Makalah Pancasila dan Kewiraan
I. PENDAHULUAN
1.1. Landasan dan Tujuan Pendidikan Pancasila dan Kewiraan (Kewarganegaraan)
Aspek lingkungan fisik yang khas sebagai lebensraum tiap orang menyebabkan amat dipentingkamya penataan aspek kehidupan yang meliputi Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial-Budaya, Pertahanan dan Keamanan. Di Indonesia, penataan telah diupayakan sejak diproklamirkamya kemerdekaan. Penataan yang dimaksud terutama ialah penataan diri setiap orang Indonesia untuk tetap konsisten menegakkan proklamasi dan cita-cita yang terdapat didalamnya. Kompetensi penataan diri tiap orang terutama karena ha-hal sebagai-berikut:
1. Mudah sekali dijumpai orang yang tidak dapat menjawab dengan benar, misalnya ketika ditanyakan tentang apa Pancasila itu, dan mengapa Bangsa Indonesia menjadikamya sebagai Ideologi Negara.
2. Banyak pula orang yang masih memimpikan Ideologi/faham lain selain Pancasila, dan bahkan menganggap Agama dapat dijadikan ideology,.serta adanya upaya mengkonyugasikan agama dengan ideology.
3. Politik tidak diimplementasikan dengan benar sesuai dengan defimsi politik itu sendiri, termasuk prinsip demokrasi yang tidak mampu diimplementasikan Perguruan Tinggi meskipun masyarakat dipaksakan untuk menegakkan demokrasi.
4. Turumya kualitas kehidupan secara sosial, budaya, dan agama dengan diwajarkamya Korupsi yang bahkan diselenggarakan terang-terangan dan berjama'ah, Kolusi, Nepotisme, Primordialisme, serta penghargaan terhadap Separatisme dan Terorisme.
Berdasarkan fakta tersebut diatas, diasumsikan Negara im tidak akan pemah mencapai Tujuan Nasionalnya, dan setiap orang didalamnyapun tidak akan pemah mencapai Kebahagiaan di Dunia dan di Akherat. Oleh karena itu, dalam kuliah Pancasila dan kuliah Kewiraan (Kewarganegaraan) di Perguruan Tinggi yang pesertanya Mahasiswa (selaku peserta didik yang mampu berfikir logis, jujur, kreatif dan dinamis), penggunaan pendekatan pemikiran filsafat pada proses pembelajaran Pancasila sekaligus pendekatan geopolitis pada pembelajaran Kewiraan harus diterapkan secara benar dan dapat diterima akal fikiran mahasiswa sehingga akan dipahami dan diimplementasikamya secara benar.
Melalui bidang pendidikan, Pemerintah mengeluarkan suatu keputusan yaitu Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 232/U/21)OU dan No. U45/U/2Ib2 untuk memberlakukan kurikulum baru bagi Pendidikan Tinggi. Kuriladum tersebut merupakan kurikulum yang menawarkan Kurikulum Berbasis Komtpetensi (KBK). ICBK im menekankan kejel'asan hasil didik sebagai sesearang yang kompeten dalam hat menguasai penerapan ifmu pengetahuan dan ketrampilan tertentu, dan dalam bentuk kekaryaan, im menguasai sikap berkarya dan kemampuan dalam berkehidupan bermasyarakat.
Selanjutnya melalui Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor : 43/ DIM/Kep/ 2006 diatur tentang rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Kepribadian di Perguruan Tinggi. Dalam keputusan tersebut pada pasal 1 dituliskan Visi Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian di Parguruan Tinggi merupakan sumber mlai dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi guna mengantarkan mahasiswa memantapkan kepribadiamya sebagai manusia Indonesia seutuhnya.
Misi kelompok MPK dalam membantu mahasiswa memantapkan kepribadiannya agar secara konsisten mampu mewujudkan mlai-nilai dasar keagamaan dan kebudayaan rasa kebangsaan dan cirta tanah air sepanjang hayat dalam menguasai, memerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan teknologi dan sem yang dimilikinya dengan rasa tanggungiawab.
Kompetensi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan menjadikan ilmuwan. dan professional yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air, demokratis yang berkeadaban; mejadi wapga Negara yang memiliki daya saing, dan disiplin (lain berpaartisi aktif dalam membangun kehidupan yang damai berdasarkan system mlai Pancasila.
Dengan kompetensi yang dimilikinya, seorang lulusan pendidikan tinggi harus mampu bertindak sebagai a method of inguiry dalam peramya sebagai pencerih masyarakat, berkehidupan berbangsa, bemegara. Oleh karena itu, proses pembelajaran tidak lagi ‘menjadikan' seseorang sebagggai human investment pembanggunan, tetapi 'mengantarkan seseorang sebagai intelellectual capital dalam dimensi keperanan sebagai humamn capital, structural capital, dan relational oupital atau customer capital. Infelellectual capital tersebut bagi seseorang akan ditemukan dan dimantapkan melalui proses belajar sepanjang hayat (continuing education atau life long education) yang berwujud a method of ingury yang bersifat dinamis progresif.
Cara untuk mencapai tujuan pendidikan tinggi, tersebut ialah dengan pengembangan kepribadian sebagaimana Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK), yakm dengan pemberlakuan matakuliah Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila, dan Pendidikan Kewiraan / Kewarganegaraan pada setiap bentuk Pendidikan Tinggi di Indonesia. Melalui pendidikan ini, berbekal kompetensi yang dimiliki seseorang lulusan pendidikan tinggi harus menjadi warganegara yang penuh tanggung-jawab sekaligus sebagai pejuang negara dalam rangka memelihara eksistensi negara-bangsanya, dan sebagai tujuan umum, mahasiswa selanjutnya lebih berupaya membentuk kepribadiamya selaku warganegara Indonesia seutuhnya, nasionalis, kepentingan berkehidupan menegara
Melalui pokok-pokok bahasan pada matakuliah Pendidikan Pancasila dan dilanjutkan dengan Pendidikan Kewiraan (Kewarganeraan), setelah selesainya proses pembelajaran, seyogyanya. mahasiswa dapat menjelaskan dan berperilaku sebagai berikut :
1. Landasan histories dan juridis Pendidikan Pancasila dan Kewiraan/ Kewarganegaraan
2. Pancasila sebagai sistem filsafat, etika politik, dan paradigma berbangsa.
3. Kepentuigan ideology bagi suatu Negara.
4. Pengembangan identitas nasional.
5. Konsepsi HAM dan implementasi Demokrasi Pancasila.
6. Aspek gepolitik bangsa Indonesia.
7. Konsepsi dan Implementasi Ketahanan Nasional.
8. Perwujudan Politik dan Strategi Nasional dalam bingkai Ketahanan Nasional.
9. Berpartisipasi dalam Pertahanan dan Keamanan Nasional.
10. Mengutamakan Kewajibamya daripada penuntutan haknya.
11. Memiliki pola pikir komprehensif-integral pada aspek kehidupan nasional.
12. Mengidentifikasi perkembangan IPTEKS dalam rangka Ketahanan Nasional.
1.2. Upaya-Upaya Pendidikan Kepatriotan
Pendidikan ke-patriotisme-an yang menjadi eita-cita penulis adalah upaya sadar yang direncanakan negara dan dilaksanakan oleh Pemerintah untuk mendidik warga-negaranya agar tiap waktu, rencana dan aktifitasnya selalu berkesadaran dan berkesiagaan demi negara dengan sikap Patriotik.
Sikap yang Patriotik, yakm melihat dengan tajam dan teliti masalah yang dihadapi secara nasional, baik dalam bentuk kerawanan maupun dalam bentuk ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan, serta mampu menemukan peluang yang terbuka sehingga dapat mengambil sikap dan keputusan yang benar dan baik bagi keselamatan, kelestarian, dan kepentingan bangsa dan negara. Negara-negara lainpun mempunyai konsep ' dan cara pendidikan tersendiri untuk hal tersebut, bahkan lebih ekstrim dalam bentuk Wajib Latih Militer.
Pendidikan demikian sebagaimana dahulunya dalam bentuk Kuliah Kewiraan, namun oleh karena kata Kewiraan telah lama dianggap berbau Militeristik dan bahkan dicurigai oleh sebahagian orang pada beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia sebagai matakuliah indoktrinasi, terutama karena sebelumnya kewira¬an diajarkan keperguruan tinggi oleh Perwira-perwira Militer mimmal berpangkat Kolonel oleh karena Militer dianggap lebih memahami, maka untuk meng-sipil-kan matakuliah tersebut diadakanlah Kursus Singkat bagi Calon Dosen Kewiraan (SusCaDosWir) di Lembaga Pertahanan Nasional Jakarta.
Selanjutnya dua Umversitas besar di Indonesia UGM dan UI menyelenggarakan Program Studi Ketahanan Nasional pada Strata II (S2) untuk mempersiapkan tiap Sarjana dari berbagai bidang agar dapat menggali, memperdalam dan mengaktualisasikan pengetahuan tersebut dengan berdasarkan Ke-llmuan dan data empirik yang berhubungan dengan pemngkatan kualitas sumberdaya warganegara demi kemajuan negara dan tujuan negara. Hal-¬hal tersebut tidak dipahami oleh banyak orang Perguruan Tinggi sehingga pada tahun 2000 dengan "semangat Reformasi, + penolakan terhadap Dwifungsi ABRI" maka nama Matakuliah Kewiraan (yang khusus untuk Maliasiswa.) diubah jadi Pendidikan Kewarganegaraan" yang pada akhimya justru dianggap tidak berbeda dengan Pendidikan Kewarganegaraan di, SD, SLTP atau SLTA:
Kata Ke-Wira-an sesungguhnya dapat dipahami sebagai suatu upaya progresif agar orang mampu berjiwa Perwira (yakm; berjiwa antisipatif terhadap Ancaman, Tantangan, Hambatan, dan Gangguan apapun terhadap eksistensi negara¬bangsanya.). Imbuhan `Ke' pada kata Kewiraan berarti `Kemampuan' sekaligus 'Kebijakan' dari seorang `Wira dimana wira bermakna juga 'Patriot' (berarti Pahlawan/pembela) dari Patria (berarti Tanah Air). Maka "Kewiraan" berarti "Kesadaran bersikap ksatria membela Tanah Air".
Membela Tanah Air tidak selalu mengangkat senjata sebagaimana masa perang Kemerdekaan. Banyak cara untuk membela Tanah Air, baik melalui keahlian maupun ketrampilan dari bidang Ilmu tertentu untuk memngkatkan kualitas fisik dan non-fisik aspek-aspek kehidupan masyarakat, upaya laimya dalam ber¬budaya, ber-keseman, dan ber-olah raga.
Sejak dahulu kala selalu ada kerawanan akan eksistensi suatu Kerajaan atau Negara, Kerawanan didefimsikan sebagai titik-titik kelemahan yang terdapat dalam kehidupan manusia dan masyarakat diberbagai aspek dan sektomya dengan akibat mempermudah datangnya Ancaman, Gangguan, hambatan dan Tantangan terhadap usaha menghayati suatu paham/ideologi negara (paham yang menyebabkan orang-orang relatif berpersepsi sama terhadap diri dalam menegara-bangsa dan tujuan negaranya). Sedangkan Ancaman didefimsikan sebagai tindakan, potensi atau kondisi yang mengandung bahaya dan bersifat konseptual, baik tertutup maupun terbuka, yang bertujuan untuk mengubah kesatuan, paham/ideologi maupun menggagalkan pembangunan nasional.
Gangguan diaitikan sebagai tindakan, potensi atau kondisi yang mengandung bahaya dan tidak bersifat konseptual, dan berasal dari luar diri sendiri yang bersifat merong-rong kesatuan, paham/ideologi. Hambatan diartikan sebagai tindakan, potensi, atau kondisi yang mengandung bahaya dan tidak konseptual dan berasal dari dalam diri sendiri, dalam arti tidak mengamalkan makna kesatuan, paham/ideologi, dan tidak berpartisipasi dalam pembangunan Tantangan adalah tindakan, potensi atau kondisi baik dari luar maupun dari dalam diri sendiri yang membawa masalah unfuk diselesaikan serta dapat menggugah kemampuan diri.
Mengapa Pendidikan Kewiraan/Kewarganegaraan penting untuk dilaksanakan?
a. Latar belakang sejarah.
Sejarah nasional sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945 mencatat bahwa terjadi pemberontakan-pemberontakan yang membahayakan kelangsungan ne¬gara kesatuan RI. Pemberontakan-pemberontakan tersebut jika diselidiki mendalam disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya ialah Ideologi Komums, Liberal dan dampak politisnya; Frusfasi (PRRI, DI/TII);
b. Mengemban Tugas ke masa depan.
Peristiwa dan pengalaman serta terjadinya pemberontakan-pemberontakan ter¬sebut membuat bangsa Indonesia menjadi sadar, betapa besar bahaya yang harus dihadapi oleh bamgsa dan negara dan betapa jauh akibat malapetaka yang harus did'erita oleh rakyat. Oleh karena itu, kewaspadaan sejak dim diusahakan agar
peristiwa-peristiwa yang membawa penderitaan dan kesengsaraan rakyat, tidak terulang kembali.
Hal tersebut tentu saja tidak hanya dilakukan dengan kesiapan dan kewaspadaan terhadap apa yang akan dan bisa membahayakan bangsa dan negara pada waktu mendatang ataupun dengan sekadar tindakan represif kalau perlu, tetapi terutama dengan menggali akar penyebabnya untuk dipeeahkan, serta menjaga jangan sampai kita sendiri meneiptakan suatu kondisi yang rawan serta mengundang peristiwa-peristiwa semacam itu terjadi kembali. Disamping itu, harus disadari bahwa pemberontakan-pemberontakan itu bukanlah perisitiwa yang insidentil atau tergantung pada perorangan, tetapi benar-benar dilakukan dalam kelompok masyarakat dan dalam satuan sosial yang tidak kecil dan tersebar di Nusantara im, dengan perencanaan yang terarah, dengan orgamsasi dan koordinasi yang eukup rapi, serta dilandasi dengan motivasi dan paham ideologi yang jelas, dan tidak sekadar berada pada permukaan saja.
Jelas bahwa kewaspadaan harus dibekali dengan pemahaman yang tegas tentang kerawanan-kerawanan yang ada dalam tubuh bangsa, semangat yang tinggi, serta didasari keyakutan yang mantap atas ideologi Pancasila.
Siapakah yang harus mempunyai karakter seorang Wira/Perwira/Patriot ?
Setiap warga-negara, apalagi yang telah mengenyam Pendidikan Tinggi harus disertai dengan tindakan ilmiah. Bagi kalangan Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif, karakter sebagai Perwira Patriot harus diaktualisasikan secara benar, implisit tersirat dari pentingnya keterbukaan Informasi dan tujuan Reformasi (dalam hal reformasi Indonesia untuk menghadapi dampak negatif Globalisasi).
Berbagai masalah rumit sebelum, sekarang, dan mendatang, menyebabkan perubahan potensiil untuk memngkatkan diversitas dalam negara. Hal tersebut memicu terbentuknya assosiasi dan dissosiasi baru dalam kelompok-kelompok masyarakat yang juga berpotensi untuk memmbulkan gangguan sekuritas. Hal itu terjadi dengan adanya kekerasan individual, keluarga, lembaga, subnasional dan supranasional yang dilakukan berbagai pihak dengan kepentingamya sendiri, dengan memanfaatkan politik. Munculnya perbedaan persepsi diantara supra dan infra struktur maupun antar generasi pemikir dan elit-elit politik domestik, serta persepsi sipil-militer, merupakan problem yang harus dibedah dalam koridor transparansi/keterbukaan yang biasanya selalu dilawankan dengan stabilitas politik maupun status quo.
II. IDEOLOGI PANCASILA
2.1. IDEOLOGI
Keberadaan ideologi memang nyata telah memunculkan hampir semua negara-bangsa di duma, namun secara faktual masyarakat kim tidak berminat untuk mempelajari ideologi, interaksi ideologi-politik, ajaran dan pola kelembagaanya, akibat daripadanya, serta prospek masa depamya.
Sulitnya pendefimsian istilah "ideologi" merupakan masalah karena penggunaan kata-kata dan konotasi yang tidak tepat telah ada padanya secara historis. Ada banyak defimsi tenlang ideologi, sebagai contoh Carl J. Friedrich (dalam "Man and His Govemment: An Empirical Theory of Politics", 1963) telah menawarkan gambaran yang luas guna orientasi dalam studi tentang ideologi-ideologi politik utama sekarang im. Dikatakamya bahwa Ideologi merupakan sistem-sistem pikiran yang geraknya berhubungan, memuat suatu program dan strategi bagi realisasinya serta fungsi menyatukan orgamsasi-orgamsasi disekelilingnya.
D. Easton dalam "A Systems Analysis of Political Life" (1965) memberikan pen¬genalan dan deskripsi, bahwa ideologi adalah seperangkat pikiran-pikiran, tujuan-¬tujuan, dan maksud-maksud yang bersambung, yang membantu angota-anggota siste untuk menafsirkan masa lalu, menerangkan yang sekarang, dan menawarkan suatu pandangan bagi masa depan. Berdasarkan penelitian yang intensif dan berfikir secara reflektif-final sebagai cara berfikir dalam Filsafat Integralisme (yang diistilahkan Filsafat Pancasilaisme), Abdulkadir B. dalam "Pancasila Ideologi Terbuka" (1996) mengemukakan bahwa ideologi adalah seperangkat mlai intrinsik yang diyakim kebenaramya oleh suatu masyarakat dan dijadikan dasar menata dirinya dalam menegara.
Mlai intrinsik yang ada pada Ideologi Pancasila merupakan pandangan hidup atau metode untuk memahami kehidupan sesama bagi setiap orang sebagai praktisinya itu adalah benar-mutlak secara falsafati dan empiris. Harus dipahami pula bahwa setiap ideologi mempunyai dasar filsafat tertentu yang menghasilkan mlai tertentu berdasarkan metode berpikimya sendiri yang khas, sehingga wataknya dan orang-orang penganutnya khas pula, baik pada ideology Komums, Liberal, dan Pancasila. Oleh karenanya, untuk memlai setiap fenomen yang ada, terdapat perbedaan mlai (value) dan cara urai-jawab yang berbeda sebagai akibat cara memandang yang berbeda dari ideologi. Sehingga adu argumentasi dari para pendebat yang berideologi/faham berbeda bagaimanapun tidak akan memperoleh kesamaan pendapat dan kesamaan persepsi tentang peri kehidupan.
ldeologi dalam konteks masa kim, di saat perubahan sedang berlangsung dengan cepat dan mendasar sebagai akibat dan pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknalogi beserta temuan-temuan spektakulamya, serta jika dikaitkan dengan orde reformasi, telah menempatkan kita pada suatu kompleksitas permasalahan yang klasik, fundamental, sekaligus aktual. Klasiknya ideology, karena masalah ideologi sudah muncul semenjak tahun 1796 tatkala diintroduksikan pada masa Revolusi Peraneis oleh filsuf A. Destutt de Tracy dengan memberi batasan sebagai. "Science of Ideas" atau "ilmu pengetahuan tentang ide-ide" (studi asal mula, perkembangan, dan sifat dari ide-ide), sebagaimana biasa, terhadap sesuatu yang baru selalu diikuti kontradiksi antara yang pro dan yang kontra. Sejak pada masa itu istilah ideologi dilingkungi oleh pemaknaan yang naif sebagai hasil fallacy penentangnya. Ideologi telah dipersamakan dengan berbagai cara, gaya, atau buah fikiran paham totaliter, sehingga tidak disukai banyak kalangan hingga saat im. Pencemaran nama baik dan ide-benar dari ideologi im dimulai sejak Napoleon Bonaparte yang mempergunakamya untuk menghina para intelektual liberal dari Institut de France. Banyak sosiolog mengkarakterisir ideologi sebagai bentuk propaganda politik pemerintah yang salah kaprah, terlalu muluk, dan mengada-ada, dan berkembang dengan berbagai tafsir beserta implikasinya yang tidak saja berbeda bahkan saling bertentangan. Fundamental karena setiap ideologi selalu menyentuh semua segi dan sendi kehidupan umat manusia sebagai pendukungnya secara mendasar.
Aktualnya ideologi karena dalam kehidupan umat manusia di aklur abad XX sekarang im aspek-aspek ideologik selalu mewamai setiap fenomen yang muncul dalam percaturan di bidang apapun dan di manapun. Jika dipelajari, dalam perbendaharaan sejarah filsafat, akan dijumpai sekian banyak deskripsi yang berbeda dan dengan arah serta makna yang berbeda pula. Masing-masing memberi kejelasan bahwa setia konsep ideologi selalu bertolak dari suatu keya kinan filsafati, tertentu, terutama keyakinan filsafati tentang apa, dan siapa manusia sebagai subjek pendukungnya, hak serta kewajiban dalam mencapai tujuan bersama yang telah ditentukan, dan bagaimana corak masyarakat yang harus diwujudkan. Pengejawantahamya tercermin dalam kehidupan praksis, baik di bidang spiritual, maupun di bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya suatu masyarakat atau bangsa yang bersangkutan. Masalahnya memang menyangkut hal-hal untuk merealisasikamya yang abstrak dan idiil, namun apabila tersedia peluang yang tepat ideologi akan menjadi sangat konkret. Karena itu membicarakan masalah ideologi tanpa meletakkamya pada konteks keyakinan filsafati yang menjadi dasamya, maka hanya "kulitnya" saja yang akan kita, sentuh. Keracuan dan distorsi pemikiranlah yang pada akhimya akan menjerumuskan kita pada penyempitan wawasan, terbatas pada dimensi fenomenalnya saja, sedemikian rupa sehingga sulit bagi kita untuk menangkap arti serta makna peristiwa-peristiwa yang hadir di hadapan kita di zaman yang sedang dilanda arus globalisasi yang begitu deras.
2.2. URGENSI IDEOLOGI
2.3. IDEOLOGI PANCASILA DALAM KONTEKS PERJUANGAN BANGSA
2.4. INDONESIA dan KILASAN SEJARAHNYA
III. PANCASILA DAN FILSAFAT
3.1 PEMAHAMAN PANCASILA DALAM INTEGRALISME
Lebih lengkap silahkan download
PANCASILA DAN KEWIRAAN
I. PENDAHULUAN
1.1. Landasan dan Tujuan Pendidikan Pancasila dan Kewiraan (Kewarganegaraan)
Aspek lingkungan fisik yang khas sebagai lebensraum tiap orang menyebabkan amat dipentingkamya penataan aspek kehidupan yang meliputi Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial-Budaya, Pertahanan dan Keamanan. Di Indonesia, penataan telah diupayakan sejak diproklamirkamya kemerdekaan. Penataan yang dimaksud terutama ialah penataan diri setiap orang Indonesia untuk tetap konsisten menegakkan proklamasi dan cita-cita yang terdapat didalamnya. Kompetensi penataan diri tiap orang terutama karena ha-hal sebagai-berikut:
1. Mudah sekali dijumpai orang yang tidak dapat menjawab dengan benar, misalnya ketika ditanyakan tentang apa Pancasila itu, dan mengapa Bangsa Indonesia menjadikamya sebagai Ideologi Negara.
2. Banyak pula orang yang masih memimpikan Ideologi/faham lain selain Pancasila, dan bahkan menganggap Agama dapat dijadikan ideology,.serta adanya upaya mengkonyugasikan agama dengan ideology.
3. Politik tidak diimplementasikan dengan benar sesuai dengan defimsi politik itu sendiri, termasuk prinsip demokrasi yang tidak mampu diimplementasikan Perguruan Tinggi meskipun masyarakat dipaksakan untuk menegakkan demokrasi.
4. Turumya kualitas kehidupan secara sosial, budaya, dan agama dengan diwajarkamya Korupsi yang bahkan diselenggarakan terang-terangan dan berjama'ah, Kolusi, Nepotisme, Primordialisme, serta penghargaan terhadap Separatisme dan Terorisme.
Berdasarkan fakta tersebut diatas, diasumsikan Negara im tidak akan pemah mencapai Tujuan Nasionalnya, dan setiap orang didalamnyapun tidak akan pemah mencapai Kebahagiaan di Dunia dan di Akherat. Oleh karena itu, dalam kuliah Pancasila dan kuliah Kewiraan (Kewarganegaraan) di Perguruan Tinggi yang pesertanya Mahasiswa (selaku peserta didik yang mampu berfikir logis, jujur, kreatif dan dinamis), penggunaan pendekatan pemikiran filsafat pada proses pembelajaran Pancasila sekaligus pendekatan geopolitis pada pembelajaran Kewiraan harus diterapkan secara benar dan dapat diterima akal fikiran mahasiswa sehingga akan dipahami dan diimplementasikamya secara benar.
Melalui bidang pendidikan, Pemerintah mengeluarkan suatu keputusan yaitu Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 232/U/21)OU dan No. U45/U/2Ib2 untuk memberlakukan kurikulum baru bagi Pendidikan Tinggi. Kuriladum tersebut merupakan kurikulum yang menawarkan Kurikulum Berbasis Komtpetensi (KBK). ICBK im menekankan kejel'asan hasil didik sebagai sesearang yang kompeten dalam hat menguasai penerapan ifmu pengetahuan dan ketrampilan tertentu, dan dalam bentuk kekaryaan, im menguasai sikap berkarya dan kemampuan dalam berkehidupan bermasyarakat.
Selanjutnya melalui Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor : 43/ DIM/Kep/ 2006 diatur tentang rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Kepribadian di Perguruan Tinggi. Dalam keputusan tersebut pada pasal 1 dituliskan Visi Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian di Parguruan Tinggi merupakan sumber mlai dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi guna mengantarkan mahasiswa memantapkan kepribadiamya sebagai manusia Indonesia seutuhnya.
Misi kelompok MPK dalam membantu mahasiswa memantapkan kepribadiannya agar secara konsisten mampu mewujudkan mlai-nilai dasar keagamaan dan kebudayaan rasa kebangsaan dan cirta tanah air sepanjang hayat dalam menguasai, memerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan teknologi dan sem yang dimilikinya dengan rasa tanggungiawab.
Kompetensi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan menjadikan ilmuwan. dan professional yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air, demokratis yang berkeadaban; mejadi wapga Negara yang memiliki daya saing, dan disiplin (lain berpaartisi aktif dalam membangun kehidupan yang damai berdasarkan system mlai Pancasila.
Dengan kompetensi yang dimilikinya, seorang lulusan pendidikan tinggi harus mampu bertindak sebagai a method of inguiry dalam peramya sebagai pencerih masyarakat, berkehidupan berbangsa, bemegara. Oleh karena itu, proses pembelajaran tidak lagi ‘menjadikan' seseorang sebagggai human investment pembanggunan, tetapi 'mengantarkan seseorang sebagai intelellectual capital dalam dimensi keperanan sebagai humamn capital, structural capital, dan relational oupital atau customer capital. Infelellectual capital tersebut bagi seseorang akan ditemukan dan dimantapkan melalui proses belajar sepanjang hayat (continuing education atau life long education) yang berwujud a method of ingury yang bersifat dinamis progresif.
Cara untuk mencapai tujuan pendidikan tinggi, tersebut ialah dengan pengembangan kepribadian sebagaimana Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK), yakm dengan pemberlakuan matakuliah Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila, dan Pendidikan Kewiraan / Kewarganegaraan pada setiap bentuk Pendidikan Tinggi di Indonesia. Melalui pendidikan ini, berbekal kompetensi yang dimiliki seseorang lulusan pendidikan tinggi harus menjadi warganegara yang penuh tanggung-jawab sekaligus sebagai pejuang negara dalam rangka memelihara eksistensi negara-bangsanya, dan sebagai tujuan umum, mahasiswa selanjutnya lebih berupaya membentuk kepribadiamya selaku warganegara Indonesia seutuhnya, nasionalis, kepentingan berkehidupan menegara
Melalui pokok-pokok bahasan pada matakuliah Pendidikan Pancasila dan dilanjutkan dengan Pendidikan Kewiraan (Kewarganeraan), setelah selesainya proses pembelajaran, seyogyanya. mahasiswa dapat menjelaskan dan berperilaku sebagai berikut :
1. Landasan histories dan juridis Pendidikan Pancasila dan Kewiraan/ Kewarganegaraan
2. Pancasila sebagai sistem filsafat, etika politik, dan paradigma berbangsa.
3. Kepentuigan ideology bagi suatu Negara.
4. Pengembangan identitas nasional.
5. Konsepsi HAM dan implementasi Demokrasi Pancasila.
6. Aspek gepolitik bangsa Indonesia.
7. Konsepsi dan Implementasi Ketahanan Nasional.
8. Perwujudan Politik dan Strategi Nasional dalam bingkai Ketahanan Nasional.
9. Berpartisipasi dalam Pertahanan dan Keamanan Nasional.
10. Mengutamakan Kewajibamya daripada penuntutan haknya.
11. Memiliki pola pikir komprehensif-integral pada aspek kehidupan nasional.
12. Mengidentifikasi perkembangan IPTEKS dalam rangka Ketahanan Nasional.
1.2. Upaya-Upaya Pendidikan Kepatriotan
Pendidikan ke-patriotisme-an yang menjadi eita-cita penulis adalah upaya sadar yang direncanakan negara dan dilaksanakan oleh Pemerintah untuk mendidik warga-negaranya agar tiap waktu, rencana dan aktifitasnya selalu berkesadaran dan berkesiagaan demi negara dengan sikap Patriotik.
Sikap yang Patriotik, yakm melihat dengan tajam dan teliti masalah yang dihadapi secara nasional, baik dalam bentuk kerawanan maupun dalam bentuk ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan, serta mampu menemukan peluang yang terbuka sehingga dapat mengambil sikap dan keputusan yang benar dan baik bagi keselamatan, kelestarian, dan kepentingan bangsa dan negara. Negara-negara lainpun mempunyai konsep ' dan cara pendidikan tersendiri untuk hal tersebut, bahkan lebih ekstrim dalam bentuk Wajib Latih Militer.
Pendidikan demikian sebagaimana dahulunya dalam bentuk Kuliah Kewiraan, namun oleh karena kata Kewiraan telah lama dianggap berbau Militeristik dan bahkan dicurigai oleh sebahagian orang pada beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia sebagai matakuliah indoktrinasi, terutama karena sebelumnya kewira¬an diajarkan keperguruan tinggi oleh Perwira-perwira Militer mimmal berpangkat Kolonel oleh karena Militer dianggap lebih memahami, maka untuk meng-sipil-kan matakuliah tersebut diadakanlah Kursus Singkat bagi Calon Dosen Kewiraan (SusCaDosWir) di Lembaga Pertahanan Nasional Jakarta.
Selanjutnya dua Umversitas besar di Indonesia UGM dan UI menyelenggarakan Program Studi Ketahanan Nasional pada Strata II (S2) untuk mempersiapkan tiap Sarjana dari berbagai bidang agar dapat menggali, memperdalam dan mengaktualisasikan pengetahuan tersebut dengan berdasarkan Ke-llmuan dan data empirik yang berhubungan dengan pemngkatan kualitas sumberdaya warganegara demi kemajuan negara dan tujuan negara. Hal-¬hal tersebut tidak dipahami oleh banyak orang Perguruan Tinggi sehingga pada tahun 2000 dengan "semangat Reformasi, + penolakan terhadap Dwifungsi ABRI" maka nama Matakuliah Kewiraan (yang khusus untuk Maliasiswa.) diubah jadi Pendidikan Kewarganegaraan" yang pada akhimya justru dianggap tidak berbeda dengan Pendidikan Kewarganegaraan di, SD, SLTP atau SLTA:
Kata Ke-Wira-an sesungguhnya dapat dipahami sebagai suatu upaya progresif agar orang mampu berjiwa Perwira (yakm; berjiwa antisipatif terhadap Ancaman, Tantangan, Hambatan, dan Gangguan apapun terhadap eksistensi negara¬bangsanya.). Imbuhan `Ke' pada kata Kewiraan berarti `Kemampuan' sekaligus 'Kebijakan' dari seorang `Wira dimana wira bermakna juga 'Patriot' (berarti Pahlawan/pembela) dari Patria (berarti Tanah Air). Maka "Kewiraan" berarti "Kesadaran bersikap ksatria membela Tanah Air".
Membela Tanah Air tidak selalu mengangkat senjata sebagaimana masa perang Kemerdekaan. Banyak cara untuk membela Tanah Air, baik melalui keahlian maupun ketrampilan dari bidang Ilmu tertentu untuk memngkatkan kualitas fisik dan non-fisik aspek-aspek kehidupan masyarakat, upaya laimya dalam ber¬budaya, ber-keseman, dan ber-olah raga.
Sejak dahulu kala selalu ada kerawanan akan eksistensi suatu Kerajaan atau Negara, Kerawanan didefimsikan sebagai titik-titik kelemahan yang terdapat dalam kehidupan manusia dan masyarakat diberbagai aspek dan sektomya dengan akibat mempermudah datangnya Ancaman, Gangguan, hambatan dan Tantangan terhadap usaha menghayati suatu paham/ideologi negara (paham yang menyebabkan orang-orang relatif berpersepsi sama terhadap diri dalam menegara-bangsa dan tujuan negaranya). Sedangkan Ancaman didefimsikan sebagai tindakan, potensi atau kondisi yang mengandung bahaya dan bersifat konseptual, baik tertutup maupun terbuka, yang bertujuan untuk mengubah kesatuan, paham/ideologi maupun menggagalkan pembangunan nasional.
Gangguan diaitikan sebagai tindakan, potensi atau kondisi yang mengandung bahaya dan tidak bersifat konseptual, dan berasal dari luar diri sendiri yang bersifat merong-rong kesatuan, paham/ideologi. Hambatan diartikan sebagai tindakan, potensi, atau kondisi yang mengandung bahaya dan tidak konseptual dan berasal dari dalam diri sendiri, dalam arti tidak mengamalkan makna kesatuan, paham/ideologi, dan tidak berpartisipasi dalam pembangunan Tantangan adalah tindakan, potensi atau kondisi baik dari luar maupun dari dalam diri sendiri yang membawa masalah unfuk diselesaikan serta dapat menggugah kemampuan diri.
Mengapa Pendidikan Kewiraan/Kewarganegaraan penting untuk dilaksanakan?
a. Latar belakang sejarah.
Sejarah nasional sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945 mencatat bahwa terjadi pemberontakan-pemberontakan yang membahayakan kelangsungan ne¬gara kesatuan RI. Pemberontakan-pemberontakan tersebut jika diselidiki mendalam disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya ialah Ideologi Komums, Liberal dan dampak politisnya; Frusfasi (PRRI, DI/TII);
b. Mengemban Tugas ke masa depan.
Peristiwa dan pengalaman serta terjadinya pemberontakan-pemberontakan ter¬sebut membuat bangsa Indonesia menjadi sadar, betapa besar bahaya yang harus dihadapi oleh bamgsa dan negara dan betapa jauh akibat malapetaka yang harus did'erita oleh rakyat. Oleh karena itu, kewaspadaan sejak dim diusahakan agar
peristiwa-peristiwa yang membawa penderitaan dan kesengsaraan rakyat, tidak terulang kembali.
Hal tersebut tentu saja tidak hanya dilakukan dengan kesiapan dan kewaspadaan terhadap apa yang akan dan bisa membahayakan bangsa dan negara pada waktu mendatang ataupun dengan sekadar tindakan represif kalau perlu, tetapi terutama dengan menggali akar penyebabnya untuk dipeeahkan, serta menjaga jangan sampai kita sendiri meneiptakan suatu kondisi yang rawan serta mengundang peristiwa-peristiwa semacam itu terjadi kembali. Disamping itu, harus disadari bahwa pemberontakan-pemberontakan itu bukanlah perisitiwa yang insidentil atau tergantung pada perorangan, tetapi benar-benar dilakukan dalam kelompok masyarakat dan dalam satuan sosial yang tidak kecil dan tersebar di Nusantara im, dengan perencanaan yang terarah, dengan orgamsasi dan koordinasi yang eukup rapi, serta dilandasi dengan motivasi dan paham ideologi yang jelas, dan tidak sekadar berada pada permukaan saja.
Jelas bahwa kewaspadaan harus dibekali dengan pemahaman yang tegas tentang kerawanan-kerawanan yang ada dalam tubuh bangsa, semangat yang tinggi, serta didasari keyakutan yang mantap atas ideologi Pancasila.
Siapakah yang harus mempunyai karakter seorang Wira/Perwira/Patriot ?
Setiap warga-negara, apalagi yang telah mengenyam Pendidikan Tinggi harus disertai dengan tindakan ilmiah. Bagi kalangan Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif, karakter sebagai Perwira Patriot harus diaktualisasikan secara benar, implisit tersirat dari pentingnya keterbukaan Informasi dan tujuan Reformasi (dalam hal reformasi Indonesia untuk menghadapi dampak negatif Globalisasi).
Berbagai masalah rumit sebelum, sekarang, dan mendatang, menyebabkan perubahan potensiil untuk memngkatkan diversitas dalam negara. Hal tersebut memicu terbentuknya assosiasi dan dissosiasi baru dalam kelompok-kelompok masyarakat yang juga berpotensi untuk memmbulkan gangguan sekuritas. Hal itu terjadi dengan adanya kekerasan individual, keluarga, lembaga, subnasional dan supranasional yang dilakukan berbagai pihak dengan kepentingamya sendiri, dengan memanfaatkan politik. Munculnya perbedaan persepsi diantara supra dan infra struktur maupun antar generasi pemikir dan elit-elit politik domestik, serta persepsi sipil-militer, merupakan problem yang harus dibedah dalam koridor transparansi/keterbukaan yang biasanya selalu dilawankan dengan stabilitas politik maupun status quo.
II. IDEOLOGI PANCASILA
2.1. IDEOLOGI
Keberadaan ideologi memang nyata telah memunculkan hampir semua negara-bangsa di duma, namun secara faktual masyarakat kim tidak berminat untuk mempelajari ideologi, interaksi ideologi-politik, ajaran dan pola kelembagaanya, akibat daripadanya, serta prospek masa depamya.
Sulitnya pendefimsian istilah "ideologi" merupakan masalah karena penggunaan kata-kata dan konotasi yang tidak tepat telah ada padanya secara historis. Ada banyak defimsi tenlang ideologi, sebagai contoh Carl J. Friedrich (dalam "Man and His Govemment: An Empirical Theory of Politics", 1963) telah menawarkan gambaran yang luas guna orientasi dalam studi tentang ideologi-ideologi politik utama sekarang im. Dikatakamya bahwa Ideologi merupakan sistem-sistem pikiran yang geraknya berhubungan, memuat suatu program dan strategi bagi realisasinya serta fungsi menyatukan orgamsasi-orgamsasi disekelilingnya.
D. Easton dalam "A Systems Analysis of Political Life" (1965) memberikan pen¬genalan dan deskripsi, bahwa ideologi adalah seperangkat pikiran-pikiran, tujuan-¬tujuan, dan maksud-maksud yang bersambung, yang membantu angota-anggota siste untuk menafsirkan masa lalu, menerangkan yang sekarang, dan menawarkan suatu pandangan bagi masa depan. Berdasarkan penelitian yang intensif dan berfikir secara reflektif-final sebagai cara berfikir dalam Filsafat Integralisme (yang diistilahkan Filsafat Pancasilaisme), Abdulkadir B. dalam "Pancasila Ideologi Terbuka" (1996) mengemukakan bahwa ideologi adalah seperangkat mlai intrinsik yang diyakim kebenaramya oleh suatu masyarakat dan dijadikan dasar menata dirinya dalam menegara.
Mlai intrinsik yang ada pada Ideologi Pancasila merupakan pandangan hidup atau metode untuk memahami kehidupan sesama bagi setiap orang sebagai praktisinya itu adalah benar-mutlak secara falsafati dan empiris. Harus dipahami pula bahwa setiap ideologi mempunyai dasar filsafat tertentu yang menghasilkan mlai tertentu berdasarkan metode berpikimya sendiri yang khas, sehingga wataknya dan orang-orang penganutnya khas pula, baik pada ideology Komums, Liberal, dan Pancasila. Oleh karenanya, untuk memlai setiap fenomen yang ada, terdapat perbedaan mlai (value) dan cara urai-jawab yang berbeda sebagai akibat cara memandang yang berbeda dari ideologi. Sehingga adu argumentasi dari para pendebat yang berideologi/faham berbeda bagaimanapun tidak akan memperoleh kesamaan pendapat dan kesamaan persepsi tentang peri kehidupan.
ldeologi dalam konteks masa kim, di saat perubahan sedang berlangsung dengan cepat dan mendasar sebagai akibat dan pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknalogi beserta temuan-temuan spektakulamya, serta jika dikaitkan dengan orde reformasi, telah menempatkan kita pada suatu kompleksitas permasalahan yang klasik, fundamental, sekaligus aktual. Klasiknya ideology, karena masalah ideologi sudah muncul semenjak tahun 1796 tatkala diintroduksikan pada masa Revolusi Peraneis oleh filsuf A. Destutt de Tracy dengan memberi batasan sebagai. "Science of Ideas" atau "ilmu pengetahuan tentang ide-ide" (studi asal mula, perkembangan, dan sifat dari ide-ide), sebagaimana biasa, terhadap sesuatu yang baru selalu diikuti kontradiksi antara yang pro dan yang kontra. Sejak pada masa itu istilah ideologi dilingkungi oleh pemaknaan yang naif sebagai hasil fallacy penentangnya. Ideologi telah dipersamakan dengan berbagai cara, gaya, atau buah fikiran paham totaliter, sehingga tidak disukai banyak kalangan hingga saat im. Pencemaran nama baik dan ide-benar dari ideologi im dimulai sejak Napoleon Bonaparte yang mempergunakamya untuk menghina para intelektual liberal dari Institut de France. Banyak sosiolog mengkarakterisir ideologi sebagai bentuk propaganda politik pemerintah yang salah kaprah, terlalu muluk, dan mengada-ada, dan berkembang dengan berbagai tafsir beserta implikasinya yang tidak saja berbeda bahkan saling bertentangan. Fundamental karena setiap ideologi selalu menyentuh semua segi dan sendi kehidupan umat manusia sebagai pendukungnya secara mendasar.
Aktualnya ideologi karena dalam kehidupan umat manusia di aklur abad XX sekarang im aspek-aspek ideologik selalu mewamai setiap fenomen yang muncul dalam percaturan di bidang apapun dan di manapun. Jika dipelajari, dalam perbendaharaan sejarah filsafat, akan dijumpai sekian banyak deskripsi yang berbeda dan dengan arah serta makna yang berbeda pula. Masing-masing memberi kejelasan bahwa setia konsep ideologi selalu bertolak dari suatu keya kinan filsafati, tertentu, terutama keyakinan filsafati tentang apa, dan siapa manusia sebagai subjek pendukungnya, hak serta kewajiban dalam mencapai tujuan bersama yang telah ditentukan, dan bagaimana corak masyarakat yang harus diwujudkan. Pengejawantahamya tercermin dalam kehidupan praksis, baik di bidang spiritual, maupun di bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya suatu masyarakat atau bangsa yang bersangkutan. Masalahnya memang menyangkut hal-hal untuk merealisasikamya yang abstrak dan idiil, namun apabila tersedia peluang yang tepat ideologi akan menjadi sangat konkret. Karena itu membicarakan masalah ideologi tanpa meletakkamya pada konteks keyakinan filsafati yang menjadi dasamya, maka hanya "kulitnya" saja yang akan kita, sentuh. Keracuan dan distorsi pemikiranlah yang pada akhimya akan menjerumuskan kita pada penyempitan wawasan, terbatas pada dimensi fenomenalnya saja, sedemikian rupa sehingga sulit bagi kita untuk menangkap arti serta makna peristiwa-peristiwa yang hadir di hadapan kita di zaman yang sedang dilanda arus globalisasi yang begitu deras.
2.2. URGENSI IDEOLOGI
2.3. IDEOLOGI PANCASILA DALAM KONTEKS PERJUANGAN BANGSA
2.4. INDONESIA dan KILASAN SEJARAHNYA
III. PANCASILA DAN FILSAFAT
3.1 PEMAHAMAN PANCASILA DALAM INTEGRALISME
Lebih lengkap silahkan download
PANCASILA DAN KEWIRAAN
Labels:
Makalah
Thanks for reading Makalah Pancasila dan Kewiraan. Please share...!
0 Komentar untuk "Makalah Pancasila dan Kewiraan"
Yang sudah mampir wajib tinggalkan komentar