pada tahun 1596 dan menjajah negeri ini sedikit demi sedikit. Selama lebih kurang 350 tahun, Belanda mengambil keuntungan tanpa adanya belas kasihan demi hasil yang sebesar-besarnya melalui sistem monopoli perdagangan dan perampasan serta tanam paksa yang dilakukannya. Oleh karenanya reaksi langsung timbul dari para penguasa pribumi yang ada di Indonesia. Di seluruh tanah air mulai munculnya perlawanan-perlawanan, namun Belanda selalu menang karena keunggulannya di bidang persenjataan dan kemampuan politik adu dombanya yang cukup membuat para penguasa setempat ini tertipu.
Pada periode ini, di berbagai penjuru Indonesia kita jumpai banyak tokoh terkemuka perempuan yang tampil mempertahankan negeri ini seperti Cut Nyak Dhien dan Cut Mutia keduanya dari Aceh, Raden Ayu Ageng Serang dan Roro Gusik istri dari pahlawan Untung Surapati, Cristina Martha Tiahahu dari Maluku, Emmy Saelan dari Sulawesi Selatan. Mereka semua berjuang mengangkat senjata melawan kolonialisme Belanda untuk mempertahankan kedaulatan walau masih terbatas hanya untuk negerinya sendiri-sendiri.
Kemudian pada awal abad ke-20 para pendekar perempuan mulai memfokuskan perjuangannya agar tersedia pendidikan bagi kaum perempuan. Dalam dekade berikutnya, semakin banyak perempuan secara aktif terlibat dalam perjuangan panjang memperoleh kemerdekaan untuk memperoleh kesetaraan.
Pada masa penduduk Jepang hanya satu organisasi perempuan yang diizinkan, yaitu Fujinkai. Oleh pemerintah pendudukan militer Jepang, organisasi ini difungsikan sebagai salah satu organisasi yang bertugas mengerahkan rakyat Indonesia untuk bekerja secara sukarela demi kemenangan perang suci mereka. Anggotanya kebanyak terdiri dari istri pegawai negeri, yang menerapkan hirarki terhadap anggotanya berdasarkan hirarki jabatan suaminya. Kativitasnya mencakup berabagai kegiatan sosial dan pemberantasan buta huruf.
Sementara itu gerakan nasional, termasuk beberapa organisasi perempuan antara lain gerakan wanita sosialis memilih bergerak di bawah tanah. Banyak kaum nasionalis termasuk perempuan yang ditangkap dan dibunuh pada periode ini.
Pada tahun 1912 untuk pertama kalinya berdiri sebuah organisasi resmi perempuan yang kemudian segera disusul oleh organisasi perempuan lainnya. (E. Kristi Poerwandari, Rahayi Surtiati Hidayat, 2000).
2.2 Periode Perang Kemerdekaan
Pergerakan perempuan Indonesia segera berkiprah dan mengambil peran penting dalam perjuangan merebut kemerdekaan dan perbaikan situasi perempuan.
Pada masa awal kemerdekaan, kaum perempuanpun turut andil dalam merumuskan fondasi bagi cita-cita perjuangan nasional. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang baru lahir, hak-hak hukum dan politik kaum perempuan tidak dikecualikan dari kaum laki-laki. Kaum perempuanpun berhimpun menyokong cita-cita perjuangan nasional.
Pada bulan Desember 1945, kongres Perempuan diselenggarakan di Klaten. Dan pada tahun 1945 dalam kongres perempuan berikutnya di Solo, kongres wanita Indonesia dibentuk sebagai suatu federasi dari semua organisasi perempuan yang menyokong kemerdekaan bangsa Indonesia. Sambil memanggul senjata dan membentuk dapur umum serta ambil bagian dalam satuan gerilya, perempuan Indonesia tidak luput terus menyuarakan tuntutan mereka, upah dan hak yang sama atas dasar kerja, perbaikan hukum perkawinan, pendidikan untuk kaum perempuan dan lain sebagainya.
Dimasa kembalinya Belanda pasca usainya Perang Dunia II, kaum perempuanpun kembali turut mengangkat senjata. Mereka tergabung dalam laskar-laskar perempuan yang banyak terbentuk pada masa itu, seperti Laskar Wanita Indonesia (laswi), Laskar Puteri Indonesia di Surakarta, Pusat Tenaga Perjoangan Wanita Indonesia, dan lain sebagainya. Perang kemerdekaan yang sengit terjadi, berakhir dengan pengakuan kedaulatan Negara Indonesia pad atahun 1949.
2.3 Periode Orde Lama
Pasca perang sesudah merdeka, harapan bangkit tetap tinggi. Meski dilanda kehancuran dan kesulitan ekonomi. Harapan dan semangat atas Indonesia baru yang menjunjung kesetaraan seluruh rakyat tertindas, perempuan maupun laki-laki tetap tinggi. Namun harapan itu tidak kunjung tercapai, masalah poligami sebagai salah satu masalah sentral perempuan tidak kunjung terselesaikan. Begitu juga berlakunya pembagian kerja menurut jenis kelamin.
Tamparan paling keras dan terbesar pada saat itu menimpa gerakan perempuan karena Presiden Republik Indonesia kala itu Bapak Ir. Soekarno pahlawan nasional yang pernah menyerukan penghapusan poligami secara ironis menduakan istri pertamanya pad atahun 1954. Dilema segera menghadang gerakan kaum perempuan. Disatu sisi apakah akan mengecam sang Pahlawan dan dicap anti nasionalis, atau mengesampingkan maslaah ini. Persatuan gerakan perempuan jadi sangat lemah pada saat itu, karena terbagi. Sebagian meneruskan perjuangan anti poligami (Perwari), sedangkan golongan lain mengabaikan masalah tersebut.
Retorika Soekarno mengenai eksistensi dan kesetaraan gender selama masa ini tampaknya hanya merupakan basa basi saja. Karena begitu proyek nasional tercapai, perempuan segera ditinggalkan.
Sesudah Pemilu 1955, persatuan gerakan perempuan berangsur-angsur hancur. Dalam upayanya merebut sebanyak-banyaknya suara, partai-partai politik membentuk bagian perempuan dalam organisasinya. Berbagai aktivitas memang banyak bermunculan seperti balai perempuan, bank perempuan, surau dna majalah suara perempuan, tetapi semua semakin terikat pada partai politik (laki-laki), gerakan keagamaan (laki-laki) atau organisasi pejabat laki-laki.
Dua organisasi perempuan kiri pada pertengahan 1950-an memperoleh kedudukan penting, yaitu Wanita Marhaen yang nasionalis dan Gerakan Wanita Sedar (GERWIS) yang secara ideologi merupakan kelanjutan dari istri sedar dulu. Tahun 1954, Gerwis mengganti nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI). Ia berdiri sendiri, tanpa afiliasi dengan organisasi lain manapun.
Dalam kurun waktu itu, Gerwani mengambil peran yang sangat aktif dalam kampanye pemilihan umum parlemen. Empat anggotanya terpilih dalam Pemilu tahun 1955. Jumlah massa yang terhimpun pada saat itu sangat besar, tercatat pada tahun 1961 mencapai satu juta orang lebih yang tersebar di seluruh wilayah Republik Indonesia. Kampanye Gerwani tertuju pada beberapa maslaah perkosaan di Jawa Barat dan Bali. Selain itu, mereka juga melakukan agitasi untuk memberikan dukungan kepada lurah-lurah perempuan, mendirikan warung-warung koperasi, mendukung gerakan tani, kampanye pemberantasan buta huruf, perubahan undang-undang perkawinan agar lebih demokratis, menuntut hukuman yang berat untuk perkosaan dan penculikan dan meritid usaha sosial ekonomi untuk kaum tani dan buruh perempuan. Gerwani juga menerbitkan dua majalag yaitu Api Kartini yang disebarkan secara luas dan Berita Gerwani untuk internal organisasi.
Dikemudian hari barisan perempuan di DPR pada tahun 1958 mengajukan usulan rancnagan undnag-undang perkawinan yang dikenal sebagai usulan Ny. Sumari dengan dukungan dari berbagai organisasi perempuan. Diskusi antara pemerintah dan DPR baru susah sekali diwujudkan. Dan pada akhirnya terlaksana juga pad atanggal 6 Februari setelah di desak terus menerus oleh organisasi perempuan. Usulan Ny. Sumari merupakan peraturan umum untuk tidak membedakan golongan dan suku bangsa, dan tidak mengurangi hak setiap warga negara untuk kawin menurut agama masing-masing sesuai dengan dasar negara Pancasila, dengan dasar perkawinan monogami. Undang-undang perkawinan itu baru diterima pada tanggal 22 Desember 1974 dengan peraturan pelaksanaan yang mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975. (Sukanti Suryochondro, 1984).
2.4 Periode Orde Baru
Pada tahun 1966, PKI dan Gerwani dibubarkan dan ditetapkan sebagai organisasi terlarang. Pada saat itu soeharto naik menjadi Presiden RI dan membentuk pemerintahan Orde Baru. Tahun 1978, Perwari dipaksa masuk ke partai politik Golongan Karya (GOLKAR). Di tahun yang sama, kementrian urusan peranan wanita dibentuk juga dalam kabinet. Berbagai permasalah perempuan, seperti penentuan status, peran, hingga penyelesaian kasus kejahatan dan kekerasan terhadap perempuan diserap untuk diurus oleh negara.
Kala itu gerakan perempuan memasuki periode yang snagat lesu. Segala peraturan yang diberlakukan membuat gerakan perempuan tidak lagi independen. Salah satu penanda kelesuan itu adalah penggunaan istilah “wanita” yang berdimensi politis ideologis pada setiap kegiatan dan organisasi perempuan.
Orde Baru melakukan penyeragaman pada banyak hal atas nama kestabilan negara. Semua kegiatan dilangsungkan dalam kendali pemerintahan. Politik pengendalian inipun masuk kedalam KOWANI, yang cendering dihilangkan data kritisnya, dan akhirnya secara alami perlahan pensiun. Kegiatan organisasi-organisasi perempuan yang tersisa pada masa itu berkisar antara pekerja domestik, bakti sosial, arisan dan etiket show. (Anonim, 2005).
Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), organisasi mandiri yang sebenarnya sudah dibentuk sejak 1957, dimasukkan ke bawah asuhan Menteri Dalam Negeri. Ideologinya menggalakkan Panca Dharma Wanita, yaitu perempuan sebagai pendamping setia suami, ibu pendidik anak, pengatur rumah tangga, sebagai pekerja penambah penghasilan keluarga, dan sebagai anggota masyarakat yang berhuna. Semua kewajiban itu dilakoni dengan cara pandang sesuai “kodrat wanita”.
Walau begitu, isu emansipasi menghangat, seiring dengan menguatnya tuntutan atas peran perempuan dalam pembangunan di tingkat internasional. Legitimasi terhadap itu berjalan mulus lewat jargon “kemitra sejajaran perempuan dan laki-laki” yang tercantum wacana “peranan wanita dalam pembangunan” dalam setiap Repelita produk Orde Baru. Hanya saja, kebijakan ini ternyata menimbulkan efek yang lebih berat bagi perempuan Indonesia, berupa beban ganda dan cinderella complex.
Disisi lain, sekitar tahun 1970-1980an, benih-benih gerakan perempuan kontemporer mulai bersemi di kalangan menengah intelektual. Pada saat itu dikenal dengan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Non-Government Organization (NGO), kalangan ini mulai menjalin kontak dan memperluas lingkup geraknya hingga ke tingkat internasional dan memberi kesempatan untuk mereka bersentuhan dengan dunia luar. Walaupun masih lemah pada kemampuan dan kesungguhan untuk melakukan analisis sosial dalam menentukan isu, kontak dengan lembaga dana asing atau LSM diberbagai negara menolong mereka untuk memfokuskan titik perhatian. Maka, di kalangan mereka muncullah isu-isu yang sedang menjadi perhatian dunia pada saat itu, seperti aborsi, kekerasan domestik, pelecehan seksual dan lain sebagainya.
Dalam proses perjalanannya mereka mendapati bahwa aktivitas mereka atas isu-isu impor itu tidak mengakar dan tidak menjawab permasalahan yang sebenarnya dihadapi oleh kaum perempuan Indonesia. Akhirnya ditemukan bahwa justru isu emansipasi tahap kedua yang seharusnya lebih menjadi pusat perhatian, karena masalah-masalah tersebut memang dihadapi dan dialami oleh perempuan Indonesia.
Pada rentang periode orde baru, kasus yang menyangkut permasalahan perempuan khususnya di level bawah amat banyak terjadi. Beberapa LSM berusaha menanganinya tapi gerakannya seperti telah diungkap masih lemah dna terpencar-pencar. LSM yang merintis gerakan perempuan kontemporer ini diantaranya Kalyanamitra (1985) yang metodanya berfokus pada komunikasi dan informasi selain itu juga melakukan aktivitas lapangan, Solidaritas Perempuan (1984) yang banyak menangani kasus perdagangan perempuan dan anak-anak hingga sekarang, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan banyak lagi LSM-LSM yang lainnya.
2.5 Periode Reformasi
Pada tahun 1997, krisis ekonomi menerpa Indonesia. Pemilu Maret 1988, Soeharto terpilih kembali. Reaksi keras sejak itu muncul, berupa rangkaian demonstrasi yang dilancarkan terutama oleh mahasiswa. Pada masa itu salah satu gerakan perempuan. Gerakan Ibu Peduli, yang diusung oleh sejumlah aktivitas dari kalangan LSM dan para simpatisan perempuan yang muncul mewarnai rangkaian demonstrasi.
Pada bulan Mei 1988, Presiden Soeharto yang berjaya selama 32 tahun akhirnya mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan Presiden kepada Habibie yang pada saat itu menjabat sebagai wakil Presiden.
Pada periode kepemimpinan Presiden Habibie, satu hal yang perlu mewujudkan catatan adalah adanya pembentukan Komisi Nasional Perlindungan Kekerasan terhadap Perempuan atau yang lebih dikenal dengan Komnas Perempuan. Lembaga yang dibentuk pada tahun 1999 lewat Instruksi Presiden ini merupakan jawaban atas tuntutan sejumlah tokoh perempuan kepada Presiden Habibie untuk menyikapi upaya penyelesaian atas tragedi kerusuhan 12-14 Mei 1998 di Jakarta.
Dalam perkembangannya sampai saat ini, Komnas Perempuan banyak berperan sebagai lembaga yang aktif memasyarakatkan pengakuan atas hak-hak perempuan sebagai bagian dari Hak Azazi Manusia. Seiring dengan perjalanan waktu, kekuasaan Habibie tidak berlangsung lama karena setelah Pemilu sukses diselenggarakan, Sidang Umum MPR menolak pencalonannya sebagai Presiden. Megawati Soekarnoputri yang pada saat itu adalah ketua umum partai pemenang pemilu, gagal terpilih menjadi presiden karena terjegal dengan merebaknya isu-isu perdedatan mengenai kepemimpinan perempuan dalam Islam. Sidang tersebut kemudian menetapkan Abdurrahman Wahid yang diasanya dikenal dengan panggilan Gus Dur sebagai Presiden RI dengan Megawati Soekarnoputri sebagai Wakil Presiden RI.
Dalam periode kepemimpinannya Gus Dur, banyak suara aktivitas perempuan Indonesia yang lama tidak terdengar, mulai kembali bergema. Tabu terhadap PKI dan ideologi komunispun dihapusnya sekaligus. Dan intruksi presiden (Inpres) No. 9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender ditanda tanganinya pula. Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan mulai gencar mengenakan kampanye isu tentang kesetaraan gender.
Akhirnya Abdurachman Wahid diturunkan dari jabatan Presiden dalam Sidang Istimewa MPR Tahun 2001 sebelum usai masa jabatannya. Megawati Soekarno Putripun sebagai Wakil Presiden RI menggantikannya sebagai Presiden RI. Inilah pertama kalinya perempuan Indonesia yang menjadi Presiden Republik Indonesia.
Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan tetap melanjutkan Inpres No. 9 tahun 2000. Perhatian terhadap partisipasi perempuan dalam kehidupan publik dan jabatan politik-strategis jadi perhatian utama dan dicetuskan dengan tuntutan kuota 30% calon perempuan untuk kursi legislatif disetujui dalam Undang-Undang Pemilihan Umum yang baru pada pasal 65.
Pada tahun 2004, pemilihan umum dilaksanakan kembali dan hanya 11% perempuan yang dapat duduk di kursi legislatif. Sementara situasi di daerah juga tidak jauh berbeda. Pimpinan partai-partai berdalih, tidak tercapainya target calon perempuan sebanyak 30% sebagaimana yang ada di dalam UU Pemilu karena mereka mengalami kesulitan untuk mendapatkan kader perempuan yang berkualitas untuk dicalonkan sebagai wakil rakyat.
Pada tahun yang sama, di lain sisi Presiden untuk pertama kalinya dipilih langsung oleh rakyat. Setelah melalui dua putaran dalam pemilihan, pasangan Soesilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2004-2009. Di dalam penyusunan kabinet Indonesia Bersatu, Presiden SBY memenuhi janjinya dengan mengangkat 4 orang perempuan. Semasa kepemimpinannya isu pro dan kontra terhadap Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) begitu maraknya ditengah masyarakat.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini, baik dalam bentuk semangat, motivasi, maupun dalam pengadaan buku.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sepenuhnya sempurna, maka dari itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca dengan harapan penulis dapat membuat makalah lain yang lebih baik lagi.
Semoga makalah ini dapat memenuhi tujuan pembuatannya dan dapat menambah pengetahuan kita semua. Amin ....
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Jambi, Juli 2010
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pada tahun 1948 setelah di tetapkannya Deklarasi Hak Azazi Manusia oleh PBB, perjuangan kaum perempuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender mulai aktif di lakukan. Isu global yang sangat menarik perhatian dunia, terutama setelah berakhir perang dingin antara blok barat dan blok timur.
Perubahan tersebut sejalan dengan pergeseran pradigma pembangunan dari pendekatan keamanan dna kestabilan menuju kesejahteraan dari pendekatan produksi menjadi pendekatan manusia yang lebih Demokratis.
Pada hakekatnya maslaah gender adalah menganut prinsip “Kemitraan dan Keharmonisan” meskipun dalam kenyataannya sering terjadi perlakuan diskriminasi, marjinalisasi, sub ordinasi, beban ganda, dan tindak kekerasan. Kaum perempuan menyadari ketertinggalan dibanding kaum laki-laki dalam aspek kehidupan untuk itu maka di kembangkan konsep emansipasi (kesamaan) antara laki-laki dan perempuan pada tahun 1950 dan 1960.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu sejarah perjuangan perempuan?
1.3 Tujuan
a. Setelah mempelajari materi ini peserta dapat meningkatkan pengetahuan dan memahami tentang sejarah perjuangan perempuan.
b. Dapat menjelaskan tentang sejarah perjuangan perempuan di tingkat Internasional maupun Nasional dalam rangka memahami tentang pelajaran Gender.
c. Mendiskusikan atau tukar pikiran tentang perjuangan yang di hadapi oleh perempuan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Periode Kolonial
Pada periode panjang ini gerakan perempuan sangat identik dengan semangat pembebasan negeri dan perlawanan terhadap penjajahan.
Dalam sejarah, Belanda tiba di Nuasantara sejak akhir abad-16 yaitu pada tahun 1596 dan menjajah negeri ini sedikit demi sedikit. Selama lebih kurang 350 tahun, Belanda mengambil keuntungan tanpa adanya belas kasihan demi hasil yang sebesar-besarnya melalui sistem monopoli perdagangan dan perampasan serta tanam paksa yang dilakukannya. Oleh karenanya reaksi langsung timbul dari para penguasa pribumi yang ada di Indonesia. Di seluruh tanah air mulai munculnya perlawanan-perlawanan, namun Belanda selalu menang karena keunggulannya di bidang persenjataan dan kemampuan politik adu dombanya yang cukup membuat para penguasa setempat ini tertipu.
Pada periode ini, di berbagai penjuru Indonesia kita jumpai banyak tokoh terkemuka perempuan yang tampil mempertahankan negeri ini seperti Cut Nyak Dhien dan Cut Mutia keduanya dari Aceh, Raden Ayu Ageng Serang dan Roro Gusik istri dari pahlawan Untung Surapati, Cristina Martha Tiahahu dari Maluku, Emmy Saelan dari Sulawesi Selatan. Mereka semua berjuang mengangkat senjata melawan kolonialisme Belanda untuk mempertahankan kedaulatan walau masih terbatas hanya untuk negerinya sendiri-sendiri.
Kemudian pada awal abad ke-20 para pendekar perempuan mulai memfokuskan perjuangannya agar tersedia pendidikan bagi kaum perempuan. Dalam dekade berikutnya, semakin banyak perempuan secara aktif terlibat dalam perjuangan panjang memperoleh kemerdekaan untuk memperoleh kesetaraan.
Pada masa penduduk Jepang hanya satu organisasi perempuan yang diizinkan, yaitu Fujinkai. Oleh pemerintah pendudukan militer Jepang, organisasi ini difungsikan sebagai salah satu organisasi yang bertugas mengerahkan rakyat Indonesia untuk bekerja secara sukarela demi kemenangan perang suci mereka. Anggotanya kebanyak terdiri dari istri pegawai negeri, yang menerapkan hirarki terhadap anggotanya berdasarkan hirarki jabatan suaminya. Kativitasnya mencakup berabagai kegiatan sosial dan pemberantasan buta huruf.
Sementara itu gerakan nasional, termasuk beberapa organisasi perempuan antara lain gerakan wanita sosialis memilih bergerak di bawah tanah. Banyak kaum nasionalis termasuk perempuan yang ditangkap dan dibunuh pada periode ini.
Pada tahun 1912 untuk pertama kalinya berdiri sebuah organisasi resmi perempuan yang kemudian segera disusul oleh organisasi perempuan lainnya. (E. Kristi Poerwandari, Rahayi Surtiati Hidayat, 2000).
2.2 Periode Perang Kemerdekaan
Pergerakan perempuan Indonesia segera berkiprah dan mengambil peran penting dalam perjuangan merebut kemerdekaan dan perbaikan situasi perempuan.
Pada masa awal kemerdekaan, kaum perempuanpun turut andil dalam merumuskan fondasi bagi cita-cita perjuangan nasional. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang baru lahir, hak-hak hukum dan politik kaum perempuan tidak dikecualikan dari kaum laki-laki. Kaum perempuanpun berhimpun menyokong cita-cita perjuangan nasional.
Pada bulan Desember 1945, kongres Perempuan diselenggarakan di Klaten. Dan pada tahun 1945 dalam kongres perempuan berikutnya di Solo, kongres wanita Indonesia dibentuk sebagai suatu federasi dari semua organisasi perempuan yang menyokong kemerdekaan bangsa Indonesia. Sambil memanggul senjata dan membentuk dapur umum serta ambil bagian dalam satuan gerilya, perempuan Indonesia tidak luput terus menyuarakan tuntutan mereka, upah dan hak yang sama atas dasar kerja, perbaikan hukum perkawinan, pendidikan untuk kaum perempuan dan lain sebagainya.
Dimasa kembalinya Belanda pasca usainya Perang Dunia II, kaum perempuanpun kembali turut mengangkat senjata. Mereka tergabung dalam laskar-laskar perempuan yang banyak terbentuk pada masa itu, seperti Laskar Wanita Indonesia (laswi), Laskar Puteri Indonesia di Surakarta, Pusat Tenaga Perjoangan Wanita Indonesia, dan lain sebagainya. Perang kemerdekaan yang sengit terjadi, berakhir dengan pengakuan kedaulatan Negara Indonesia pad atahun 1949.
2.3 Periode Orde Lama
Pasca perang sesudah merdeka, harapan bangkit tetap tinggi. Meski dilanda kehancuran dan kesulitan ekonomi. Harapan dan semangat atas Indonesia baru yang menjunjung kesetaraan seluruh rakyat tertindas, perempuan maupun laki-laki tetap tinggi. Namun harapan itu tidak kunjung tercapai, masalah poligami sebagai salah satu masalah sentral perempuan tidak kunjung terselesaikan. Begitu juga berlakunya pembagian kerja menurut jenis kelamin.
Tamparan paling keras dan terbesar pada saat itu menimpa gerakan perempuan karena Presiden Republik Indonesia kala itu Bapak Ir. Soekarno pahlawan nasional yang pernah menyerukan penghapusan poligami secara ironis menduakan istri pertamanya pad atahun 1954. Dilema segera menghadang gerakan kaum perempuan. Disatu sisi apakah akan mengecam sang Pahlawan dan dicap anti nasionalis, atau mengesampingkan maslaah ini. Persatuan gerakan perempuan jadi sangat lemah pada saat itu, karena terbagi. Sebagian meneruskan perjuangan anti poligami (Perwari), sedangkan golongan lain mengabaikan masalah tersebut.
Retorika Soekarno mengenai eksistensi dan kesetaraan gender selama masa ini tampaknya hanya merupakan basa basi saja. Karena begitu proyek nasional tercapai, perempuan segera ditinggalkan.
Sesudah Pemilu 1955, persatuan gerakan perempuan berangsur-angsur hancur. Dalam upayanya merebut sebanyak-banyaknya suara, partai-partai politik membentuk bagian perempuan dalam organisasinya. Berbagai aktivitas memang banyak bermunculan seperti balai perempuan, bank perempuan, surau dna majalah suara perempuan, tetapi semua semakin terikat pada partai politik (laki-laki), gerakan keagamaan (laki-laki) atau organisasi pejabat laki-laki.
Dua organisasi perempuan kiri pada pertengahan 1950-an memperoleh kedudukan penting, yaitu Wanita Marhaen yang nasionalis dan Gerakan Wanita Sedar (GERWIS) yang secara ideologi merupakan kelanjutan dari istri sedar dulu. Tahun 1954, Gerwis mengganti nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI). Ia berdiri sendiri, tanpa afiliasi dengan organisasi lain manapun.
Dalam kurun waktu itu, Gerwani mengambil peran yang sangat aktif dalam kampanye pemilihan umum parlemen. Empat anggotanya terpilih dalam Pemilu tahun 1955. Jumlah massa yang terhimpun pada saat itu sangat besar, tercatat pada tahun 1961 mencapai satu juta orang lebih yang tersebar di seluruh wilayah Republik Indonesia. Kampanye Gerwani tertuju pada beberapa maslaah perkosaan di Jawa Barat dan Bali. Selain itu, mereka juga melakukan agitasi untuk memberikan dukungan kepada lurah-lurah perempuan, mendirikan warung-warung koperasi, mendukung gerakan tani, kampanye pemberantasan buta huruf, perubahan undang-undang perkawinan agar lebih demokratis, menuntut hukuman yang berat untuk perkosaan dan penculikan dan meritid usaha sosial ekonomi untuk kaum tani dan buruh perempuan. Gerwani juga menerbitkan dua majalag yaitu Api Kartini yang disebarkan secara luas dan Berita Gerwani untuk internal organisasi.
Dikemudian hari barisan perempuan di DPR pada tahun 1958 mengajukan usulan rancnagan undnag-undang perkawinan yang dikenal sebagai usulan Ny. Sumari dengan dukungan dari berbagai organisasi perempuan. Diskusi antara pemerintah dan DPR baru susah sekali diwujudkan. Dan pada akhirnya terlaksana juga pad atanggal 6 Februari setelah di desak terus menerus oleh organisasi perempuan. Usulan Ny. Sumari merupakan peraturan umum untuk tidak membedakan golongan dan suku bangsa, dan tidak mengurangi hak setiap warga negara untuk kawin menurut agama masing-masing sesuai dengan dasar negara Pancasila, dengan dasar perkawinan monogami. Undang-undang perkawinan itu baru diterima pada tanggal 22 Desember 1974 dengan peraturan pelaksanaan yang mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975. (Sukanti Suryochondro, 1984).
2.4 Periode Orde Baru
Pada tahun 1966, PKI dan Gerwani dibubarkan dan ditetapkan sebagai organisasi terlarang. Pada saat itu soeharto naik menjadi Presiden RI dan membentuk pemerintahan Orde Baru. Tahun 1978, Perwari dipaksa masuk ke partai politik Golongan Karya (GOLKAR). Di tahun yang sama, kementrian urusan peranan wanita dibentuk juga dalam kabinet. Berbagai permasalah perempuan, seperti penentuan status, peran, hingga penyelesaian kasus kejahatan dan kekerasan terhadap perempuan diserap untuk diurus oleh negara.
Kala itu gerakan perempuan memasuki periode yang snagat lesu. Segala peraturan yang diberlakukan membuat gerakan perempuan tidak lagi independen. Salah satu penanda kelesuan itu adalah penggunaan istilah “wanita” yang berdimensi politis ideologis pada setiap kegiatan dan organisasi perempuan.
Orde Baru melakukan penyeragaman pada banyak hal atas nama kestabilan negara. Semua kegiatan dilangsungkan dalam kendali pemerintahan. Politik pengendalian inipun masuk kedalam KOWANI, yang cendering dihilangkan data kritisnya, dan akhirnya secara alami perlahan pensiun. Kegiatan organisasi-organisasi perempuan yang tersisa pada masa itu berkisar antara pekerja domestik, bakti sosial, arisan dan etiket show. (Anonim, 2005).
Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), organisasi mandiri yang sebenarnya sudah dibentuk sejak 1957, dimasukkan ke bawah asuhan Menteri Dalam Negeri. Ideologinya menggalakkan Panca Dharma Wanita, yaitu perempuan sebagai pendamping setia suami, ibu pendidik anak, pengatur rumah tangga, sebagai pekerja penambah penghasilan keluarga, dan sebagai anggota masyarakat yang berhuna. Semua kewajiban itu dilakoni dengan cara pandang sesuai “kodrat wanita”.
Walau begitu, isu emansipasi menghangat, seiring dengan menguatnya tuntutan atas peran perempuan dalam pembangunan di tingkat internasional. Legitimasi terhadap itu berjalan mulus lewat jargon “kemitra sejajaran perempuan dan laki-laki” yang tercantum wacana “peranan wanita dalam pembangunan” dalam setiap Repelita produk Orde Baru. Hanya saja, kebijakan ini ternyata menimbulkan efek yang lebih berat bagi perempuan Indonesia, berupa beban ganda dan cinderella complex.
Disisi lain, sekitar tahun 1970-1980an, benih-benih gerakan perempuan kontemporer mulai bersemi di kalangan menengah intelektual. Pada saat itu dikenal dengan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Non-Government Organization (NGO), kalangan ini mulai menjalin kontak dan memperluas lingkup geraknya hingga ke tingkat internasional dan memberi kesempatan untuk mereka bersentuhan dengan dunia luar. Walaupun masih lemah pada kemampuan dan kesungguhan untuk melakukan analisis sosial dalam menentukan isu, kontak dengan lembaga dana asing atau LSM diberbagai negara menolong mereka untuk memfokuskan titik perhatian. Maka, di kalangan mereka muncullah isu-isu yang sedang menjadi perhatian dunia pada saat itu, seperti aborsi, kekerasan domestik, pelecehan seksual dan lain sebagainya.
Dalam proses perjalanannya mereka mendapati bahwa aktivitas mereka atas isu-isu impor itu tidak mengakar dan tidak menjawab permasalahan yang sebenarnya dihadapi oleh kaum perempuan Indonesia. Akhirnya ditemukan bahwa justru isu emansipasi tahap kedua yang seharusnya lebih menjadi pusat perhatian, karena masalah-masalah tersebut memang dihadapi dan dialami oleh perempuan Indonesia.
Pada rentang periode orde baru, kasus yang menyangkut permasalahan perempuan khususnya di level bawah amat banyak terjadi. Beberapa LSM berusaha menanganinya tapi gerakannya seperti telah diungkap masih lemah dna terpencar-pencar. LSM yang merintis gerakan perempuan kontemporer ini diantaranya Kalyanamitra (1985) yang metodanya berfokus pada komunikasi dan informasi selain itu juga melakukan aktivitas lapangan, Solidaritas Perempuan (1984) yang banyak menangani kasus perdagangan perempuan dan anak-anak hingga sekarang, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan banyak lagi LSM-LSM yang lainnya.
2.5 Periode Reformasi
Pada tahun 1997, krisis ekonomi menerpa Indonesia. Pemilu Maret 1988, Soeharto terpilih kembali. Reaksi keras sejak itu muncul, berupa rangkaian demonstrasi yang dilancarkan terutama oleh mahasiswa. Pada masa itu salah satu gerakan perempuan. Gerakan Ibu Peduli, yang diusung oleh sejumlah aktivitas dari kalangan LSM dan para simpatisan perempuan yang muncul mewarnai rangkaian demonstrasi.
Pada bulan Mei 1988, Presiden Soeharto yang berjaya selama 32 tahun akhirnya mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan Presiden kepada Habibie yang pada saat itu menjabat sebagai wakil Presiden.
Pada periode kepemimpinan Presiden Habibie, satu hal yang perlu mewujudkan catatan adalah adanya pembentukan Komisi Nasional Perlindungan Kekerasan terhadap Perempuan atau yang lebih dikenal dengan Komnas Perempuan. Lembaga yang dibentuk pada tahun 1999 lewat Instruksi Presiden ini merupakan jawaban atas tuntutan sejumlah tokoh perempuan kepada Presiden Habibie untuk menyikapi upaya penyelesaian atas tragedi kerusuhan 12-14 Mei 1998 di Jakarta.
Dalam perkembangannya sampai saat ini, Komnas Perempuan banyak berperan sebagai lembaga yang aktif memasyarakatkan pengakuan atas hak-hak perempuan sebagai bagian dari Hak Azazi Manusia. Seiring dengan perjalanan waktu, kekuasaan Habibie tidak berlangsung lama karena setelah Pemilu sukses diselenggarakan, Sidang Umum MPR menolak pencalonannya sebagai Presiden. Megawati Soekarnoputri yang pada saat itu adalah ketua umum partai pemenang pemilu, gagal terpilih menjadi presiden karena terjegal dengan merebaknya isu-isu perdedatan mengenai kepemimpinan perempuan dalam Islam. Sidang tersebut kemudian menetapkan Abdurrahman Wahid yang diasanya dikenal dengan panggilan Gus Dur sebagai Presiden RI dengan Megawati Soekarnoputri sebagai Wakil Presiden RI.
Dalam periode kepemimpinannya Gus Dur, banyak suara aktivitas perempuan Indonesia yang lama tidak terdengar, mulai kembali bergema. Tabu terhadap PKI dan ideologi komunispun dihapusnya sekaligus. Dan intruksi presiden (Inpres) No. 9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender ditanda tanganinya pula. Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan mulai gencar mengenakan kampanye isu tentang kesetaraan gender.
Akhirnya Abdurachman Wahid diturunkan dari jabatan Presiden dalam Sidang Istimewa MPR Tahun 2001 sebelum usai masa jabatannya. Megawati Soekarno Putripun sebagai Wakil Presiden RI menggantikannya sebagai Presiden RI. Inilah pertama kalinya perempuan Indonesia yang menjadi Presiden Republik Indonesia.
Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan tetap melanjutkan Inpres No. 9 tahun 2000. Perhatian terhadap partisipasi perempuan dalam kehidupan publik dan jabatan politik-strategis jadi perhatian utama dan dicetuskan dengan tuntutan kuota 30% calon perempuan untuk kursi legislatif disetujui dalam Undang-Undang Pemilihan Umum yang baru pada pasal 65.
Pada tahun 2004, pemilihan umum dilaksanakan kembali dan hanya 11% perempuan yang dapat duduk di kursi legislatif. Sementara situasi di daerah juga tidak jauh berbeda. Pimpinan partai-partai berdalih, tidak tercapainya target calon perempuan sebanyak 30% sebagaimana yang ada di dalam UU Pemilu karena mereka mengalami kesulitan untuk mendapatkan kader perempuan yang berkualitas untuk dicalonkan sebagai wakil rakyat.
Pada tahun yang sama, di lain sisi Presiden untuk pertama kalinya dipilih langsung oleh rakyat. Setelah melalui dua putaran dalam pemilihan, pasangan Soesilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2004-2009. Di dalam penyusunan kabinet Indonesia Bersatu, Presiden SBY memenuhi janjinya dengan mengangkat 4 orang perempuan. Semasa kepemimpinannya isu pro dan kontra terhadap Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) begitu maraknya ditengah masyarakat.
Labels:
Makalah
Thanks for reading Contoh Makalah Gender. Please share...!
0 Komentar untuk "Contoh Makalah Gender"
Yang sudah mampir wajib tinggalkan komentar