BAB I
OBJEK DAN METODE PSIKOLOGI PERKEMBANGAN
1.1 Pengertian perkembangan
Objek psikologi perkembangan adalah perkembangan manusia sebagai pribadi. Para ahli psikologi juga tertarik akan masalah seberapa jauhkah perkembangan manusia tadi dipengaruhi oleh perkembangan masyarakatnya (Van den Berg 1986; Muchow, 1962). Mengenai hal yang terakhir ini akan sering kita jumpai kembali dalam tulisan ini, namun perhatian psikologi perkembangan yang utama tertuju pada perkembangan manusianya sebagai person. Masyarakat merupakan tempat berkembangnya person tadi.
Tetapi apa sebetulnya yang dimaksudkan dengan perkembangan pribadi itu? Apakah artinya bila dikatakan bahwa perkembanga itu sedang berlangsung? Pertanyaan yang kedua ini akan mendapat tinjauan lebih lanjut nanti.
Pengertian perkembangan menunjuk pada suatu proses kea rah yang lebih sempurna dan tidak begitu saja dapat diulang kembali. Perkembangan menunjuk pada perubahan yang bersifat tetap dan tidak dapat diputar kembali (Wenner, 1969). Dalam “pertumbuhan” ada sementara ahli psikologi yang tidak membedakan antara perkembangan dan pertumbuhan, bahkan ada yang lebih mengutamakan pertumbuhan. Hal ini mungkin untuk menunjukan bahwa orang yang berkembang tadi bertambah kemampuannya dalam berbagai hal. Lebih mengalami diferensiasi dan pada tingkat yang lebih tinggi, lebih mengalami integrasi. Dalam tulisan ini, maka istilah pertumbuhan khusu dimaksudkan untuk menunjukan bertambah besarnya ukuran badan dan fungsi fisik yang murni. Menurut banyak ahli psikologi dan para penulis sendiri, maka istilah perkembangan lebih dapat mencerminkan sifat yang khas mengenai gejala psikologi yang muncul.
Pertumbuhan fisik memang mempengaruhi perkembangan psikis, misalnya bertambahnya fungsi otak memungkinkan anak dapat tertawa, berjalan, berbicara, dan sebagainya. Mampu untuk berfungsi dalam suatu nivo yang lebih tinggi karena pengaruh pertumbuhan, disebut pemasakan. Misalnya sebelum pendidikan kebersihan dapat dimulai, maka urat daging pembuangan harus selesai pertumbuhannya, harus sudah masak lebih dahulu. Meskipun dapat dikatakan mengenai belajar berjalan, namun harus ada pemasakan beberapa fungsi lebih dahulu, sebelum belajarnya tadi mungkin dilaksanakan.
Perkembangan juga berkaitan dengan belajar khususnya mengenai isi proses perkembangan; apa yang berkembang berkaitan dengan perilaku belajar. Disamping itu juga bagaimana hal sesuatu dipelajari, misalnya apakah melalui memorisasi (menghafalkan) atau mengerti hubungan, ikut menentukan perkembanagan (Knoers, 1985). Denagan demikian perkembangan dapat diartikan sebagai proses yang kekal dan tetap yang menuju kearah suatu organisasi pada tingkat integrasi yang lebih tinggi, berdasarkan pertumbuhan, pemasakan dan belajar. Terjadilah suatu organisasi atau struktur tingkah laku yang lebih tinggi. Pengertian lebih tinggi berarti bahwa tingkah laku tadi mempunyai lebih banyak diferensiasi, yaitu bahwa tingkah laku tersebut tidak hanya lebih luas, melainkan mengandung kemungkinan yang lebih banyak. Pengertian organisasi atau struktur berarti bahwa diantara tingkah laku tadi ada saling hubungan yang bersifat khas dan menunjukan kekhusussan seseorang pada suatu tingkat umur tertentu. Suatu definisi yang relevan dikemukakan oleh Monks sebagai berikut: “Perkembangan psikologis merupakan suatu proses yang dinamis. Dalam proses tersebut sifat individu dan sifat lingkungan menentukan tingkah laku apa yang akan menjadi actual dan terwujud. Umur kalender disini bukan merupakan suatu variable yang bebas, melainkan merupakan suatu dimensi waktu untuk mengatur bahan-bahan (data yang ada).
1.2 Psikologi kepribadian dan psikologi perkembangan
Dalam pasal yang sebelumnya telah sering ditunjukan adanya hubungan antara perkembangan dengan pribadi atau kepribadian. Pribadi atau kepribadian disini dipandang sebagai kesatuan sifat yang khas yang menandai pribadi tertentu itu. Pemakaian istilah kepribadian menimbulkan permasalahan baru, yaitu karena teori mengenai kepribadian ada bermacam-macam. Hal ini menunjukan bahwa kepribadian tersebut merupakan suatu pengertian yang dapat diartikan bermacam-macam pula. Herman (1969) berpendapat bahwa pengertian kepribadian merupakan suatu konstruk teoritis yang sengat kabur definisinya. Oleh karena itu menurut Hermann lebih baik definisinya diberikan sesudah dilakukan penelitian lebih lanjut daripada diberikan sekarang.
Walupun terdapat banyak perbedaan pendapat antara para ahli teori kepribadian, namun menurut Thomae (1986) ada suatu persamaan pendapat, yaitu bahwa setiap pribadi mempunyai ciri-cirinya yang khas. Tidak ada satu orangpun yang mempunyai ciri seratus persen yang sama dengan orang lain, setiap orang adalah pribadi yang khusus. Disamping itu juga ada suatu stabilitas dalam kepribadian seseorang hingga dapat dikatakan ada suatu identitas pribadi. Meskipun ada perubahan yang dialami seseorang, pada dasarnya orang tadi tetap mewujudkan pribadinya sendiri.
Psikologi kepribadian lebih menitikberatkan pada sifat kepribadian yang umum, maupun yang khusus (yang membedakan seseorang dari yang lain) sertta kombinasi sifat-sifat tersebut sehingga mewujudkan totalitas kepribadian tertentu. Psikologi perkembangan lebih mempersoalkan faktor-faktor yang umum yang mempengaruhi proses perkembangan yang terjadi di dalam diri pribadi yang khas itu.
Titik berat yang diberikan oleh para ahli psikologi perkembangan adalah pada raksi antara kepribadian dan perkembangan. Hal itu disebabkan oleh pendapat bahwa keseluruhan kepribadian itulah yang berkembang, meskipun beberapa aspek lebih menonjol pada masa-masa perkembangan tertentu, misalnya perkembangan fungsi indera dan fungsi motorik lebih menonjol pada tahun-tahun pertama. Ahli psikologi perkembangan lebih tertarik pada struktur yang berbeda-beda pad apribadi yang sedang berkembang, pada urut-urutan perkembangannya maupun pada hubungannya satu sama lain. Sehubungan dengan itulah dipakai istilah stadium yang berurutan bila berkisar pada suatu komponen tertentu, misalnya stadium perkembangan intelegensi. Dengan demikian orang bicara mengenai masa-masa penghidupan yang jelas dapat dibedakan antara yang satu dengan yang lain, misalnya masa kanak-kanak, masa kanak-kanak maupun dengan masa dewasa awal, meskipun ada cirri yang khas masa remaja yang jelas berbeda dengan masa kanak-kanak dan yang kurang jelas berbeda dengan masa dewasa awal. Berhubungan sifat orang adalah khas serta jalan perkembangannya juga khas maka psikologi perkembangan juga dapat dipandang sebagai psikologi jalan hidup seseorang. Charlotte Buhler (1963) sudah bekerja secara sistematis kearah itu, khusunya Thomae (1986) telah menyempurnakan psikologi jalan hidup tadi dengan data empiris.
Thomae adalah pelopor biografik psikologi, yaitu memperoleh data mengenai seseorang seobjektif mungkin. Dalam kenyataan, maka cara ini adalah suatu kombinasi pendekatan nomotorik (mencari hokum) dan yang idiografis (mencari kekhususan individual). Yang pertama adalah cara pendekatan ilmu pengetahuan empiris, yang kedua adalah cara pendekatan ilmu pengetahuan kerohanian ( De Groot, 1996).
1.3 Teori-teori perkembangan
Suatu teori akan memperoleh arti yang penting bila ia lebih banyak dapat melukiskan, menerangkan, dan meramalkan gejala-gejala yang ada. Marx (1963) membedakan adanya tiga macam teori yaitu:
a. Teori yang deduktif: memberikan keterangan yang dimulai dari suatu perkiraan atau pikiran spekulatif tertentu kea rah data yang akan diterangkan.
b. Teori yang induktif: cara menerangkan adalah dari data ke arah teori. Dalam bentuk ekstrim titik pandang yang positivistis ini dijumpai pada kaum behaviorist.
c. Teori yang fungsional: disini Nampak suatu interaksi pengaruh antara data dan perkiraan teoritis, yaitu data mempengaruhi pembentukan teori dan pembentukan teori kembali mempengaruhi data.
Berdasarkan tiga pembagian ini dapatlah disimpulkan bahwa teori dapat dipandang sebagai berikut:
1. Teori menunjuk pada sekelompok hokum yang tersusun secara logis. Hokum-hukum ini biasanya mempunyai sifat hubungan yang deduktif. Suatu hokum menunjukan suatu hubungan antara variabel-variabel empiris yang bersifat ajeg dan dapat diramal sebelumnya.
2. Suatu teori juga dapat merupakan suatu rangkuman tertulis mengenai suatu kelompok hokum yang diperoleh secara empiris dalam suatu bidang tertentu. Disini orang mulai dari data yang diperoleh dan dari data yang diperoleh itu dating pada suatu konsep yang teoritis.
3. Suatu teori juga dapat menunjuk pada suatu cara menerangkan yang menggeneralisasi. Disini biasanya terdapat hubungan yang fungsional antara data dan pendapat yang teoritis.
Berdasarkan data tersebut diatas secara sangat umum dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu teori adalah suatu konsepsualisasi yang umum. Konsepsualisasi atau system pengertian ini diperoleh melalui jalan yang sistematis. Suatu teori harus dapat diuji kebenarannya, bila tidak dia bukan suatu teori.
Didalam ilmu pengetahuan sering digunakan apa yang disebut model, maka perlulah disini untuk membedakan antara teori dan model. Bila suatu gejala kita pandang sebagai suatu kesatuan yang terdiri daripada bagian-bagian yang saling berhubungan, maka gejala tadi disebut suatu system yang konkrit.
Seringkali model digunakan untuk memperoleh informasi yang lebih banyak mengenai gejala. Hal ini disebut fungsi model yang heuristis atau yang bersifat mencari. Hal tersebut menghasilkan suatu hipotesis kerja yang dapat membantu pembentukan teori lebih lanjut. Seringkali suatu model mempunyai fungsi melukiskan atau menerangkan belaka. Melukiskan atau menerangkannya tidak akan bias sempurna, tetapi mempunyai hubungan denganaspek gejala yang dianggap penting.
Suatu model tidak boleh diuji kebenarannya, seperti halnya suatu teori. Model sedikit banyak dapat digunakan untuk melukiskan atau menerangkan gejala-gejala tertentu. Untuk menerangkan model deficit, baiklah kita tinjau model deficit Charlotte Buhler yang berorientasi biologis.
Menurut Buhler (1893-1974) ada lima perkembangan pisikis seseorang
a. Permulaan
b. Penenjakan
c. Puncak masa hidup: 25-50 tahun
d. Penurunan
e. Akhir kehidupan
Menurut Buhler, maka dalam perkembangan fisik ada empat titik balik yang menentukan:
a. Permulaan kemasakan seksual: pada anak laki-laki ± 15 tahun. Pada anak wanita ± 13 tahun.
b. Penghentian pertumbuhan jasmani: wanita ± 18 tahun. Laki-laki ± 25 tahun
c. Akhir masa subur: wanita ± 40-46 tahun. Laki-laki masuh tanda Tanya.
d. Permulaan kemunduran biologis: ± 50 tahun.
Penanjakan kehidupan manusia menurut Buhler berlangsung sampai tahun ke-25, sesudah itu dating masa yang relative stabil, yaitu puncak masa hidup, dan akhirnya dating masa kemunduran biologis. Meskipun kemunduran biologis merupakan suatu fakta yang nyata, tetapi masih belum dapat ditentukan apakah juga ada suatu kemunduran dalam fungsi psikis.
1.3.1 Teori yang berorientasi biologis
Teori ini menitikberatkan pada apa yang disebut bakat. Jadi faktor keturunan dan konstitusi yang dibawa sejak lahir. Perkembangan anak dilihat sebagai pertumbuhan dan pemasakan organisme. Perkembangan bersifat endogen, artinya perkembangan tidak hanya berlangsung spontan saja, melainkan juga harus dimengerti sebagai pemekaran pre-disposisi yang telah ditentukan secara biologis dan tidak dapat berubah lagi (genotype). Dalam hal ini maka perkembangan merupakan suatu proses yang spontan, yang oleh Piaget (1971) disebut sebagai kelanjutan ganesa-embryo. Pengaruh lingkungan yang menguntungkan dan tidak menguntungkan ikut menentukan sifat apa yang akan terwujud yang dimilki organisme dalam periode tertentu (fenotype).
Kelemahan teori ini Nampak dalam penelitian anak-anak kembar. Anak kembar yang identik ( satu telur) yang dibesarkan dalam milieu (lingkungan) yang berbeda, mengalami proses perkembangan yang berbeda pula. Perbedaan dalam perkembangan dua anak tadi tidak dapat diterangkan melulu sebagai reaksi mereka terhadap banyak sedikitnya kehangatan yang diterima, atau melulu karena banyak sedikitnya pendidikan formal yang dialami.
Kelemahan teori yang berorientasi biologis itu juga kita jumpai pada waktu anak dalam suatu kondisi tertentu mampu melaksanakan tingkah laku operasi. Yaitu melakukan tingkah laku intelektual pada waktu yang lebih awal daripada stadium perkembangannya, misalnya dapat membaca pada waktu yang sangat awal. Anak-anak dengan informasi bawaan yang sam mungkin akan menggunakan informasinya itu dengan cara yang berbeda-beda.
1.3.2 Teori Lingkungan
Dalam kelompopk teori lingkungan (atau teori milieu) termasuk teori belajar dan teori sosialisasi yang bersifat sosiologis. Kedua macam teori itu sebetulnya sama karena prionsip sosialisasi itu merupakan suatu bentuk belajar social. Hal ini juga berlaku bagi enkulturasi, yaitu memperolehnya tingkah laku kebudayaan sendiri, yang banyak ditulis oleh ahli antropologi budaya, seperti Benedict (1934), Kardiner (1945), Mead (1953).
Teori-teori belajar mempunyai sifat yang berlainan (Knoers, 1973). Persamaan yang ada diantara berbagai teori belajar itu adalah bahwa mereka semua memandang belajar sebagai suatu bentuk perubahan dalam disposisi seseorang yang bersifat relative tetap, disposisi disini diartikan sebgai potensi untuk bertingkah laku, untuk bersikap. Menurut teori ini maka perkembangan adalah bertambahnya potensi untuk bertingkah laku. Berjalan harus dipelajari, bergaul dengan orang lain juga harus dipelajari, begitu juga berpikir logis.
Teori ini beranggapan bahwa sesudah tahun pertama, potensi untuk melakukan tingkah laku nivo yang lebih tinggi tidak tergantung daripada perubahan spontan pada struktur diri organisme, melainkan tergantung pada apa yang kita pelajari dengan teknik-teknik yang tepat. Jadi bila anak hidup dalam suatu lingkungan tertentu, maka anak tadi akan memeperlihatkan pola tingkah laku yang khas lingkungannya tadi.
Para ahli sosiologi mengemukakan bahwa kemungkinan besar ada semaca watak social (Rolff, 1970). Watak social ini menurut Fromn (1941) adalah inti struktur watak yang dimiliki oleh semua anggota suatu budaya atau sub-budaya tertentu. Watak social berlainan dengan watak individual yang menunjuk pada perbedaan yang diantara orang-orang dari suatu budaya yang sama.
1.3.3 Teori psikodinamika
Teori ini mempunyai kesamaan dengan teori belajar dalam hal pandangan akan pentingnya pengaruh lingkungan, termasuk lingkungan (milieu) primer terhadap perkembangan. Perbedaan ialah bahwa teori psikodinamika memang komponen yang bersifat sosio-afektif sangat fundamental dalam kepribadian dan perkembangan seseorang. Menurut toeri ini, maka komponen yang bersifat sosio-afektif, yaitu keteganagn yang ada dalam diri seseorang, sebagai penentu dinamikanya.
Menurut salah satu teori psikodinamika terkenal, yaitu teori Freud, maka seorang anakdilahirkan dengan dua macam kekuatan (energi) biologis, yaiutu libido dan nafsu mati. Kekuatan atau energi ini “mengusasai” semua orang atau semua benda yang berarti bagi anak, melalui proses yang oleh Freud disebut kathexis. Kathexis berarti konsentrasi psikis terhadap suatu objek atau suatu ide yang spesifik atau terhadap suatu person yang spesifik.
Struktur anak pada waktu dialhirkan adalah apa yang disebut “DasEs” “DasEs” ini mendorong anak untuk memuaskan nafsu-nafsunya (prinsip kenikmatan). Tetapi didalam perkembanganya anak tertumbuk pada realita keliling hingga repaksa harus mengadakan suatu kompromi (prinsip realitas). Dari kenyataan ini timbulah di dalam struktur “Das Es” suatu komponen lain yaitu “Das loh” (aku) yang berfungsi sebagai penentu diri, baik terhadap dunia luar maupun terhadap “Das Es”. Denagn demikian pemuasan nafsu ditunda hingga saat-saat yang sesuia denagn realitas. Kadang-kadang pemusaan nafsu tersebut diubah bentuknya hingga dapat diterima oleh norma realitas.
Kemudian karena pengaruh lingkunagn social pada masa kanak-kanak, yaitu pengaruh orang tua, terbentuklah “Das Ueber-ich” di dalam “Des Ioh” seseorang. “Uber-ich” tadi mengatur laku “Ioh” dan mengatur tuntunan yang datangdari “Es”. Kalau “Ioh” tidak berhasil mengkompromikan tuntutan “ Es” dan tuntutan “Ueer-ich”, maka nafsu-nafsu yang berasal dari “Es” ditekan secara tidak sadar. Hal ini berarti bahwa nafsu-nafsu tadi tidak manifest, tetapi penagaruhnya masih ada secara laten. Seseorang lalu dapat melakukan hal-hal tertentu yang tidak diketahui sendiri alasannya.
Teori perkembangan yang berorientasi kepada psikodinamika tidak lagi mengakui pendapat yang dulu dianut secara umum, bahwa perkembangan fungsi seksual baru dimulai bersamman dengan pertumbuhan organ kelamin pada masa remaja. Libido yang juga disaebut seksualitas sesuai dengan tujuan dan arahnya, sudah mulai berfungsi sejak anak dilahirkan.
Kehidupan seksual mempunyai fungsi memberi kenikmatan pada bagian-bagian badan tertentu; baru kemudian sesudah mencapai tingkatan tertentu dalam perkembangan, maka seksualitas dimaksudkan untuk kepentingan reproduksi (pengembangbiakan). Dalam proses perkembangan ada tiga daerah badan tertentu yang dapat memberikan kenikmatan (daerah orogen), yaitu mulut, anus, dan organ-organ genital. Mulut adalah sumber kenikmatan utama, tidak hanya karena melalui mulut bayi memperoleh makanan atau karena dalam menyusu ia dapat merasakan kehangatan ibu melalui mulutnya melainkankarena gerakan menghisap yang ritmis itulah memberikan kenikmatan tersendiri. Berhubungan dengan itulah maka mulut dalam fase oral ini merupakan alat pertama bagi anak untuk memperoleh kesan kesan. Semuanya dibawa ke mulut untuk dihisapnya. Bila nanti tumbuh gigi-giginya, maka sudah dalam fase inilah timbul implus agresif (sadistis) yang akan berkembang penuh pada fase berikutnya, yaitu fase anal yang sadistis. Dalam fase ini kenikmatan dialami pada fungsi pembuangan yaitu pada waktu menahan dan bermain-main dengan faces (kotoran) juga senag bermain dengan lumpur dan senang melukis dengan jari (“fingerpainting”) yaitu mengecat langsung dengan jari yang mempunyai tujuan psikoterapi, yaitu penyaluran kecemasan dan agresi.
Dalam fase ini nampak jelas hambatan yang dtang dari lingkunagan dalam bentuk pendidikan akan kebersihan, larangan terhadap kecendrungan destruktif dan hambatan terhadap kemauan yang secara agresif ingin dipaksakannya. Sesudah fase ini datanglah lambat laut fase fallis, sesuia dengan nama organ genital laki-laki (phallus) yang kemudian merupakan daerah kenikmatan seksual anak laki-laki. Sebaliknya anak wanita merasakan kekurangan akan penis karena hanya mempunyai klitoris. Terjadilah jalan simpang bagi anak wanita dan anak laki-laki. Anak laki-laki pada masa ini mengalami konflik Oedipus sesuai dengan nama raja Yunani Oedipus yang tanpa diketahuinya telah kawian dengan ibunya sendiri setelah membunuh ayuah yang tidak dikenalnya. Anak laki-laki ingin bermain-main dengan penisnya ( masturbasi) dan dengan penis tersebut juga ingin merasak kenikmatan pada ibu. Tetapi keinginannya ini menimnbulkan ketakutan yang mendalam terhadap ayah. Anak mengira ayah akan melakukan pembalasan terhadap dirinya dengan memotong penis (kastrasi). Dengan demikian terjadi masa latensi. Dalam masa latensi ini seksualitas seakan mengendap, tidak aktif, dalam keadaan laten. Tetapi dalam keadaan laten ini dimungkinkan juga suatu pengolahan seksualitas dari dalam yang menimbulkan rasa mesra dalam diri anak (Cluckers, 1977).
Iri hati akan penis ini juga dapat mengakibatkan penolakan seksualitas yang dapat mempengaruhi perkembangan erotik serta menghambat kemungkinan mencapai kebahagiaan dalam hubungan seks dengan orang lain nanti. Dengan pertumbuhan organ-organ kelamin pada masa remaja, timbullah fase yang terakhir yaitu fase genital. Dalam fase ini, organ-organ genital menjadi sumber kenikmatan sedangkan kecendrungan lain ditekan. Bila dalam hubungan ini norma “Uber-ich” anak terlalu tinggi, misalnya karena tekanan orang tua, maka munculnya kebutuhan seks dapat menyebabkan gangguan batin yang serius.
Teori perkembangan yang berorientasi psikodinamika mempunyai kelemahan, yaitu tidak dapat diuji secara empiris (Eysenck, 1959; De Waele, 1961). Teori tersebut menitikberatkan akan perkembangan sosio-sfektif. Bila dalam teori ini seksualitas menduduki tempat yang utama, perlu diketahui juga bahwa libido dan agresi selalu berjalan bersama-sama. Jadi kalau misalnya seksualitas ditekan karena norma pendidikan orang tua, maka agresi ikut ditekan juga.
Erikson (1964) meluaskan teori freud yang agak menyebelah ini dengan mencoba meletakkan hubungan antara gejala psikis dan edukatif di suatu pihak dan gejala masyarakat-budaya di pihak yang lain. Suatu kehidupan bersama ditandai oleh cara anak diasuh dalam lingkungan hidup mereka yang wajar. Misalnya sebagai contoh Erikson mencoba mengartikan cara pendidikan orang Amerika dan pentingnya peranan ibu dalam menciptakan “home” di rumah, khusunya dalam waktu banyak pionir sedang pergi jauh keluar dari lingkungannya sendiri. Disini dapat dilihat bahwa Erikson kurang mengindahkan pengaruh kelembagaan modem dalam masyarakat.
Walaupun begitu, cara pendekatan Erikson yang bersifat normopsikologis ditinjau dari pendekatan Psikologi sepanjang hidup cukup relevan untuk ditinjau sejenak. Erikson membagi hidup manusia menjadi beberapa fase atas dasar proses-proses tertentu berdasarkan akibat-akibatnya. Dari segi pandangan psikologi perkembangan, maka pada setiap fase seseorang mempunyai “tugas” yang harus diselesaikan dengan baik.
Sebagai suatu contoh dapat dilihat perkembangan seorang bayi dalam masa oral. Ia dapat memperoleh atau tidak memperoleh kepercayaan dasar terhadap dunia luar tergantung daripada sikap milieu primernya, terutama ibu, pada waktu anak mencari pengalaman melalui mulut. Hal ini dapat ikut membentuk timbulnya berbagai bentuk gangguan dan tingkah laku kejahatan.
Bila anak dapat menyelesaikan fase pertama dengan baik, maka kemungkinan telah terbentuk dasar perkembangan yang utama, meskipun dalam setiap fase individu dapat macet lagi meski dalam nivo yang tidak terlalu dalam. Karena gangguan tidak terjadi terlalu dalam maka dengan keberanian fase-fase yang sebelumnya, gangguan tadi lebih mudah diatasi.
1.3.4 Teori ilmu kerohanian
Tokoh yang paling utama dalam teori ini adalah Eduard Spranger (1882-1962). Titik berat pandangannya adalah pada kekhususan psikis individu. Sesuai dengan pendapat Dithley (1833-1911) Spranger mengemukakan bahwa gejala psikis seseorang sulit diterangkan seperti halnya menerangkan gejala fisik
Gejala dimengerti dari keseluruhan strukturnya, begitu pula gejala perkembangan dimengerti dengancara seperti itu. Misalnya pemasakan seksual adalah suatu gejala fisiologis, tetapi remaja memberikan arti dalam keseluruhan struktur psikologinya, penundaan pemuasan seks hingga sesudah masa remaja, menurut Spranger adalah suatu hal yang berarti, karena baru pada usia dewasa “Sexus” (nafsu seks) dan “Eros” (rasa kasih yang mempunyai hakekat etis) dapat bersatu.
Meskipun pendapat Spranger masih tergolong spekulatif, mungkin bertitik tolak dari perhatian antropologis, namun ide-idenya banyak dianut oleh penulis yang kemudian. Di negeri Belanda maka Langeveld (1959), Calon (1953) dan Beets (1954) dipandang sebagai wakil aliran ilmu kerohaniaan yang bersifat antropologis. Seprti halnya pada setiap teori, maka teori ini juga mempunyai beberapa variasinya.
1.3.5 Teori interaksionisme
Beberapa teori yang dibicarakan sebelumnya agak bersifat menyebelah, dari sebab itu membutuhkan suatu sintesa. Sintesa tersebut didapat di dalam teori interaksionisme yang sekarang banyak dianut oleh kebanyakan ahli psikologi perkembangan di Barat. William Stern dapat dipandang sebagai pelopor teori konvergensi yang beranggapan bahwa setiap tingkah laku merupakan hasil pertemuan (konvergensi) antara faktor pribadi dan faktor lingkungan.
Dalam Negara blok Timur lebih dianut teori lingkungan. Hal ini dapat dimengerti karena mereka menganut ideology Marxis yang menganggap perkembangan sebgai cermin masyarakat lingkungan. Dalam tingkah laku seseorang Nampak ada dialektik dengan lingkungan (Kossakowski, 1969; Davidow, 1961). Menurut Vygotsky perkembangan kognitif bukan merupakan perkembangan yang “wajar”, melainkan ditentukan oleh kebudayaan (Van Parreren, 1979; 1983).
Teoretikus terkenal dalam interaksionisme adalah Piaget (1947). Pendapatnya agak menyebelah karena Piaget hanya mementingkan perkembangan intelektual dan perkembangan moral yang berhubungan dengan itu. Disini moral dipandang sebagai berhubungan dengan intelektual anak.
Inti pengertian teori Piaget adalah bahwa perkembangan harus dipandang sebagai kelanjutan ganesa-embrio. Perkembangan tersebut berjalan melalui berbagai stadium dan membawa anak ke dalam tingkatan berfungsi dan tingkatan struktur yang lebih tinggi. Terlaksananya perkembangan ini dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, pertama dapat disebut faktor pemasakan yang memungkinkan dilakukannya aktivitas seseorang. Anak tidak dapat melakukan tindakan (operasi) tertentu, sebelum ia mencapai suatu tingkatan kemasakan tertentu. Pengaruh lain dating dari pengalaman dan transmisi sosial. Transmisi sosial berarti penanaman nilai-nilai melalui pendidikan, tetapi juga melalui bahasa yang karena strukturnya yang khas, dapat membuka kemungkinan-kemingkinan baru. Tetapi yang paling penting adalah aktivitas sosial individu yang dapat belajar menyesuaikan diri pada tuntutan realitas melalui pengalaman dan transmisi sosial. Bentuk penyesuaian ini oleh Piaget disebut asimilasi, yaitu memperoleh kesan dan pengertian baru atas dasar pola pengertian yang sudah ada. Istilah asimilasi diambil dari istilah biologi seperti juga halnya istilah adaptasi. Dengan istilah akomodasi Piaget mengartikan penyesuaian diri untuk dapat bertindak yang cocok dengan situasi baru dalam lingkungannya. Maka dari itulah suatu akomodasi lebih lanjut yang dibutuhkan untuk bertindak yang sesuai akan memecahkan keseimbangan tadi. Ekuilibrasi berarti mendapatkan keseimbangan baru secara aktif.
Istilah interaksionisme menunjuk pada pengertian interaksi, yaitu pengaruh timbale balik. Di sini dimaksudkan tidak hanya pengaruh mempengaruhi antara bakat dan milieu, antaqra pemasukan dan belajar, melainkan juga interaksi antara pribadi dan dunia luar. Interaksi tadi mengandung arti bahwa orang dengan mengadakan reaksi dan aksi ikut memberikan bentuk pada dunia luar )keluarga, teman, tetangga, kelas sosial, kelompok kerja, bangsa).
Di samping interaksi ada kovariansi faktor keturunan dan faktor lingkungan, artinya kedua faktor berjalan bersama-sama. Misalnya orang tua merupakan pengaruh keturunan dan pengaruh lingkungan sekaligus bagi anak. Dengan begitu dapat dilihat nanti, bahwa pengertian adaptasi Piaget dalam arti biologis harus dilengkapi dengan arti sosiologis. Dalam halini mungkin istilah emansipasi lebih tepat untuk melukiskan keadaan tersebut. Dalam pedagogic dan psikologi pengertian emansipasi digunakan untuk menunjukan usaha anak dan pemuda untuk membebaskan diri dan menemukan kepribadian sendiri, baik sebagai individu maupun sebagai anggota kelompok.
1.3.6 Teori perkembangan dan pendidikan: teori mengenai tugas-tugas perkembangan
Perkembangan dilukiskan sebagai suatu proses yang membawa seseorang kepada suatu pola tingkah laku yang lebih tinggi. Pandangan ini mempunyai akibat yang luas bagi teori psikologi perkembangan yang dikaji oleh Havigurst bagi perkembangan orang Amerika. Havigurst mengemukakan bahwa perjalan hidup seseorang ditandai oleh adanya tugas-tugas yang harus dapat dipenuhi. Tugas ini dalam batas tertentu bersifat khas untuk setiap masa hidup seseorang. Hvigurst menyebutnya sebagai tugas perkembangan (development task) yaitu tugas yang harus dilakukan oleh seseorang dalam masa hidup tertentu sesuai dengan norma masyarakat dan norma kebudayaan.
Tugas perkembangan tersebut menunjukan adanya hubungan dengan pendidikan, yaitu pendidikan dan pelajaran formal yang diterima seseorang. Pendidikan menentukan tugas apakah yang dapat dilaksanakan seseorang pada masa-masa hidup tertentu. Bila dalam masa dewasa muda seseorang tidak berhasil untuk menemukan jodoh, orang tadi akan tidak merasa bahagia, namun sebetulnya hal ini sangat tergantung pada filsafat hidup orang itu. Beberapa catatan yang masih dapat dikemukakan di sini ialah pertama bahwa pengertian masa dewasa muda menurut Havigurst mengandung pengertian lebih luas daripada yang biasanya diberikan. Daiantara apa yang oleh Havigurst dimaksudkan dengan masa dewasa awal dan masa dewasa remaja, terseliplah masa dewasa muda dalam artin yang sempit. Catatan kedua adalah bahwa kesejahteraan dan kebahagiaan hanya sebagian saja dipengaruhi oleh berhasil atau tidaknya melakukan tugas perkembangan. Catatan ketiga ialah bahwa pendidikan banyak ditentukan oleh kebudayaan suatu bangsa. Catatan keempat berhubungan dengan pasal yang akan dating. Havigurst terlalu menitik beratkan pada pengaruh kebudayaan dan masyarakat terhadap beberapa tugas perkembangan tertentu meskipun pengaruh dan tekanan masyarakat maupun kebudayaan merupakan hal yang penting.namun perlu ditonjolkan bahwa pribadi yang sedang berkembang itu, khusunya mulai masa remaja, menentukan sendiri tugas mana yang diterima dan mana yang ditolak. Dalam ketegangan antara keinginan untuk tergantung dan dorongan untuk bebas dari otorita orang tua, remaja berpeluan untuk memperoleh tanggung jawab sendiri dalam menentukan pola hidupnya.
1.3.7 Psikologi perkembangan dan pengertian emansipasi
Lavengeld (1964) memandang pengertian emansipasi sebagai satu aspek pembentukan identitas atau indivisualisme, yakni pembentukan kesadaran diri. Meskipun pengertian emansipasi di sini memperoleh arti yang lebih aktif daripada semula, namun belum terlalu jelas ditunjukan bahwa emansipasi makin lama makin dimengerti sebagai suatu proses aksi sosial atau aksi masyarakat yang berwujud perjuangan kelompok sosial atau kelompok sub-kultural untuk memperoleh perlakuan hokum yang sama.
Ada yang beranggapan bahwa emansipasi dapat menimbulkan masalah, yaitu bila tidak ada control intern yang cukup, misalnya yang dapat terjadi pada kelompok yang mengalami diskriminasi. Dari pandangan psikologi perkembangan, maka pengertian emansipasi mempunyai arti yang penting. Proses perkembangan seseorang akan lain bila ia emndapat kesempatan untuk mengembangkan dorongan eksplorasi, yang oleh Langeveld dihubungkan dengan emansipasi, bersama dengan teman-teman sebaya.
Sebagai rangkuman dapat dikemukakan bahwa emansipasi merupakan suatu proses dalam perkembangan, yaitu untuk belajar mengaktualisasikan diri bersama-sama dengan orang-orang lain yang ada dalam situasi yang sama. Aktualisasi diri tersebut mengandung arti menunjukan diri sebagai suatu kelompok yang memiliki hak yang sama dengan orang-orang lain serta menunjukan diri sebgai pribadi-pribadi yang khas. Hal ini dilakukan dengan melepaskan diri dari ikatan yang membuat mereka menjadi kelompok yang mengalami diskriminasi.
Pendidikan dapat membantu anak dan remaja dalam proses tersebut, bila mereka senantiasa ditantang untuk mengadakan refleksi dir yang kritis.
1.3.8 Pandangan dalam tulisan ini
Teori mengenai emansipasi adalah yang paling tepat untuk menerangkan dan mengerti perkembangan seseorang. Faham interaksionisme dapat mempersatukan kedua faktor yaitu bakat dan lingkungan. Keterikatan inisiatif pribadi dengan masyarakat ini merupakan tema teori tugas perkembangan maupun teori emansipasi karena keduanya menitikberatkan akan pengaruh kebudayaan dan pengaruh kelompok dalam keadaan situasi sosial yang sama.
Pendapat Hill (1973) dan Thomae (1968) dan dengan model isomorfisme Oerter (1978, 1981). Menurut Hill, maka teori perkembangan harus memenuhi emapat persyaratan, yaitu bahwa:
1. Kontinuitas dan diskontinuitas dalam perkembangan hanya dapat dimengerti dalam rangka perjalanan hidup sebagai keseluruhan.
2. Pengertian-pengertian dapat diterapkan baik terhadap perubahan pada pribadi maupun pada lingkungan.
3. Teorinya bersifat interaksionistis
4. Tingkah laku selalu dinilai sebagai fungsi faktor pribadi, maupun faktor situasional.
Di samping teori makro yang berhubungan dengan keseluruhan proses perkembangan, juga ada banyak teori mikro atau teori tingkatan lebih rendah yang terutama ingin menerangkan gejala perkembangan tertentu saja.
Untuk menguji suatu teori makro, maka yang paling penting adalah memakai kombinasi metode, hal semacam itu akan dilakukan dalam uraian berikutnya.
1.4 Metode psikologi perekembangan
Beberapa metode dimaksudkan untuk memberikan lebih banyak pengertian akan gejala perekmbangan, beberapa metode lain lagi memberikan pengertian bagaimana caranya mengatasi hambatan dalam proses perekembangan. Dapat pula dibedakan antara pendekatan yang lebih umum dan metode yang lebih spesifik. Pendekatan yang lebih umum memberikan pengertian akan keseluruhan proses perkembangan atau beberapa aspek lainnya, misalnya perkembangan intelektual, atau pengertian akan arti faktor endogen dan eksogen bagi perekembangan seseorang.
1.4.1 Pendekatan yang umum
Dalam uraian diatas telah disebutkan bahwa pendekatan yang umum ini dibedakan antara dua kelompok, kelompok yang satu memberikan lebih banyak data mengenai keseluruhan perkembangan atau beberapa aspeknya, kelompok yang lainnya meninjau apa ynag dipengaruhi oleh faktor bawaan atau apa yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan, khususnya faktor kebudayaan.
1.4.1.1 Metode longitudinal vs transversal
Yang di sebut metode longitudinal adalah cara menyelidiki anak dalam jangka waktu yang lama, misalnya mengikuti perkembangan seseorang dari lahir sampai mati, atau mengikuti perkembangan seseorang dalam sebagian waktu hidup yaitu misalnya selama masa kanak-kanak atau selama masa remaja. Dengan metode ini biasanya diteliti beberapa aspek tingkah laku pada satu atau dua orang yang sama dalam waktu beberapa tahun. Dengan begitu akan diperoleh gambaran aspek perkembangan secara menyeluruh. Keuntungan metode longitudinal ini ialah bahwa suatu proses perkembangan dapat didikuti dengan teliti. Tetapi kerugiannya ialah bahwa penyelidik sangat tergantung pada orang yang diselidiki tersebut dalam jangka waktu yang cukup lama. Hala ini sering kali menimbulkan kesulitan, misalnya bila orang yang diselidiki tadi tiba-tiba pindah atau meninggal.
Sebaliknya dengan metode transversal atau metode krosseksional deselidiki orang-orang atau kelompok atau kelompok orang dari tingkatan usia yang berbeda-beda. Dengan mengambil kelompok orang dari tingkatan umur yang berurutan akhirnya dapat juga diketemukan gambaran mengenai proses perkembangan satu atau beberapa aspek kepribadian sesorang. Mungkin gambaran yang akan diperoleh nanti agak kurang dipercaya atau kurang jelas karena tidak mengenai orang yang sama seperti halnya pada metode longitudinal. Tetapi sebaliknya dengan metode transversal itu dapat diperoleh pengertian yang lebih baik akan faktor yang khas atau kurang khas bagi kelompok-kelompok tertentu, karena dengan metode ini dapat diambil kelompok-kelompok yang dapat diperbandingkan, misalnya meneliti seseorang dari status masyarakat yang berbeda-beda.
Metode lain yang disebut tiem-lag membandingkan orang-orang dari usia yang sama tetapi dari kohort yang berbeda-beda. (kohort = kelompok orang yang ahir pada tahun yang sama). Wheeler (1942) menemukan bahwa anak-anak dari usia dan daerah yang sama lebih tinggi sekor tingkah lakun kecerdasannya pada tahun 1940 daripad tahun 1930.
Juga dapt diadakan kombinasi metode longitudinal dan kroseksional denagn meneliti beberapa kelompok selama beberapa tahun, misalnya selama tiga tahun, tetapi diusahakan sedemikian rupa hingga usia kelompok yang satu dengan yang lain saling menutupi. Misalnya kelompok yang satu terdiri daripada anak umur 12,13, dan 14 tahun; kelompok yang lain berumur 14,15,dan 16 tahun. Sifat longitudinalnya ada dalam mengikuti kelompok tadi selama 3 tahun berturut-turut, sedangakan krosseksionalnya dapat dilakukan dengan membandingkan usia 14tahun yang saling menutupi tadi mengenal beberapa tingkah laku tertentu. Di Nijmegen, Nederland pernah diadkan penelitian mengenai perkembangan anak dengan memakai metode kombinasi itu (lihat Wels van dan Munckhof, 1974; Pahl-Andersen B. dkk. 1979 ).
1.4.1.2 Pendekatan lintas budaya
Antropologi budaya telah berjas dengan menunjukkan bahwa faktor-faktor yang dulu dianggap sebagai faktor kemasakn ternyata merupakan hasil pengaruh lingkungan atau kebudayaan sekitar.
Benedict (1934), kardher (1945) dan mead (1958) dapat menunjukkanbahwa enghayatan kemasakan seksual dalam masa remaja sangat dipengaruhi oleh perlakuan dan norma yang berlaku pada suatu kebudayaan tertentu. Diskrepansi antara kemasakan seksual dan tingkah laku seksual sangat tergantung pada norma yang berlaku pada kebudayaan tadi. Hal tersebut menyebabkan tibulnya berbagai penelitian untuk membandingkan orang-orang dari usia yang sama tetapi hidup dalam alam adat yang berbda-beda. Denagn demikian dapat diperoleh pengertian yang lebih baik mengenai berbagai macam aspek dalam perkembangan kepribadian seseorang. Misalnya Piaget (1937) beranggapan bahwa perkembangan inteligasi dimulai dengan suatu “stadium egosentris”; dalam stadium tersebut belum dapat membedakan anatar dirinya dan dunia luar. Perkembangan inteligens akan menyebabkan datangnya pengertian akan perbedaan itu. Brunei (1972) dapat menunjukkan bahwa anak Senegal tidak mengalami perkembangan semacam itu. Begitu pula Reich mengemukakan bahwa pada ornag Eskimo sama sekali tidak ada perbedaan antara individu dan dunia luar. Bila penemuan Bruner dan reich itu benar, maka ada kemungkinan perkembanagn cara berfikir yang egosentirs ke cara berfikir yang objektif lebih menonjol atau lebih cepat terjadi pada anak di barat.
Pendekatan lintas budya (kroskultural) ini memberikan pengertian yang lebih mendalam akan proses perkembangan seseorang. Juga di barat banyak diadakan penelitian banding antara anak-anak yang berasal dari suku bangsa yang berbeda-beda tetapi hidup dalam masyrakat yang sama, misalnya membandingkan anak kulit putih dengan anak negro di Amerika. Perbedaan alam budaya atau perbedaan kulutral semacam itu kadang-kadang dimengerti sebagai perbedaaan subkulural, yaitu perbedaan yang terdapat dalam kelompok yang berbeda-beda yang hidup dalam masyarakat yang sama. Di Amerika, orang negro tergolong kelas sosial ekonomi yang rendah. Ciri perkembangan orang yang tidak berpendidikan, atau ciri anak yang hidup di bagian kota yang miskin (slums) diketemukan pada anak negro. Namun penemuan ini masih terbuka untuk di kaji lebih lanjut. Jensen (1969) dapat menunjukkan bahwa ornag negro memperoleh sekor beberap angka lebih rendah daripada ornag kulit putih dalam beberapa tes intelegensi. Secara dangakal hal ini dapat disimpulkan bahwa ornag negro lebih kurang cerdas daripada orang kulit putih. Penelitian tersebut dilakukan terhadap kelompok orang negro dan kelmpok orang kulit putih yang kurang lebih sama latar belakang pendidikan dan sosial ekonominya. Tes intelegensi yang dikenakan bersifat bebas budaya (culuture free) terdiri dari beberapa tes yang non verbal sehingga bebas dari hambatan bahasa. Hal ini cukup penting karena banyak pendapat mengatakan bahwa perkembngan bahasa di tentukan oleh subbudaya seseorang (Bernstein 1967; oevermann.1971). Masih dapat dipermasalahkan yaitu pakah motif prestasi, watak sosial dan sebagainya di sini tidak mengambil peranan yang penting. Misalnya tes Raven yang dianggap “culture free” masih juga dipengaruhi oleh latar belakang kulutural orang yang dites (Drenth, 1973). Pedekatan lintas budaya ini dengan jelas membuktikan bahwa motif prestasi banyak ditentukan oleh faktor cultural atau subkultural, dengan demikian pendekatan lintas budaya memeberikan sumbangan besar pada penelitian psikologi perkembangan.
1.4.2 Metode spesifik
Dalam rangka pendekatan yang telah diuraikan di atas masih ada beberapa metode yang khusus dalam psikologi perkembangan. Secra kasar dapat dibedakan antara metode eksperimental dan non eksperimental. Kebanyakan ada diantara kedua metode tersebut. Dengan penegertian ini dapatlah dibicarakan secara singkat mengenai dua macam metode ini.
1.4.2.1 Metode eksperimental
Metode eksperimental dapat dibedakan antara eksperimen murni dan eksperimen lapangan. Perbedaan antara keduanya tersebut ada dalam tingkat kemungkinannya dalam mengerti hubungan antara faktor-faktor tertentu dengan gejala-gejala perkembangan. Pada eksperimen murni maka control terhadap situasi lebih dpat dilakukan dengan baik dengan demikian hubungan antara suatu variable dengan suatu gejala perkembangan lebih dapat di tentukan. Eksperimen lapangan bertitik tolak dari suatu kehidupan nyata. Dalam hal ini seringkali hubunga antara suatu variabel dengan suatu gejala perkembangan kurang dapat dilihat dengan pasti
Dalam suatu eksperimen maka semua variabel kecuali satu dibuat konstan, kemudian dengan memanipulasi variabel yang satu tersebut (yaitu variabel bebas) dapatlah diketahui pengaruhnya terhadap efek yang ditimbulkannya (variabel tergantung)
Dalam eksperimen ada yang disebut kelompok eksperimen yang dikenal variabel bebas tadi. Misalnya dua kelompok anak yang sama dalam hal usia, intelegensi, status sosial ekonomi, pendidikan, dan sebagainya masing-masing dikenakan perlakuan yang berbeda misalnya dalam membuat suatu tugas (tes) maka kelompok yang satu diberi tahu bahwa tes tersebut hanya latihan saja, sedangkan kelompok yang lain diberi tahu bahwa siapa yang dapat mencapai angka 8 atau lebih akan memperoleh suatu hadiah. Eksperiman ini menguji suatu hipotesis bahawa kelompok yang diberi pengharapan akan hadiah tadi akan melakukan tesnya dengan lebih baik.
Bila perbedaan hasil antara kedua kelompok tadi signifikan dapatlah ditarik kesimpulan akan adanya hubungan “kausal” antara pengharapan akan hadiah (variabel bebas) dan hasil tes. (variabel tergantung). Artinya bahwa dalam keadaan tertentu itu pengharapan akan hadiah mempengaruhi hasil tes kelompok tersebut. Meskipun begitu kita harus berhati-hati sekali dalam mengadakan suatu generalisasi umum bahwa hadiah memacu prestasi yang lebih baik. Disarankan untuk cukup berhati-hati dengan menggunakan hasil eksperimen karena terbatasnya metode tersebut untuk penelitian psikologis dalam situasi sosial.
Seringkali eksperimen dilakukan dalam situasi yang lebih bebas. Misalnya membandingkan anak dari berbagai kelas sekolah. Penelitian semacam ini lebih dapat disebut eksperimen lapangan karena sangat sulit untuk membuat kelas-kelas tersebut sama dalam semua hal. Mungkin persamaan dapat dicapai dalam umur atau lokasi sekolah, misalnya kota atau desa, lingkungan buruh atau cendekiawan, tetapi mungkin masih ada satu hal yang berbeda, yaitu mutu sekolah tersebut atau buku pelajaran yang dipakai. Hasil eksperimen lapangan yang dilakukan dalam keadaan semacam itu kurang sesuai untuk pengajuan suatu hipotesis. Sifat penelitian seperti itu tetap eksploratif bukan menguji. Artinya banyak merupakan suatu kecenderungan saja yang masih harus diuji dalam penelitian lebih lanjut.
1.4.2.2. Metode non-eksperimental
Suatu eksperimen dimaksudkan untuk membuat setinggi mungkin nilai objektif data yang diperoleh. Seorang peneliti tidak selalu berhasil untuk mengontrol situasinya. Meskipun begitu ia mampu untuk melakukan pengamatan yang dipandang dari segi teoritis maupun praktis cukup berarti. Caranya mengadakan observasi dapat berbeda-beda, ia dapat menggunakan alat dan teknik yang bermacam-macam. Salah satu cara adalah yang disebut “Event-sampling” yaitu mencatat tingkah laku yang khas yang timbul dalam jangka waktu itu.
Metode klinis berbeda daripada metode eksperimental tidak hanya dalam hal kecermatan cara mengadakan registrasi, yaitu dalam hal pengumpulan dan pencatatan data, melainkan terutama dalam hal representativitas sampel. Pemilihan kelompok “orang coba”nya tidak perlu berdasarkan persamaan sifat yang dimiliki oleh keseluruhan populasi, melainkan cukup dilakukan penelitian terhadap beberapa kasus saja, misalnya terhadap anak-anak dan tingkatan umur tertentu yang secara berturut-turut atau bersamaan waktu diobservasi oleh beberapa orang pengamat. Alat yang dipakai adalah berbagai macam tes atau pemberian tugas-tugas tertentu. Misalnya Piaget (1947) menyuruh anak-anak dari berbagai tingkatan usia membuat cacing-cacingan daripada bola-bola was. Anak umur 4 tahun akan mengira baha cacing-cacingan tadi mengandung was yang lebih banyak daripada bola-bola was yang semula. Anak umur 8 tahun tidak akan membuat kesalahan itu lagi. Mereka sudah mengerti bahwa perubahan bentuk tidak mengubah banyaknya barang sesuatu, mereka sudah mengerti hukum konservasi mengenai banyaknya barang sesuatu, yaitu bahwa banyaknya barang sesuatu itu tetap sama meskipun ada perubahan bentuk.
Berhubung dalam hal tersebut diatas tidak ada hipotesis yang dapat diuji berdasarkan manipulasi variabel tertentu, maka cara ini dapat disebut penelitian ex post facto, yaitu adanya hubunga nditentukan sesudah penelitian dilakukan (Albinski, 1967). Metode angket ini makin berarti bagi penelitian ilmu-ilmu sosial. Disini masih dibedakan, seperti halnya pada metode observasi yang lain, antara observasi orang lain. Misalnya data mengenai tingkah laku sosial anak dan remaja dapat ditanyakan pada yang bersangkutan sendiri atau pada orang lain, misalnya pada orang tua atau tetangga-tetangga.
Suatu daftar pertanyaan berisi suatu kumpulan pertanyaan mengenai suatu persoalan yang konkrit. Pertanyaan dapat bersifat bebas, atau bersifat tertutup, misalnya dengan mengggunakan apa yang disebut skala (scale). Dalam hal yang terakhir ini pertanyaan sering dibuat dalam bentuk pernyataan. Jawaban berujud setuju atau tidak setuju terhadap pernyataan itu. Seringkali ada tingkatan (gradasi) dalam menjawab setuju atau tidak setuju.
Contoh :
Acara TV yang menggambarkan tingkah laku seks tidak baik untuk dilihat oleh anak dibawah umur 12 tahun.
Setuju sekali
Setuju
Tidak tahu
Tidak setuju
Tidak setuju sekali
Responden (orang yang diberi pertanyaan) memberikan tanda pada tempat segi empat di belakang pernyataan yang dipilih. Sejumlah aitem semacam itu merupakan skala sikap orang tua dalam pendidikan seks terhadap anak mereka. Dalam daftar pertanyaan tadi dapat juga ditanyakan mengenal data pribadi orang tua seperti status sosial ekonomi, agama, pendidikan, tempat tinggal, umur dan sebagainya. Dalam hubungan itu banyak data psikologi perkembangan dapat diperoleh sehubungan dengan keadaan dan sikap orang tua pada berbagai tingkatan usia, misalnya mengenai toleransi mereka terhadap tingkah laku seksual anak. Disamping itu banyak juga data yang diperoleh mengenai perkembangan seksual anak. Hal ini mengingat bahwa perkembangan seks banyak dipengaruhi oleh pendidikan orang tua.
Metode angket dapat pula dipakai untuk menguji suatu hipotesis. Misalnya ada hipotesis bahwa orang usia antara 15-25 tahun lebih bersikap toleran terhadap kenakalan anak dibanding dengan orang usia antara 35-45 tahun. Hal ini dapat disebut teori yang mendasari hipotesis tersebut. Melalui angket maka hipotesis tadi dapat diuji kebenarannya. Dapat pula diketemukan adanya hubungan dengan perbedaan pandangan agama dan sebagainya.
Berbagai metode yang dikemukakan diatas sebetulnya bukan metode yang khusus untuk psikologi perkembangan, namun sering dipakai dalam cabang ilmu tersebut. Karena arti perkembangan berhubungan dengan perjalanan hidup seseorang, maka semua data yang diperoleh dari pencatatan perjalanan hidup orang itu dapat dipandang sebagai materi penelitian dalam psikologi perkembangan. Pendekatan yang penting disini adalah metode longitudinal. Metode longitudinal ini dapat dikombinasi dengan data pencatatan dokumen, karangan, atau pencatatan tingkah laku yang khusus. Dalam hal ini metode tadi disebut metode biografis yang dapat menggunakan buku harian, surat, sajak, karangan dan sebagainya, yang akhirnya juga dapat bersifat autobiografis (observasi diri, laporan diri).
Paradigma Multitrait-Multimethod
Secara singkat telah dibicarakan mengenai beberapa metode dan teknik pakai dalam psikologi perkembangan. Metode-metode ini masing-masing mempunyai keunggulan dan kelemahannya sendiri. Untuk memperoleh data penelitian yang secermat mungkin dan paling dapat dipercaya, maka dalam psikologi makin sering dipakai suatu strategi penelitian yang disebut paradigma multitrait-multimethod.
Perlu diketahui suhu unsur-unsur apakah yang membentuk suatu hasil pengukuran psikologis. Ada tiga macam unsur yang dapat dicatat.
1. Variasi, yaitu perbedaan yang timbul dalam faktor yang diukura sendiri (misalnya variasi pada prestasi orang coba disebabkan oleh kelelahan, penurunan konsentrasi, penurunan motivasi dan sebagainya pada waktu pengambilan tes).
2. Variasi pada hasil pengukuran disebabkan oleh kesalahan pada cara pengukurannya.
3. Variasi yang timbul karena kesalahan yang tak terduga dalam pengukuran (Runkei dan McGrath, 1972, p. 163).
Dengan menggunakan paradigma multitrait-multimethod maka beberapa faktor psikologis (multitrait) diukur dengan satu metode, misalnya suatu test tertentu. Hal ini untuk menentukan apakah alat pengukur tadi betul-betul mengukur sifat-sifat spesifik yang akan dikur itu ataukah bekerja secara global, artinya mengukur secara keseluruhan. Sebaliknya satu sifat yang sama diukur dengan lebih dari satu alat pengukur multimethod, misalnya dengan tes, angket dan observasi. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan tingkat penyesuaian antara berbagai macam definisi operasional satu sifat tertentu.
Korelasi yang diketemukan antara variabel yang satu dengan variabel yang lain mempunyai artinya sebagai berikut (bandingkan Ferguson, 1966) :
1. Korelasi antara pengukuran yang berulang dengan alat pengukur yang sama terhadap salah satu variabel yang sama : bila korelasinya tinggi dapat disimpulkan bahwa alat pengukurnya dapat dipercaya
2. Korelasi antara hasil pengukuran dengan alat pengukur yang berbeda terhadap salah satu variabel yang sama, memberikan gambaran akan persesuaian antara dua definisi operasional mengenal satu variabel yang sama
3. Korelasi antara pengukuran dua variabel yang berbeda, diukur dengan alat pengukur yang sama menunjukkan sampai seberapa jauh persamaan yang ada antara dua variabel tersebut.
4. Korelasi yang terakhir adalah korelasi antara satu variabel diukur dengan satu alat pengukur tertentu dan variabel lain diukur dengan alat pengukur lain. Dugaan yang ada adalah bahwa tidak akan diketemukan korelasi yang tinggi bila masing-masing alat pengukur dan masing-masing variabel tidak tergantung satu sama lain.
1.5. Rangkuman
Dalam bab ini telah dikemukakan secara singkat pengertian dan berbagai macam teori mengenai perkembangan, yaitu teori yang berorientasi biologis, berorientasi biologis, berorientasi lingkungan, psikodinamis dan teori kerohanian. Akhirnya telah ditunjukkan keunggulan sintesa interaksionitis yang mencakup teori tugas perkembangan dan teori emansipasi.
Selanjutnya telah dikemukakan sedikit mengenai berbagai macam metode dalam psikologi perkembangan. Telah ditunjukkan bahwa metode yang digunakan harus sesuai dengan tujuan penelitiannya. Untuk penelitian yang eksak pada daerah yang terbatas maka metode eksperimental yang paling sesuai. Bila ingin mengerti jalannya proses mengerti jalannya pross perkembangan dalam salah satu aspek perkembangan tertentu atau ingin mengerti keseluruhan perkembangan pribadi seseorang maka akan lebih sesuai untuk menggunakan metode pencatatan bigrafis. Dalam bab ini juga telah ditunjukkan adanya berbagai alat dan teknik yang dapat mempertinggi objektivitas pengumpulan data. Berbagai macam teknik observasi dalam kehidupan bebas makin banyak dilakukan dalam psikologi perkembangan.
Pemakaian metode yang terpadu menambah kemungkinan untuk memperoleh pengertian mengenai hubungan gejala perkembangan yang satu dengan yang lain, baik mengenai tingkah laku, pendapat maupun kondisi tertentu dalam proses perkembangan seseorang.
BAB II
PERIODE PRENATAL DAN TAHUN PERTAMA
2.1. Perkembangan Embrio dan Fetus
Pengertian akan reproduksi dan perkembangan manusia makin terasa perlu dalam masyarakat yang makin maju. Kapan kehidupan dimulai ? Apakah pada waktu dilahirkan ataukah sudah ada sebelumnya ? Secara biologis hidup dimulai pada waktu konsepsi atau pembuahan tetapi mungkin masih merupakan tanda tanya apakah perkembangan psikologis sudah dimulai pada waktu konsepsi. Menurut pendapat homunculus maka pada waktu konsepsi semua telah ada dalam bentuk yang teramat kecil hingga seakan-akan hanya dapat dilihat melalui suatu mikroskop. Perubahan-perubahan yang terjadi sesudahnya hanyalah bersifat kuantitatif. Pendapat ini tercermin pada lukisan-lukisan kuno yang menggambarkan anak-anak dengan wajah tua dan pakaian orang dewasa, mereka dianggap sebagai orang dewasa dalam bentuk kecil.
Pada waktu sekarang kita lebih cenderung untuk menganggap bahwa permulaan perkembangan psikologis dimulai pada waktu anak yang belum dilahirkan mulai bereaksi terhadap rangsang dari luar. Reaksi terhadap rangsang dari luar ini telah dimulai sangat awal. Telah dapat ditunjukkan bahwa janin yang ada dalam kandungan pada bulan-bulan pertama telah dapat mengadakan reaksi mengadakan tingkah laku spontan atau tingkah laku berulang seperti menghisap ibu jari, bahkan telah nampak habituasi: hal ini menunjukan bahwa anak dalam kandungan telah menyesuaikan diri misalnya dengan suara-suara dari luar. Suatu percobaan dengan sebuah bel yang dipasang pada sebilah kayu dan ditempelkan pada perut ibu, menunjukkan bahwa anak yang belum dilahirkan tadi semua mereaksi dengan detik nadi yang bertambah cepat, tetapi sesudah rangsang (bel) tadi diberikan berulang-ulang. Maka bayi tidak mengadakan reaksi apa-apa lagi. Bel tersebut ditempelkan pada perut ibu, hingga dengan begitu getaran dapat langsung dipindahkan pada fetus.
Perkembangan biologis pada manusia dimulai pada sat konsepsi atau pembuahan, yaitu pada pembuahan telur oleh spermatosoma. Bila spermatosoma laki-laki memasuki dinding telur (ovum) wanita, terjadilah konsepsi. Skema dibawah (gambar 3) menunjukkan bagaimana proses menunjukkan mana proses pembuahan terjadi.
Kemungkinan terjadinya pembuahan semacam itu telah ditentukan secara alamiah. Sekali dalam 28 hari, seringkali sekitar pertengahan siklus menstruasi, sebuah telur dalam salah satu kandung telur menjadi masak dan bergerak pelan masuk ke dalam rahim. Perjalanan ini biasanya memakan waktu 3 sampai 7 hari. Kalau dalam perjalanan ini tidak terjadi pembuahan, maka lenyaplah telur itu didalam rahim.
Bila telur dalam perjalanan ke rahim berjumpa dengan spermatosoma masuk melalui dinding telur, terjadilah pada detik itu hal-hal sebagai berikut: sel benih melepaskan 23 bagian kecil-kecil dari dirinya, bagian-bagian itu disebut chromosa. Pada saat itu pecahlah inti telur dan lepaslah : 23 chromosa. Chromosa ayah dan chromosa ibu lebur menjadi satu dan membentuk bekal keturunan bagi anak. Chromosoma tadi mengandung bagian yang lebih kecil lagi yang membawa faktor-faktor keturunan yang sesungguhnya. Bagian-bagian yang kecil tadi disebut gene.
Salah satu dari 23 pasang chromosoma adalah ohromosoma kelamin. Pada wanita normal maka kedua chromosoma kelamin tadi adalah sama, disebut chromosoma X. Laki-laki normal mempunyai dua chromosoma kelamin yang berkelainan, yaitu sebuah chromosoma X dan sebuah chromosoma Y yang lebih kecil. Chromosoma Y bersama-sama dengan chromosoma X terdapat dalam sel-sel badan. Pada pembagian sel (meiosa) maka jumlah chromosoma berkurang menjadi separuh; sel benih sebagai chromosoma kelamin mengandung atau suatu chromosoma Y atau suatu chromosoma X; sel telur selalu mengandung cromosoma X bersatu dengan sel benih atau sperma yang mengandung chromosoma Y, terjadilah anak laki-laki. Bila sel telur bersatu dengan chromosoma X terjadilah anak wanita.
Karena sel-sel sperma separuh terdiri daripada chromosa X dan separuh dari chromosoma Y, maka secara teoritis ada kemungkinan yang sama untuk pembuahan anak laki-laki dan anak wanita. Kenyataan menunjukkan bahwa lebih banyak dilahirkan anak laki-laki daripada anak wanita, pada umumnya dilahirkan 106 anak laki-laki dalam perbandingan dengan 100 anak wanita. Hal ini diduga karena sperma Y lebih kecil dan lebih gesit daripada sperma X hingga lebih mudah dapat menerobos dinding telur.
Urutan perkembangan dalam periode pra-natal telah pasti dan tidak dapat diubah. Kepala, mata, tubuh, tangan, kaki, alat-alat kelamin dan alat-alat berkembang dengan urutan yang tertentu dan juga kurang lebih pada usia pra-natal yang sama pada semua fetus. Perkembangan yang teratur menurut skema itu sebelum dan sesaat sesudah dilahirkan merupakan hal yang sangat penting.
Dan didalam buku psikologi perkembangan karangan Prof. Drs. Agoes Soejanto bahwa perkembangan embrio disini dikatakan bahwa :
1. Masa Pranatal
Sebenarnya pada masa ini belum banyak yang dapat diketahui tentang kehidupan jiwa embrio, tetapi oleh karena ada beberapa hal yang perlu diketahui oleh para calon, orang tua anak, maka kan dibicarakan serba sedikit tentang masa ini, antara lain ialah :
a. Faktor- faktor apa yang mempengaruhi perkembangan embrio dalam kandungan antara lain
• Faktor keturunan
• Faktor kemasakan, dan
• Faktor penyesuaian diri,
a.1 ) Embrio, yang berkembang didalam kandungan ibu, ditentukan oleh sel-sel telur dari pihak ibu dan sel-sel telur dari pihak ayah. Sejak pertemuan antara keduanya itu mulailah
terjadi kehidupan.
a.2 ) Menjadi masaknya embrio, mempengaruhi kehidupan jiwa embrio itu sendiri. Misalnya anak yang lahir pada umur tujuh bulan, tampak lebih tidak berdaya dibandingkan dengan anak yang lahir pada umur 9 bulan.
a.3 ) Perkembangan embrio dalam kandungan dipengaruhi oleh lingkungannya
b. Faktor apa yang dapat menimbulkan gangguan fisis pada embrio
Tentang hal yang ini dapat dibedakan atas tiga kelompok ialah :
Yang kurang berbahaya, misalnya alkohol dan nikotin,
Yang sedikit berbahaya, misalnya kehidupan emosi si ibu.
Yang sangat berbahaya, misalnya kelaparan, kurang vitamin.
c. Tentang hal gerakan-gerakan anak dalam kandungan.
Dari penelitian itu disimpulkan bahwa gerakan embrio dalam kandungan ada hubungannya dengan kelancaran kemajuan motoris bagi anak sesudah dilahirkan.
2. Masa orok
a. Hal –hal yang menarik perhatian
Yang sangat menarik perhatian para penyelidik pada saat anak baru lahir, ialah tentang tangis bayi, sehingga hal ini menimbulkan beberapa pendapat yang antara satu dengan yang lain berbeda- beda, tangis si bayi itu disebabkan oleh karena pada saat itu terjadi perpindahan dan kehidupan yang tidak disadari.
Hal kedua yang menarik perhatian tentang si bayi ialah tentang ketidak berdayaan si bayi mengundang banyaknya si penolong, dan ini memungkinkan sianak dapat berkembang lebih sempurna dari pada anak.
Hal yang ketiga yang menarik perhatian adalah tentang tidur si bayi, didalam 24 jam lamanya hanyalah untuk tidur-tidur ayam, untuk menyusu, untuk gerakan-gerakan spontan dan lain-lain. Hal ini berlangsung 2 minggu lamanya.
Sampai dengan umur 6 bulan, pada saat-saat tidak tidur ia mulai mengelurkan suara- suara, ia mulai tertarik pada benda –benda lain, sebagai alat alat permainannya dan semua yang dapat digapainnya dicobanya dimasukkan dimulut.
3. Kehidupan fisis si Bayi
a. Detak jantung
Tentang detak jantung dikatakan bahwa waktu lima bulan sebelum kelahirannya, jantung sibayi sudah berdetak sebanyak 150 kali / menit. Pada waktu lahir menurun tinggal 130 kali / menit, demikian terus menerus sehingga pada waktu berumur 2 tahun tinggal 80/ menit.
b. Tentang pernapasan si bayi.
Pada waktu dalam kandungan tentu tidak mungkin sibayi bernapas dengan paru-paru tetapi telah menggerakan badannya.
c. Tentang makan dan minum
d. Tentang pembuangan kotoran.
2.2. Pengaruh Pra-natal pada Tingkah Laku Sesudah Dilahirkan
Pengaruh pra-natal pada tingkah laku sesudah dilahirkan mendapat banyak perhatian para ahli psikologi perkembangan; banyak pula pendapat dan dugaan mengenai masalah tersebut, namun belum ada data yang eksak mengenai hal itu. Salah satu studi yang baik mengenai perkembangan pra-natal adalah tulisan Joffe (1969). Lebih dari dua pertiga penelitian Joffe dilakukan terhadap perkembangan hewan.
Telah dikemukakan dimuka bahwa perkembangan biologis manusia terjadi pada saat konsepsi, yaitu pada waktu sel sperma dan ovum lebur menjadi satu. Fase pra-natal dibedakan menjadi tiga fase (1) fase germinal: waktu 2 minggu pertama; (2) fase embrional: waktu 6-8 minggu berikutnya, dan (3) fase fetal: mulai minggu ke-8 sampai saat dilahirkan. Waktu kehamilan berlangsung biasanya selama 270 hari atau kurang lebih 40 minggu sesudah hari pertama menstruasi berakhir.
Menurut definisi World Health Organization (WHO, 1961) sebutan pra-maturitas atau prematurity dikenakan pada bayi bila berat badan pada waktu dilahirkan kurang dari 2.500 gram dan periode kehamilan kurang dari 37 minggu. Pra-maturitas banyak dipandang sebagai salah satu sebab gangguan tingkah laku, meskipun masih banyak pendapat yang simpang siur. Untuk mudahnya pengaruh pra-natal tersebut dibedakan antara (1) pengaruh lingkungan (faktor ekstern, ketegangan, kebiasaan subjektif, ketegangan emosi, takhayul) dan (2) sikap ibu.
2.2.1. Pengaruh Lingkungan
2.2.1.1. Faktor Ekstern
Joffe membuktikan bahwa sinar rontgen mempunyai tingkah laku post-natal dalam bidang : tingkah laku motorik, gerak bebas, pembuangan, aktivitas, belajar diskriminatif dan tingkah laku persetubuhan. Penelitian mengenai akibat penyinaran membuktikan akan adanya hubungan antara umur kehamilan dan banyak sedikitnya penyinaran pada satu pihak dengan besar kecilnya akibat yang ditimbulkan: makin banyak dosis penyinaran, makin buruk akibatnya.
Pemakaian obat-obatan jelas memberikan pengaruh terhadap tingkah laku, meskipun sering tidak nampak tanda-tanda morfologis pengaruh obat penenang seperti softenon atau Thalidomid sangat besar hingga dapat mengakibatkan cacat yang berat. Penelitian antara 1959-1962 menemukan bahwa cacat yang disebabkan oleh Thalidomid terjadi antara hari ke-34 dan ke-50; jadi antara minggu kelima dan ketujuh usia kehamilan. Knebel (1973) mengemukakan bahwa terjadinya kelainan-kelainan jantung juga terjadi pada usia kehamilan yang awal ini. Usaha-usaha pengguguran dengan obat-obatan pada usia kehamilan awal ini dapat menyebabkan gangguan-gangguan perkembangan. Akibat-akibat tersebut dapat pada usia kehamilan yang dianggap masih kebal terhadap segala jenis gangguan.
2.2.1.2. Ketegangan emosional
Beberapa studi kasus dalam penelitian Fels (Yellow Springs, Ohio) yang telah mengadakan penelitian sejak tahun 1929 (lihat Sontag dkk,.1958) membuktikan bahwa para wanita dengan susunan syaraf otonom yang labil mempunyai fetus yang paling aktif. Dalam delapan kasus dalam Institut Fels ditunjukkan adanya kenaikan aktivitas yang sangat menyolok pada fetus sebagai akibat ketegangan emosi para ibu (misalnya pada satu kasus karena ancaman pembunuhan oleh suami; pada kasus lain karena kecelakaan lalu lintas dengan akibat yang serius pada keluarga).
2.2.1.3. Takhayul dan Kenyataan di Indonesia
Di Indonesia banyak dipermasalahkan mengenai pengaruh tingkah laku orang tua terhadap keadaan bayi akan dilahirkan. Misalnya bila ayah atau ibu atau keduanya benci pada seseorang, maka anaknya akan mirip dengan orang yang dibenci tadi. Bila ayah atau ibu membunuh seekor hewan, misalnya luar, pada waktu ibu sedang hamil, anaknya akan mempunyai gambar sirip ular pada kulitnya. Hal-hal ini semua belum merupakan hasil pembuktian ilmiah, dari itu masih termasuk lingkup takhayul.
Satu hal yang perlu mendapat keterangan secara ilmiah adalah kenyataan bahwa seorang ibu hamil menginginkan sesuatu (biasanya makanan = ngidam) kadang-kadang yang aneh-aneh, misalnya makanan tertentu, buah-buahan yang masam, menginginkan bau-bauan tertentu; misalnya bau minyak putih. Ingin senantiasa menghalau nyamuk, mual membau keringat atau rokok suami. Hal-hal yang anek masih banyak didengar di kalangan orang Indonesia. Mungkin perlu diteliti apakah hal-hal itu juga terjadi pada orang-orang barat dan bagaimana interpretasi ilmiahnya ? Penelitian di Laboratorium Psikologi di Nijmegen mengenai hal-hal yang serupa menunjukkan adanya pengaruh adanya hormonal terhadap perubahan psikis ibu.
2.2.2. Sikap Ibu
Sejak lama telah dimengerti bahwa sikap menolak dari pihak ibu terhadap janin dalam kandungan akan diteruskan sesudah anak dilahirkan. Tetapi beberapa penelitian Geissler (1965) di Jerman Timur 90% jumlah ibu yang semula bersikap menolak, berubah mempunyai sikap yang positif terhadap anak sesudah dilahirkan. Geissler dalam penelitian longitudinal menunjukkan adanya kesayangan dalam sikap ibu terhadap anak yang belum dilahirkan, yaitu dari sikap positif ke sikap negatif. Dan dari sikap negatif ke sikap yang positif dan bahwa sikap yang berubah-ubah itu akhirnya menjadi positif, yaitu sikap menerima terhadap anak yang dilahirkan.
Lukesch dan Lukesch (1976) membuat suatu daftar pertanyaan untuk mengungkap sikap ibu terhadap kehamilannya. Maksud daftar pertanyaan ini adalah untuk mengerti komponen-komponen psikis disamping itu juga untuk memperoleh titik temu individual untuk mengadakan pembicaraan mengenai kehamilan.
Akhirnya dapat diketemukan dua pertanyaan yang dalam prinsip belum dapat terjawab :
1) Mengapa ada sementara anak yang jelas-jelas mempunyai lingkungan, yang negatif tidak menunjukkan suatu gangguan adapun dalam perkembangan, dan
2) Mengapa ada banyak anak mempunyai gangguan tingkah laku, padahal pada waktu pra-natal tidak diketemukan pengaruh yang menghambat.
Pada umumnya diketemukan lebih sedikit tingkah laku terganggu daripada yang dapat diharapkan dari keadaan pra dan peri-natalnya.
2.3. Perkembangan Baru dalam Bidang Penelitian Pra-natal
Dalam tahun 1971 telah didirikan “Internationale Studiengemeinschaft fur Pra-natale Psychologie” (ISPP) di Wina. Kongres pertama diadakan pada tahun 1972 (lihat Graber & Kruse, 1973) dan dalam bulan Maret 1978 diadakan kongres yang kelima di Salzburg dengan tema “Geburt-Eintritt in eine neue Welt”. Makin lama makin dapat ditunjukkan baha gagasan-gagasan intuitif yang bersifat psikoanalitis itu harus diganti dengan hasil penelitian eksperimental. Misalnya gerakan mata yang cepat (Rapid Eye Movements-REM) waktu tidur dapat dianalisa secara eksperimental. Dapat dibuktikan bahwa REM terjadi bersama-sama dengan impian-impian. REM (disebut juga fase-fase REM) pada anak yang baru dilahirkan memegang peranan yang lebih penting daripada bila hal itu terjadi pada orang dewasa. Fase-fase REM meliputi 50% daripada keseluruhan waktu tidur anak yang baru dilahirkan, 40% pada bayi usia 3 sampai 5 bulan, 25% pada anak usia 2 tahun dan 20% pada anak usia 3 sampai 5 bulan, 25% pada anak usia 2 tahun dan 20% pada anak usia 3 tahun dan pada orang dewasa. Schindler (1976) mengemukakan bahwa pada kongres ISPP yang ketiga, paling tidak selama bulan-bulan terakhir kehidupan dalam kandungan, keadaan bermimpi mempunyai peranan yang lebih besar daripada waktu sesudah dilahirkan. Bahwa hal ini sukar untuk memindahkan keadaan-keadaan ini (bermimpi) dari keadaan ingatan jangka pendek kepada keadaan ingatan jangka panjang.
Berdasarkan beberapa penelitian fisiologis-epidemiologis Schindler mengemukakan bahan pada tiga bulan pertama usia kehamilan fetus telah berkembang menjadi organisme yang dapat berfungsi dengan baik. Setelah masa peralihan yang pendek maka fetus telah ada dalam keadaan yang optimal aktivitas dapat dikembangkan dengan mudah dan posisinya sudah dapat dikontrol pula. Fetusluga sudah dapat melakukan pengulangan-pengulangan tingkah laku. Pengulangan tingkah laku atau pengulangan aktivitas akan menjadi sangat penting bagi belajar tingkah laku pada tahun-tahun pertama.
Meskipun telah diperoleh dada eksperimental yang eksak mengenai aktivitas bermimpi dan aktivitas motorik, namun mengenai arti dan pengaruhnya terhadap tingkah laku sesudah dilahirkan sampai sekarang masih belum dapat diketahui. Seringkali diadakan interprestasi berdasarkan proses perkembangan yang menyimpang (seperti halnya pengaruh Softenon), tetapi hal tersebut baru ada artinya bagi para genokolog untuk dapat kerja sama yang sebaik-baiknya. Seperti dikemukakan oleh Kruse (1973): penelitian terhadap kehidupan sebelum dilahirkan merupakan suatu tantangan bagi spikolog perkembangan; tujuannya adalah memperoleh pengertian akan sebab-sebab yang paling mendasar mengenai tingkah laku manusia (h. 123). Dengan dapat memperoleh pengertian itu dapatlah diadakan usaha preventif untuk berbagai macam gangguan dalam perkembangan seseorang.
2.4. Berbagai Macam Teori Mengenai Kelahiran
Kelahiran merupakan dorongan bagi para penulis untuk memberikan interpretasi-interpretasi bagaimana suatu fetus yang sama sekali tergantung tiba-tiba berubah menjadi seorang anak yang bebas Portmann. 1961). Protmann seorang ahli zoologi Swiss menyebutnya sebagai “extrauterine Fruhjahr”. Ia menyamakan manusia dengan hewan menyusul yang tinggi yang lahirkan setahun terlalu awal. Periode kehamilan yang penuh seharusnya berlangsung sampai akhir tahun pertama sesudah dilahirkan, tetapi berhubung adanya proses evolusi maka masa itu lalu terbagi menjadi dua tahap: “In die Schwangerschaft im Mutterleib und in eine zweite periode nach der Geburt das Jahr des sozialen Uterus, das hinuberfuht in die eigentche Kindheit” (Portmann, 1976, p 54/55). Jadi tahap pertama adalah tahap dalam kandungan ibu dan tahap kedua adalah tahap satu tahun sesudah dilahirkan, yang terakhir ini disebut tahap uterus (rahim) soal yang seterusnya akan beralih menjadi masa kanak-kanak yang sesungguhnya.
Menurut Portmann bahwa seseorang harus melewati suatu uterus sosial dalam perkembangan bukannya suatu kebetulan saja, melainkan memang dimaksudkan untuk memungkinkan pemenuhan tiga macam tugas perkembangan yang paling utama, yaitu : berdiri, berbicara dan berfikir. Ketiga macam fungsi manusia ini hanya dapat berkembang di dalam kontak sosial dengan orang-orang lain. Kontak antara individu dan dunia sosial bukan terjadi karena kebetulan saja, kontak tersebut adalah mutlak perlu supaya individu dapat berkembang.
Gehlen (1941) mengemukakan mengenai manusia sebagai “Mangelwesen”, artinya bahwa manusia dibandingkan dengan hewan menyusui tingkat tinggi mempunyai kekurangan-kekurangannya. Bayi yang baru dilahirkan membutuhkan perlindungan, dia belum bisa apa-apa, ia harus diusap, pendek kata: ia sama sekali dalam keadaan tergantung. Jadi seorang manusia sejak mula mempunyai banyak kekurangan-kekurangan hingga dibanding dengan makhluk yang lain ada dalam kedudukan yang kalah.
Rank (1924) seorang ahli psiko-analisis murid Freud, mengemukakan mengenal trauma kelahiran, artinya bahwa kelahiran bagi seorang anak merupakan suatu penghayatan yang dramatis, putusnya tali pusat tidak hanya berarti biologis putus, melainkan juga psikologis putus. Anak menjadi lepas dan tidak terlindung lagi. Jeritan pertama menunjukkan kecemasan yang alami. Menurut Rank maka kecemasan-kecemasan manusia yang berikutnya tidak ada artinya dibanding dengan kecemasan yang pertama ini. Ia memberikan contoh-contoh dalam praktek psiko-analisanya yaitu adanya impian-impian yang melukiskan orang-orang dengan segala macam kekuatannya yang luar biasa meloloskan diri dari saluran-saluran yang sempit dan akhirnya keluar ditempat yang jauh yang tidak menyempit dan akhirnya keluar ditempat yang jauh yang tidak menyenangkan. Dari tempat terlindung ini anak dilempar ke tempat yang tidak terlindung sama sekali.
2.5. Periode Tahun Pertama
Sesudah dilahirkan maka bayi menunjukkan banyak gerak refleks. Dahulu orang berpendapat bahwa masa ini kurang ada perkembangan psikologis yang menarik karena anak hanya melakukan tingkah laku yang instinktif apa saja yang dilakukan anak pada hari-hari pertama sesudah dilahirkan. Diketemukan bahwa 7% waktunya digunakan untuk makan, jadi reaksi yang positif 1% untuk tingkah laku spontan dan kurang lebih 88% untuk tidur atau semacamnya. Hal inilah yang menyebabkan bahwa periode ini dulu disebut sebagai periode tidur.
Bloom (1964) dalam bukunya : “Stability and change in human characteristics” menambah pula perhatian orang terhadap periode tahun pertama. Ia berpendapat bahwa pengaruh lingkungan terhadap salah satu sifat anak akan sangat besar yaitu pada waktu sifat tersebut sedang dalam perkembangannya yang paling cepat. Misalnya bila dalam perkembangannya yang paling cepat. Misalnya bila dalam periode amorional (minggu ketiga sampai dengan minggu kedelapan) si ibu mendapat suatu kecelakaan tertentu atau minum obat-obat tertentu terlalu banyak atau yang merugikan, dapat terjadi gangguan-gangguan sentral atau mental pada janin yang ada dalam kandungan. Hal ini disebabkan karena pada periode ini terjadi perkembangan otak yang paling cepat. Itulah sebabnya maka gangguan pada kehamilah yang terjadi pada dua bulan yang pertama lebih banyak menyebabkan gangguan-gangguan pada otak dibanding dengan bila gangguan tersebut terjadi pada periode ketiga atau periode fetal.
Untuk menyokong pandangannya mengenai percepatan pertumbuhan pada usia-usia tertentu, Bloom menuntut pada perkembangan inteligensi yang cepat dan intensif selama tahun-tahun pertama. Berdasarkan modal yang didapat dari penelitian longitudinal diketemukan bahwa pada umur satu tahun dicapai 20% dan pada umur 17 tahun 100% perkembangan inteligensi. Penalaran yang selanjutnya adalah bahwa pada umur 4 tahun tercapai 50% dan pada umur 8 tahun tercapai 80% perkembangan inteligensi. Angka-angka ini merupakan petunjuk belaka akan proses-proses yang terjadi dan bukan pencerminan realitas yang eksak. Tetapi hal ini dapat menjelaskan bahwa tahun-tahun penghidupan pertama dan tahun-tahun sekolah pertama merupakan mata rantai yang penting dalam perkembangan inteligensi. Selanjutnya analisis semacam ini menunjukkan bahwa pengaruh pendidikan pada periode ini justru sangat penting dan semua dapat terjadi kerusakan yang berat bila anak tidak memperoleh kesempatan perkembangan yang optimal. Sebaliknya hal ini tidak seperti bahwa perkembangan intelektual atau kognisi pada usia sekitar 10 tahun secara garis besar telah selesai dan hampir tidak dapat mengubah lagi (lihat juga pembicaraan mengenai model Bloom oleh Wonkwill dalam Brim & Kagan, 1980).
Juga data penelitian baru di Belanda yang menitiberatkan akan sifat terbukanya belajar tingkah laku pada kelompok umur yang lebih tua, mengaku akan dapatnya tingkah laku dan fungsi kognitif pada umur kemudian.
Penelitian yang unik mengenal hal tersebut diatas diakhiri oleh Leppers di Belanda (1981). Dia meneliti masalah apakah betul ada dan sampai dimanakah perkembangan kognitif anak yang suka belajar sesudah masa sekolah dasar, yaitu sesudah usia 13 tahun. Dia membandingkan sekelompok subjek sukar belajar laki-laki dan wanita umur 13-25 tahun (kelompok eksperimen) dengan kelompok normal belajar dari umur yang sama (kelompok kontrol). Pertanyaan yang diajukan berdasarkan 2 macam pertimbangan (1) perkembangan kognitif pada anak-anak sukar belajar mencapai puncaknya sekitar umur 13 tahun, (2) berkurangnya frekuensi anak-anak sukar belajar sesudah usia sekolah dasar(Leppers, 1981, hal. 182).
Kelompok sukar belajar mempunyai IQ antara 70 dan 80. Ternyata bahwa ada pertambahan percakapan kognitif pada kelompok ini sampai kurang lebih umur 19 tahun. Sesudah itu “tingkah laku kognitif pada anak-anak sukar belajar menjadi stabil pada tingkatan yang telah mereka capai (hal. 182). Pertambahan dalam kecakapan kognitif ini tidak berarti bahwa jarak antara dua kelompok ini menjadi semakin kecil; lebih baik dikatakan ada perkembangan yang paralel. Elastisitas kognitif pada remaja sukar belajar dan dewasa awal sukar belajar yang diselidiki oleh Leppers ini sekaligus merupakan petunjuk bahwa dalam penyesuaian sosial dan sifat-sifat kepribadianseseorang ada kemungkinan untuk berubah. Hal ini dapat dibuktikan oleh keadaan kelompok sukar belajar yang pada umumnya tidak memberikan masalah-masalah dalam masyarakat.
Salah satu penelitian dalam hubungan ini yang paling sering disebut-sebut adalah penelitian Skeels & Dye (1939) dan Skeels (1966). Dalam suatu penelitian lanjutan mereka mengikuti perkembangan 25 anak yang dibesarkan dalam rumah yatim piatu yang tidak baik. 13 diantara mereka sesudah 19 bulan dipindahkan ke dalam rumah yatim piatu yang lain dan setelah 3,5 tahun mereka diadopsi. Sisanya tinggal dalam tempat yang semula. Sesudah 25 tahun kedua kelompok dibandingkan. Ternyata bahwa semua anak yang diadopsi belajar suatu pekerjaan dan dapat mencukupi dirinya sendiri; mereka hidup normal. Kelompok yang lainnya, semua kecuali satu, tidak mencapai taraf tersebut. Kecakapan intelektual mereka tidak menjadi sebaik kelompok yang diadopsi; mereka tidak menjadi sebaik kelompok yang diadopsi; mereka menjadi tergantung dan berfungsi pada tingkatan yang rendah. Juga data Clark & Clark (1976) menunjukkan akan dapatnya diperbaiki keterbelakangan perkembangan mental yang dialami sebelumnya. Kecuali itu juga dari penelitian pada para remaja delinkuen diketemukan bahwa perbaikan.
Dengan begitu hipotesis Schaffer dapat dibenarkan, yaitu dalam bulan-bulan pertama anak mengarahkan diri secara alami kepada manusia pada umumnya, yaitu karena sifat-sifat yang menari yang ada pada roman muka manusia.
Disamping sifat tertarik pada manusia ini, anak juga sudah dapat membuat berbagai macam tanda untuk memenuhi kebutuhannya. Misalnya seorang ibu akan segera dapat membedakan bermacam-macam tangis anaknya. Misalnya membedakan antara tangis lapar dan tangis sakit. Kedua anak pada bulan-bulan pertama ditentukan oleh situmulus yang diberikan. Beberapa titik pada selembar kertas yang diperlihatkan pada anak akan memancing ketawa sama halnya dengan melihat wajah ibunya.
Arah sosial anak pada bulan pertama belum dipengaruhi oleh proses belajar; baru pada bulan ketiga anak menunjukkan pengetahuan terhadap orang-orang tertentu dan belajar membedakan tanda-tanda yang diberikan oleh orang tersebut.
Kemajuan pada tingkah laku anak ini bersamaan dengan perkembangan fisiologis yang penting pada pusat susunan syaraf.
1. Beberapa refleks bawaan (a.I. refleks genggam, dan refleks moro) menghilang sekitar bulan kelima. Bila refleks-refleks ini masih ada sesudah itu, hal itu dapat dianggap sebagai hambatan dalam perkembangan atau merupakan pertanda adanya kerusakan otak. Menghilangnya refleks-refleks ini menunjukkan makin berfungsinya korteks refleks terjadi melalui batang otak, korteks dapat menghambatnya.
2. Penelitian dengan Electric-encephalogram (EEG) menunjukkan bahwa baru pada akhir bulan ketiga terjadi irama seperti yang terdapat pada EEG orang dewasa.
3. Pada bedah mayat diketemukan bahwa pada bula ketiga kadar DNA (asam desoxyribonucleine) dan RNA (asam riboucleine) dalam otak tiba-tiba naik hampir mencapai kadar DNA dan RNA orang dewasa. (DNA dan RNA memegang peranan penting dalam menyimpan informasi).
4. Menyelinisasi beberapa urat syarat yang penting (misalnya urat syaraf mata) selesai pada bulan ketiga. Lapisan menyelin disekitar urat syarat memungkinkan penyaluran impuls-impuls.
Di dalam buku psikologi perkembangan yang ini dikatakan bahwa perkembangan anak dalam tahun pertama dibagi dalam :
A. Kecakapan- kecakapn instingtif
Yaitu kecakapan instingtif yang matang atas pengaruh dari dalam pada triwulan pertama.
1. Kecakapan anak pada tahun pertama
Pergaulan anak dengan benda
• Meandang termangu- mangu kepintu dan jendela.
• Kepala dan tangannya akan terbuka bila di sentuh.
• Dapat menggenggam bila diberi sesuatu
• Dapat mencoba membuka kotak.
• Dapat melempar atau menggulingkan bola
Penguasaan Badan
• Mengamati mainannya,
• Dapat meluruskan dan memalingkan kepalanya walaupun agak susah,
• Menarik-narik pakaiaannya atau selimut,
• Memperhatikan sesuatu sejurus dengan dan mengamati mainan yang dipegannya,
• Memutar badan dari sikap meniarap kesikap menelentang,
• Dapat duduk tanpa pertolongan dan mulai merangkak,
• Dapat menggulingkan badannya sehingga berbaring pada perutnya.
Penguasaan anak dengan Manusia.
• Dapat tersenyum, memandang orang,
• Dapat tertawa dengan berbunyi,
• Menangis atau menunjukkan perasaan tidak enak bila diputuskan hubungannya,
• Dapat mereaksi belaian terhadap wajah yang ramah atau yang marah
• Mulai aktif mencari hubungan dengan mengeluarkan bermacam-macam bunyi,
• Dapat bermain sembunyi muka,
• Dapat mengatakan mama dan papa.
• Mulai mencoba menarik perhatian
2.5.1.2. Pengenalan benda dan manusia
Untuk menentukan apakah anak mengenal suatu stimulus dapat dilihat dari berkurangnya perhatian anak terhadap stimulus tersebut sesudah penyajian berulang-ulang. Sebagai indeks perhatian sering dipakai lama waktu fiksasi anak, atau lama waktu anak mengamati stimulus tertentu.
Gambar 6 menunjukkan bahwa pada penyajian stimulus yang sama secara berulang-ulang terjadi penurunan perhatian. Proses ini disebut habituasi atau berkurangnya perhatian karena penyajian berulang-ulang dan yang tidak disebabkan oleh adanya kelelahan reseptor (daya memperhatikan). Tidak adanya kelelahan reseptor dapat dibuktikan dengan naiknya perhatian anak dengan pesat pada waktu suatu stimulus baru disajikan. Penyajian pertama stimulus D menarik perhatian anak seperti halnya penyajian S.1 untuk pertama kali. Menolaknya perhatian kembali pada penyajian stimulus D disebut Recovery atau pemulihan kembali. Habituasi dianggap sebagai suatu gejala kognitif; pada setiap penyajian S, anak membentuk suatu representasi internal (gambar atau skema) mengenai S. Sokolov (1960 menyebut representasi tersebut sebagai model neuronci. Berdasarkan penyajian stimulus yang berulang-ulang terbentuklah dalam korteks suatu susunan sel-sel urat syaraf yang menyimpan berbagai komponen stimulus tersebut (lama waktu, intensitas, ukuran dan sebagainya). Pada setiap kali penyajian bertambahlah komponen stimulus tadi melengkapi skema yang ada dalam kognisi anak. Bila representasi atau skemanya sudah sempurna atau sudah selesai. Maka sempurnalah proses habituasi, stimulasinya tidak memberikan rangsan lagi.
Ada beberapa hal yang menunjukkanbahwa kecepatan habituasi dapat dipakai sebagai indeks perkembangan kognisi, yaitu:
1. makin bertambah umur anak, makin cepat habituasinya. Pada anak umur 3 bulan, maka garis pada gambar 6 masih merupakan garis horizontal, berarti tidak ada habituasi dengan bertambahnya usia anak, arah garis makin menukik ke bawah.
2. makin tinggi tingkat hewan dalam deret filogenesa (berkaitan dengan besar lingkar kepala) makin cepat ia mengadakan habituasi. Seekor kera rhesus lebih cepat habituasinya daripada kucing atau kelinci. Kucing atau kelinci lebih cepat habituasinya daripada burung, burung lebih cepat daripada ikan .
3. bila sebagian korteks tidak dapat berfungsi (misalnya karena luka pada korteks) maka proses habituasi berjalan lebih lambat.
4. pada waktu tidur, bila bagian pusat otak yang lebih rendah berkuasa, tidak terjadi habituasi.
Sekitar usia 3atau 4 bula anak dapat mengenal ibunya. Cepat atau lambatnya seorang anak mengenai ibunya tidak dapat dipakai sbagai ukuran kecedasan anak, karena banyak faktor lingkungan ikut mempengaruhi kemampuan anak dalam hal ini. Misalnya anak dapat mengenal ibunya bila ia juga mendapat kesempatan untuk sering melihatnya. Tetapi bila anak hidup dalam lingkungan yang ribut yang banyak orang simpang-siur disitu hingga anak selalu melihat orang yang berbeda-beda, maka pembentukkan skema dalam kognisinya mengenai orang-orang tertentu juga terhambat. Ternyata bahwa anak yang hidup dalam panti asuhan dengan orang-orang yang selalu berganti-ganti, lebih lambat ketawa terhadap orang-orang tertentu daripada anak yang hidup dalam keluarga yang normal.
2.5.1.3. Perkembangan tingkah laku leka
Dalam teori kepribadian Thomae yang telah dikemukakan dalam tahun 1944 dalam “Das Wesen der menschiichein Antriebsstruktur” dikemukakan bahwa tingkah laku lekat (Attachment behavior) manusia merupakan hal yang sentral. Ia berpendapat bahwa hal yang penting dalam perkembangan yang sehat adalah kemampuan anak untuk dapat perkembangan yang sehat adalah kemampuan anak untuk dapat mengembangkan tingkah klaku lekat tadi. Apa yang dipandang sangat penting oleh Thomas pada empat puluhan tahun yang lalu, baru muncul dalam sepuluh tahun terakhir dalam psikologi Amerika. Belum terhitung lama juga mereka mulai meneliti tingkah laku olekat pada bayi dan anak-anak (lihat Hartup, 1973 dalam Psychologen over het kind III). Hal ini mungkin juga disebabkan karena dalam iklim psikologi oyang eksperimental ketat metode observasi baru saja mendapat pengakuan yang sesungguhnya. Metode eksperimen terlalu sukar untuk diterapkan pada bayi dan anak kecil, hingga banyak dibutuhkan metode observasi.
Tingkah laku lekat merupakan tingkah laku yang khusus pada manusia, yaitu kecenderungan dan keinginan seseorang untuk mencari kedekatan dengan orang lain, untuk mencari kepuasan dalam hubungan dengan orang lain tersebut. Pada kelekatan maka pemenuhan keinginan bukan merupakan hal yang pokok; hal tersebut menjadi penting pada tingkah laku ketergantungan. Ketergantungan dapat ditujukan pada sembarang orang. Kelekatan selalu tertuju pada orang-orang tertentu saja. Tingkah laku lekat pada anak kecil dapat dilihat sebagai berikut; menangis bila objek lekatnya kembali; kemudian juga mengikuti dengan mata arah menghilangnya objek lekat tersebut. Tingkah laku lekat berkembang dalam bagian kedua tahun pertama.
Beberapa pendapat mengenai timbulnya tingkah laku lekat :
a. Hipotesis mengenai nafsu sekunder
Pendapat ini mengatakan bahwa ketergantungan sosial terjadi karena ketergantungan fisik melalui proses belajar : misalnya bila nafsu primer anak selalu terpenuhi oleh orang tertentu atau bila dekat dengan orang tersebut, maka orang tertentu itu akan memperoleh nilai positif bagi anak dan terjadilah pada anak nafsu sekunder terhadap orang tertentu itu, yaitu orang yang mengasuhnya. Anak kemudian akan melekatkan dirinya pada orang yang mengasuhnya itu. Hal yang memberatkan hipotesis ini ialah pada sementara hewan (burung, kera) telah terjadi kelekatan sebelum ada pemenuhan nafsu primernya. Juga pada anak bisa terjadi kelekatan pada orang yang tak mengasuhnya.
b. Keterangan kedua mempunyai
Anak merasa tertarik pada seseorang karena sifat-sifat persepsualnya atau sifat-sifat yang dapat dilihat oleh anak. Pada mulanya roman muka manusia mempunyai daya tarik tyang alami bagi anak. Bila anak seringkali melihat orang tertentu itu. Bila orang tersebut ada di dekat anak, maka anak akan merasa aman, bila ada orang asing datang, omaka anak akan tahun perbedaannya antara orang asing dengan orang tyang telah dikenal tadi. Ia akan bersikap negatif terhadap orang yang asing tersebut.
Bowlby berpendapat bahwa timbulnya kelekatan anak terhadap figur lekat (biasanya ibu) adalah suatu akibat menjadi aktif suatu sistem tingkah laku (behavioral system) yang membutuhkan kedekatan dengan ibu (Bowlby, 1972). Bila anak ditinggalkan ibu atau dalam keadaan takut, sistem tingkah laku tadi segera menjadi aktif dan hanya bisa dihentikan oleh suara, penampilan, atau rabaan ibu. Kebutuhan anak untuk menghisap, melekatkan diri, mengikuti, menangis dan ketawa, juga merupakan hal-hal penyebab timbulnya tingkah laku lekat anak. Tetapi apa yang dimaksudkan dengan sistem tingkah laku adalah lebih dari itu, yaitu suatu kumpulan tingkahlaku yang lebih kompleks dan bertujuan, yang timbul antara bulan ke-9 dan ke-18. Sistem tingkah laku ini berkembang karena interaksi anak dengan lingkungannya, terutama dengan ibu; berhubung dengan itu menurut Bowlby tingkahlaku lekat tadi terasuk kelompok tingkah laku sosial. Oleh Bowlby maka tingkahlaku lekat sebagai akibat menjadinya aktif suatu sistem tingkah laku control theory of attachment behavior.
Pendapat-pendapat lain mengemukakan bahwa tingkah laku lekat terjadi pada usia sekitar 7 bulan meskipun ada banyak perbedaan individual. Ada penyebaran dari 5 sampai 15 bulan.
Faktor apakah yang menentukan siapa yang akan menjadi objek kelekatan anak? Faktor pengasuhan ternyata bukan merupakan hal yang menentukan; 20% kelekatan pertama ditujukan pad aorang yang sama sekali tidak berurusan dengan pengasuhan anak. Ada dua macam tingkah laku yang menyebabkan seseorang dipilih sebagai objek kelekatan, yaitu :
1. Sering mengadakan reaksi terhadap tingkah laku anak yang dimaksudkan untuk menarik perhatian.
2. Sering membuat interaksi secara spontan dengan anak
Objek lekat tidak mesti hanya satu orang saja 1/3 dari jumlah anak sejak awal mempunyai kelekatan dengan orang yang berbeda-beda dan pada usia 1½ tahun hal itu merupakan keadaan yang biasa.
Biasanya ada hierarki antara orang-orang yang menjadi objek kelekatan. Ibu biasanya mempunyai kedudukan yang paling atas, tetapi pada usia 1½ tahun, 1/3 dari jumlah anak mempunyai orang lain (bukan ibu) sebagai objek lekat yang pertama.
Bila anak ada didekat objek lekat, timbullah keberanian untuk bereksplorasi. Sebaliknya anak mengalami ketakutan bila berpisah dengan objek lekatnya.
Ada dua macam ketakutan pada akhir tahun pertama :
a. Takut terhadap orang asing (bukan ke-8)
Dari penelitian terbukti bahwa anak yang mempunyai banyak interaksi dengan ayah kurang takut terhadap orang asing daripada anak yang hanya mempunyai interaksi dengan ibu saja.
b. Takut untuk berpisah (9-12 bulan)
Ketakutan berpisah timbul pada waktu ditinggalkan oleh objek lekat. Bersamaan dengan itu timbul hambatan dalam tingkah laku normal, misalnya hambatan dalam tingkah laku eksplorasi.
Lebih para adalah keadaan anak yang kehilangan objek lekat untuk waktu yang agak lama dalam tahun-tahun pertama, misalnya karena mondok di rumah sakit. Bowbly mencatat tiga stadium tingkah laku anak dalam situasi semacam itu, yaitu :
a. Fase protes : menangis, agresi, tidak mau makan
b. Fase putus asa : interaksi normal dengan anak-anak dan orang dewasa lain, tetapi acuh terhadap orang tuanya bila ditengok.
c. Pada perpisahan yang lama : menunjukkan tingkah laku tak perduli terhadap kontak dengan orang lain.
Penelitian Adiyanti (1989) di Yogyakarta mengenai kelekatan anak usia 6 bulan sampai dengan 3 tahun memberikan hasil sebagai berikut :
1. Tahap kelekatan sesuai dengan teori Bowlby (1980) ada dalam tahap 2 sampai dengan 4
2. Tingkah laku lekat sangat bervariasi sesuai dengan perkembangan kognisi, a.l anak yang telah memiliki konsep permanensi objek akan mencari ibu (objek lekat) bila ibu atau objek lekat tidak tampak dalam jangkauan pandangannya.
3. Anak yang egosentrimenya mulai menurun mau mengerti jika ibu minta diri untuk pergi sebentar.
4. Anak yang telah mempunyai kemampuan verbal jika ditinggal ibu bentuk protesnya adalah bertanya dan tidak menangis. Anak yang belum memiliki kemampuan verbal melakukan protesnya dengan menangis.
5. Tingkah laku lekat anak umur 6 bulan berbeda dengan anak umur 12, 10, 24, dan 36.
2.5.1.4. Institusionalisasi
Apakah yang akan terjadi bila anak tidak mempunyai kesempatan untuk mendapatkan kontak yang tetap dengan orang-orang tertentu dan dengan begitu tidak dapat mengembangkan tingkah laku lekat dengan orang lain ? Keadaan ini banyak diutarakan sebagai hasil beberapa penelitian mengenai anak yang hidup dalam yayasan-yayasan institusional berarti memasukkan anak dalam suatu yayasan).
Pada anak-anak tersebut nampak adanya perkembangan yang menyimpang dan tidak normal :
a. Mereka sering menunjukkan tingkah laku stereotip misalnya menumbuk-numbukkan badan pada dinding, pintu atau sesuatu yang lain atau mereka tidur terlentang di lantai, atau menghisap ibu jari.
b. Sering menunjukkan sikap apatis sama sekali.
c. Menunjukkan tingkah laku sosial yang abnormal, misalnya ketakutan yang berlebihan terhadap benda-benda asing atau orang asing, agresi atau kehausan akan perhatian orang dewasa.
d. Kemunduran perkembangan pada umumnya yaitu kemunduran dalam bidang motorik, kognisi dan bahasa.
Juga pada hewan terjadi tingkah laku tersebut diatas, yaitu setelah mengalami isolasi yang lama sesudah dilahirkan tingkah laku tadi disebut “sindrom-deprivasi primat”.
Menurut Bowlby (1951) dan Spitz (1945 : 1946) hanya ad satu sebab bagi tingkah laku menyimpang ini, yaitu “lack of emotional sayang yang sangat dibutuhkan untuk berkembang dengan sehat dan normal. Tetapi disamping oitu terdapatlah kenyataan-kenyataan yang sukar dapat diterangkan, yaitu :
a. Retardasi seringkali sudah timbul sebelum ada hubungan emosional (6-9 bulan)
b. Retardasi juga bisa timbul walaupun anak sudah mempunyai hubungan emosional yang memuaskan.
c. Seringkali juga tidak timbul retardasi meskipun anak mengalami kekurangan kasih sayang.
2.5.1.5. Peranan stimulasi
Telah diselidiki pada sejumlah kera mengenai akibat sesudah mereka dibesarkan dalam keadaan gelap gulita. Sesudah beberapa waktu nampak perkembangan berhenti, bahkan nampak ada degenerasi sel-sel otak pada korteks visual. Sudah barang tentu deprivasi yang begitu ekstrim hampir tidak pernah dijumpai pada manusia meskipun deprivasi yang lebih ringan juga dapat memberikan berbagai akibat yang cukup serius.
Dalam bulan-bulan pertama pada waktu anak kurang memperoleh stimulasi visual, yaitu pada waktu mereka kebanyakan berada dalam posisi tidur, maka posisi tidur, maka perhatian visualnya dapat mengecil. White (1968, 1969) berpendapat bahwa pemberian stimulasi visual dalam ranjang anak dapat sangat mempertinggi perhatian anak terhadap keliling. Meskipun bila stimulus tadi terlalu banyak dapat berakibat sebaliknya, perhatian berkurang dan anak akan menangis.
Tahun pertama disebut “pcriode kesiapan mendengarkan” yaitu anak belajar mendengarkan. Hal ini sangat penting bagi perkembangan bahasa dalam periode tahun pertama, yaitu karena :
a. Kualitas dan kuantitas vokalisasi seorang anak dapat bertambah dengan pemberian reinforsemen verbal.
b. Dalam bagian kedua tahun pertama anak mulai menirukan kata-kata yang didengarnya.
Dalam penelitian Walraven (1973) ternyata bahwa bayi yang sering diajak bicara oleh ibu dengan menyebutkan nama benda-benda yang ada disekelilingnya mendapatkan tingkat perkembangan yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak memperoleh perlakuan semacam itu. Tetapi sebaliknya stimulasi auditif yang terlalu banyak juga memberikan akibat yang tidak baik.
Dapat diduga bahwa stimulasi taktil mempunyai pengaruh terhadap cerebelum (susunan otak kecil) yang bersama dengan bagian otak yang lain mempengaruhi tingkah laku sosial-emosional. Selanjutnya kera yang mengalami deprivasi taktil odan bertingkah laku agresif, ternyata mempunyai EEG cerebellum yang abnormal. Sesudah sebagian cerebellum dihilangi secara operatif maka hasil EEG dan tingkah lakunya menjadi normal kembali.
Anak prematur yang lama ada dalam “couveuse” nampak berkembang lebih baik bila sesudahnya itu mereka ditempatkan dalam semacam ranjang bayi yang selalu bergerak. Berhubung dengan itu maka cara sementara orang di Indonesia menidurkan anak dalam selendang yang digantung pada kedua ujungnya hingga dapat bergoyang-goyang pada setiap kali bayi bergerak, mempunyai keuntungan tersendiri bagi perkembangan anak.
Variasi dalam stimulasi sangat penting sehubungan dengan perhatian anak yang makin mengecil bila suatu stimulus yang sama terus menerus diberikan. Hal tersebut dapat terjadi antara umur 3 dan 6 bulan. Anak bosan terhadap stimulus yang terus menerus sama, karena sudah membentuk representasi intem mengenai stimulus tersebut.
Bila anak sudah membentuk representasi intern mengenai S, maka ia akan mempunyai perhatian yang besar terhadap suatu stimulus yang ada persamaannya dengan S, tetapi juga tidak persis sama atau tidak terlalu menyimpang daripada S tadi (lihat gambar 7). Hal inui disebut hipotesis diskrepansi.
Berdasarkan hipotesis diskrepansi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa para pendidik dan orang tua dapat menaikkan kperhatian anak dengan menyajikan stimulus-stimulus oyang baru tetapi juga jangan yang sama sekali baru.
Juga waktu atau saat memberikan stimulasi besar pengaruhnya terhadap perkembangan anak. Sering dan cepat memberikan respons terhadap tingkah laku anak mempunyai akibat yang bermacam-macam.
Mengadkan respons dan atau reaksi pada saat-saat yang tepat terhadap tingkah laku anak dapat memberikan pengaruh yang penting terhadap rasa diri anak. Karena anak memperoleh respon terhadap tingkah lakunya, ia akan merasa bahwa tingkah laku tadi dapat mengakibatkan sesuatu dalam lingkungan. Ia merasa dapat menjadi sebab sesuatu akibat. Hal ini dapat menimbulkan motif yang dipelajari dan apa yang disebut kontrol lokus yang internal (internal locus of control). Hal ini berarti bahwa anak merasa bahwa dirinyalah yang menguasai reinforsemen, bahwa dialah yang menentukan akibatnya. Sebaliknya adalah bila anak selalu tidak mendapatkan reaksi terhadap tingkah lakunya. Disini anak merasa bahwa tingkah lakunya tidak mempunyai akibat apapun atau pengaruh apapun terhadap lingkungan, bahwa dia tidak kuasa atau pengaruh apapun terhadap lingkungan, bahwa dia tidak kuasa menentukan akibatnya, keadaan diluar dirinyalah yang menentukan. Hal ini dapat menimbulkan apa yang disebut kontrol lokus yang eksternal (external locus of control). Menurut penelitian di Barat maka orang yang memiliki sifat kontrol lokus yang eksternal ini pad umumnya datang dari lingkungan yang kurang dan mempunyai korelasi positif dengan prestasi sekolah yang rendah. Penemuan ini perlu mendapatkan pengujian di Indonesia karena kontrol lokus tersebut sangat berhubungan dengan filsafat hidup dan pandangan suatu kebudayaan.
Sebagai kesimpulan dapat dikatkan bahwa pada umumnya seorang ibu atau pengganti ibu mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan anak karena :
1. Dia dapat menentukan berapa banyaknya stimulasi dan pada saat-saat apa stimulasi diberikan pada anak. Dia memegang kuncinya untuk mengadakan stimulasi bagi perkembangan anak.
2. Orang yang paling awal dan paling banyak mengadakan hubungan dengan anak biasanya juga orang yang dijadikan objek lekat anak. Biasanya orang ini adalah ibunya. Hubungan yang erat dengan anak tadi memberikan pengaruh yang kuat terhadap stimulasi yang diberikan terhadap tingkah laku anak tersebut, lebih kuat daripada bila misalnya stimulasi diberikan oleh orang yang asing bagi anak.
2.5.1.6. Penelitian mengenai stimulasi terhadap perkembangan anak masa awal
Penelitian Riksen-Walraven (1977 : 1978) pada 100 orang anak Belanda berasal dari kelas sosial-ekonomi yang rendah menunjukkan betapa pentingnya stimulasi yang tepat diberuikan selama periode tahun pertama. Dalam penelitian tersebut diadakan stimulasi terhadap 2 aspek perkembangan masa awal.
Aspek pertama yang diteliti adalah motif kompetensi. White (1959) melukiskan motif ini sebagai suatu kecenderungan bawaan ke arah interaksi yang efektif dengan keliling. Pada tahun-tahun pertama maka kecenderungan ini berujud tingkah laku eksplorasi dan manipulasi dengan keliling.
Motif kompetensi yang bersifat bawaan dapat segera diperlemah atau diperkuat oleh orang-orang keliling pada waktu yang awal, yaitu melalui banyak sedikitnya reaksi yang diberikan terhadap tingkah laku anak tadi. Bila sejak dilahirkan anak mendapatkan banyak reaksi terhadap tingkah lakunya, maka anak akan merasa bahwa perbuatannya berhasil karena ia melihat akibat tingkah lakunya itu. Dengan begitu ia makin terdorong untuk berbuat sesuatu lagi dan melihat akibat yang ditimbulkannya. Pengalaman akan adanya hubungan atau kontingensi antara tingkah laku sendiri dengan akihat atau efeknya dalam keliling, sangat penting untuk perkembangan moitif kompetensi anak yaitu karena dengan demikian anak memperoleh rasa berhasil yang mendorongnya lagi untuk dapat menguasai kelilingnya misalnya melalui tingkah laku eksploratif).
Bila anak sering mendapatkan reaksi terhadap tingkah lakunya, maka tidak saja anak tadi terdorong untuk melakukan tingkah laku yang semacam itu lagi, melainkan ia juga lebih dapat menganalisa mengenai tingkah laku mana yang dapat memberikan efek tertentu itu. Proses ini disebut dengan istilah analisis-kontingensi : anak belajar untuk dapat meletakkan hubungan antara tingkah laku dengan akibat yang ditimbulkannya dalam keliling. Banyak sedikitnya reaksi yang diberikan oleh keliling terhadap tingkah laku anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang responsif akan memperlihatkan tingkah laku eksplosif yang tinggi, dan akan mampu untuk mengerti hubungan antara tingkah laku sendiri denan akibat yang ditimbulkannya.
Di samping penelitian terhadap aspek motif kompetensi ini juga dicoba untuk menstimulasi kecepatan habituasi. Seperti yang sudah beberapa kali diterangkan di muka maka habituasi adalah berkurangnya perhatian anak terhadap suatu stimulus yang berkali-kali disajikan. Habituasi berarti pula mendapatkan representasi internal tidak saja mengenai benda-benda, melainkan juga mengenai hubungan, hukum, relasi sosial dan sebagainya. Riksen-walraven berpendapat bahwa kecepatan habituasi itu dapat distimulasi : makin bervariasi stimulus yang ada dalam keliling anka, makin baik anak dapat meresapkan informasi dari luar dan makin cepat habituasinya.
Program stimulasi Riksen-Walraven dimulai pada waktu anak berusia 9 bulan. Anak-anak tersebut diambil dari lingkungan sosial ekonomi yang rendah karena menurut beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Para orang tua dari golongan sosial-ekonomi rendah kurang responsif dan tidak banyak memberikan stimulasi pada anak-anak mereka. Tujuan program stimulasi ini telah menstimulasi tingkah laku eksploratif, analisis kontingensi dan kecepatan habituasi anak dengan menpertinggi responsivitas dan stimulasi orang tua terhadap anak-anak mereka.
Cara kerjanya adalah sebagai berikut :
Pada usia 9 bulan anak diobservasi dua kali 40 menit, sekali pada waktu pagi dan sekali pada waktu sore hari. Observasi dilakukan atas dasar 17 kategori tingkah laku anak seperti ketawa, menangis, melihat dan 16 kategori tingkah laku pengasuh (ibu) seperti celaan verbal, menyebutkan nama benda, menunjuk sesuatu, (lihat Riksen-Walraven, 1977, hal. 87 dan seterusnya).
Atas dasar observasi itu setiap pengasuh memperoleh sekor R (Responsivitas) dan Sekor S (banyaknya stimulasi). Di samping itu ditentukan tingkah laku eksploratif, analisis kontingensi dan kecepatan habituasi anak dalam berbagai cobaan. Sesudah pengukuran pendahuluan ini orang tua menerima beberapa alat permainan dan sebuah buku kerja. Buku terebut berisi bermacam-macam petunjuk dan sugesti untuk bermain dan berinteraksi dengan anak. Sementara orang tua menerima buku yang bersifat menstimulasi responsivitas mereka terhadap anak (buku R) sementara orang tua lagi menerima buku yang menitikberatkan akan pentingnya memberikan stimulasi yang banyak dan bermacam-macam (buku S). Pada usia 12 bulan jadi sesudah periode intervensi 3 bulan setiap anak diobservasi lagi dalam interaksi dengan pengasuh (orang tua) dan tingkah laku anak diukur lagi. Ternyata bahwa pemberian pengaruh terhadap orang tua dan stimulasi perkembangan anak dapat berhasil. Para orang tua yang menerima buku R menjadi lebih responsif terhadap anak-anak mereka daripada kelompok kontrol yang tidak menerima program intervensi, sedangkan anak-anak mereka menunjukkan tingkah laku eksploratif lebih banyak dan analisis kontingensi lebih cepat daripada anak-anak kelompok kontrol. Para orang tua yang menerima program S memberikan lebih banyak stimulasi pada anak daripada kelompok kontrol dan anak-anak mereka mempunyai kecepatan habituasi yang relatif lebih besar.
Penelitian ini dikemukakan agak luas untuk menunjukkan suatu eksperimen-intervensi yang praktik dan berhasil.
Dari analisis teoretis dan empiris ini ternyata bahwa proses perkembangan seperti habituasi, eksplorasi dan kontingensi serta faktor-faktor lingkungan seperti responsivitas dan stimulasi paling tidak merupakan faktor-faktor inti dalam perkembangan manusia. Pelaksanaan program itu menunjukkan adanya kemungkinan untuk menunjukkan adanya kemungkinan untuk membuat perubahan dan kemungkinan untuk menyesuaikan cara mengasuh anak terhadap kebutuhan-kebutuhan yang ada pada anak. Hanya melalui perubahan sikap dapat diharapkan efek yang tahan lama dan dapat diharapkan untuk membuat anak, juga sesudah tahun pertama, tumbuh menjadi individu yang kompeten. Pertanyaan yang timbul di sini adalah ialah apakah di Indonesia sikap orang tua yang berasal dari kelas ekonomi-ekonomi yang rendah juga menunjukkan lebih sedikit responsivitas dan lebih sedikit memberikan stimulasi pada anak-anak mereka. Mengenai hal ini masih menunggu penelitian yang sesuai, namun orang Indonesia (Jawa) membawa anak kemana-mana dalma selendang dan mulai anak bisa mengangkat kepalanya didukung dalam posisi duduk, akan memberikan keuntungan yang besar bagi bertambahnya variasi stimulus yang diterima anak, karena daerah pengamatan anak jauh lebih luas daripada bila ia diletakkan dalam ranjang atau dalam kereta bayi. Hal ini perlu dikemukakan sebentar oleh penulis berhubung cara membawa naak dalam selendang oleh para ibu terutama di kota kurang disukai karena dianggap kurang “modern”. Beruntung sekali bahwa sekarang telah dipopulerkan “baby-keeper” terbuat dari plastik sebagai pengganti selendang.
Perkembangan fisik dan psiko-motorik selama tahun pertama.
Pada wakt dilahirkan mak anak laki-laki pada umumnya lebih panjang dan lebih berat daripada anak wanita. Selama tahun pertama panjang badan bertambah 1/3 bagian dan berat badan menjadi tiga kali berat semula. Proporsi badan berubah dengan cepat terutama pada bagian kedua tahun pertama. Kaki tumbuh dengan sangat cepat mulai 8 minggu, lebih cepat dibanding dengan pertumbuhan kepala. Kepala tumbuh relatif lebih lambat dibanding dengan pertumbuhan badan sebagai keseluruhan. Meskipun begitu besar tengkorak serta bentuk tengkorak berubah dengan jelas. Perbedaan mengenai pertumbuhan fisik anak ini sangat besar pada berbagai macam kultur dan bangsa. Perbandingannya adalah pada waktu dilahirkam maka besar kepala adalah seperempat besar seluruh badan : pada orang dewasa perbandingan kepala terhadap bagian badan yang lain adalah 1/8 (lihat Gambar 8.).
Pada waktu dilahirkan hanya sedikit anak yang sudah tumbuh giginya; juga ada anak yang baru pada usia satu tahun tumbuh giginya. Pada umumnya gigi pertama tumbuh pada usia + 7 bulan, dan pada usia 12 bulan biasanya sudah tumbuh 6 buah gigi.
Pengerasan tulang-tulang mulai periode pra-natal dan berlangsung terus sampai masa remaja. Tulang naak yang masih muda lebih lentur, lebih reaksi dan lebih mudah bengkok daripada tulang orang dewasa. Tetapi karena kelenturan ini tulang anak tidak mudah patah. Terdapat banyak perbedaan perseorangan dan perbedaan kelompok dalam sifat kelenturan tulang itu. Di samping itu terdapat juga perbedaan di antara bagian-bagian badan. Juga terdapat perbedaan antara pria dan wanita dengan wanita dengan wanita lebih unggul daripada pria dalam perkembangan kerangka.
Urat daging pada pada bayi yang baru dilahirkan belum berkembang. Urat daging tumbuh dalam panjang, lebar dan besarnya. Urat daging kepala dan tengkuk berkembang lebih cepat daripda urat daging pada anggota-anggota badan. Anak laki-laki mempunyai proporsi jaringan urat daring leih besar daripada anak perempuan. Anak wanita berkembang lebih cepat daripada anak laki-laki, mereka mempunyai banyak lemak dan lebih sedikit air. Anak wanita pada umumnya lebih ringan berat badannya dan lebih pendek daripada anak laki-laki. Disamping itu juga tidak terdapat banyak variasi dalam perkembangan badan anak wanita.
Anak yang baru dilahirkan mempunyai sejumlah refleks. Mereka merupakan dasar bagi bayi untuk mengadakan reaksi dan tindakan yang aktif. Beberapa dari refleks ini akan menghilang dalam waktu tertentu dan disebut refleks anak menusu atau refleks bayi. Ada yang tidak menghilang dan disebut refleks permanen. Termasuk yang terakhir ini adalah reflek urat Achiiles (kontraksi urat-urat daging kempol bila urat Achiiles dipukul), refleks urat lutut atau refleks pattellair (kontraksi urat-urat daging pada kaki atas bila ada pukulan pada urat di bawah lutut) dan refleks pupil (mengecilnya pupil bila ada sinar masuk dan pada akomodasi). Termasuk refleks anak menusu atau refleks sementara adalah :
a. Refleks moro : dalam gerak refleks ini akan mengembangkan tangan ke samping lebar-lebar, melebarkan jari-jari laku mengembangkan tangannya dengan tarikan cepat seakan-akan ingin memeluk seseorang (dari itu refleks ini juga disebut refleks “peluk”). Refleks ini dapat ditimbulkan dengan memukul bantal di kedua samping kepala anak atau dengan menepuk-nepuk tangan, artinya refleks ini timbul karena anak terkejut. Biasanya akan mulai menghilang sekitar 4 bulan dan sesudah 6 bulan hanya dapat ditimbulkan dengan susah payah.
b. Refleks mencium-cium atau “rooting-reflex” : refleks ini ditimbulkan oleh stimulasi taktil pada pipi atau daerah mulut. Anak mereaksi dengan memutar-mutar kepalanya seakan-akan mencari putting susu.
c. Refleks hisap : refleks mencium-cium dan refleks hisap biasanya timbul bersama-sama dengan merangsang pipi. Refleks-reflek ini mempunyai fungsi eksploratif yang menenangkan. Merupakan hal yang terkenal bahwa bayi pada bulan-bulan pertama ingin menyelidiki keliling melalui daerah mulut, dari itu kedua refleks ini juga disebut refleks oral. Kedua refleks menghilang sekitar 6 bulan.
d. Refleks genggam atau refleks Darwin : bila kita membuat rangsang dengan menggoreskan jari melalui bagian dalam lengan anak ke arah tangan, tangan akan membuka bila rangsang hampir sampai pada telapak tangan. Bila jari diletakkan pada telapak tangan, anak akan menutup telapak tangannya tadi.
e. Refleks Babinski : adalah semacam refleks genggam kaki. Bila ada rangang pada telapak kaki, ibu jari akan bergerak ke atas dan jari-jari lain membuka. Kedua refleks ini akan menghilang pada sekitar 6 bulan.
Mengenai keadaan panca indera dapat dikatakan sebagai berikut :
Pencium/pembau, ada tanda-tanda bahwa indera pencium pada mulanya belum berkembang meksipun belum banyak penelitian mengenai hal ini. Bayi akan nampak memalingkan kepala bila ada bau yang tidak enak.
Pengecap, anak yang baru dilahirkan sudah bereaksi dengan menyengirkan mukanya bila mengecap sesuatu yang tidak enak. Sekitar bulan kedua dan ketiga mulailah perkembangan indera pengecap.
Indera kulit, pada bulan terakhir periode fetal sudah mulai ada rasa tekanan dan rasa sakit, meskipun masih global dan belum jelas. Bila bayi yang tidur dipegang, denyut jantungnya akan bertambah cepat. Bila ia dipegang pada waktu bangun, denyut jantungnya menjadi lambat.
Rasa suhu, anak yang baru dilahirkan mempunyai jenjang rasa suhu yang lebar, dari jauh di atas sampai dengan jauh di bawah suhu badan.
Penglihatan, anak sudah dapat melihat terang, gelap dan warna. Bayi mengadakan reaksi terhadap perbedaan intensitas stimulus-stimulus visual melalui refleks biji mata. Anak bayi dapat mengikuti gerakan-gerakan sesuatu dengan matanya. Mereka dapat mengadakan konvergensi dan fiksasi binokuer. Sekitar 2 bulan anak baru dapat mengadakan akomodasi.
Mengenai kompleksitas pengamatan-pengamatan visual masih ada pendapat yang berbeda-beda. Yang jelas yaitu bahwa perhatian anak tertuju pada stimulus yang kompleks. Hanya belum dapat dibuktikan apakah anak akan makin tertarik pada stimulus-stimulus yang semakin kompleks. Di muka dapat dibuktikan bahwa stimuulus yang mirip tetapi tegak menyimpang dari skemata (representasi internal) yang ada, akan memikat perhatian. Perhatian hilang bila stimulus yangbaru itu identik sama sekali, atau sama sekali tidak ada persamaannya dengan skemata yang lama;
Anak juga sudah bisa melihat dalam, tetapi belum dapat dibuktikan apakah kemampuan ini merupakan suatu kemampuan bawaan ataukah hasil pengaruh belajar (lihat Gambar 9. “Jurang Visual”).
Pendengaran : anak yang baru dilahirkan sudah dapat mendengar, ia mengadakan reaksi terhadap stimulus auditif. Di sini nampak adanya perbedaan-perbedaan perseorangan. Sementara anak sudah mengadakan reaksi pendengaran segera sesudah dilahirkan, sementara anak yang lain membutuhkan waktu yang agak lama. Wertheimer (1961) dapat membuktikan bahwa bayi 10 menit sesudah dilahirkan dapat memalingkan pandangan ke arah suatu stimulus suara. Hal ini disebut reaksi orientasi dan membuktikan bahwa suatu koordinasi motoris antara penglihatan dan pendengaran dapat terjadi tanpa melalui proses belajar lebih dahulu. Bila perhatian visual ditimbulkan oleh gerakan dan kontur, maka perhatian auditif dapat timbul karena irama dan lama waktu berlangsungnya suara.
Keterangan tersebut di atas menunjukkan bahwa sementara alat indera anak pada waktu anak dilahirkan atau segera sesudahnya sudah dapat berfungsi dengan baik. Misalnya indera mata dan telinga. Mungkin pad setengah abad yang lalu atau sesudahnya orang-orang kita di Indonesia masih banyak melihat bayi dilahirkan dengan mata tertutup dan baru setelah beberapa hari mulai terbuka. Kenyataan itu menimbulkan kesan dan anggapan bahwa bayi yang baru dilahirkan masih belum dapat melihat apa-apa bahkan mungkin juga belum dapat mendengar sama sekali. Namun kemudian bayi di Indonesia juga dilahirkan dengan mata terbuka sesuai dengan hasil penelitian yang telah disebutkan di atas. Apakah hal itu erat hubungannya dengan pengertian faktor gizi yang bertambah baik atau faktor pemeliharaan kesehatan sebelum dilahirkan yang bertambah baik, juga masih menunggu suatu penelitian tersendiri.
Pola tingkah laku motorik pada anak makin lama makin bertambah baik koordinasinya, makin cermat dan makin cepat (lihat Gambar 10).
Kinestasi : anak yang baru dilahirkan juga sudah mempunyai aktivitas kinestetis, yaitu sudah mempunyai penghayatan gerakan aktif, sudah dapat merasakan gerakan-gerakannya. Dalam perasaan kinestetis
Gambar 10. Tingkah laku motorik di bawah ini dapat dilakukan 25%, 50% , 75% dan 90% oleh kelompok sample yang diselidiki Cools dan Hermans (1977) di Neeri Belanda (umur di tulis dalam bulan). (Masih harus dipertanyakan umur rata-rata anak Indonesia dalam melakukan tingkah laku motorik tersebut.
25% 50% 75% 90%
Dapat mengangkat kepalanya 45o sampai berbaring tengkurap 0.5 1.0 1.7 25
Duduk dengan dibantu, kepala diam 0,6 1,2 2,0 3,2
Perut dada ke atas 1,4 2,2 3,3 4,8
Duduk tanpa dibantu 6,5 7,6 8,8 10,2
Berdiri dengan sandaran 7,7 9,0 10,6 12,25
Menarik diri untuk berdiri semacam bentuk merangkak 7,6
9,2 11,0 13,0
Berjalan dengan dibantu
9,0 10,4 11,9 13,6
Berdiri lepas dengan tegap 11,2
12,8 14,5 16,2
Berjalan baik 12,4 13,8 15,4 16,9
Menyepak bola ke muka 14,0 15,8 18,6 24,7
Termasuk perasaan posisi tubuh, anggota badan, urat-urat daging, keseimbangan, gerakan memutar. Termasuk juga dalam golongan ini pengamatan tingkah laku sendiri. Juga sebelum dilahirkan, fetus dapat merasakan kinestesi meskipun masih sangat terbatas.
Duduk : rata-rata pada usia 2-3 bulan anak dapat duduk dengan bantuan, pada usia 7 bulan anak dapat duduk tanpa bantuan orang lain.
Merangkak : walau ada perbedaan-perbedaan perorangan yang besar, dapat dilihat adanya 3 tingkatan dalam gerakan merangkak. Tingkatan pertama adalah pada usia + 8 bulan, di sini lutut ditarik ke mulai melalui badan. Sekitar 34 minggu anak dapat bergerak maju dengan menarik dirinya di atas lantai. Perut masih belum diangkat dan anak maju dengan bantuan gerakan tangan dan kaki. Kepala berpaling ke arah bagian tangan dan kaki yang ditekuk. Cara merangkak semacam ini disebut homolateral, yaitu anak merangkak dengan sisi yang satu dulu kemudian dengan sisi yang lain. Baru sekitar 40 minggu akan merangkak dengan tangan dan lutut dan sekitar 45 minggu dengan tangan dan kaki. Sekarang anak bisa diesbut bilateral, yaitu ia mampu untuk menggerakkan kedua sisi basan secara serasi.
Berdiri dan berjalan : kebanyakan anak sudah dapat berdiri beberapa minggu pertama sebelum me reka dapat berjalan. Biasanya anak dapat berjalan pada usia kurang lebih satu tahun meskipun ada banyak variasinya antara 9-15 bulan.
Untuk menjaga keseimbangannya, anak mengangkat kedua lengan ke sisi atau ke atas. Dengan pertolongan perubahan-perubahan dalam proporsi badan serta perkembangan dalam sistem neuro muskuler anak mampu untuk berjalan dengan cara yang normal.
Cools dan Hermans (1977:1979) telah membuat norma-norma mengenai suatu tes yang dipakai di Belanda, yaitu Denver Ontwikkeling Screening tes (DOS). Tes ini dimaksudkan untuk menemukan secara dini permasalahan yang ada dalam perkembangan anak. Pembuatan norma-norma ini dilakukan dengan melibatkan 1260 anak (628 anak pria dan 632 anak wanita) berumur 1 tahun sampai 6 ½ tahun (rentang usia dalam hari yaitu 16-2340 hari). DOS mempunyai 105 kategori perilaku konkrit, yaitu 20 bentuk perilaku sosial seperti “glindingan bola itu kembali”, “mengenakan pakian di bawah pengawasan”, 30 bentuk perilaku adaptasi seperti “memegang krintingan”, “menirukan membuat jembatan”, 24 bentuk perilaku bahasa seperti “mengkombinasikan dua kata”, “mengerti pengertian dingin, lelah, lapar”, dan 30 bentuk perilaku motoris (gambar 10 sebagian besar diambil dari DOS). Dari DOS juga bisa diperoleh data-data longitudinal (Hermanss & Cooks, 1978).
Norma DOS untuk Belanda dinyatakan dalam presentase (nilai P) dengan batas Bawah dan batas Atas. Dengan demikian maka P90 pada kategori perilaku “dapat berdiri sendiri” dengan B15.6. dan A 16.9 berarti bahwa 90% dari kelompok anak usia 15.6 bulan, sampai 16.9 bulan dapat melakukan perilaku motoris ini “gambar 10) (lihat Cools & Hermanns, 1977. hal. 236/237).
Memegang/meraih : antara minggu ke 16 dan ke 52 anak dapat memegang suatu dengan baik (lihat gambar 10). Sekitar usia 5 bulan anak dapat memandang benda sesuatu tetapi ia tidak akan memegangnya. Anak usia 2 ½ bulan akan memukulnya dan sekitar usia 4 bulan ia mencoba untuk menyentuhnya. Baru pada usia 5 bulan ia mencoba untuk memegang/meraihnya. Kemampuan ini tergantung baik pada pemasakan fungsi-fungsi anak dari dalam maupun dari pengaruh-pengaruh keliling.
Bahasa : dasar psiko-motoik tingkah laku bahasa ada pada tahun pertama. Mulai kurang lebih 6 anak mulai meraba (mengoceh). Meraba ini dapat dipandang sebagai permulaan bahasa dan pada sekitar tahun pertama anak mulai mengucapkan kata-kata pertama. Pada bagian kedua tahun pertama anak sudah bisa mengadakan semacam dialog dengan dirinya sendiri. Dalam hubungan ini penting bagaimana orang-orang disekeliling anak mengadakan reaksi terhadap pernyataan perasaan anak ini. Hal ini sangat penting bagi perkembangan vokalisasi dan sosialisasi anak.
Gambar 11. Perkembangan tingkah laku motorik : mraih
+ 16 minggu Belum ada kontak sesungguhnya dengan obyek. Anak melihat tetapi belum akan memegangnya
+ 20 minggu Memegang secara visual terarah. Anak dapat menyentuh bendanya, mencoba memegangnya, tetapi belum dapat menggenggamnya dengan baik.
+ 28 minggu Telapak tangan ikut memegang peranan.
+ 36 minggu Jari telunjuk memegang peranan.
+ 52 minggu Koordinasi antara ibu jari dan jari telunjuk. Juga jari-jari yang lain dipakai secara efektif.
Pengenalan awal anak-anak resiko
Segera sesudah anak dilahirkan dan sekali lagi 5 menit sesudahnya kebanyakan anak dites dengan apa yang disebut tes APGAR. Tersebut dibuat oleh Virginia APGAR dalam tahun 1953 untuk menentukan bayi mana yang perlu memperoleh perhatian medis yang khusus. Tes tersebut terdiri dari observasi sederhana yang dilakukan oleh dokter yang menolong mengenai fungsi-fungsi vital anak : denyut jantung, pernafasan, ketegangan urat daging, refleks dan warna kulit. Pada tiap dimensi tadi anak mendapatkan sekor 0 atau 1 atau 2. Kelima sekor dijumlah dan merupakan sekor APGAR anak.
Anak dengan sekor APGAR 10 ada dalam keadaan sehat fisik yang bagus. Bayi dengan sekor 8 dan 9 mempunyai kondisi badan yang baik. Mereka yang mempunyai sekor 5 dan 7 dapat mempunyai masalah-masalah medis yang membutuhkan perhatian. Sekor 4 atau di bawahnya mempunyai kemungkinan hidup yang kecil dan membutuhkan perhatian medis dengan segera.
Semula tes APGAR digunakan untuk mengerti indeks kasar untuk menentukan keadaanf isik anak pada waktu dilahirkan. Sesudahnya itu hasil tes APGAR ini juga digunakan untuk meramalkan tingkah laku anak jangka panjang, begitu juga perkembangan dan inteligensinya. Hal ini terutama karena ada dugaan bahwa anak terbelakang mental akan mempunyai sekor APGAR yang lebih rendah pada waktu dilahirkan. Sementara peneliti menemukan korelasi yang signifikan antara sekor APGAR dan tingkat inteligensi kemudian.
Penelitian harus menimbulkan dugaan bahwa ada beberapa variabel lain yang ikut mempengaruhi korelasi ini. Variabel yang mempengaruhi inteligensi anak pada waktu yang awal ikut mempengaruhi kesukaran kelahiran, jadi mempengaruhi sekor APGAR. Suatu penelitian baru pada 26.000 anak dari 12 kota pusat medik di Amerika Serikat menunjukkan bahwa bila pengaruh kelas sosial-ekonomi, bangsa atau sekse dihilangi, maka baik sekor APGAR anak normal maupun anak yang menyimpang tidak mempunyai korelasi yang signifikan dengan sekor intelegensi anak-anak tersebut pada umur pra-sekolah. Jadi kecuali bila sekor APGAR itu sangat rendah maka kita tidak perlu terlalu khawatir mengenai kesehatan psikis dan perkembangan selanjutnya (lihat Holm & Morrison, 1979).
Juga pada penerimaan apa yang disebut anak-anak resiko (high risk infants) maka tes APGAR dapat memberikan bantuan yang berharga. Telah diadakan penelitian perbandingan mengenai sejarah hidup 125 mati dalam ranjang dengan lebih dari 50.000 bayi yang tahan hidup; kelompok yang pertama jelas menunjukkan sekor APGAR yang lebih rendah.
Di Belanda misalnya setiap tahuna da kurang lebih 200 bayi yang mati mendadak dan tanpa ada tanda-tanda sakit. Hal ini kebanyakan terjadi di antara bulan ke 2 dan ke 4. Kematian ini yang disebut “wiegedood” atau “Suddent Infant Death Syndrom”, menurut beberapa penelitian dapat dicegah oleh pemeliharaan yang wal dan tepat. Anak-anak resiko ini membutuhkan stimulasi dan pengaktivan terarah terutama dalam bulan-bulan pertama. Pada waktu kelahiran ada beberapa tingkah laku refleks dan spontan yang perlu bagi anak untuk dapat hidup. Dengan myelinisasi serta perkembangan fungsi-fungsi otak yang lebih tinggi maka tingkah laku yang dipelajari. Hal ini mempunyai puncaknya pada bulan ke 2 dan ke 4. Selama periode perkembangan neural yang cepat ini nampaknya anak masih harus mempelajari beberapa pola tingkah laku, antara lain bernafas spontan. Dengan lain perkataan pernafasan dan pola-pola tingkah laku yang lain makin ditentukan oleh tingkah laku belajar. Anak-anak resiko (anak prematur, kelahiran dengan komplikasi-komplikasi hingga menyebabkan cacat-cacat ringan pada otak) membutuhkan stimulasi dan pengaktivan tambahan untuk dapat tahan hidup. Dalam tulisan Lipsitt (1979) ditunjukkan bahwa penyebab wiegedood juga dapat diterangkan secara psikologis yaitu disebabkan oleh atau merupakan akibat dari tidak adanya pengalaman belajar pada perpindahan dari tingkah laku spontan ke tingkah laku yang disengaja. Hal ini berarti bahwa pemeliharaan bayi terutama pada anak-anak resiko harus berorientasi medis dan psikologis.
Depresi Post-Partum
Akhir-akhir ini ada perhatian yang meningkat akan suatu gejala yang dikenal sebagai depresi post-partum, yaitu problema psikis sesudah melahirkan seperti labilitas efek, kecemasan, dan depresi pada ibu yang dapat berlangsung berbulan-bulan. Dalam tulisan-tulisan yang baru diadakan beberapa diferensiasi pada permasalahan post-partum yang bersifat depresif. Dibuatlah suatu kontinum permasalahan yang bergerak dari “menangis sehari-harian” sampai gejala psikosa. Depresi post-partum ada di antara dua gejala ini (Dirksen, 1985) (Post Partum atau post-natal = sesudah melahirkan; psikosa = pecahnya pribadi hingga hubungan dengan dunia luar rusak. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor endogen maupun faktor eksogen). Keadaan depresi semacam itu menyebabkan ibu tidak bisa berfungsi baik sebagai anak yang sehat. Dalam penelitian Dikresen (1985) dan De Jonge Adriaanseen (1985) dibicarakan lebih lanjut mengenai hal ini.
Di Nederland kurang lebih 1 dari 10 wanita mengalami depresi post-partum hingga mengganggu fungsi mereka sebagai isteri dan ibu. Meskipun perkiraan frekuensi depresi post-partum tadi di Nederland berkisar 2% sampai 10%, namun dalam pembandingan data dengan Inggris dan Amerika diketemukan adanya hubungan antara intervensi medis pada waktu melahirkan dengan depresi post-partum.
Tabel berikut ini memberikan gambaran mengenai intervensi medis pada kelahiran (lihat De Jonge-Adriaanssen, hal.9).
Tabel 3. Persentase intervensi medis pada kelahiran di Nederland (De Haan dan Van Impe, 1983) Inggris (Oakley, 1980) dan Amerika (Entwisle dan Doering, 1981).
Nederland Inggris Amerika
Bedah Caesar
Tang
Vakuum
Episotomi
Tusuk punggung
Stimulasi buatan
Tidak ada intervensi dengan alat
Tanpa pencegah sakit
Sadar penuh 5
3
6
43
1,4
16
83
86
+ 90 -
48
4
98
79
21
-
1
- 16,7
56,7
0
78,3
Biasa dilakukan
13
26,7
7
32
Kurang lebih seperempat jumlah ibu yang diteliti di Inggris dan Amerika menderita depresi dalam jangka waktu lama. Termasuk kelompok resiko tinggi jug para ibu yang mengalmai persalinan dengan pembedahan. Di Amerika serikat terdapat 35% dari kelompok tersebut yang mengalami depresi berat. Dalam penelitian banding De Jonge-Adriaansen (1985) menyimpulkan bahwa intervensi teknologi-medis yang berlebihan sering menjadikan penyebab timbulnya depresi dan rasa tak berdaya. Sehubungan dengan itulah maka penting kiranya untuk mengusahakan agar proses persalinan dapat berlangsung sewajarnya untuk menjaga stabilitas psikis ibu. Ibu yang secara psikis stabil sangat besar artinya bagi perkembangan anak yang sehat.
Ibu dan anak : persyaratan yang penting untuk perkembangan yang sehat?
Dalam buku “Maternal Depriviation” Rutter (1972) mengemukakan bahwa Bowlby dalam laporannya pada WHO (Who Health Organization) pada tahun 1951 mengajukan dua macam kesimpulan yang penting, yaitu :
1. Bahwa perawatan anak yang ada di yayasan sangat tidak baik, yaitu bahwa mereka dipandang sebagai makluk biologis daripada sebagai makhluk psikologis dan sosial yang berperasaan.
2. Bahwa kasih sayang ibu sangat penting bagi perkembangan psikis anak yang sehat : sama pentingnya sepertih halnya vitamin dan protein bagi perkembangan biologis.
Kesimpulan Bowlby yang pertama membawa perubahan yang penting dalam sistem perawatan pada yayasan-yayasan bagi anak-anak cacat. Kesimpulan yang kedua menjadi suatu kenyataan dan merupakan persyaratan yang mutlak.
Dalam bukunya, Rutter mencoba untuk menunjukkan atas dasar bukti-bukti yang cukup banyak, bahwa kasih sayang ibulah merupakan satu syarat yang tidak bisa tiada untuk menjamin suatu perkembangan psikis anak yang sehat. Namun Rutter menambahkan bahwa pemberian kasih sayang ini tidak harus berasal dari seorang ibu biologis, melainkan dapat pula dari orang-orang lain, misalnya dari ayah, nenek, kakak atau orang asing pengganti ibu. Yang penting di sini ialah bahwa anak dapat mengembangkan tingkah laku lekat pada seseorang tertentu. Inilah yang penting. Bukan ibu biologis yang penting, melainkan seseorang tertentu yang dapat dikenakan tingkah laku lekat oleh anak yang menerima anak, yang memenuhi kebutuhan anak untuk melekatkan diri pada seseorang tertentu (lihat juga Paopuse & Papousek, 1978).
Suatu masalah yang lain lagi adalah mengenai pemberian ASI (Air Susu Ibu) dan susu kaleng. Air susu ibu mempunyai keunggulan terhadap susu kaleng dalma pemberian kekebalan anak terhadap penyakit. ASI dari seorang ibu lain yang diberikan dengan botol tetap mempunyak keunggulan ini. Ditinjau dari perkembangan psikis yang sehat, maka bukan air sususnya yang penting, misalnya apakah dari ibu atau dari kaleng, melainkan sikap si sibu atau si pengasuh itulah yang penting. Seorang ibu yang memberikan Asi dapat mempunyai sikap menolak terhadap anaknya, sebaliknya seorang ibu atau pengasuh yang memberi susu kaleng dapat merawat dan bersikap penuh kasih sayang terhadap anak. Sikap terhadap anak inilah yang sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan psikis seorang anak.
Perkembangan psikis seseorang, dilihat dari integrasi proses-proses sosialisasi, bukanlah suatu perkembangan yang hanya ditentukan oleh hukum-hukum dari dalam diri orang saja. Juga perkembangan dalam tahun pertama sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar diri anak tersebut. Yang penting adalah untuk memandang anak dari awal-mula sebagai pasangan interaksi yang serious yang secara aktif ikut memberikan bentuk pada perkembangannya. Anak mempunyai sifat ingin bersatu dengan lingkungan sosial maka lingkungan sosial harus dapat memberikan kesempatan pada anak untuk memenuh dorongan sosial itu.
Bila anak mendapatkan stimulasi, bila ia diterima, bila ia memperoleh kehangatan, maka hal-hal ini akan berpengaruh sangat positif bagi perkembangan yang sehat. Anak mulai mengadakan emansipasi, anak akan menemukan dan mengembangkan kemampuannya dalam batas-batas yang diberikan oleh keluarga. Anak akan makin lama makin menemukan dirinya atas dasar proses emansipasi. Hal ini makin dapat terlaksana bila padanya mulai berkembang kontrol lokus yang internal, artinya bila ia makin mengerti bahwa tingkah laku dan perbuatannya memberikan akibat dalam keliling.
Rangkuman
Mulai konsepsi sampai kelahiran, yaitu pada masa pranatal, anak sudah mengalami pengaruh dari luar. Keadaan fisik dan psikis ibu yang baik dan seimbang adalah persyaratan mutlak bagi perkembangan pranatal anak yang sehat. Meskipun sampat saat ini belum bisa ditentukan seberapa jauh faktor luar tadi memberikan pengaruh positif maupun negatif pada janin dalam kandungan tersebut.
Sejak dilahirkan seorang anak bukan hanya merupakan makhluk yagn reaktif saja, melainkan juga suatu pasangan yang aktif yang memberikan pengaruh kepada lingkungan dan dengan demikian juga memberikan pengaruh terhadap dirinya sendiri. Karena arah perhatian sosial serta meningkatnya kemungkinan motoris dan kognitif bertambahlah lingkup aktivitas bayi dengan cepat. Tingkah laku lekat, kelekatan dengan ibu (atau denan objek yang lain), merupakan ciri kas perkembangan anak pada tahun pertama.
Kehangatan serta rasa aman merupakan dasar berkembangnya hubungan emosional yang baik antara ibu dan anak. Hubungan penuh stimulasi dan perhatian sangat dibutuhkan bagi perkembangan anak yang sehat. Hal inilah yang sering tidak dialami oleh anak-anak dalam yayasan.
Sudah sejak lahir sekor APGAR dapat memberikan kesan keseluruhan mengenai tingkat perkembangan anak yang baru dilahirkan bagi pemeliharaan lebih lanjut anak-anak resiko maka sekor APGAR ini sangat penting. Denver Ontwikkeling Screeningtesi (DOS) merupakan alat observasi yang baik untuk menentukan tingkat-tingkat perkembangan anak masa dini.
Dan didalam buku psikologi perkembangan karangan Prof. Drs. Agoes Soejanto bahwa perkembangan embrio disini dikatakan bahwa :
4. Masa Pranatal
Sebenarnya pada masa ini belum banyak yang dapat diketahui tentang kehidupan jiwa embrio, tetapi oleh karena ada beberapa hal yang perlu diketahui oleh para calon, orang tua anak, maka kan dibicarakan serba sedikit tentang masa ini, antara lain ialah :
d. Faktor- faktor apa yang mempengaruhi perkembangan embrio dalam kandungan antara lain
• Faktor keturunan
• Faktor kemasakan, dan
• Faktor penyesuaian diri,
a.1 ) Embrio, yang berkembang didalam kandungan ibu, ditentukan oleh sel-sel telur dari pihak ibu dan sel-sel telur dari pihak ayah. Sejak pertemuan antara keduanya itu mulailah
terjadi kehidupan.
a.2 ) Menjadi masaknya embrio, mempengaruhi kehidupan jiwa embrio itu sendiri. Misalnya anak yang lahir pada umur tujuh bulan, tampak lebih tidak berdaya dibandingkan dengan anak yang lahir pada umur 9 bulan.
a.3 ) Perkembangan embrio dalam kandungan dipengaruhi oleh lingkungannya
e. Faktor apa yang dapat menimbulkan gangguan fisis pada embrio
Tentang hal yang ini dapat dibedakan atas tiga kelompok ialah :
Yang kurang berbahaya, misalnya alkohol dan nikotin,
Yang sedikit berbahaya, misalnya kehidupan emosi si ibu.
Yang sangat berbahaya, misalnya kelaparan, kurang vitamin.
f. Tentang hal gerakan-gerakan anak dalam kandungan.
Dari penelitian itu disimpulkan bahwa gerakan embrio dalam kandungan ada hubungannya dengan kelancaran kemajuan motoris bagi anak sesudah dilahirkan.
5. Masa orok
b. Hal –hal yang menarik perhatian
Yang sangat menarik perhatian para penyelidik pada saat anak baru lahir, ialah tentang tangis bayi, sehingga hal ini menimbulkan beberapa pendapat yang antara satu dengan yang lain berbeda- beda, tangis si bayi itu disebabkan oleh karena pada saat itu terjadi perpindahan dan kehidupan yang tidak disadari.
Hal kedua yang menarik perhatian tentang si bayi ialah tentang ketidak berdayaan si bayi mengundang banyaknya si penolong, dan ini memungkinkan sianak dapat berkembang lebih sempurna dari pada anak.
Hal yang ketiga yang menarik perhatian adalah tentang tidur si bayi, didalam 24 jam lamanya hanyalah untuk tidur-tidur ayam, untuk menyusu, untuk gerakan-gerakan spontan dan lain-lain. Hal ini berlangsung 2 minggu lamanya.
Sampai dengan umur 6 bulan, pada saat-saat tidak tidur ia mulai mengelurkan suara- suara, ia mulai tertarik pada benda –benda lain, sebagai alat alat permainannya dan semua yang dapat digapainnya dicobanya dimasukkan dimulut.
6. Kehidupan fisis si Bayi
e. Detak jantung
Tentang detak jantung dikatakan bahwa waktu lima bulan sebelum kelahirannya, jantung sibayi sudah berdetak sebanyak 150 kali / menit. Pada waktu lahir menurun tinggal 130 kali / menit, demikian terus menerus sehingga pada waktu berumur 2 tahun tinggal 80/ menit.
f. Tentang pernapasan si bayi.
Pada waktu dalam kandungan tentu tidak mungkin sibayi bernapas dengan paru-paru tetapi telah menggerakan badannya.
g. Tentang makan dan minum
h. Tentang pembuangan kotoran.
Di dalam buku psikologi perkembangan yang ini dikatakan bahwa perkembangan anak dalam tahun pertama dibagi dalam :
A. Kecakapan- kecakapn instingtif
Yaitu kecakapan instingtif yang matang atas pengaruh dari dalam pada triwulan pertama.
B. Kecakapan anak pada tahun pertama
Pergaulan anak dengan benda
• Meandang termangu- mangu kepintu dan jendela.
• Kepala dan tangannya akan terbuka bila di sentuh.
• Dapat menggenggam bila diberi sesuatu
• Dapat mencoba membuka kotak.
• Dapat melempar atau menggulingkan bola
Penguasaan Badan
• Mengamati mainannya,
• Dapat meluruskan dan memalingkan kepalanya walaupun agak susah,
• Menarik-narik pakaiaannya atau selimut,
• Memperhatikan sesuatu sejurus dengan dan mengamati mainan yang dipegannya,
• Memutar badan dari sikap meniarap kesikap menelentang,
• Dapat duduk tanpa pertolongan dan mulai merangkak,
• Dapat menggulingkan badannya sehingga berbaring pada perutnya.
Penguasaan anak dengan Manusia.
• Dapat tersenyum, memandang orang,
• Dapat tertawa dengan berbunyi,
• Menangis atau menunjukkan perasaan tidak enak bila diputuskan hubungannya,
• Dapat mereaksi belaian terhadap wajah yang ramah atau yang marah
• Mulai aktif mencari hubungan dengan mengeluarkan bermacam-macam bunyi,
• Dapat bermain sembunyi muka,
• Dapat mengatakan mama dan .
• Mulai mencoba menarik perhatian
C. Cara anak belajar
Yaitu anak kecil belajar dengan mencapai tujuannya yang terlihat didalam aktivitas yang anak lakukan. Artinya dengan aktivitas belajar yang khusus si anak merasakan kegembiraan, kegembiraan itulah tujuan yang akan dicapai oleh sianak. Karena itu menangislah si anak yang tidak mendapatkan kesempatan untuk melakukan aktivitas yang diinginkan.
BAB 3
USIA SATU SAMPAI DENGAN EMPAT TAHUN
3.1 Perkembangan sesudah tahun pertama
Perkembangan sesudah tahun pertama ditandai oleh beberapa proses-proses yang sangat fundamental. Misalnya perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian ditandai oleh perkembangan tingkah laku lekat. Tingkah laku lekat harus tumbuh dan menjadi stabil sebagai latar belakang struktural tingkah laku yang akan datang. Dalam tahun pertama harus dibuat suatu basis bagi timbulnya tingkah laku lekat yang nanti akan memegang peranan yang esensial sepanjang hidup.
Secara singkat ada 8 tanda-tanda esensial yang dapat disebutkan dalam perkembangan seorang anak antara akhir tahun pertama dan permulaan usia 4 tahun. Beberapa dari 8 tanda-tanda ini akan diuraikan nanti lebih lanjut.
Dalam periode ini terjadi kemajuan yang sangat pesat. Kemungkinan-kemungkinan-kemungkinan yang ada pada permulaan periode ini, dapat dilihat pada akhir periode tersebut sebagai suatu kenyataan.
Kemajuan-kemajuan itu adalah :
1. Pada permulaan periode ini akan bisa duduk, berdiri dan berjalan dengan bantuan. Bila anak mencapai usia 4 tahun ia dapat meloncat-loncat, memanjat, merangkak di bawah meja dan kursi dapat melakukan gerakan-gerakan yang kasar dan halus dengan tangan, kaki dan jari-jarinya. Dalam hal motorik praktis ia dapat mandiri.
2. Pada anak usia 4 tahun maka tangan dan mata bekerja sama dalam koordinasi yang baik, anak lebih dapat mengadakan orientasi dalam situasi-situasi yang tidak asing. Pada usia itu tangan anak merupakan alat untuk mengadakan eksplorasi keliling yaitu melalui manipulasi dengan benda-benda, terutama alat-alat permainan dan benda-benda sehari-hari.
3. Pada usia 4 tahun anak sudah dapat berbahasa. Ia dapat mengambil bagian secara aktif dalam percakapan di rumah, komunikasi dengan teman-teman sebayanya memperoleh dimensi baru. Ia dapat memberikan pengaruh melalui bicaranya, ia dapat menyatakan keinginan dan kebutuhan-kebutuhannya.
4. Pada akhir periode ini anak memperoleh pengertian banyak mengenai benda-benda menurut warna dan bentuknya, membedakan antara suara keras dan suara lembut, ia mengerti nama benda-benda dan dapat menanyakan nama benda yang belum diketahuinya.
5. Pada usia 4 tahun anak sedikit banyak sudah mengerti ruang dan waktu. Ia mengerti perbedaan antara siang dan malam, misalnya ia mengerti orang bermain pada siang hari dan tidur pada malam hari. Ia mengerti apa yang disebut “ di sana”, “ di sini”, “ di atas”, dan “di bawah”. Ia sudah menguasai serangkaian tugas-tugas seperti menyisir rambut, mengenakan baju, mengambil barang sesuatu dari almari, melipat serbet dan sebagainya.
6. Pengertian akan norma-norma pada anak usia 4 tahun juga sudah ada. Kata-kata “baik”, “buruk”, “tidak boleh”, jangan” dan sebagainya merupakan tanda-tanda untuk mengatur tingkah laku yang akhirnya harus merupakan norma-norma batin bagi tingkah laku selanjutnya.
7. Kebutuhan untuk aktif, untuk berbuat sesuatu makin lama makin ditentukan secara kognitif, artinya : perbuatan dan tingkah lakunya tidak lagi ditentukan secara kebetulan sesuai dengan apa yang ada; anak sudah dapat membuat rencana, memikirkan apa yang akan dilakukannya. Dalam batas-batas tertentu anak sudah mempunyai suatu perspektif masa depan.
8. Anak tidak hanya menginginkan ada bersama-sama dengan roang dewasa, melainkan ia sudah menginginkan dapat bergaul secara aktif dengan mereka. Di samping itu ada kebutuhan untuk bergaul dengan anak-anak sebaya. Pada akhir periode ini anak juga sudah mampu untuk bermain bersama dengan anak-anak sebaya dan memperhatikan aturan-aturan yang ada.
3.2 Permananesi objek dan konstansi besar dan bentuk
Dua kemampuan elementer yang dimiliki seorang bayi dalam minggu-minggu pertama untuk dapat mengamati relitas secara akurat adalah konstansi besar dan bentuk. Hal ini berarti bahwa seorang bayi dapat melihat (mengerti) bahwa suatu objek sama besarnya, juga bayi memiliki pengertian akan konstansi besar. Suatu objek juga mempunyai bentuk yang sama, meskipun ia nampak berbeda dilihat dari sudut yang lain. Jadi bayi juga mempunyai pengertian akan konstansi bentuk. Kemampuan akan konstansi besar dan bentuk adalah hal yang sangat penting bagi anak tetek, sebab hal itu berarti bahwa ia tidak perlu mengkonstruksi gambaran-gambaran baru bagi objek yang sama dilihat dari jarak dan sudut yang berbeda-beda.
Bower (1965; 1974) menunukkan bahwa bayi-bayi usia 1 bulan sampai 2 bulan “mengerti” bahwa suatu objek tetap besar dan bentuknya dilihat dari jarak dan sudut yang berbeda meskipun bayangan yang jatuh pada selaput jala mereka berubah (lihat gambar 12 dan gambar 13).
Besar objek yang se-
Sungguhnya
30 cm 30 cm 90 cm 90 cm
Jarak antara ank dan objek 1 m 3 m 1 m 3m
Besar bayangan apda
Selaput jala
Situasi 1 2 3 4
Gambar 12. hal di atas adalah penggambaran konstansi besar pada bayi. Dalam suatu ekperimen Bower (1965) mengajar anak-anak bayi umur 40 sampai 60 hari untuk memalingkan kepala ke kiri bila melihat kubus putih dengan panjang sisi 30 cm pada jarak 1 m. kemudian diperlihatkan atau 1) kubus yang sama pada jarak yang sama, atau 2) kubus yang sama para jarak 3 m. Bayangan kubus dengan sisi 30 cm pada jarak 1 m sama besarnya pada selaput jala anak dengan bayangan kubus bersisi 90 cm pada jarak 3 m. bayangan kubus bersisi 30 cm pada jarak 1 m tidak sama pada selaput jala anak dengan bayangan kubus tersebut pada jarak 3 m. Namun bayi tadi menoleh ke kiri juga pada waktu melihat kubus bersisi 30 cm tadi pada jarak 3 m. Eksperimen ini menunjukkan bahwa bayi umur 1 atau 2 bulan memiliki konstansi besar. Mereka nampaknya mengerti bahwa suatu objek akan tetap besarnya, meskipun bayangan yang jatuh pada selaput jala mereka berbeda (Holmes & Morrison, 1979, hal. 98).
Bentuk obyek yang
Sesungguhnya
Cara meletakkan obyek diputar lurus lurus
Bentuk bayangan yang
Jatuh pada selaput jala
Gambar 13. Di atas adalah penggambaran bentuk pada bayi. Bower mempelajari bayi-bayi usia 50-60 hari untuk memalingkan kepala pada waktu papan segi panjang yang diputar sejauh 45 derajad. Pada waktu melihat papan yang dipegang lurus di atas kepala mereka, bayi tadi tetap memalingkan kepala meskipun bayangan kedua pengamatan pada selaput jala, yaitu pengamatan papan yang diputar dan yang lurus, berbeda-beda sekali. Bayi tadi tidak memalingkan kepala ketika melihat papan bentuk trapesium yang memberikan bayangan yang sama pada selaput jala denan bayangan papan semula yang diputar 45 derajad. Hal ini menunjukkan bahwa bayi umur 1-2 bulan memiliki konstansi bentuk. Mereka mengerti bahwa suatu bentuk tetap mempunyai bentuk yang sama, meskipun bayangan pada selaput jala berubah karena diputarnya objek tadi (Holmes & Morrison, 1979, hal. 99).
Hal yang nampaknya sama tetapi tidak boleh dikacaukan dengan konstansi besar dan bentuk, adalah permanensi objek. Permanensi objek menunjuk pada kecakapan psikis untuk mengerti bahwa objek masih tetap ada meskipun pada waktu itu tidak nampak oleh kita dan tidak bersangkuan dengan aktivita kita apda waktu itu. Piaget mengemukakan bahwa tanda-tanda pertam akan permanensi-objek terjadi dalam sub-stadium ke-4 (8 – 12 bulan) periode sensori-motorik. Tetapi dalam stadium ini permansensi-objek masih belum sempurna (lihat perkembangan kognitif mengenai permanensi objek). Misalnya dengan dilihat oleh anak, suatu permainan disembunyikan di bawah selimut. Seorang naak dalam sub-stadium 4 akan menarik selimutnya untuk menemukan permainannya. Tetapi bila permainan tadi disembunyikan lagi sebelum anak dapat menemukan, misalnya di bawah bantal dekat selimut tadi, maka anak akan terus mencarinya di bawah selimut meskipun ia melihat apa yang terjadi.
Baru pada sub-stadium ke 5 (12-18 bulan) seakan-akan anak mengerti betul akan permanensi –objek (lihat gambar 14). Objek tidak hanya dilihat sebagai hal yang ada terus melainkan juga sebagai benda yang unik dan berdiri sendiri. Dalam contoh di atas anak akan mencari permainannya di bawah bantal bila ia tidak dapat menemukannya di bawah selimut. Hal ini merupakan bukti permanensi objek yang sempurna.
3.3 Perkembangan fisik dan psikomotorik
Di muka dikemukakan bahwa perkembangan anak antara akhir tahun pertama dan tahun ke empat terjadi dengan kemajuan-kemajuan yang pesat. Namun begitu, mengenai perkembangan psikomotornya akan lebih baik untuk mengambil batas, sampai anak usia 5 tahun, karena lebih mudah untuk mengadakan pemisahan antara umur 5 dan 6 tahun daripada antara 3 dan 4 tahun.
Anggota-anggota badan tumbuh dengan kecepatan yang berbeda-beda. Perlu dilihat pula bahwa tiap anak mempunyai tempo perkembangannya sendiri, meskipun ada norma-norma yang dapat dipakai sebagai ukuran perkembangan normal. Umur kerangka (skelet) dapat dilihat dari pergeseran tulang dan tangan anak. Seorang anak dapat mempunyai umur kerangka 4 tahun sedangkan umur kronologisnya adalah 6 tahun.
Proporsi badan dan jaringan urat daging dapat dikatakan tetap sampai kurang lebih tahun kelima. Sekitar tahun kelima mulailah apa yang disebut “Gestalwandel” pertama (Zeller, 1936). Hal ini berarti bahwa anak yang sampai sekarang mempunyai kepala yang relatif besar dan anggota badan yang pendek akan mulai mempunyai proporsi badan yang seimbang. Anggota-anggota badannya menjadi lebih panjang, perutnya mengecil dan kepalanya dibanding dengan bagian-bagian badan yang lain mendapatkan proporsi yang normal. Semua jaringan-jaringan tulang dan urat daging lebih berkembang menjadi lebih berat. Jaringan lemak bertambah lebih lambat. Selama tahun kelima tampak perkembangan jaringan urat daging secara cepat (Gestaltwandel kedua mulai sekitar umur 10 tahun, yaitu pada waktu mulanya pubertas atau pada waktu mulainya perkembangan seksualitas) (lihat Zeller, 1936).
Sekitar usia 3 tahun anak sudah dapat berjalan dengan otomatis, bahkan pada alas yang tidak rata anak sudah dapat berjalan tanpa kesukaran. Sekitar 4 tahun anak hampir menguasai cara berjalan orang dewasa. Kesukaran yang ada pada belajar berjalan berhubungan dengan kekuatan badannya, yaitu untuk dapat menyandarkan seluruh berat badannya pada satu kaki. Masalah yang lain adalah perkembangan mekanisme keseimbangan yang dibutuhkan untuk dapat berjalan tegak.
Belajar berjalan banyak berhubungan dengan proses-proses pemasakan yang dapat dipercepat dengan latihan. Bila anak sudah dapat berjalan maka ia juga akan mencoba berjalan dengan berbagai variasi. Misalnya berjalan mundur (+ sekitar 17 bulan) dan berjalan di atas tumit (+ sekitar 30 bulan).
Sekitar bulan ke 18 anak mencoba untuk lari, tetapi gayanya masih menyerupai gaya berjalan. Pada usia 2 atau 3 tahun anak betul-betul dapat lari, tetapi ia belum mampu untuk berhenti dengan cepat atau untuk membalik. Pada usia 4 sampai 5 tahun anak sudah dapat lari, berhenti dan berputar membalik. Sekitar 5 atau 6 tahun anak sudah dapat lari seperti orang dewasa dan dapat menggunakan kemampuannya ini dalam aktivitas-aktivitas permainannya.
Sesudah dapat berjalan dengan baik, anak juga belajar untuk berjalan memanjat dan menuruni tangga. Dengan bantuan orang lain semula anak belajar turun dari tangga dengan berjalan tegak. Memanjat tangga berlangsung dengan setiap kali menapakkan sebelah kakinya ke muka dan menarik kaki yang satunya ke sampingnya. Sekitar 18 atau 20 bulan anak dapat memanjat tangga dengan bantuan orang lain. Menuruni tangga baru dapat dilakukan kemudian. Di samping perbedaan-perbedaan perseorangan dapat dikatakan bahwa 90% anak pada usia 6 tahun sudah menjadi pemanjat-pemanjat yang baik.
Sekitar 2 atau 3 tahun anak juga belajar meloncat-loncat, berjingkat-jingkat dan berbagai variasi berjalan yang lain. Sekitar 29 bulan anak dapat berdiri di atas sebelah kaki. Anak usia 3 tahun masih mempunyai kesukaran untuk menangkap bola atau untuk memukul bola dengan tongkat. Sekitar usia 4 tahun anak sudah agak pandai untuk melakukan itu.
Pada usia ini anak juga banyak belajar berbagai macam koordinasi visio-motorik. Aktivitas-aktivitas senso-motorik telah dapat diintegrasi menjadi aktivitas yang dikoordinasi. Hal ini penting misalnya pada waktu mencontoh sebuah gambar atau sebuah benda. Apa yang dilihat dengan mata harus dapat dipindahkan dengan motoriknya sebuah pola tertentu. Sekitar tahun ke 4 juga semua pola lokomotorik yang biasa sudah dapat dikuasainya.
Perkembangan persepsual atau perkembangan pengamatan banyak dipengaruhi oleh pengaruh faktor keliling. Perkembangan pengamatan yang terjadi pada waktu itu adalah perkembangan pengamatan yang terjadi pada waktu itu adalah perkembangan pengamatan bentuk. Anak yang masih sangat muda lebih melihat keseluruhan (global) daripada detil atau perinciannya. Baru sekitar usia 5 atau 6 tahun anak melihat benda-benda secara khusus. Peralihan dari sifat pengamatan yang lebih khusus ini sampai lama merupakan kriterium yang pokok untuk aturan “masuk sekolah”.
Kem (1954) berpendapat bahwa anak yang tidak dapat melihat secara terperinci, dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk membeda-bedakan, dari itu juga belum mampu untuk pergi ke sekolah dan belajar sekolah. Membaca dan menulis mengandung arti dapat memisahkan hal-hal yang khusus, memisahkan untuk dihubungkan dengan sifat-sifat pengamatan anak. Cara membaca yang global mempunyai dasar teoretisnya pada pendapat di atas. Alasan lain yang dapat dikemukakan untuk memakai metode global ini ialah dengan mengemukakan sebuah contoh : bila kita melihat sebuah rumah maka yang kita lihat bukan pintunya, dua buah jendelanya, dinding yang menggelinginginya, melainkan rumah sebagai suatu keseluruhan, suatu hal yang global. Tetapi ternyata metode global ini memberikan masalah-masalah dalam kelas tiga. Anak mempunyai kesukaran-kesukaran membaca yang disebut Schenk kelemahan membaca atau legasteni (Schenk-Danzieger, 1971). Anak dengan kelemahan ini mempunyai kesukaran untuk memisahkan huruf dari kata-kata. Dalam bagian lain akan diterangkan lebih lanjut mengenai hal ini.
Latihan kebersihan juga termasuk perkembangan psikomotorik karena latihan kebersihan membutuhkan pemasakan urat-urat daging alat-alat pembuangan. Anak harus mampu untuk menguasai urat daging alat-alat pembuangannya pada waktu hendak buang air kecil atau buang air besar. Ternyata bahwa anak baru mampu untuk melakukan hal ini pada usia kurang lebih 15 bulan. Berhubung dengan itulah dapat dianggap tidak bertanggungjawab untuk memulai latihan kebersihan ini sebelum anak berusia 15 bulan. Bila latihan ini dilakukan sebelum anak usia 15 bulan dapat timbul pengalaman-pengalaman yang traumatis. Hal ini dapat mengakibatkan anak masih sering “ngompol” pada usia yang seharusnya ia sudah dapat bersih atau anak akan menunjukkan gangguan-gangguan tingkah laku yang lain.
3.4 Perkembangan kepribadian dan perkembangan sosial
3.4.1 Tingkah laku lekat sesudah umur satu tahun
Tingkah laku lekat pada bagian kedua tahun pertama yang tertuju pada satu orang, segera akan tertuju juga pada orang-orang lain disekitarnya.
Keterangan di muka menunjukkan bahwa terjadinya tingkah laku lekat pada anak dapat ditinjau dari dua macam segi. Segi yang satu menunjukkan bahwa tingkah laku lekat terjadi karena proses belajar, sedang segi yang lain menyatakan bahwa tingkah laku lekat tersebut merupakan ciri khas manusia. Manusia mempunyai ciri khas untuk bercakap-cakap, untuk mengadakan manipulasi dan eksplorasi benda, untuk mencari kontak dengan manusia lain. Dari ciri-ciri khas tersebut ini timbullah tingkah laku lekat. Pendapat yang kedua ini menurut para penulis lebih mendekati kenyataan. Tingkah laku lekat merupakan para penulis lebih mendekati kenyataan. Tingkah laku lekat merupakan kecenderungan dasar pada anak yang sudah ada sebelum proses-proses belajar dapat terjadi. Dalam hubungan yang dyadis yang merupakan sifat khas hubungan antara ibu (pengasuh) dan anak, maka tingkah laku lekat dapat dipandang sebagai “sifat” yang struktural dari hubungan ibu dan anak” (Hartup, 1973. h. 17).
Sampai sekarang maka beberapa pendapat yang dikemuakan hanya mengenai pendapat tentang tingkah laku pada tahun pertama. Dalam hal ini ada dua teori : 1) teori diferensiasi dan 2) teori pararel.
3.4.2 Teori deferensiasi
Teori berdasarkan pendapat Bowlby (1951). Sejak lama pendekatan dan ketergantungan dianggap mempunyai arti yang sama. Kenyataannya dua hal ini sangat berbeda satu sama lain. Pada kedekatan maka anak mencari kontak sosial tetapi juga suatu sikap penuh kehanatan dan kasih sayang. Dalam hal ini anak mempunyai pilihan terhadap orang-roang tertentu : pertama adalah ibunya, ayahnya atau anggota-anggota keluarga yang lain.
Ketergantungan sudah lama diselidiki mulai akhir tahun empat puluhan, yaitu dalam rangka penelitian mengenai hubungan sosial pada anak. Ketergantungan dilukiskan sebagai “kecenderungan umum untuk menyandarkan diri pada orang lain dalam hal mencari pembenaran, kasih sayang dan bimbingan” (Hartup, 1973, h.1). Sejak beberapa tahun yang lalu maka istilah ketergantungan makin diganti dengan istilah kelekatan sedangkan kedua istilah tersebut makin dibedakan satu sama lain. Ketergantungan dipandang sebagai kecenderugnan umum pada anak untuk mencari kontak sosial lepas daripada identitas orangnya. Kelekatan adalah mencari dan mempertahankan kontak dengan orang-orang tertentu saja. Orang yang pertama dipilih dalam kelekatan adalah ibu (pengasuh), ayah dan saudara-saudaranya.
Meskipun dalam pasal 2.5 sudah dibicarakan mengenai berbagai aspek laku lekat, namun masih perlu dikemuakan di sini bahwa menurut Bowlby (1951) ibulah yang dipandang sebagai figur sentral bagi anak; anggota-anggota keluarga yang lain tidak mempunyai peranan yang penting sampai dengan umur 6 tahun.
Bowlby-lah yang mengatakan bahwa seperti halnya vitamin dan protein penting sekali untuk perkembangan fisik, maka kasih sayang ibu adalah essensial untuk perkembangan psikis yang sehat. Menurut Rutter (1972; 1979) bukan melulu ibu yang menjadi objek kelekatan. Keadaan menjadi ibu biologis itu tidak menjamin bahwa anak akan lekat dengannya. Rutter mempunyai bukti-bukti empiris bahwa anak dapat mengadakan sikap lekat dengan orang-orang lain, juga dalam tahun yang pertama.
Menurut teori diferensiasi ini anak dianggap relatif mempunyai kelekatan dengan ibunya sampai kurang lebih 6 tahun; baru sesudahnya anak akan mengadakan ikatan dengan orang-orang dewasa yang lain (lihat gambar 15).
Sampai + 6 tahun satu objek
Lekat yang dewasa
Gambar 15. Penggambaran skematis mengenai teori diferensiasi
Dalam teori yang kemudian, Bowlby (1972) mengemukakan bahwa sudah umur 3 tahun kebanyakan anak makin dapat merasa aman dalam situasi asing bersama dengan objek lekat pengganti, misalnya dengan saudaranya atau gurunnya. Namun begitu perasaan aman semacam itu ada persyaratannya. Pertama figur pengganti tadi harus sudah dikenal oleh anak. Kedua, anaknya sendiri harus ada dalam kondisi sehat. Ketiga ia harus tahu dimana ibunya dan bahwa ia dengan mudah dapat mencari kontak kembali dengannya.
3.4.3 Teori paralel
Dalam meninjau teori ini perlu kiranya untuk meninjau teori Maccoby dan Maters (1970). Maccoby, Masters dan Hartup berpendapat bahwa anak sesudah umur satu tahun segera akan menunjukkan tingkah laku lekat terhadap orang-orang dewasa maupun pada anak-anak sebaya yang lain. Observasi-observasi yang dilakukan terhadap keadaan di Indonesia menunjukkan bahwa anak bayi mengalami pola asuhan yang tidak sama yang sangat tergantung pada situasinya.
Anak di kota kadang-kadang tidak sepenuhnya dirawat oleh ibunya. Melainkan untuk sebagian waktunya dirawat oleh seorang pembantu. Hal ini dapat terjadi juga sesudah anak berumur satu tahun. Sehubungan dengan hal ini maka tingkah laku lekat anak sebelum atau sesudah umur satu tahun dapat ditujukan pada ibunya maupun pada pembantu yang ikut mengasuhnya. Di desa anak bayi seringkali tidak hanya diasuh oleh ibunya melainkan juga oleh saudara-saudaranya. Seringkali kakak wanita yang menggendongnya kemana-mana. Dalam keadaan ini tingkah laku lekat anak akan tertuju pada ibunya dan pada saudara yang mengasuhnya.
Teori pararel mengenai tingkah laku lekat mengatakan bahwa sampai dengan umur satu tahun anak akan mencari objek lekat pada satu orang, biasanya ibunya. Sesudah umur satu tahun maka orang dewasa lain atau anak-anak sebaya akan bisa menjadi objek kelekatan (lihat gambar 16).
Sampai + 1 tahun satu objek
Lekat (orang dewasa)
Gambar 16. Penggambaran skematis mengenai teori paralel
Bila kita tinjau keadaan di Indonesia dapatlah dikemukakan bahwa teori pararel mungkin lebih cocok untuk menerangkan tingkah laku lekat anak, hanya denan suatu catatan bahwa perluasan objek lekat tadi bahkan sudah dapat terjadi sebelum anak berumur satu tahun.
Kelekatan anak pada anak sebaya dapat memberikan banyak pengaruh terhadap pelajaran tingkah laku. Contoh-contoh mengenai hal ini dapat dikemukakan antara lain :
a. Pada waktu salah seorang penulis mengantarkan sekelompok anak ke taman Kanak-Kanak (yang dilakukannya setiap pagi selama beberapa bulan) selalu terdengar percakapan mengenai salah seorang anak yang kebetulan tidak ada pada waktu itu. Hal ini membuktikan betapa besarnya pengaruh tingkah laku anak terhadap anak-anak lain hingga hal selalu merupakan objek percakapan di antara anak-anak tersebut.
b. Hubungan yang fungsional di anara anak-anak yang ada dalam pemainan mempunyai sifat yang lain daripada sifat hubungan anak dengan orang dewasa. Dalam anak bermain dengan teman-teman sering terlihat bahwa tingkah laku koperatif tiba-tiba dapat berubah menjadi tingkah laku agresif. Pada suatu saat anak tertawa-tawa, atau terpusat perhatiannya pada suatu hal, tetapi tiba-tiba ia menangis dan sama sekali tidak mau bermain-main dengan teman-temannya lagi. Perubahan emosional dari positif ke negatif ini yang akhirnya dapat dikemukakan lagi suatu keseimbangan yang baik, tidak bisa terjadi dalam hubungan anak dengan orang dewasa. Bila orang dewasa mencoba bermain dengan anak dan menggunakan bahasa anak, mereka segera mengerti bahwa anak-anak akan memandang aneh mereka.
c. Harlow (1971) mengadakan penelitian terhadap sejumlah kera thesus untuk mengerti seberapa jauh berbagai cara asuhan dapat mempengaruhi tingkah laku mereka. Meskipun penelitian mengenai tingkah laku hewan ini tidak dapat disamakan dengan tingkah laku pula. Penelitian dilakukan terhadap sejumlah kera yang hidup dalam isolasi. Pada sejumlah kera yang hidup dalam kelompok terlihat pada usia 6 bulan adanya pertengkaran dan sementara tingkah laku agresif. Tingkah laku ini menghilang sesudah beberapa waktu dan tidak pernah nampak lagi. Kera-kera yang dibesarkan dalam isolasi menunjukkan, sekitar umur 1 ½ tahun, tingkah laku agresif yang jelas menunjukkan keinginan untuk menyakiti dan merugikan makhluk lain. Tingkah laku ini nampaknya bersifat tetap diketemukan pada sejumlah kera yang hidup dalam isolasi tadi, tidak nampak pada kera-kera yang hidup dalam kelompok. Dapat pula diduga bahwa dalam hubungan dengan teman-teman sebaya tadi dapat dimanifestasikan beberapa tingkah laku dan dapat diselesaiakn beberapa momen perkembangan tertentu. Hal ini tidak dapat terlaksana bila mereka hidup dalam keadaan isolasi.
Bila kita tinjau kejadian-kejadian yang kompleks yang berhubungan dengan perkembangan sosial dan kepribadian tersebut, timbullah dua pertanyaan sebagai berikut :
(1) kemungkinan interaksi apakah yang ada pada anak dan
(2) proses interaksi apakah yang timbul yang membawa ke arah suatu perkembangan tingkah laku.
Tingkah laku sosial interaktif seperti tingkah laku koperatif, altruistis dan agresif banyak dipengaruhi oleh latar belakang struktural yang disebut “role taking” (atau ambil alih peran), (lihat Leckie, 1975) dan egosentrisme. Ambil alih peran dan egosenstrisme merupakan suatu struktur dan sekaligus suatu proses. Makin berkembang ambil alih peran makin kecil egosentrisme dan sebaliknya. Selanjutnya penting bahwa ambil alih peran dan egosentrisme tetap ada sepanjang hidup tetapi mempunyai sifat yang saling menghambat.
3.4.4 Egosentrisme
Dalam buku ini diusahakan untuk membuat suatu integrasi daripada pendekatan yang tematik maka pembicaraan mengenai sesuatu perkembangan akan melampaui batas umur yang ditentukan dalam bab nya. Hal ini akan dijumpai dalam pembicaraan mengenai egosentrisme.
Egosentrisme adalah pemusatan pada diri sendiri dan merupakan suatu proses dasar yang banyak dijumpai pada tingkah laku anak; pengamatan anak banyak ditentukan oleh pandangan sendiri; anak juga belum mempunyai orientasi mengenai pemisahan subjek-subnjek. Perasaan dan pandangan masih terpusat pada diri sendiri. Anak belum dapat menempatkan diri dalam keadaan orang lain. Egosentrisme harus dapat jelas dibedakan dari egoisme; yang terakhir ini merupakan suatu sikap yang menunjukkan ketamakan. Egosentrisme sebagian dapat diterangkan dari reaksi lingkungan terhadap tingkah laku anak. Suatu contoh dari cara berfikir kausal seorang anak kecil; pada suatu hari ada beberapa anak sedang bermain-main. Seorang anak laki-laki menginjak suatu kubangan air, air memercik jauh mengenai baju bersih anak lain. Anak laki-laki tersebut marah waktu ditegur dan mengatakan : “saya tidak mengotori bajunya”. Di sini tidak ada persoalan bohong atau bersalah. Anak laki-laki tadi memang belum mengerti hubungan kausal yang ada, dia belum dapat mengadakan diferensiasi dan belum mengerti pandangan yang berbeda-beda. Egosentrisme berlawanan dengan desentrasi yang memungkinkan untuk memperhatikan pandangan yang berbeda-beda maupun hubungan yang berbeda-beda dengan pengamatan sendiri.
Pada waktu sekarang dibedakan antara enam macam bentuk egosentrisme (lihat Looft, 1972). Piaget dan Inhelder hanya membedakan antara tiga macam bentuk egosentrisme yang berhubungan dengan tiga tingkat perkembangan yang pertama (stadium sensomotorik, pra-operasional dan operasional konkrit).
1. Egosentrisme dalam stadium sensomotorik
0 – 18 bulan. Stadium ini ditandai oleh kenyataan bahwa anak hampir tidak mampu untuk mengadakan diferensiasi anara diri sendiri dan dunia luar. Kemungkinan untuk mengadakan diferensiasi makin berkembang selama 18 bulan ini. Menurut Piaget dan Inhelder (1973) timbullah dalam 18 bulan yang pertama ini suatu perubahan ke arah suatu desentrasi umum yaitu anak mampu untuk melihat dirinya sebagai objek dalam hubungan dengan objek-objek lain (h. 23).
2. Egosentrisme dalam stadfium pra-operasional
+ 18 bulan - + tahun ke 6. Fase ini ditandai dengan kemampuan anak untuk bekerja dengan tanggapan. Ia sudah memiliki pengertian objek, misalnya bila ia berkata “kursi” hal ini dapat mempunyai arti yang macam-macam seperti “ayah harus duduk di kursi ini” atau “saya ingin duduk di kursi ini”.
Anak mulai memakai simbol dan kata, ia berbuat seakan-akan sebuah kata mempunyai arti yang lebih daripada kenyataannya. Ia tidak atau hampir tidak dapat membedakan antara simbol dan artinya, antara permainan dan bayangan impian yang dibuatnya sendiri dengan kenyataan. Sering dibedakan juga antara “private speech” dan “socilazed speech”.
Private speech tidak ada nilai komunikatifnya, anak bicara seorang diri dan tidak ditujukan pada orang lain.
Bahasa sosial sebaliknya mempunyai arti komunikatif yang jelas. Menurut Furth (1969, h.118). “tidak ada anak normal dalam peridoe perkembangan apapun yang menggunakan bahasa hanya untuk komunikasi dengan dirinya sendiri saja.”
Mueller (1971) dapat menunjukkan bahwa pada anak umur tiga tahun pun terdapat egosentrisme dalam pengguanan bahasa, bahas selalu mempunyai nilai komunikatif.
3. Egosentrisme dalam stadium operasional konkrit:
+ 6 - + 11 tahun. Elkind telah banyak membicarakan tentang hal ini. Anak belum mampu untuk membedakan antara hasil cipta mentalnya sendiri dengan hal-hal yang nyata. Menurut Elkind maka egosentrisme anak pada stadium ini ditandai oleh apa yang disebutkan realitas asumtif, yaitu anak melihat kenyataan berdasarkan informasi yang terbatas dan tidak dipengaruhi oleh informasi baru atau informasi yang bertentangan. Di sini sebabnya, menurut Elkinds, mengapa anak tidak lagi memandang orang tua sebagai yang serba tahu. Anak merasa dalam aspek-aspek tertentu lebih mengerti daripada orangtuanya. Sering ditarik konklusi umum : orang tua sebetulnya tidak mengerti apa-apa. Mereka lebih percaya pada teman-teman sebaya atau pada guru. Elkind menamakan rasa superioritas kognitif ini sebagai keseimbangan kognitif. Seringkali anak ingin menunjukkan kecerdikan mereka dengan berbohong atau beruat kenakalan-kenakalan. Dengan begitu mereka dapat membuktikan pada orang dewasa betapa cerdiknya dan betapa superiornya mereka.
4. Egosentrisme pada remaja
Menurut Piaget anak umur 11 tahun yang dapat mengadakan operasi normal serta dapat berfikir secara hipotesis-deduktif sekarang juga mampu menganalisis fikiran sendiri dan mampu untuk mengerti jalan fikiran orang lain.
Tetapi menurut Elkind hal ini merupakan inti egosentrisme remaja. Remaja tidak membedakan antara hal atau situasi yang dipikirkannya sendiri dengan dipikirkan orang lain. Ia selalu memikirkan akan bagaimana pendapat orang lain terhadap dirinya. Pikiran ini berdasarkan pengharapan bahwa dirinya akan menjadi pusat perhatian. Elkind menamakan pola penghargaan ini, yaitu pengharapan tentang apa yang akan dipikirkan orang lain mengenal dirinya, sebagai “publik imajiner. Dalam kenyataannya sikap remaja ini adalah suatu reaksi pengharapannya sendiri terhadap apa yang dipikirkan oleh publik imajiner itu atau bagaimana pendapat publik imajiner itu. Jadi ia mereaksi terhadap sesuatu yang telah diharapkannya sendiri dari orang lain.
Dengan begitu ia tidak mendiferensiasi antara apa yang dipikirkan dnegan apa yang dipikirkan oleh orang lain. Di samping itu remaja sangat menilai penting perasaanya sendiri dan oleh karena itu ia selalu berpendapat bahwa publik imajiner tadi senantiasa memperhatikannya, maka ia menganggap perasaannya sendiri tadi sebagai unik atau khas. Elkind menyebutkan hal ini sebagai “fabel pribadi”. Ia menunjukkan akan keunikan perasaan remaja. Egosentrisme yang spesifik ini pada umumnya hanya berlangsung sementara saja, meskipun kadang-kadang juga bisa berlangsung lama.
5. Egosentrisme pada orang dewasa
Di sini sukar untuk menentukan umur yang tepat karena sampai sekarang hampir tidak ada penelitian mengenai hal itu. Juga karena ada macam-macam bentuk egosentrisme pada usia dewasa. Contoh yang jelas mengenai egosentrisme pada usia dewasa adalah bahwa dalam percakapan atau diskusi-diskusi sering orang tidak dapat menempatkan dirinya pada jalan pikiran orang lain. Piaget memberikan contoh yang sangat tepat. Ia mengatakan : “marilah kita mengambil contoh orang dewasa. Tiap dosen muda sekarang atau besuk akan melihat bahwa kuliah-kuliahnya yang pertama tidak dapat dimengerti. Hal ini disebabkan karena kuliah-kuliahnya tadi sebetulnya ditujukan pada dirinya sendiri saja. Kuliah-kuliah tadi dapat dimengerti dipandang dari sudut dirinya. Dengan segala susah payah maka ia sedikit demi sedikit dapat menempatkan dirinya pada tempat mahasiswa-mahasiswanya”. Begitulah kmasih banyak contoh mengenai egosentrisme dalam dunia orang dewasa yang dapat dilihat dari sikap tidak bisa menempatkan diri pada tempa: orang lain hingga timbulmaslah-masalah tertentu. Mengenai hal ini masih banyak kemungkinan untuk melakukan penelitian-penelitian.
6. Egosentrisme pada orang tua
Penelitian mengenai orang tua yang mengungkap akan egosentrismenya juga masih langka, tetapi sudah pernah diadakan penelitian mengenai regresi kognitif, penyempitan relasi social dan rigiditas. Ketiga macam aspek tersebut mempunyai hubungan yang langsung dengan egosentrisme, yaitu:
a. Regresi kognitif menunjuk pada kemajuan yang berkurang dalam bidang kognitif. Kemampuan belajar pada orang tua berkurang. Mereka kurang pleksibel dalam proses mental dan lebih sering lupa.
b. Di samping hal tersebut di atas terjadilah proses pelepasan tingkah laku lekat (disengagement), artinya karena mengalami pension, meninggalkan teman-teman lama, sedangkan tidak ada atau hamper tidak ada dating teman-teman yang baru, maka orang tua sering mengalami isolasi social.
c. Dalam hubungan sosial dengan orang lain-lain maka sikap yang fleksibel juga berkurang hingga timbul rigiditas. Regresi kognitif serta menyempitnya hubungan sosial menyebabkan orang tua sukar untuk mengadakan pemisah antara pendapat sendiri dengan pendapat orang lain. Mereka menjadi lebih kaku dalam sikap dan pendapat mereka.
Bila dalam keadaan tersebut lingkungan sosial juga bersikap dan memandang orang tua sebagai seseorang yang perlu ditolong dan dikasihani maka orang tua dengan ketiga macam sifat tersebut mudah mengembangkan sikap egosentrismenya.
3.3.5 Tingkah laku ambil alih peran
Ambil alih peran merupakan proses sosial dan proses kognitif yang menunjukkan bahwa seseorang dapat menempatkan diri pada motif-motif, perasaan, pikiran dan tingkah laku orang lain. Hal ini berarti bahwa orang tadi mampu untuk melepaskan diri dari pandangan diri sendiri, dapat memandang dunia luar dari perspektif orang lain (bandingkan Lieshout dan kawan-kawan, 1973. Hal 2). Yang penting di sini adalah untuk memahami berbagai proses internal orang lain seperti kemampuan emosional, persepsual dan intelektual dan juga kebutuhan, pendapat, motif dan maksud-maksudnya. Di samping memahami hal-hal ini perlu pula untuk dapat menyesuaikan tingkah laku dengan keadaan orang lain tadi. Sikap dapat menempatkan diri dalam keadaan orang lain ini mengandung arti bahwa seseorang dapat membedakan dasar pandangan orang lain dari dasar pandangan sendiri, perspektif sendiri. Kemampuan ini disebut “desentrasi sosial”.
Desentrasi sosial ini bertentangan langsung dengan ogosentrisme yang dibicarakan di muka dan dinamakan tingkah laku ambilalih peran.
Dapat menempatkan diri pada perspektif, perasaan dan maksud orang lain mengandung arti juga dapat ikut merasakan secara empatis. Empati, yang berarti dapat merasakan dan ikut merasakan, jelas merupakan suatu kecakapan atau suatu aspek tingkah laku yang snagat erat hubungannya dengan ambil alih peran. Empati dan ambil alih peran merupakan aspek-aspek tingkah laku yang saling berhubungan. Keduanya mungkin merupakan aspek proses perkembangan yang sama, yaitu lepas dari perspektif diri sendiri dan masuk dalamperspektif, perasaan dan motif orang lain.
Dapat dibedakan antara 3 macam bentuk ambil alih peran:
a. Ambil alih peranpersepsual
Hal ini merupakan kemampuan untuk meramalkan apa yang dilihat orang lain mengenai objek yang sama, dilihat dari pandangan perspektif yang berbeda. Suatu kemampuan untuk melepaskandasar pandang sendiri dalam mengamati sesuatu dan mengambil dasar pandangan orang lain. Percobaan klasik Piaget mengenai hal ini sering dikemukakan dalam variasi yang bermacam-macam. Eksperimennya berujud sebagai berikut : anak-anak dihadapkan dengan suatu maket yang menggambarkan 3 buah gunung dengan ukuran tinggi yang berbeda-beda. Anak diminta menerangkan apakah seseorang yang berdiri di sebelah sisi lain daripadanya akan melihat gunung-gunung itu juga lain.
Anak sampai umur kurang lebuh 5 tahun hampir tidak dapat menempatkan diri dalam posisi orang lain.
b. Ambil alih peran konsepsual
Halini menunjuk pada kecakapan untuk menempatkan diri dalam pembentukan pengertian atau dalam formasi konsep orang lain. Contoh: ada dua kotak yang satu berisi uang 25 rupiah, yang satunya 50 rupiah. Banyaknya uang yang ditulis dengan jelas diatas masing-masing kotak. Anak (K) diberi tugas:
1. Ambillah uang yang menurut pikiranmu akan diambil oleh temanmu (S). Temanmu ini sudah mengerti bahwa kau mengambil slah satu daripada uang itu. Sesudah anak mengambil uangnya (melakukan tugasnya) ditanya lagi:
2. Mengapa kau ambil uang yang ini?
Bila kita bandingkan jawaban anak-anak dari tingkatan umur yang berbeda-beda dan mulai dari umur 5 tahun ke atas, dapat dilihat jawaban-jawaban yang khas:
1. Anak memandang kognisi dan motif-motif anak lain seperti yang dirasakan pada dirinya sendiri, misalnya: “Ia tentu akam mengambil yang 50 rupiah”.
2. K sekarang maju setapak lagi, S dapat meramalkan apa yang akan dilakukan K, dari itu K akan mengubah tingkah lakunya “Teman saya mengira bahwa saya akan mengambil yang 50 rupiah, dari itu saya ambil yang 25 rupiah”.
3. K sekarang setapak lebih maju lagi. K mengira bahwa S mengerti akalnya dari itu baik untuk kembali pada rencana semula untuk mengejutkan S. “Teman saya mengira bahwa saya mengira bahwa dia tidak mengambil yang 50 rupiah melainkan yang 25 rupiah, dari itu saya mengambil yang 50 rupiah juga”.
4. Anak sering dapat meramalkan apa yang akan dipilih S. K tidak dapat mencari motif tindakan S. “Saya sungguh tidak tahu apa yang akan saya lakukan, sya betul-betul tidak tahu”.
Apa yang disebutkan dalam (1) belum mengandung desentrasi sosial; belum dipikirkan adanya kemungkinan berbagai motif orang lain. Pada (2) dan (3) nampak adanya usaha-usaha yang jelas untuk menempatkan dirinya pada keadaan pengertian orang lain, sedangkan pada (4) tidak ada dasar sama sekali untuk mengadakan ramalan yang berarti.
Contoh yang lain: Flavell mencoba dengan suatu cerita bergambar yang terdir dari 7 atau 4 buah gambar. Bila cerita dari 7 gambar tadi diambil 3buah gambarnya terjadilah cerita yang lain. Dalam cerita dengan tujuh buah gambar Nampak apada anak laki-laki berjalan-jalan dikejar oleh seekor anjing. Anak tadi lekas-lekas memanjat pohon dan disalah satu sudut duduklah seekor anjing dengan tenang. Kedua macam cerita ini diperlihatkan pada anak-anak dari berbagai tingkatan umur. Pertama kali ditunjukkan cerita dengan 4 buah gambar, anak ditanya cerita apa kiranya yang akan diberikan oleh anak lain nanti bila ditunjukkan 4 buah gambar itu. Di sini nampak bahwa anak-anak yang masih muda selalu kembali pada cerita yang dramatis dalam 7 buah gambar dan tidak mendasarkan diri pada situasi yang nyata seperti yang terlihat dalam 4 buah gambar tersebut. Juga di sini nampak bahwa anak-anak yang masih muda belum begitu dapat menempatkan diri dalam dunia pengertian orang lain.
c. Ambil alih peran emosional-motivasional
Hal ini menunjuk pada kecakapan untuk ikut merasakan secara konkrit alam perasaan dan motif-motif orang lain.
Contoh: sebuah cerita bergambar dari tulisan Leckie dkk. (1975) memperlihatkan seorang anak bermain di tepi pantai dan bermain membuat kue-kue dari pasir. Gelombang air datang dan menyapu kue-kue tadi. Anak pulang ke rumah. Ibu kebetulan mengeluarkan kue-kue dari alat pembakar (kue-kue tadi mempunyai bentuk yang sama dengan kue-kue daripada pasir tadi). Ibu sama sekali tidak mengerti kejadian di pantai: ia memberikan sepotong kue yang baru masak tadi kepada anaknya, tetapi tiba-tiba anak menangis. Anak yang sedang diteliti diberi pertanyaan: (1)mengapa anak itu menangis (pertanyaan akan sebabnya) dan (2)bagaimana pikiran ibu mengenai sebab anaknya menangis tadi (pertnyaan akan kecakapan pengambilan peran).
Jelas bahwa ketiga aspek pengambilan peran tersebut ada hubungan yang erat satu sama lain. Dalam praktek sukar untuk memisahkannya, meskipun secara teoretis ada mamfaatnya. Makin berkurang egosentrisme, makin bertambah kemampuan ambil alaih perannya. Reaksi lingkungan pendidikan mempunyai peranan yang penting (Van Lieshout dkk, 1973). Ambil alih peran merupakan proses selama hidup orang meskipun kualitasnya berbeda-beda. Merupakan dasar bagi semua proses dan tingkah laku sosial-interaktif, dari itu merupakan factor yang sangat penting bagi perkembangan kepribadian dan sosial seseorang.
3.3.5.1 Gambaran mengenai program stimulasi kognisi sosial
Penelitian Leckie (1975) hanya merupakan suatu bagian kecil daripada penelitian mengenal perkembangan kognisi sosial, yaitu berpikir tentang kenyataan sosial. Penelitian tersebut dimulai pada tahun 1973 dan bertujuan tidak hanya untuk pengembangan teori saja, melainkan untuk mengembangkan suatu program stimulasi pengembangan sosial anak dalam sekolah Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar. Realisasi maksud di atas sudah dapat terlaksana dengan keluarnya buku “Denken Over jeself en ander” (Berpikir tentang diri sendiri dan orang lain) (Gerris, Jansen & Badal, 1980).
Dalam buku tersebut diterangkan bahwa lapangan perkembangan sosial dapat dibagi dalam tiga bagian yaitu (1) kognisi sosial, artinya pengertian akan tingkah laku orang lain: (2) kecakapan dalam bergaul dengan orang lain seperti sikap altruistis dan koperatif: (3) nilai-nilai sosial, artinya “berpikir dan bertindak dalam kemyataan sosial, berlangsung atas dasar pemilikan niali-nilai” (Gerris dkk., 1980.h.12).
Berdasarkan dan unutk sebagian berhubungan dengan tingkat-tingkat perkembanan sosial kognitif yang dikemukakan oleh Selman (1976 lihat h. 212/213) terdapatlah delapan kecakapan: kecakapan untuk mengidentifikasi, mendiskriminasi, mendiferensiasi dan membandingkan, menempatkan diri pada tempat orang lain, bersikap relative, mengkoordinasi dan akhirnya memasukkan dalam perhatian. Dengan kecakapan sosial kognitif dimaksudkan kecakapan untuk dapat menempatkan diri pada pendapat orang lain. Dapat pula dikatakan kecakapan yang berhubungan dengan cara seseorang (anak) berpikir tentang berbagai aspek dalam lingkungan sosial (lihat Tabel 3 dan cerita mengenai Tini).
Tini dan Kucing
Tini adalah seorang gadis usia 8 tahun. Ia suka sekali memanjat pohon. Dia paling pandai memanjat pohon di antara anak-anak tetangga. Pada suatu hari ia memanjat pohon lagi. Pada waktu mau turun ia terjatuh dari batang yang paling bawah. Untung dia tidak apa-apa. Ayahnya melihat Tini jatuh. Dia sangat terkejut dan Tini harus berjanji untuk tidak memanjat pohon lagi.
Siang harinya Tini dan kawan-kawan berjumpa dengan Mita. Mita sangat sedih. Kucingnya ada di atas pohon yang tinggi. Kucingnya tidak berani turun. Ia harus segera ditolong sebelum ia terjatuh ke bawah. Tini adalah satu-satunya yang dapat memanjat cukup baik untuk menolong kucingnya. Tetapi… dia ingat akan janjinya kepada ayah.
Waktu Tini dating ke rumah, ayahnya menegerti dari pakaian dan kakinya yang kotor bahwa daia telah memanjat pohon lagi.
Program tersebut dibuat sedemikian rupa hingga terdapat 3 buah tingkatan. Empat kecakapan pertama merupakan tingkatan pertama, tingkatan kedua adalah menempatkan diri dalam tempat orang lain dan dapat bersikap relatif, sedangkan tingkatan ketiga adalah kecakapan koordinasi dan memperhatikan prespektif orang lain. Tujuan tingktan terakhir ini adalah untuk mempelajari
Table 4. Delapan kecakapan sosial kognitif (termasuk tiga sub-kategori mengenai identifikasi dalam hubungan dengan sifat pertanyaan serta contoh yang praktis.
Kecakapan Sifat pertanyaan/tugas Contoh
1. Identifikasi menanyakan akan adanya “Apa orang lain melihat
a. melihat suatu hal suatu perspektif sesuatu?”
dalam suatu situasi. “Apa orang lain memi-
kirkan sesuatu?”
b. mengenai menilai apakah suatu per- “Apakah mita senang
spektif yang diberikan co- atau sedih waktu ia
cok dengan suatu perspek- ketemu Tini?”
tif yang nampak. “Bagaimana perasaan
c. melukiskan suatu perspektif yang bagaimana perasaan
Nampak dilukiskan secara ayah Tini ketika Tini
verbal. Jatuh dari pohon?”
2. Diskriminasi menilai apakah dua per- “Apakah perasaan Tini
Spektif nampak cocok atau dan ayahnya sama waktu
Tidak satu sama lain. Tini jatuh dari pohon?”
3. Diferensiasi dapat mengerti kemung- “Mita memikirkan kucing
kinan bahwa masing- nya”. “Tini memikirkan
masing orang mempunyai tentang apa kiranya?”.
perspektif yang berbeda. “waktu Tini dating di ru-
4. Membandingkan dapat menemukan hal-hal mah Apa yang/berbeda
Yang sama dan/atau ber- antara yang dipikirkan
Beda antara perspektif- ayahnya?"
Perspektif.
5. Menempatkan diri dapat mengerti perspektif “Apa yang akan dipikir-
Dalam tempat orang orang lain yang tidak dise- kan ayah kalau Tini
Lain. Butkan (melepaskan diri da- datang di rumah?”
ri pandangan sendiri dan
menempatkan diri dalam
posisi orang lain).
6. Bersikap relatif dapat menerangkan me- “Mengapa ayah tidak
ngapa dua perspektif atau senang seperti Tini?”
lebih berbeda atau sama.
7. Koordinasi dapat mengerti kemung- “Tini menganggap bah-
kinan bahwa setiap wa ayahnay tidak akan
orang dalam situasi sosial marah padanya. Tahukah
tertentu dapat mengerti kamu mengapa?”
perspektif orang lain (me-
nempatkan diri dalam tem-
pat orang lain).
8. Memasukkan dalam memperhitungkan per- “apa yang dapat dilaku-
perhatian spektif orang lain. kan Tini untuk menolong
kucingnya dengan tidak
membuat marah ayahnya?
Untuk mengerti contoh dalam table 4 ini harap baca cerita “Tini dan Kucing” (disesuaikan dari Selman, 1976) pada halaman 119.
anak dalam mengerti hubungan antar perspektif orang banyak dalam situasi tertentu, dan juga untuk member pengertian bagaimana orang dapat saling memperhatikan perspektif dan maksud masing-masing. Melalui skema yang mangandung beberapa instruksi tadi ingin dijelaskan pertanyaan atau tugas apa yang berhubungan dengan latihan atau pemberian stimulasi sesuatu kecakapan sosial kognitif tertentu (lihat Tabel 4, Gerris dkk., 1980, hal. 20).
Jelaslah di sini bahwa proses pengambilan peran yang ditulis dalam buku ini, tidak saja menjadi lebih jelas, melainkan juga lebih dapat dikaitkan dengan usaha-usaha pendidikan.
3.3.6 Belajar Model
Belajar model adalah proses menirukan tingkah laku orang lain yang dilihat, dilakukan secara sadar atau tidak. Sinonim dengan belajar model ini adalah imitasi, identifikasi dan belajar melalui observasi. Belajar model merupakan bentuk belajar yang kompleks.
Menurut “teori sosial mengenai belajar” (Bandura dan Waiters, 1963) maka suatu tingkah laku dapat dipelajari dengan “melihat” saja. Bandura mengadakan eksperimen sebagai berikut: pada sekelompok anak ditunjukkan film. Dalam film tadi ada orang dewasa (modelnya) berbuat sangat agresif terhadap sebuah boneka; sekelompok anak yang lain (kelompok kontrol) tidak melihat film tersebut. Kedua kelompok tadi masing-masing dimasukkan ke dalam ruang yang sama dan diberi boneka yang sama. Kemudia dilihat dari arah agresif model tadi ditirukan atau tidak. Hasilnya: kelompok anak yang emlihat tingkah laku agresif dalam film tadi juga melakukan tingkah laku agresif seperti apa yang dilihatnya dalam film itu.
Mereka jelas lebih agresif daripada kelompok control. Perbedaan ini juga masih nampak sesudah berselang waktu 6 bulan, meskipun tidak terlalu jelas lagi.
Mengenai pertanyaan orang mana yang dapat dipilih sebagai model tidakdapat ditentukan dengan jelas. Hanya dapat ditentukan bahwa kasih sayang dan kehangatan bukan merupakan unsur-unsur yang menentukan. Juga tidak ada interaksi langsung dengan modelnya. Yang penting ialah bahwa tindakan-tindakan model tadi harus dapat berhasil dan bahwa antara model dan anak harus ada persamaan tertentu.
Dapat dibacakan antara model pribadi menirukan demi sifat-sifat tingkah laku pribadi dan model posisional: menirukan demi posisional kesuksesan, umur, jenis sekse.
feed back --
situasi tingkah konsekuensi respons konsekuensi
untuk laku negative atau pengamat diberikan oleh
model model positif bagi model lingkungan
sosial pengamat
Gambar 17. Penggambaran skematis belajar model
Bila skema ini misalnya diterapkan pada pengaruh film pada anak. Dapatlah dilihat bahwa film memberikan pengaruh yang lebih besar pada anak kalu situasi (S1) anak yang mengamati tingkah laku (S2) yang diperlihatkan tadi dapat ditiru oleh anak-anak dan harus menghasilkan konsekuensi yang positif (S3). Baru kalau ketigapersyaratan ini cepat terpenuhi dapatlah diharapkan bahwa tingkah laku model yang dilihat dalam film tadi dapat memberikan efek yang relative. Tetapi juga pribadi pengamat mempunyai peran yang penting sebab setiap orang mengadakan reaksi (R) dengan caranya sendiri. Di samping itu. Konsekuensi yang diberikan oleh lingkungan sosial anak. S1 juga memberikan sumbangan yang sangat besar. Baru dengan kerja sama antara faktor-faktor tadi terjadilah efek model dan identifikasi. Pada umumnya belajar dari model terjadi melalui observasi (untuk keterangan lebih lanjut lihat Knoers, 1973: Hendriks & Monks, 1981).
Teori sosial mengenai belajar yang dikembangkan oleh Bandura (1977) telah memberikan banyak sumbangan kepada persoalan belajar model, bahkan memberikan pengertian baru terhadap tingkah laku manusia. Menurut Bandura kebanyakan tingkah laku orang terjadi karenapengamatan atau belajar-model. Model yang ditiru bukan hanya orang-orang yang konkrit ada, melainkan juga model-model simbolis, misalnya yang dilihat pada TV atau dibaca dalam buku. Suatu bentuk lain belajar-model yang simbolis adalah instruksi verbal. Misalnya instruksi pengendara mobil mengajarkan tingkah laku apa yang perlu dilaksanakan pada waktu mengendarai mobi, hal ini biasanya disertai dengan demonstrasi tingkah laku.
Menurut Bandura harus ada empat persyaratan untuk dapat menirukan model dengan baik : 1) perhatian (suatu model tidak akan bias ditiru bila tidak diadakan pengamatan): 2) retensi atau disimpan dalam ingatan (tingkah laku yang diamati harus bias diingat kembali untuk bias ditirukan juga bila model tidak ada lagi ada; 3) reproduksi motoris (untuk dapat menirukan dengan baik seseorang harus memiliki kemampuan motorisnya), dan 4) reinforsemen dan motivasi (orang yang menirukan harus melihat tingkah laku itu sebagai tingkah laku yang terpuji dan bermotivasi untuk menirukannya).
Keempat komponen belajar model ini merupakan persyaratan bagi timbulnya tingkah laku baru atau berubahnya tingkah laku yang lama. Komponen-komponen tersebut dapat dibedakan, tetapi dalam kenyataan sering terjalin satu sama lain (lihat juga van Lieshout, 1971 dan Crain, 1980).
3.3.7 Periode pembangkangan—fase kepala batu
Dalam buku-buku Eropa maka pembangkangan usia awal ini, yang dapat timbul antara 2 1/2 dan 3 ½ tahun merupakan suatu halyang mutlak dalam perkembangan. Menurut Hetzer (1961) dan Remplein (1962) pembangkangan ini diangap sebagi proses inti perkembangan kemauan dan kepribadian. Anak yang tidak menunjukkan pembangkangan pada periode tersebut mengalami bahaya untuk berkembang menjadi pribadi yang terganggu.
Maslahnya adalah (a)apakah pemabngkangan pada anak kecil merupakan suatu gejala yang terkait pada perkembangan manusia, yaitu suatu gejala pemasakan, dan (b) apakah hal itu juga dapat dipandang dan diinterpretasikan lain daripada yang dilakukan oleh penulis-penulis tersebut diatas? Mungkin agak menyolok yaitu bahwa “pembangkangan” sebagai periode tersendiri tidak disebut-sebut dalam literature Amerika. Kita hanya memerlukan tinjauan mengenai reaksi negative atau “temper tentrum”. Hal ini adalah suatu tingkah laku reaktif yang nyata.
Kemmler (1957) beberapa tahun yang lalu telah mengadakan penelitian mengenai gejala “pembangkangan” sebagai metode dipakainya “event-sampling” artinya hanya gejala yang bersifat pembangkangan yang diperhatikan. Semua yang berhubungan dengan gejala tersebut diobservasi dan dicatat. Kemmler mengadakan observasi terhadap 71 orang anak selama 71 hari dalam keluarga-keluarga dan yayasan-yayasan. Dia terpaksa menunggu berhari-hari untuk mencatat apa yang berhubungan dengan reaksi pembangkangan tersebut.
Selama waktu penenlitiannya tadi Kemmler mencatat 488 tingkah laku pembangkangan. Dari observasi ini ia menarik kesimpulan: “pembangkangan selalu merupakan reakasi anak terhadap tindakan (dalam arti luas) keliling yang ditujukan “terhadap anak” (h. 285). Reaksi ini mempunyai suatu siafat dinamis-afektif dan dalam kenyataannya merupakan suatu penolakan yang diffuse. Pada waktu itu kontak dengan keliling terputus.
Reaksi pembangkangan berbeda dengan sikap tidak mau menurut, agresi, ingin mempunyai pendapat sendiri, malu terhambat dan mengadu kekuatan secara main-main.
Hasil penelitian :
1. Frekuensi : frekuensi tingkah laku pembangkangan perhari dapat dikatakan tidak banyak kurang lebih lima dalam keluarga biasa. Dalam yayasan hanya didapatkan 2 kali perhari. Pada beberapa anak tidak dijumpai tingkah laku pembangkangan, tetapi apada 1 kasus bahkan dijumpai 19 kali pembangkangan.
2. Orang-orang yang dapat memancing pembangkangan: orang-orang yang dapat memancing pembangkangan 90% adalah orang dewasa tau anak yang lebih tua. 10% adalah anak sebaya. Hanya jarang sekali pembangkangan disebabkan oleh benda-benda, jadi nampaknya anak membangkang terutama terhadap orang yang mempunyai kelebihan fisik dan mental.
3. Penyebab: penyebab reaksi pembangkangan dapat dilukiskan secara singkat sebagai berikut: anak sedang melakukan sesuatu, biasanya sedang asyik bermain, kemudian mendapat perintah untuk melakukan sesuatu yang lain. sudah barang tentu tidak ada pada semua perintah anak mereaksi dengan negatif.
4. Kebutuhan-kebutuhan aku (dorongan kekuasaan dan penyataan diri)sama sekali tidak mengambil peranan dalam reaksi pembangkangan.
5. Reaksi: reaksi pembangkangn merupakan tingkah laku reflex semu, suatu cetusan efek yang tidak ditujukan pada seseorang. Anak kehilangan kontak dengan kenyataan, mulai menjerit-jerit dan sebagainya, tetapi tidak menangis.
6. Lam waktu: reaksi pembangkangan biasanya hanya berlangsung beberapa menit saja, kadang-kadang ada periode laten.
7. Umur: pada anak-anak normal pembangkangan sudah dimulai sekitar 1 tahun. Puncaknya ada pada usia 2 tahun dengan frekuensi rat-rata 7 kali perhari. Antara 2 ½ dan 3 tahun reaksi pembangkangn menghilang karena anak makin lama mengerti tuntutan orang tua.
8. Perbedaan jenis kelamin: tidak ada bentuk pembangkangan yang spesifik antara anak laki-laki dan anak wanita. Pembangkangan memang lebih banyak terdapat pada anak laki-laki daripada anak wanita dan juga berlangsung lebih lama, mungkin karena tingjah laku itu lebih diperbolehkan pada anak laki-laki.
Di sini Nampak bahwa reaksi pembangkangan tadi snagt berhubungan dengan pendidikan dan perbedaaj perseorangan.
9. Waktu dilakukan pembangkangan dalam sehari: reaksi yang terbanyak dilakukan antara jam11 dan 13. Waktu itu adalah waktu anak merasa lapar dan hal ini mempunyai pengaruh yang sangat besar.
10. Hubungan antara periode pembangkangan dengan perkembangan anak selanjutnya.
- Harus diadakan perbedaan pembangkangan dan agresi. Pembangkangan adalah suatu letusan efek yang tidak ditujukan pada seseorang dan merupakan reaksi terhadap sesuatu. Agresi sebaliknya merupakan “tingkah laku fisik atau verbal yang menyebabkan kerugian atau sakit” (hartup, 1974 bandingkan juga De Wit dan Hartup, 1974).
- Pola pembangkangan yang menetap sesuadah usia 3 tahun dapat terjadi oleh pendidikan yang sangat tidak konsekuen.
- Arti tingkah laku pembangkangan berhubungan dengan kemampuan penguasaan keliling yang lebih baik.
Selanjutnya dapat diliaht bahwa tidak pada semua anak terdapat reaksi pembangkangan. Dimuka telah dikemukakan bahwa reaksi ini banyak berhubungan dengan sifat pendidikan orang tua. Mungkin di Indonesia gejala ini relative tidak begitu mencolok. Hal itu disebabkan karena anak di Indonesia tidak dikenakan pendidikan disiplin yang ketat dan orang tua lebih banyk menuruti kehendak anak (permissive) dengan dasar pandangan bahwa anak kelak akan mengerti sendiri dan tidak akan nakal lagi (misalnya tidak menurut) bila ia sudah besar nanti.
Dalam beberapa penelitian mengenai tingkahlaku pembangkangan diketemukan bahwa reaksi ini tidak diketemukan pada anak yang bodoh. Pada anak yang pandai maka diskrepansi anatara keinginan pemenuhan kebutuhan dan pengertian situasinya. Tidak terlalu lebar seperti halnya pada anak-anak yang bodoh sering tidak menunjukkanaktivitas yang banyak.
Sebagai konklusinya dapat dikatakan bahwa tingkah laku tersebut perlu mendapatkan interpretasi yang lain daripada apa yang diberikan sebelumnya. Seperti yang telah dikemukakan oleh sementara penulis sebelumnya maka reaksi pembangkangan ini merupakan gejala yang pokok bagi perkembangan kepribadian dan sosial anak. Misalnya Hetzer, (1961) mengatakan: seorang anak yang tidak mengalami fase ini kan tidak bias mencapai perkembangan kemauan yang sehat.
Selanjutnya penelitian ini menunjukkan bahwa reaksi pembangkangan tadi paling sering dijumpai antara usia 1 ½ dan 2 ½ tahun, jadi tidak antara 2 ½ dan 3 ½ tahun.
Inti penyebab reaksi pembangkangan ini adalah berfungsinya dua hal yang diskrepan pada diri anak: yaitu diskrepansi antara apa yang dikehendaki anak dengan apa yang dapat dimengerti secara intelektual.
3.3.8 Permainan dan tingkah laku bermain
Anak dan permainan merupakan dua pengertian yanghampir tidak dapat dipisahkan satu satu sama lain. berpikir mengenai anak selalu menimbulkan asosiasi mengenai bermain. Timbul pertanyaan apakah bermain betul-betul merupakan kesibukan khusus anak. Sebab dalam kemyataan maka orang tua dan remaja bermain. Mungkin hanya merupakan suatu kebiasaan unutk memakai istilah hobi atau olahraga atau reaksi. Bagi orang-orang dewasa, sedangkan istilah “bernmain” hanya dapat diapaki untuk anak saja.
Pemisahan antar dunia anak dan dunia orang dewasa ini berlangsung selama tiga abad ke 16 permainan anak dan permainan orang dewasa tidak dapat dibedakan satu sama lain.sebagi permulaan yang jelas mengenai proses ini dapat dikemukakan buku pelajaran pedagogic Emile (1976) yang ditulis oleh Rousseau (1712-1778). Mulai saat ini anak betul-betul dipandangsebagai anak dan bukan sebagi orang dewasa dalam bentuk kecil.
Sekarang anak sudah mempunyai dunia sendiri dengan permainan pakaian dan “hak-hak” sendiri meskipun hal ini belum merata sampai di pelosok-pelosok seperti halnya di Indonesia. Masih saja banyak anak yang belum dapat menikmati hak-haknya sebagai anak. Masih saja ada anak yang harus bekerja mencari nafkah pada waktu mereka seharusnya masih menuntu ilmu di bangku sekolah. Kewajiban belajar masih belum dapat dibedakan meskipun usaha-usaha untuk memberikan pendidikan formal pada semua anak sudah banyak dilakukan. Temapat-tempat permainan yang khusus dibuat untuk anak masih sedikit adanya.
Tetapi dalam dunia yang sudah maju maka dunia anak betul-betul terpisah dengan dunia orang dewasa. Anak mendapatkan perhatian khusus, pakaian khusus, buku-buku dan pendidikan yang terarah. Dalam keadaan seperti itu timbullah pertanyaan apakah perlakuan-perlakuan terhadap anak tadi betul-betul sudah baik? Sebab anak memperoleh latihan untuk memikul tanggung jawab. Dengan timbulnya dunia anak maka peralihan ke dalam dunia orang dewasa menjadi lebih problematis, lebih sukar (lihat Dasberg, 1980). Sebaliknya dapat pula dikemukakan bahwa pandangan mengenai dunia orang dewasa sebagai dunia penuh rentetan kerja. Tugas-tugas dan tangung jawab memberikan tempat lagi bagi permainan.
Pemisah yang kental antara “waktubermain” dan “waktu bekerja” ini dalam hubungan dengan tingkat-tingkat usia atertentu tidak akan dilakukan dalam tulisan psikologi sepanjang hidup. Dalam pasal-pasal berikutnya maka pembicaraan mengenai berbagai macam aspek permainan akan tidak dibatasi pada masa kanak-kanak saja.
3.3.8.1 Teori-teori permainan
Meskipun Darwin (1809-1882) tidak mengembangkan teori permainan sendiri, namun teori evolusinya memberikan pengaruh yang beasar pada sementara toeri permainan, misalnya teori Groos, Hall, spencer dan Schaller.
Groos membuat formulasi mengenai teori latihan. Menurut Groos maka permainan harus dipandang sebagai latihan fungsi-fungsi yang sangat penting dalam kehidupan dewasa nanti. Dengan begitu permainan peranan anak gadis yang bermain dengan bonekanya merupakan latihan bagi perannay kemudian sebagai seorang ibu.
Hall yang banyak mendasarkan teorinya pada Rousseau dan Darwin, memandang permainan berdasarkan teori rekapitulasi, yaitu sebagai ulangan bentuk-bentuk aktivitas yang dalamperkembangan jenis manusi pernah memegang peranan yang dominan.
Menurut teori rekapitulasi maka perkembangan individu (ontogenesa) adalah ulangan perkembanagn jenis manusia (filogenesa). Menurut Hall maka permainan merupakan sisa-sisa periode perkembangan manusia waktu dulu tetapi yang sekarang perlu sebagai stadium transisi dalam perkembanagn individu.
Schaller berpendapat bahwa permainan memberikan “kelongaran” sesudah orang melakukan tugasnya dan sekaligus mempunyai sifat membersihkan. Permainan adalah sebaliknya daripada bekerja. Dalam hubungan dengan sifat pembersiahnnya tadi (katarsis) Schaller mengatakan: bila orang Inggris menderita karena jatuh cinta, maka ia akan bermain tennis sebebtar dan semuannya beres kembali.
Akhirnya Spencer menandaskan bahwa permainan merupakan kemungkinan penyaluran bagi manusia untuk melepaskan sis-sisa energy. Karena manusia melalui evolusi mencapai suatu tingkatan yang tidak terlalu membutuhkan banyak energi untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidup, maka kelebihan energinya harus disalurkan melalui cara yang sesuai; dalam hal ini permainan merupakan cara yang sebaik-baiknya (lihat selanjutnya Dunk, 1981).
Teori permainan seorang ahli psikologi Rusia Ljublinskaja (1961) memandang permainan sebagai pencerminan realitas, sebagai bentuk awal memperoleh pengetahuan. Dengan begitu jelaslah bahwa pendapat yang “berprasangka” cultural ini ingin dihindari dalam penelitian empiris dan teoretis yang lebih baru. Selalu datang pertanyaan-pertanyaan yang jelas dalam penelitian permainan, yaitu: yang harus ada untuk dapat dikatakan permainan dan (3) apakah akibatbya bila kita bermain atau justru tidak bermain. Dalam pasal-pasal berikutnya hal-hal ini kan kita bicarakan lebih lanjut.
3.3.8.2 Struktur atau ciri-ciri esensial tingkah laku bermain
Telah dilakukan beberapa usaha untuk melukiskan bermacam-macam bentuk permainan dan proses perkembangannya (lihat. Tabel 3). Di situ diusahakan untuk melukiskan unsure-unsur yang ada menurut isi dan strukturnya. Namun dengan begitu tidak diketemukan jawaban mengenai pertanyaan: bagaimana daptnya menentukan bahwa sesuatu aktivitas merupakan tingkah laku bermain? Jawaban yang paling lengkap dan paling mendalam mengenai “sifat hakekat permainan” sampai sekarang baru dieberikan oleh Buytendjik (1887-1974) dan Huizinga (1872-1945).
Berdasarkan analisa fenomenologis maka Buytendjik menemukan cirri-ciri permainan sebagai berikut:
1. Permainan adalah selalu bermain dengan sesuatu;
2. Dalam permainan selalu ada sifat timbale balik, sifat interaksi;
3. Permainan berkembang, tidak statis melainkan dinamis, merupakan proses dialektik yaitu tese-antese-sintese. Karena proses yang berputar ini, dapat mencapai suatu klimaks dan mulailah prosesnya dari awal lagi.
4. Permainan juga ditandai oleh pergantian yang tak dapat diramalkan lebih dahulu, setiap kali dipikirkan suatu cara yang lain atau dicoba untuk datang pada suatu klimaks tertentu.
5. Orang bermain tidak hanya bermain dengan sesuatu atau dengan orang lain, melainkan yang lain tadi juga bermain dengan orang yang bermain itu.
6. Bermain menuntut ruangan untuk bermain dan menuntut aturan-aturan permainan.
7. Aturan-aturan permainan membatasi bidang permainannya.
Beberapa tahun sesudah Buytendjik, maka Huizinga (1940) memberikan definisi mengenai permainan atas dasar latar belakang sejarah kebudayaan sebagai berikut : “bermain merupakan tindakan atau kesibukan suka rela yang dilakukan dalam batas-batas tempat dan waktu, berdasarkan aturan-aturan yang mengikat tetapi diakui secara suka rela dengan tujuan yang ada dalam dirinya sendiri, disertai dengan perasaan tegang dan senang dan dengan pengertian bahwa bermain merupakan sesuatu “yang lain” daripada kehidupan biasa” (h. 42).
Bagaimana tepatnya pencirian Buytendjik dan Huizinga ini, dapat diliahat dari berbagai pelukisan peneliti-peneliti baru seperti batesan (1971), Miller (1973) dan Suton-Smith (1979). Istilah-istilah yang dipakai berbeda namun esensinya sama.
1. “Reframing” atau “memberikan isyarat” adalah cirri structural yang pertama dari permainan. Orang-orang saling memberikan isyartnya (misalnya mengangkat tangan,senyum, intonasi yang lain) sebelum permainan dimulai. Bentuk komunikasi yang spesifik ini nampaknya dipelajari anak pada tahun-tahun pertama.
2. “Reversal” atau “pemutarbalikan” merupakan cirri structural yang kedua daripermainan. Dalam permainan maka realita dapat “diputar balik” semua anak. Semuanya mungkin, bats-batas kenyataan dapat dihilangkan. Dalam permainan peran, anak dapat memutar balik kenyataan kehidupan keluarga yaitu dengan bermain menjadi ibunya.
3. “abstarksi prototype” merupakan cirri lanjut permainan. Di sini diambil beberapa aspek tingkah laku yang menyolok dari suatu rentetan tingkah laku (missal:karikatur). Vygostski (1967) memberikan suatu contoh yang tepat: “dua gadis bersaudara.” Permainannya bukan suatu imitasi kejadian sehari-hari, melainkan hanya ditirukan beberapa tingkah laku saja mengenal kehidupan dua bersaydara tersebut.
4. Suatu cirri yang spesifik adalah “tema dan variasi”. Permainan selalu merupakan suatu variasi meneganl suatu tema. Jadi ada suatu tema yang pokok kemudian dipikirkan dan diperagakan aspek-aspek baru di sekitar tema tersebut. Misalnya seorang anak bermain dengan sebuah boneka. Dia akan dapat melakukan tingkah laku macam-macam Dallam merawat “anaknya” itu. Atau seorang anak laki-laki bermain dengan bola akan menemukan atau mencoba bermacam-macam cara menedangnya.
5. Permainan selalu terikat tempat dan waktu. Batas seringkali ditentukan oleh ruang (tempat bermain, lapangan, stadion). Juga waktu menentukan batas permainan (sorehari, hari minggu). Batas permainan anak biasanya tidak jelas. Dengan mengubah kenyataan maka batas-batas tadi dapat diperjelas, misalnya:
5a. Memperkecil kenyataan
Kebanyakan alat permainan adalah imitasi kenyataan. Misalnya “sifat kecilnya” permainan mobil-mobilan memungkinkan anak untuk berbuat seakan-akan menjalankan mobil-mobilan memungkinkan anak untuk berbuat seakan-akan menjalankan mobil yang sesungguhnya.
5b. Memperbesar Kenyataan
Seringkali gerak-gerik dank at-kata dilebih-lebihkan. Memberikan aksentuasi yang lebih pada perasaan misalnya dijumpai juga pada permainan.
5c. Ulangan yang siklis
Dengan ulangan yang siklis (berputar), yaitu selalu melakukan hal yang sama, meskipun dengan variasi-variasi tertentu, timbullah kesan seakan-akan orangnya sendiri dapat menentukan batas-batas ruang dan waktu. Proses permainan yang siklis (berputar) dan ritmis (berirama) ini menunjukan oleh Lehr (1959) melalui observasinya.
6. Permainan selalu mempunyai sifat tegang dan bergairah. Melalui ketegangan dan kegairahan, permainan sering datang pada suatu klimaks kemudian timbul kelonggaran. Dalam hal itu permainan merupakan suatu tantangan. Permainan juga berguna untuk menghilangkan ketegangan yang terlalu tinggi. Dengan begitu maka ketegangan batin anak sering dapat disembuhkan melalui terapi permainan. Ketegangan batin, ketegangan emosiaonal ataupun kejemuan dapat menghambat anak bermain.
3.3.8.3 Syarat-syarat permainan
Dalam bab ini telah dikatakan bahwa anak dan permainan sukar dapat dipisahkan satu sama lain. Dari pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa anak kan bermain dengan sendirinya. Jadi agak mengherankan bila orang berkata bahwa anak harus belajar bermain. Kiranya yang dimaksudkan adalah; belajar memperoleh pengalan. Berhubungan dengan itu perlu mengatur lingkungan sedemikian rupa hingga anak juga dapat memperoleh pengalaman tersebut.
Bagi perkembangan dalam tahun-tahun pertama, baik bagi manusia maupun hewan, maka perlindungan dan stimulasi merupakan syarat yang mutlak. Hal ini juga berlaku bagi tingkah laku bermain biasanya ibulah yang memberikan perlindungan dan stimulasi itu hingga tingkah laku anak dapat berkembang.
Ibu merupakan suatu hal yang konstan maupun suatu ahal yang berubah-ubah (Lewis, 1979). Pada hari pertama seorang ibu telah menciptakan suatu bentuk komunikasi dengan anaknya yang dapat menimbulkan sifat-sifat ekspresif sebagai berikut :
Suatu roman permainan : alis diangkat, mulut terbuka, mata membelalak lebar, suatu ekspresi keheranan.
Suatu pandangan bermain : pandangan penuh kasih sayang
Sambil bicara pada anaknya.
Bunyi-bunyi bermain : bunyi tinggi, bunyi huruf mati
Yang diperpanjang bicara lambat.
Berbagai roaman muka : muka didekatkan atau dijauhkan.
Waktu bermain : biasanya sesudah makan atau sebelum anak ditidurkan.
Ruang/kesempatan bermain : dalam tempat tidur, di pangkuan ibu,
Dalam selendang, di dekat ibu.
Bentuk komunikasi ini telah dibicarakan secara mendalam oleh Stern (1977). Ibu dan anak sejak mula telah terlibat dalam saat-saat interaksi yang ditandai oleh saling mengadakan aksi yang yang kontras. Aksi-aksi yang kontras tadi ditimbulkan oleh peranan ibu dan anak yang saling bertentangan. Dalam interaksi tersebut ketegangan silih berganti dengan kelonggaran. Sutton-Smith (1949) berpendapat bahwa interaksi ibu-anak ini merupakan sumber fundamental permainan dengan aspek-aspek tersebut karena permainan baru timbul bila tercipta suasana komunikasi yang aman dan bila dapat terjadi ketegangan dan kelonggaran karena tindakan-tindakan yang bertentangan. Peneliti membuktikan bahwa banyaknya sikap bermain orang pada umur-umur yang kemudian sangat dipengaruhi oleh sifat hubungan ibu-anak ini, begitu pula oleh banyknya variasi pada waktu menciptakan saat-saat bermain itu.
Cirri-ciri structural permainan yang bermacam-macam telah ada dalm interaksi ibu-anak dan merupakn dasar permainan di kemudian hari, baikpermainan seorang dir maupun dengan anak-anak sebaya.
Di samping perlindungan dan stimulasi maka kesempatan untuk eksplorasi merupakan persyaratan yang penting bagi permainan. Biasanya tingkah laku bermain dimulai oleh penyelidiakan terhadap sebuah benda atau suatu person. Dalam eksplorasi itu anak menginginkan jawaban terhadap pertanyaan: “apakah benda ini atau apakah orang itu?” bila tingkah laku menyelidiki ini telah menghasilkan pengertian-pengertian tertentu, berubahlah tingkah laku anak dan pertanyaan yang timbul sekarang adalah : “apakah yang dapat saya perbuat dengan benda atau orang itu”.
Lamanya mengadakan eksplorasi berbeda-beda dan sedikit banyak bersifat stereotif; melalui alat-alat indera (auditif, visual dan taklil) akan diperoleh informasi secarabersamaan. Penelitian membuktikan bahwa anak dan orang dewasa membutuhkan jangka waktu tertentu untuk mengenal keadaan, objek-objek atau orangyang baru. Bila fase eksplorasi untuk mendapatkan informasi ini tidak cukup waktunya, maka permainan juga tidak akan dapat berkembang. Dalam keadaan sehari-hari dapat dilihat bahwa orang dewasa maupun anak segera ingin mulai dengan bermain. Mengenai pentingnya stimulasi dan eksplorasi ini suadah diuraikan dalam pasal 2.5.1.6., yaitu pada pembicaraan stimulasi pada masa perkembangan awal.
3.3.8.4 Konsekuensi permainan
Sampai kini dipakai dasar anggapanbahwa manusia itu bermain: telah dikemukakan tentang bergabai persyaratan dan unsur-unsur yang structural mengenal permainan. Tetapi apa yang akan terjadi bila manusia tidak bermain? Pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang retorik karena hamper tidak ingin mengadakan eksperimen yang bersifat membelenggu manusia dalam tingkah lakunya yang wajar.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas maka Csikszentmihalyi (1975) melakukan penelitian dalam dua fase. Dalam fase sendiri menurut instruksi sebagai berikut : Anda harus hidup wajar saja dalam dua hari ini, tetapi hendak lah sebanyak mungkin sadar akan tingkah laku anda sendiri dan catatlah semua yang anda lakukan untuk kesenangan anda sendiri, terutama hal-hal yang biasanya anda lakukan secara “tidak dipikirkan”.
Dalam fase kedua-seminggu kemudian-diajukan persyaratan sebagai berikut : “mulai besok pagi dari bangun samapi jam 09.00 malam hendaklah anda bertingkah laku sewajar mungkin, lakukan semua hal apa yang harus anda lakukan, tetapi janganlah melakukan apa yang mirp dengan permainan atau yang tidak instrumental. Bila dibandingkan “eksperimen” dengan deprivasi permainan wajar dalam fase kedua ini dengan fase yang pertama, nampaklah hal-hal sebagai berikut: para orang coba merasa capai dan mengantuk, kurang sehat dan kurang sanati; mereka lebih banyak merasa sakit kepala, merasa dirinya lebih lekas marah dan kurang kretaif.; aktivitas (instrumental) sehari-hari dirasa sebagai beban yang berat, dilakukan dengan dan marah dan kehilangan konsentarsi, juga ada perasaan sedih dan kesan bahwa tindakan-tindakan tadi dilakukan sebagai robot dan secara otomatis saja.
Meniadakan permainan, meskipun di sini hanya mengenai eksperimen pura-pura saja, dapat menunjukkan konsekuensi apa yang dapat timbul bila orang tidak bermain. Dengan menunjukkan apa yang disebut “bukan permainan” jelaslah betapa fundamental permainan bagi kesejahteraan manusia itu. Manusia mempunyai suatu kebutuhan untuk mengatur pengalaman-pengalamannya sesuai dengan apa ynag dipandangnya baik, dia ingin menemukan imbangnya antara tuntutan-tuntutan keliling dengan kemampuan dan keinginan-keinginanya sendiri. Fungsi tingkah laku permainan yang dapat mengatur keseimbangan tadi mempunyai dua mavam fungsi: (1) bila stimulasi terlalu sedikit, kurang ada tantangan (misalnya dibandingkan dengan kemampuan sendiri) tingkah laku bermain dapat memberikan komponesasi; tidak adanya tantangan dan stimulus ini dapat menimbulkan akibat negative pada anak yang merasa jemu itu, misalnya timbul gangguan-gangguantingkah laku, (2) bila tuntutan terlalu tinggi yang dapat menimbulkan ketegangan batin, maka permainan mempunyai sifat yang melonggarkan dan menyegarkan.
Di samping fungsi kompensasi dan melonggarkan maka permainan juga mempunyai sumbangn penting pada proses kreatif seseorang. Kreativitas berarti bahwa seseoarang dapat bertindak “mencipta” dan berhubungan dengan kelilingnya dengan cara yang khas untuknya. Untuk melakukan hal itu, maka anak atau orang dewasa membutuhkan kesempatan untuk memberikan bentuk sendiri terhadap apa yang dialaminya atau dijumpainya. Hal ini bagi kebanykan anak, dimungkinkan selama anak belum masuk sekolah. Pada waktu anak masuk sekolah dasar, pada waktu itu dunia bermain berubah menjadi dunia sekolah dan hal itu berarti bekerja menurut aturan-aturan tertentu; kesempatan menjadi sedikti untuk berbuat kreatif dengan dunia kelilingnya, untuk membentuk dunia atau realitas sesuai dengan kehendaknya sendiri. Seperti yang dilukiskan di muka, suatu pembagian yang jelas antara dua anak dan dunia orang dewasa, atau dunia bermain dengan dunia tidak bermain tidak dapat dibenarkan. Menurut Vygotsky (1967, hal. 16) maka “permainan menciptakan daerah dan sumber perkembangan yang merupakan proses seumur hidup.
Penelitian mengenai permainan pada anak-anak membuktikan bahwa permainan dapat menjelaskan aspek-aspek perkembangan seperti motorik, kreativitas, kecakap-kecapakn sosial dan kognitif dan juga perkembangan motivasional dan emosional (lihat Rost, 1981; De Groos, 1980). Permainan di sini harus dapat ditinjau dalam nuansa-nuansanya yang lebih banyak dan tidak sebagai sesuatu yang global.
3.5.8.5 Bentuk-bentuk permainan
Sejak tinjauan yang sistematis mengenal perkembangan manusia juga diusahakan untuk menentukan hubungan antaraberbagi bentuk permaian dengan umur seseorang. Seperti yang sudah ditandaskan di muka, mak oleh proses pemaskan dan belajar. Usaha pertama yang dilakukan berhubungan dengan pertanyaan : permainan apa yang dilakukan anak apada umr-umur tertentu?
Bertalian dengan itu suami istri Buhler (1928) mengobservasi anak dari berbagai tingkat umur untuk meneliti apakah ada bentuk-bentuk permainan yang palingdisukai pada sesuatu tingkat usia tertentu. Mereka juga menganggap permainan sebagai suatu kemungkinan bagi anak untuk mengumpulkan dana memasak informasi dari luar.
Parten (1932) meninjau permainan anak dari sudut tingkah laku sosial anak.; pendekatannya juga dapat dilukiskan sebagai sosiologi genetic. Melalui observasi Parten menemukan 6 macam kategori.
Piaget (1945) tidak begitu melihat permainan sebagai kemungkinan perkembangan dan indiksi tingkah laku sosial. Melainkan lebih melihatnya sebagai relasi dengan dunia fisik. Menurut Piaget maka permainan merupakan bentuk pernyataan perkembangn kognitif. Dia menemukan 3 kategori.
Suatu pembagian yang lain sama sekali, berasal dari Caillois (1958:1961). Pembagiannya berorientasi pada proses hidup menusia dan sejarah kebudayaan berdasarkan pandangan Huizinga. Caillois membagi permainan menjadi 4 kategori berdasarkan pemenuhan emapat kebutuhan hidup manusia yang dipandangnya sebagi primer.
3.3.9 Gambaran anak
Seperti halnya bermain, maka menggambar juga merupakan suatu aktivitas yang spontan. Anak “menggambar” segera seudah merekamampu memegang pensil atau alat tulis yang lain. anak bias melakukan hal itu mulai berusia kurang lebih 52 minggu. Menggambar merupakan suatu gerakan motoris yang global bagi anak; seluruh badan seakan-akan ikut terlibat melakukan gerakan itu. Cret-coret anak misalnya belum dapat disebut suatu gambar, melainkan hanya suatu goresan hasul suatu gerakan. Karena sebuah pensil digores-goreskan di ats kertas, terjadilah bekas goresan tersebut. Goresan pensilyang berujud coret-coret ini adalah dasar dan permulaan usaha anak untuk membuat gambar-gambar-gambar yang berarti. Makin lama anak makin “melihat” apa yang dihasilkan itu dan mulai
Membandingkan secara kritis hasil gambarannya dengan gambar anak-anak lain. pola-pola dengan pembagian ruang mulai nampak pada usia 3 dan 4 tahun. Dalam perkembangan lebih lanjut muncullah gambar-gambar bentuk sederhana atau kombinasi bentuk-bentuk tadi. Pada sekitar usia 4 tahun muncullah “kepala kaki” yang terkenal; kepala ditambah dua kaki menujukkan gambar manusia yang utuh bagi anak (lihat Gambar 19. Hal 141) berhubung anak dalam gambarnya sudah ingin melukiskan sesuatu, maka dapat dikatakan ia telah mencapai stadium gambar figuratif. Karena adanya perkembangan psikomotorik (yaitu koor-dinasi mat-tangan lebih baik) serta perkembangan kognitif, ditambah pengalaman belajar, maka anak lambat laun akan mencapai fase meng-gambar bentuk mengenal apa yang dilihatnya (bandingkan dalam perkembangan bahasa mengenai perpindahan “Ausdruck” ke “Darstrelling”).
Penggambaran tadi adalah sangat global, begitu juga batasan usiannya adalah kira-kira saja. Tetapi memang urutan perkembangan gambaran ini dialami oleh semua anak asal mereka diberi kesempatan untuk melakukan hal itu; nampaknya perkembangan tadi merupakan gejala universal. Diantara usia 6-12 tahun Nampak adanya pengaruh kebudayaan dalam gambbaran anak; gambaran anak di atas 12 tahun menunjukkan cirri-ciri khas individual.
Gambaran anak sering dipakai sebagai alat diagnostic (lihat miasl subtes gambaran manusia dalam NST, Monks, dkk., 1978). Dasar pemakaian gambaran sebagai alat diagnostic anak adalah, bahkan anak mengeluarkan perasaan dan pengalaman melalui gambarannya. Disamping itu gambaran anak juga merupakan tolak ukur perkembangan kecerdasan. Meskipun gambaran tidak sempurna, namun gambaran tadi dapat memberikan pengertian akan kualitas penganamtan kritis anak. Misalnya gambar kepala-kai menunjukkan pengamatan global anak, suatu pengamatan dengan kesan yang dominan dan tidak mementingkan detil. Meskipun memang ada anak yang berbakat dan kurang berbakat dalam soal menggambar, anamun ahsil gambaran saja dalam menilai bakat tersebut. Ternyata bahwa dalam satu minggu saja anak dapat menghasilkan gambaran bermacam-macam. Menggambar sepewrti halnya bermain merupakan aktiviotas yang perlu bagi anak. Menggambar perlu sebagai pernyataan perasaan dan persiapan membaca dan menulis. Khususnya untuk aspek yang pertama jelaslah bahwa anak harus diberi kesempatan dan harus didorong untuk mau menggambar, meskipun tidak boleh dipaksa. Seperti halnya pada bermain, maka anak membeutuhkan perlindungan dan stimulasi dalam perkembangan kemampuan menggambar. Dalam pasal 3.3.8.3. telah dikemukakan bahwa lingkungan harus dibuat sdemikian rupa, hingga anak dapat memperoleh pengalaman yang dibutuhkan.
3.4 Perkembangan Bahasa
3.4.1 Perkembangan dalam sejarah
Sejak mula, filsafat telah membahas meneganai bahasa dan struktur bahasa. Pada abad-abad permulaan terdapat pengertian bahwa bahasa itu merupakan perjanjian yang disebgaja antar manusia. Pandangan ini dianut misalnya oleh aliran sofisme. Bertentangan dengan pandangan ini adalah pandangan alirang stoicijn yang memandang bahwa sebagai suatu kecakapan alamiah. Pandangan Plato dan Atistotelesada di tengah-tengah dua pandangan ini.
Filsafat bahasa sebagai suatu disiplin sendiri dalam filsafat baru timbul sejak Wilhelm nov Humboldt (1766-1835). Dengan adanya perbandingan ilmu-ilmu bahasa maka studi yang sistematis mengenai susunan bahasa yaitu hubungan antara berpikir dan berbahasa, antara fungsi ekspresi dan fungsi untuk melukiskan dalam bahasa.
Bagi psikologi yang sebagian berakar pada filsafat maka bahasa sejak mula merupkan objek studi yang pokok. Para pakar ploner dalam psikologi perkembangan telah memberikan sumbangan yang sangat penting mengenai pengertian perkembangan bahasa (Clara dan Willliam) Stem: Die Kindersprache, 1928; Heltzer Reindorf: Sprochenetuicklung und soziales Milieu 1927). Suatu sumbangan yang sangat penting dari Karl Buhler dalam hubungan ini adalah Sprachtheirie (1934) yang dalam tahun 1927 telah dikupas dalam garis besar dalam bukunya Die Krise der Psychologie, juga Van Ginneken dengan bukunya De roman van een Kleuter (1917) telah memberikan pengertian-pengertian dalam perkembangan bahasa melalui observasi yang diteliti. Terutama mengenai pernyataan-pernyataan bahasa yang pertama.
Dengan bukunya Die Krise der Psycholigie yang pada tahun 11965 telah terbit untuk ketiga kalinya tanpa perubahan, Buhler ingin mengajukan kritik untuk dapat mengatasi krisis dalam psikologi. Ia mendasarkan diri pada arti kata Yunani Krino= sya membedakan. Dia membuat teorinya yang merupakanreaksi yang beralasan terhadap pendekatan-pendekatan behaviorisme serta pendekatan Wundt yang bersifat “bewusstseinpshologisch”. Wund mendasarkan teori bahasanya pada aksioma parallel, artinya bahwa gerakan-gerakan fisik merupakan pernyataan gerakan-gerakan psikis, jadi paralellisme antara gejala batin dan gejala luar. Buhler memberikan kritik terhadap pendapat Wundt ini. Wundt selanjutnya mengatakan bahwa ada perberdaan dalam gerakan-gerakan ekspresi antara hewan dan manusia. Hal yang ketiga yaitu bahwa bahasa yang terdiri dari suara-suara tadi berkembang menjadi seekor yang berdiri sendiri dan melepaskan diri dari kesatuan gerakan-gerakan ekspresi.
Menurut Buhler ada tiga macam factor yang menentukan dalam teori bahasa. Yaitu 1) Appell, 2) Ausdruck, dan 3) Darstellung. Appel berarti bahwa bila kita ingin menyatakan sesuatu harus juga melihat orang lain yang dapat dicapai oleh pernyataan tadi. Buhler melihat semantic sebagai sesuatu yang esensial, jadi yang penting adalah erlasi antara tanda hal yang ditunjuk, relasi antara pemberi tanda dengan penerima tanda. Sebab bila apa yang dikatakan Wundt sebagai aksioma pertanyaan mengenai semantic tidak akan mungkin. Menurut Buhler maka semanyik merupakan factor konstitutif kegidupan hewan dan manusia dalam suatu kehidupan bersama. Semantic menunjukkan adanya dwi-tunggal; seorang yang memberikan tanda dan seorang yang menerima tanda atau si pemberi tanda dan si penerima tanda. Bahasa sebagai alat komunikasi mempunyai funsi sosial. Fungsi sosialnya ada dalam semantic. Bahasa selalu termasuk dalam jaringan sosial dan bahasa mempunyai fungsi-fungsi ekspresif. Kedua aspek ini yaitu “Appel” dan “Ausdruck” juga diketemukan kembali dalam komunikasi hewani, tetapi aspek yang ketiga yaitu aspek kemampuan untuk melukiskan sesuatu meletakkan atau mengerti hubungan antara hal yang satu dengan hal lain, dapat memformulaisikan ide-ide, adalah sifat-sifat manusia yang spesifik: hanya manusia yang dapat mengadakan “Darstellung”.
Di sini dapat ditunjukkan bahwa Karl Buhler selama lebih dari 50 tahun yang lalu sudah mengemukakan akan aspek-aspek yang penting dalam perkembangan dan pengertian bahasa. Aspek-aspek tersebut sekarang juga merupakan pusat perhatian para ahli psikolinguistik dan sosio-linguistik
3.4.2 Keadaan sekitar 1965
Pertentangan lama selama lebih dari dua puluh tahun mengenai perkembangan bahasa berkobar lagi dengan pembicaraan ahli linguistic Chomsky (1959) mengenai “verbal behavior”nya: “ Syntactic Structurres”: dalam 1965 “ Aspects” dan dalam 1968 “Language and Mind”. Publikasi-publikasi ini menimbulkan banyak diskusi, hasil-hasil penelitian ditinjau dari sudut pandang yang lain. penelitian-penelitian batu dimulai diadakan dan pandangan-pandangan baru yang berbeda-beda timbul. Chomsky tidak hanya menyelidiki perkembnagn bahasa saja. Dia juga menaruh perhatian terhadap epistemology filsafat dan perkembangn kognitif untuk dapat mengerti yang lebih baik mengenai perkembangan bahasa, lepas dari menghitung kekayaan bahasa anak pada usia tertentu.
Berdasarkan ceramah Frank Kessel (28-10-1974) maka perhatian sekitar tahun 1965 tertuju pada hal-hala dan pertanyaan-pertnayaan di bawah ini:
1. Bagaimana sintaksis anak, bagaimana struktur tata bahasa kalimat dua kata kalimat tiga kata.
2. Bagaimana produksi kata-kata anak? Bagaimana hal ini bias terjadi dan berapa banyak anak dapat mengucapkan kata-kata dalam dan tingkat umur tertentu.
3. Timbullah pengertian bahwa perkembangan bahasa yang sesungguhnya dimulai sekitar umur 1 ½ tahun dan selesai pada kurang lebih tahun keempat dan kelima. Pertanyaan mengenai apakah waktu mulai dan waktu selesai ini betul atau tidak merupakan perhatian kebanyakan peneliti.
4. Kemungkinan linguistic apa dan struktur semantic apa terdapat pada anak? Apakag ada aturan-aturan dalam bahasa yang dibawa anak sejak lahir, apakah ada pengertian, apakah bahsa mempunyai dasar prinsip kreatif? Mislanya mengapa kita tidak mengatakan : saya mempunyai IQ yang cepat, adik saya pandai berkicau.
5. Seperti halnya Piaget yang membicarakan mengenai stadium-stadium universal maka dalam perkembangan bahasa juga ingin diketahui apakah ada stadium-stadium yang universal itu dalam bahasa.
6. Ada keyakinan bahwa lingkungan sangat kecil dalam perkembangan bahasa. System Chomsky ) LAD = Language Acguisition Device) harus dimengerti sebagai kecakapan bawaan yang menyebabkan lingkungan tidaka atau sedikit sekali pengaruhnya. Bahasa dipandang sebagai sesuatu yang khas bagi manusia.
7. Banyak perhatian ditujukan pada bahasa egsentrik anak, bahasa yang tidak merupakan bahasa komunikasi, melainkan tertuju pada diri sendiri. Tidak ada atau hamper tidak ada perhatian terhadap bahasa dalam situasi-situasi sosial.
8. Dalam situasi ini timbullah Head Strat Project (suatu program stimuylasi bahasa bagi anak-anak kecil dari lingkungan sosial yang lemah). Di Amerika diketemukan bahwa anak-anak Negro dan anak-anak minoritas sosial merupakan korban kekurangan linguistic. Kekurangan linguistic ini akan dapat dihilangi oleh program kompensasi tersebut. Hasil daripada program kompensasi ini menunjukkan bahwa sama sekali tidak ada kemajuan dalam perkembangan pengetahuan umum anak.
Sosio-linguist Laboy mengemukakanm bahwa bangsa yang berbeda juga berbeda bahasanya, bahwa setiap bahasa mempunyai struktur yang berarti dan sifat informatif. Penting pula untuk menunjuk pada perbedaan yang diadakan oleh sosiolog Inggris Basil Bernstein dalam “restricted code” dan “elaborated code”.. Berstein tidak melihat perbedaan ini sebagai perbedaan antar abaik dan tidak baik, melainkan sebagi dua macam pemakaian bahasa yang berbeda. Kedua macam pemakaian bahasa tadi masing-masing mempunyai unsure-unsur yang penting yang dibutuhkan oleh bahasa sebagi alat komunikasi, namun mereka berbeda atau sama lain.
Perlu dikemukakan bahwa dari delapan hal yang dikemukakan tersebut, masih ada satu yang menjadi pusat perhatian. Kemungkinan-kemungkinan linguistic dan yang berhubungan dengan itu: struktur semantiknya, perkembangan semantinya serta arti bahasanya.
Pertanyaan mengenai semantic sekaligus merupakan pertanyaan mengenai konteks sosial. Bahasa tidak dapat dilihat lepas dari konteksnya. Berhubung dengan itu maka para ahli sosio-linguistik mengambil peranan yang penting. Mereka melihat bahasa sebagai alat komunikasi yang berguna dalam kehidupan bersama. Di sini pendapat Buhler menjadi menonjol lagi. Ia sangat menandaskan bahasa sebagai alat komunikasi.
3.4.3 Pandangan yang nativistis
Menrut pandangan yang nativistis atau organismis maka struktur bahasa telah ditentukan secara biologis. Tokoh yang penting dari pandangan ini adalah ahli linguistic Chomsky. Anak sejak mula sudah mempunyai kemampuan untuk berkembang bahasanya. McNeill (1966) mempunyai hipotesis akan adanya sifat-siafat linguistic yng universal. Sifat-sifat ini menurut McNeill akan dapat diketemukan kembali pada semua bahasa. Memang berbagai bahasa tadi dalam bentuk luarnya Nampak berbeda. Namum prinsip fundamentalnya lebih mempunyai persamaan daripada yang diduga semula.
Perhatian terhadap pola dasar yang uniform atau yang sama, seperti yangyang dikemukakn dalam butir 5 pasal sebelumya, berkurang. Namun diantara pada ahli linguistic masih ada aliran yang kuat yang ingin menyelidiki struktur dalamnya bahasa, yaitu sifat universalnya. Mereka beranggapan bahwa sifat universal tersebut tidak perlu dipelajari, melainkan sudah ada sebagai kecakapan bawaan.
Anak akan mengenal sifat universal bahasa dan menginterpretasinya dengan betul. Menurut pandangan ini dapat diadakan dua ramalan: (a) pada mulanya anak tidak mengenal sifat khasnya bahasa yang sedang dipelajari. Berhubung dengan itu bahasa awal anak masih belum menunjukkan transformasi, yaitu struktur bahasa anak tadi akan masih harus lebih mempunyai persamaan dengan struktur dalam atau struktur inti bahasa orang dewasa, daripada dengan apa yang disebut struktur permukaan bahasa yang dipelajari. Anggapan ini menimbulkan dugaan bahwa bahasa awal anak dalam prinsipnya sama dengan semua bahasa di dunia, meskipun bahasa orang dewasa dengan jelas menunjukkan struktur permukaan yang menyimpang.
Masih sedikit penelitian yang menguji hipotesis ini. Pendapat diatas didukung oleh hasil-hasil penelitian perbandingan dalam hubungan dengan (a) penelitian mengenal timbulnya kalimat negative yang pertama, (b) bentuk pertnayaan yang pertama dan (c) penelitian mengenai relasi dasar tata bahasa.
Mengenai butir (a) dapat dikatakan pada kalimat pertama yang berstruktur tata bahasa sudaha ada negatifnya. Misalnya suatu kalimat yang menunjukkan sesuatu diberi suatu morfem yang menunjukkan negasi, misalnya misalnya kalimat: “makan pisang” diberi morfem “tidak” menjadi “tidak makan pisang” diduga bahwa pada bahasa-bahasa lain juga terdapat cara pengingkaran seperti itu: peningkatan dalam bahasa anak mempunyai persamaan dengan pengingkaran yang terdapat pad struktur dalam atau struktur inti kalimat orang dewasa.
Mengenai butir (b) kalimat pertanyaan juga sudah Nampak dalam perkembngan bahasa anak-anak sejak awal. Dalam sementara buku pelajaran masih dikemukakan bahwa umur 3 tahun dianggap sebagai umur bertanya, karena sekitar umur ini akan selalu ingin bertanya dan selalu ingin mengerti segalanya mengapa itu begini atau begitu. Juga dalam hal ini bentuk kalimat pertanyaannya menunjukkan persamaan dengan struktur dalam atau struktur inti kalimat orang dewasa.
Mengenai butir (c) pertanyaan yangtepat mengenai fungsi bagian kalimatnya, baru dapat dilakukan bila bagian itu mempunyai hubungan dengan struktur dalamnya suatu kalimat. Dari struktur luarnya atau struktur permukaannya, fungsi-fungsi tersebut belum dapat diketahui. Dalam hubungan ini telah diadakan analisis mengenai berbagai relasi dalam tata bahasa yang selalu ada hubungannya dengan struktur dalamnya suatu kalimat asa yang diduga bersifat universal bagi bahasa yang berbeda-beda. Dapat dismpulkan bahwa hasil penelitian semacam ini mendukung hipotesis faham nativis, yaitu bahwa pengetahuan awal dan kecakapan awal anak merupakan faktor pembawaan.
Chomsky membuat suatu model untuk menunjukkan bagaimana anak belajar tata bahasa. Model Chomsky dikenal sebagai LAD
Data linguistik kemampuan tata
(Input) (kemampuan untuk membentuk dan mengerti
kalimat-kalimat)
(Output)
Morfem. Fonem-fonem sudah ada sejak bahasa ocehan anak, tetapi belum membentuk suatu morfem. (language acquisition device) atau program penguasaan bahasa.
LAD ini mendapatkan inputnya dari data bahasa dari lingkungan. Kemudian LAD menjabarkan aturan tata bahasa dari ini. Hal ini dapat dilakukan karena LAD mempunyai stuktur internal yang dapat menjabarkan stuktur yang sama dalam semua bahasa, dan yang juga ada dalam data bahasa yang masuk tadi. Dengan lain perkataan: system LAD tadi mempunyai sifat-sifat yang diperlukan untuk dapat mengadakan penjabaran atau ekstraksi.
Tata bahasa yang generatif transformasional di sini memegang peranan yang penting. Dia menghubungkan apa yang didengar (struktur permukaan, misalnya besok pagi hari libur ibu memanggil adik banyak mobil dijalan) dengan apa yang dimaksudkan (struktur dalam). Tata bahasa ini mengadakan spesifikasi bagaimana arti yang ada di belakangnya dapat diubah menjadi suatu kalimat.
Di sini dapat dijabarkan tiga jenis tujuan penelitian sebagai berikut:
1. Menyelidiki skema bawaan yang menggambarkan suatu golongan bahasa potensial.
2. Menentukan perujudan yang sesungguhnya dari pada interaksi antara stimulasi dan organisme yang dapat membuat bekerjanya mekanisme bawaan tersebut.
3. Menentukan seberapa jauh hipotesis mengenai struktur bicara dan bahasa yang terkandung dalam tata bahasa generative, mempunyai persamaan dengan data yang ada dalam kalimat hingga aturannya dapat dimengerti dari bahasa tadi.
Tugas ini sukar terutama karena : “ … the learner must select the hypothesis regarding the language to which he is exposed that reject a good part of the data on which his hypothesis much rest” (Chomsky dalam Dale, 1972, h. 79).
Penelitian neurofisiologis menunjukkan bahwa pelajar bicara dan perkembangan struktur neural yang spesifik yang berhubungan dengan bahasa mempunyai lokalisasi terutama dalam hemisfeer otak bagian kiri dan keduanya berhubungan erat satu sama lain.
Bila ada kerusakan pada struktur ini maka pengaruhnya lebih buruk terhadap kemungkinan belajar bicara bila kerusakan tadi terjadi pada saat yang lebih kemudian dalam perkembangan anak. Bila kerusakan tadi terjadi sangat awal, maka hemisfeer bagian kanan masih dapat menganbil alih fungsi yang dibutuhksn untuk belajar bicara dan belajar bahasa. Hasil penelitian neurologis sama sekali belum bias menerangkan mengenai struktur neural, sifat-sifat model LAD yang dikemukakan Chomsky dan juga belum bias menerangkan mengenai ada atau tidaknya sistem semacam itu.
Jadi menurut Chomsky sistem LAD ini mengatur tentang aturan-aturan sintaktis morfologi pada penguasaan bahasa; mekanisme ini diduga berlaku secara universal. Sesuai pendapat franscescato (1973) dapat diajukan sanggahan disini yaitu bahwa anak belajar bahasa kelilingnya dan mampu untuk beralih bahasa bila juga kelilingnya berubah. Ini berarti bahwa belajar bahasa tadi ditentukan oleh keliling. Pernyataan kedua sebagai sanggahan terhadap pendapat Chomsky adalah: bagaimana kerja mekanisme LAD pada anak yang berbahasa dua (bandingkan Francescato, h. 113 dan 114). Maka dapat dikatakan bahwa program penguasaan bahasa atau LAD yang dikemukakan Chomsky tidak bias dibuktikan secara empiris.
3.4.4 Pandangan yang empiris dan yang mendasarkan diri pada teori belajar
Pandangan ini bertitik tolak pada pendapat bahwa anak di lahirkan tidak membawa kemampuan apa-apa. Ia masih harus banyak belajar, juga belajar berbahasa yang dilakukan anak melalui imitasi, belajar model dan belajar dengan reinforsemen. Skinner (1972) memakai teori stimulus respons dalam menerangkan perkembangan bahasa, sedangkan bandura (1969) mencoba menerangkan dari sudut pandangan teori belajar sosial. Dia berpendapat bahwa anak belajar bahasa karena menirukan suatu model. Tingkah laku imitasi ini tidak mesti harus menerima reinforsemen, sebab belajar model dalam prinsipnya lepas dari reinforsemen dari luar. Meskipun pendapat ini dapat menerangkan banyak, namun belum dapat menerangkan mengapa anak pada satu saat membuat kalimat-kalimat baru yang belum penah dibuat sebelumnya dan mengapa ia membuat suara-suara baru dalam awal perkembangan bahasa yang tidak dipelajarinya melalui imitasi dari luar.
Memang teori belajar dapat memberikan pengertian mengenai peranan interaksi. Antara misalnya ibu dengan anaknya yang sedang belajar bahasa. Dari penelitian Brown, Cazden dan Bellugi (1969) didapatkan bahwa para ibu mempunyai kecendrungan untuk menerima kalimat yang salah menurut tata bahasa, asal isinya benar, artinya bila anak dapat menyatakan dengan baik apa yang ingin dikatakan nya. Sebaliknya para ibu tidak mau menerima kalimat yang sebetulnya betul menurut tata bahasa tetapi tidak betul isinya: saya minum susu atau saya makan susu. Yang terakhir disalahkan meskipun menurut tata bahasa betul.
Selanjutnya dapat nampak bahwa interaksi bahasa antara ibu dan anak banyak menentukan apakah anak dapat meluaskan kompetisi bahasanya atau tetap tinggal pada kompetensi yang relatif sederhana. Cara memberikan keterangan pada anak bila anak tadi menanyakan sesuatu sangat mempengaruhi perkembangan bahasa anak itu. Bila misalnya ibu dan anak berjalan-jalan dimuka masjid lalu anak menanyakan gedung apa itu, maka jawaban ibu dapat : “ itu rumah yang besar , kau lihat bukan” atau ”itu masjid tempat orang-orang berdo’a pada tuhan. Pada hari jum’at banyak orang datang disitu untuk sembahyang”. Dalam kedua hal anak menerima informasi, tetapi dalam keterangan yang terakhir, anak mendapatkan informasi sebegitu rupa hingga ia dapat menanyakan lebih lanjut : “ Apa itu tuhan, apa itu sembahyang”.
Satu hal lagi yang penting adalah bahwa anak belajar untuk meluaskan kalimat. Bila misalnya anak mengatakan “ saya punya jeruk” maka ibu dapat menjawab “o ya, kamu senang sekali makan jeruk bukan”. Hal ini nampaknya berpengaruh positif terhadap perluasan pemakaian bahasa.
Menurut Dale (1972) maka model yang pasif tidak memberikan keterangan bagaimana terjadinya perkembangan sintaktis itu. Dari itu makin lama diperhatikan mengenai aktivitas dan kreativitas pada perkembangan bahasa. Plaget dengan teori interaksinya menitik beratkan akan aktivitas anak, akan sikap manipulasinya dengan benda-benda. Anak bertingkah aktif dengan keliling atas dasar struktur pengertian yang sudah ada. Bergaul aktif dengan keliling ini selanjutnya memberikan pandangan baru, struktur pengertian baru lagi. Struktur pengertian ini diduga juga sangat penting dalam belajar bahasa. Ruth Weir (1962) menemukan sebagai hasil observasi terhadap anaknya bahwa anak tadi sebelum tidur masih bermain-main sebentar dan dalam waktu itu mengucapkan macam-macam kata. Misalnya “ poppi”, poppi maem”, “ndak mau maem”,ini susi”. Observasi semacam itu juga dilakukan Preyer (1983) terhadap anaknya; Scupin melihat juga hal-hal serupa pada anaknya Bubi. Jadi anak makin lama makin dapat menciptakan struktur verbal baru karena iteraksi dengan berbagai objek, karena apa yang dilihat dan dilakukan, dicobanya untuk dinyatakan dengan kata-kata.
3.4.5 Permulaan bicara : meraban (mengoceh)
Suara petama yang dilalukan anak adalah jerit tangis pada waktu dilahirkan. Tangis pertama ini berguna untuk memungkinkan anak dapat bernafas, karena mulai saat itu anak harus bernafas sendiri.
Suara-suara yang dikeluarkan anak dapat dibedakan antara suara tangis dan ocehan. Tangis menunjukkan keadaan tak senang sedangkan ocehan menunjukkan rasa senang dan kepuasan. Tangis merupakan “ appel” dan ekspresi ( dua fungsi bahasa menurut Buhler). Tangis bukan suatu gejala yang berdiri sendiri. Melainkan suatu tingkah laku refleks terhadap sesuatu karena pada satu pihak menunjukkan keadaan tidak nyaman, tetapi sekaligus juga menginginkan reaksi keliling.
Van Ginneken (1917) dalam bukunya “Roman van een kleuter” menceritakan mengenai Keesje yaitu bahwa suara-suara pertama yang dikeluarkan adalah huruf-huruf hidup atau huruf-huruf vocal. Menurut Van Ginneken maka tangis terletak pada dasr vokalisasi, ketawa pada dasar artikulasi. Gregoire (1937) mengemukakan dalam “L’apprentissage du langage” bahwa suara-suara pertama yang dikeluarkan anak adalah a,e,i,o,u. Alat fonetiknya menurut Gregoire masih sangat rudimenter. Baik Van Ginneken maupun Gregoire berpendapat bahwa bahasa mempunyai dasar fisiologis. Menurut Buhler huruf-huruf mati atau konsonan-konsonan pertama yang diucapkan adalah b, p, n, k, g, r. sering pula kita dengar bahwa anak dalam meraban mencoba-coba mengucapkan macam-macam rrr.
Suara-suara pertama yang oleh Van Ginneken dan Gregoire dianggap mempunyai dasar fisiologis-biologis tadi merupakan proses emosional, sebab rasa nyaman dan tidak nyaman tadi memang ditentukan oleh faktor-faktor fisiologis, namun mempunyai arti emosional juga. Atas dasar itulah mengeluarkan suara-suara. Meraban umumnya dilihat sebagai permulaan perkembangan bahasa yang sesungguhnya. Meraban dimulai sekitar umur 3 bulan. Buhler menyebutnya sebagai monolog ocehan. Tingkah laku ini berlangsung sampai umur 9 atau 12 bulan. Sementara anak sudah dapat mengucapkan kata-kata petama mulai dari usia 9 bulan. Maka mulailah stadium kalimat satu kata.
Meraban atau mengoceh mempunyai variasi yang lebih banyak dari pada menangis. Dengan ocehan dapat dinyatakan perasaan-perasaan positif; juga terdengar variasi banyak dalam suara-suara yang dikeluarkan. Mulai bulan ke 6 maka ocehan mempunyai fungsi komunikatif. Anak tidak sekedar mengoceh begitu saja, melainkan sekarang sudah jelas merupakan reaksi terhadap orang lain yang mencari kontak verbal dengan anak tersebut.
Kapan ocehan tadi mempunyai sifat yang komunikatif masih terdapat perbedaan faham diantara para penulis. Gesel (1954) menganggap hal tersebut terjadi pada usia 4 bulan. Penulis lain menemukan bahwa anak berhenti sebentar dengan meraban pada usia sekitar 5 bulan; kemudian mulai lagi sesudah selang beberapa waktu. Mulai saat inilah ocehan dianggap mempunyai nilai yang komunikatif. Sering masih terdapat perbedaan dalam menentukan usianya. Ada yang menentukan anak berhenti sebentar pada usia 6 bulan. Ada yang mengatakan sekitar 8 atau 9 bulan. Persamaan yang ada diantara pendapat-pendapat tersebut adalah bahwa ada waktu istirahat selama kurang lebih 4 minggu. Sesudah waktu istirahat ini mulailah waktu ocehan lagi yang mempunyai sifat komunikatif. Pada saat ocehan tadi mengandung sifat komunikatif, meskipun dalam taraf yang begitu permulaan. Maka ocehan tersebut mengandung suatu nilai pelukisan yang oleh Buhler disebut dengan “ Darstellungswert”. Jadi dalam stadium ini telah diketemukan tiga unsur atau fungsi bahasa yang dikemukakan oleh Karl Buhler.
Meskipun pada penyebaran dari bulan ke 8 sampai bulan ke 14 (Gesell pada usia 10 bulan dan Shirly pada usia 14 bulan) namun pada umumnya. Ada persamaan pendapat bahwa anak pada usia sekitar 10 bulan betul-betul dapat menirukan kata-kata. Yaitu anak mencoba untuk menirukan apa yang didengarnya. Van Genneken juga mengemukakan bahwa anak mulai menirukan kata-kata sekitar akhir tahun pertama yang disebutnya “echo-lalie”. Meskipun mungkin belum merupakan peniruan yang betul-betul namun sudah mengandung unsur-unsur peniruan yang cukup banyak.
Sekitar tahun pertama anak mengucapkan kata-kata yang pertama, kebanyakan kata “mama”:”mama” lebih dulu dapat diucapkan dari pada “papa”.
3.4.6 Kalimat satu kata dan kalimat dua kata
Satu kata yang diucapkan oleh anak harus dianggap sebagai satu kalimat penuh. Missalnya kalau anak mengatakan “kursi” maka hal itu dapat berarti : saya mau duduk dikursi, atau : mama harus duduk dikursi, atau saya minta kursi untuk naik diatasnya untuk mengambil itu. Itulah sebabnya mengapa ucapan satu kata anak ini dipandang sebagai kalimat satu kata. Kata-kata pertama anak tidak bisa dipandang sebagai penyebutan objek yang murni, mereka mempunyai isi psikologis yang bersifat intelektual, emosional dan sekaligus volisional, yaitu anak menunjukkan mau atau tidak mau akan hal sesuatu.
Telah dikemukakan dimuka bahwa pada ocehan anak kecil sudah ada foneem-foneem dalam bentuk bunyi-bunyi tertentu. Mulai kurang lebih 6 bulan maka foneem-foneem ini digabung menjadi kombinasi suara yang kompleks. Kombinasi suara ini terutama dilakukan dengan bibir dan ujung lidah. Kata-kata pertama adalah terutama kata-kata ocehan atau huruf-huruf yang diulang, misalnya ma-ma, ba-ba, da-da.
Diantara bulan ke 18 dan ke 20 (dengan kemumgkinan penyimpangan yang banyak) datinglah kalimat dua kata yang pertama. Anak mempunyai kemungkinan yang lebih banyak untuk menyatakan maksudnya dan untuk menagadakan komunikasi.
Dalam kelompok yang pertama termasuk kata-kata yang sering dipakai oleh anak, sedangkan kata-kata dari kelompok kedua tidak sering dipakai oleh anak, sedangkan kata-kata dari kelompok kedua tidak sering dipakai oleh anak. Seringkali kata-kata pivot juga mempunyai tempat yang tetap dalam kalimat dua kata. Jumlah kata-kata yang termasuk kelompok pivot tidak banyak sedangkan kelompok terbuka selalu ditambah dengan kata-kata baru.
Contoh :
Pivot terbuka
gi (pergi)
gi (pergi)
gi (pergi) Susu
Mama
oto
Yang perlu diperhatikan disini ialah bahwa kata pivot yang sama dapat berbeda-beda artinya dalam kombinasi dengan kata terbuka yang berlainan (Bloom, 1970).
“Gi susu” dapat berarti bahwa anak tidak mau minum susu lagi, kan “ Go oto” berarti otonya baru saja pergi.
Jadi yang penting disini adalah intensitas semantiknya, yaitu arti dari pada apa yang dimaksudkan. Hal ini berarti bahwa anak dalam kalimat dua kata sudah mampu untuk menyatakan berbagai maksudnya meskipun dengan alat sintaktis yang masih terbatas. Anak sudah dapat menyatakan bentuk hubungan yang bermacam-macam.
3.4.7 Kalimat tiga kata
Dari kalimat dua kata berkembanglah lambat laun kalimat tiga kata yang dalam arti struktural mula-mula masih mirip dengan kalimat dua -kata. Perubahan ini terjadi kurang lebih antara bulan ke 24 dan bulan k 30. Meskipun mula-mula masih mirip dengan bentuk kalimat dua-kata secara truktural, namun segera terjadi suatu differensiasi dalam kelompok kata-kata dimasukkan dalam klasifikasi baru. Dengan lain perkataan anak mengatur kembali kata-kata dalam bahasanya.
Mengenai proses pengaturan baru kata-kata ini belum dapat diperoleh hasil-hasil penelitian secara meluas mengenai waktu timbulnya kalimat-satu-kata. Dua- kata dan tiga-kata dan juga mengenai apa yang dikatakan oleh anak. Tetapi arti yang langsung mengenai pengaturan baru dalam kata-kata ini dan kata-kata apa yang mendapatkan tempat baru,belum banyak dapat diketahui.
Struktur sintaksis bahasa anak sekarang mendapatkan arti yang lebih besar, yaitu rangkaian kata-kata dalam kalimat serta merubahnya kata-kata. Bagi anak yang berbahasa inggris, urutan kata-kata yang lebih penting, sedangkan bagi anak yang berbahasa Rusia lebih penting berubahnya kata-kata, karena urutan kata-kata dalam bahasa rusia lebih penting berubahnya kata-kata, karena urutan kata-kata dalam bahasa rusia lebih luwes.
Meskipun dalam bahasa yang berbeda-beda ada banyak perbedaan dalam meletakkan titik berat mana yang penting, rangkaian kata-kata atau berubahnya kata-kata, dalam kenyataannya maka anak belajar dan juga menggunakan urutan kata-kata yang relatif konstan. Hal ini mungkin dapat diterangkan dari sikap orang di seliling anak yang pertama-tama mencoba untuk memudahkan struktur bahasa bagi anak. Dengan begitu anak terdorong untuk selalu memakai urutan kata-kata yang sama. Tetapi meskipun begitu tidak merupakan pedoman umum bahwa anak terutama akan menitikberatkan pada urutan kata-katanya. Dale (1972) menemukan bahwa ada anak yang memakai urutan kata-kata yang sangat bebas, tetapi disamping itu juga belum menggunakan perubahan kata-kata.
Pada umumnya dapat dikemukakan bahwa dalam belajar bahasa anak memperhatikan kedudukan kata dalam kalimat serta penerapan aturan tata bahasanya. Tetapi disamping itu perlu pula diingat bahwa kreativitas anak juga memegang peranan penting dalam konstruksi kalimat-kalimat. Hal ini tidak diketemukan dalam bahasa orang dewasa. Kreativitas dalam bahasa anak ini mungkin dapat diterangkan dengan adanya beberapa proses seperti dikemukakan oleh Piaget, yaitu proses asimilasi dan akomodasi. Misalnya anak selalu mencoba untuk mengubah pengertiannya sendiri guna memberikan dimensi baru pada realitas.
Dibawah ini dikemukakan gambar tinjauan umum mengenai perkembangan kekayaan bahasa anak selama 7 tahun yang pertama.
Gambar 22. Kekayaan bahasa rata-rata pada berbagai tingkat usia. Gambar ini diambil berdasarkan hasil penelitian terhadap 10 kelompok anak di Amerika ( Developmental Psychology Today, 1971, h. 173).
Menurut Schaerlaekens (1977) maka periode kalimat satu kata disebut pra-lingual, kemudian dating periode lingual-awal dar5i 1 sampai kurang lebih 2 ½ tahun datanglah periode diferensiasi: periode kalimat tiga kata dengan bertambahnya diferensiasi pada yang pertama ini sangat penting dan sangat berguna bagi siapa yang ingin memperdalam dalam perkembangan bahasa.
Penelitian yang dilakukan oleh Mar,at di Kotamadya Bandung terhadap 30 anak balita mengenai perkembangan bahasa menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia juga mengikuti tingkatan perkembangan bahasa seperti tersebut di atas, yaitu pada periode pra-lingual lingual-awal menjadi kalimat dua-kata. Pada periode diferensiasi terbentuk kalimat tiga-kata (S. Mar,at, 1973).
Schaerlaekens menciptakan istilah baru yaitu “psikolinguistik perkembangan”. Sayangnya tidak dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan perkembangan. Dapat diduga bahwa perkembangan dapat dipandang sebagai proses pemasakan berhubung pernyataan-pernyataan seperti: “Penguasaan bahan pertama sukar dipelajari sebagai sesuatu hal yang lepas dari perkembangan kognitif anak, dari perkembangan motoriknya, dari pemasakan emosional dan sosialnya dan dari seluruh dunia penghayatannya”. Dan kemudian “jadi perkembangan bahasa serta perkembangan emosional dan sosial mempunyai hubungan yang sangat erat dan saling mempengaruhi satu sama lain” (h.6). timbullah dua pertanyaan : dimana letak perbedaan antara psikologi perkembangan dan psikolinguistik perkembangan dalam pendapat yang begitu luas seperti itu? Apakah bahasa itu juga begitu mutlak untuk perkembangan keperibadian yang normal bila mengingat penelitian-penelitian Furth pada orang-orang tuli yang begitu menyakinkan? (Furth, 1966; Furth & Wachs, 1974).
Dalam disertasinya Van Geert (1975) telah menganalisis hamper dua ribu keadaan bahasa hasil observasi longitudinal berdasarkan teori perkembangan bahasa yang kognitif. Menurut Van Geert maka studi mengenai perkembangan bahasa harus bertitik tolak dri relasi antara dua yang dipersepsi dengan bahasa. Satu-satunya kenyataan yang dihayati baik oleh anak maupun orang deawasa adalah dunia yang dapat dipersepsi oleh keduanya.
Perlu ditambahkan disini bahwa karena kematian P.J.A calon yang mendadak pada tahun1973 banyak data monografi mengenai perkembangan bahasa tidak selesai dikerjakan.
3.4.8 Penelitian mengenai kecakapan berbahasa
Lepas dari penelitian-penelitian lama yang dilakukan oleh Stern, Buhier dan lain-lain yang berujud observasi mengenai bahasa anak, sekarang terdapat alat-alat baru untuk menyelidiki kecakapan bahasa pada anak. Misalnya sekarang ada kemungkinan untuk menyelidikiseberapa jauh anak mapu untuk menirukan bahasa orang dewasa. Di sini harus di bedakan adanya dua macam peniruan:
1. Peniruan spontan bahasa orang lain, biasanya bahasa orang tua;
2. Peniruan yang dilakukan anak sesudah anak menerima tugas untuk melakukan itu.
Bila anak menirukan secara spontan maka kalimat yang ditirukan itu diulang kembali dengan tata bahasa anak sendiri. Imitasi spontan hamper tidak berbeda dengan penggunaan bahasa oleh anak secara bebas. Dari itu dapat diadakan pengukuran batas-batas kecakapan aanak untuk memproduksi kata-kata. Dengan menyuruh anak untuk memproduksi kata-kata dapat diketahui sejauh mana anak mengerti bahasa. Suatu tekhik untuk mengukur ini dikembangkan oleh Fraser, Bluggi dan Brown (lihat Dale, 1972) yaitu ICP (Imitation Comprehension Production test). Prosedurnya adalah sebagai berikut: anak dihadapkan dengan dua macam bentuk tata bahasa yang bertentangan, misalnya bentuk kalimat aktif dan pasif. Yang satu: “anak makan sate” dan yang lain “satetelah habis dimakan anak”. Sesudah itu anak di tunjukkan gambar-gambar yang sesuai dengan dua macam bentuk kalimat tersebut, misalnya gambar anak duduk sedang makan sate dan yang satu anak duduk dibelakang meja dan diats meja ada piring bekas tempat sate dengan tusuk-tusuk sate. Anak harus menunjukkan gambar yang cocok dengan kalimat yang diucapkan peneliti. Kecakapan anak untuk menunjuk gambar yang tepat memperlihatkan sampai dimana pengertian anak akan kalimat-kalimat tersebut (Comperhension). Pada akhir tes anak sendiri harus membuat kalimat-kalimat pada gambar-gambar yang telah dikenal itu (produktion).
Hasil umum mengenai tes semacam itu adalah bahwa anak lebih pandai untuk mengadakan imitasi daripada mengerti kalimat dan bahwa kecakapan untuk mengerti lebih tinggi daripada kecakapan untuk memproduksi kalimat-kalimat sendiri.
Perlu dikemukakan disini bahwa tes semacam itu hanya mengukap hal-hal yang kontras dalam tata bahasa yang juga masih diperjelas oleh gambar-gambar. Disini dapat pula dikacau anatara pengetahuan bahasa dan kopetensi (kemampuan) bahasa. Penelitian menegai bahasa yang sekarang, hampir tidak atau tidak dapat menjawab pertanyaan mengenai pengetahuan bahasa anak.
Penelitian bahasa pada umumnya dibedakan antara :
a. Perkembangan fonologis – atau penguasaan sistemsuara/bunyi.
b. Perkembangan morfologis – atau penguasaan pembentukan kata-kata.
c. Perkembangan sintaksis – atau penguasaan tat bahasa.
d. Perkembangan leksikal – penguasaan dan perluasan kekayaan kata-kata serta pengetahuan mengenai arti kata-kata.
e. Perkembangan semantic – atau pengusaan arti bahasa.
bahasa anak tidak dapat memberikan pengertian akan perkembangan semantisnya. Hal ini mempunyai beberapa macam alasan:
1. Bila kita mengetahui sebuah kata baru dalam bahasa anak. Hal ini tidak memberikan pengertian apa-apa mengenai arti kata itu bagi anak.
2. Kekayaan kata-kata hanya merupakan satu daftar kata-kata saja karena baru relasinya antara arti kata-kata itu menentukan arti kalimatnya.
3. Penelitian mengenai kekayaan kata-kata mengenai proses yang dapat merubah arti kata-kata menjadi arti kalimat.
Hambatan yang paling besar dalam penelitian mengenai perkembangan semantic terletak pada kenyataan bahwa kompetensi sematis bahasa orang dewasa sampai sekarang hamper tidak dimengerti, hingga belum ada titik referensi yang betul-betul untuk meneliti perkembangan semantic. Sekarang ada dua teori yang agak maju dalam hubungan dengan penelitiansemantis, yaitu teori relasi (referential theory) dan teori tingkah laku (behavioral theory).
1. The referential theory simple states that the meaning of a word is tis referent. In other words, words are symbols that stand for something other than themselves, something in the world, namely their referents (Dale, 1972, h. 132). Teori relasi ini hamper tidak bisa menerangkan bagaimana seorang pelajar kata-kata dan arti kata-kata itu. Kata-kata tidak tentu mempunyai arti yang sama, meskipun ada dalam relasi yang sama. “Yogyakarta” dan “Universitas” misalnya dapat selalu ada dalam relasi yang berlain-linan. Juga pada banyak kata-kata lain, seperti: “tetapi”, “karena”, “pada”, sama sekali tidak jelas bentuk relasinya. Disamping itu bentuk relasi atau maksud yang ada dalam suatu kata tertentu juga dapat diinterpretasi macam-macam oleh orang yang berlain-lainan.
2. Teori tingkah laku berpendapat bahwa arti suatu kata itu ditentukan atau tergantung daripada reaksi orang yang mendengar kata tersebut. Seringkali juga situasinya pada waktu mengatakan itu termasuk dalam cara menerangkan teori tingkah laku. Teori ini tidak hanya digunakan untuk menerangkan sesuatu kata saja , melainkan juga untuk menerangkan keseluruhan kalimatnya. Teori tingkah laku ini sering mendapatkan kritik karena kata-kata dan kalimat-kalimat sering tidak menimbulkan reaksi apa-apa. Terhadap kritik ini teori tadi mengatakan bahwa arti suatu kalimat itu justru bukan reaksi yang hanya nyata tersebut, melainkan kecenderungannya untuk melakukan reaksi yang ditimbulkan oleh kata tersebut. Jadi bukan reaksinya yang nyata itu yang penting, melainkan apa yang ditimbulkan oleh ucapan itu.
Teori tingkah laku dan teori relasi memungkinkan untuk menghubungkan keterangan mengenai atrti kata-kata dan kalmia-kalimat dengan teori-teori psilkologi yang klasik, misalnya karena mempelajari arti kata-kata disisni ingin diterangkan melalui model kondisioning klasik.
Dalam diskusi mengenai arti, yaitu isi semantic kata-kata, maka Bolinger (1968) mengusulkan untuk memandang arti sebagai suatu sistem yang dapat mengatur dan menstruktur kenyataan. Dengan perkataan lain arti kata-kata dapat membantu untuk mengatur dunia secara semantic. Apa yang diartikan “kenyataan” atau “dunia” disini adalah semua yang dapat menjadi objek pembicaraan. Cara menstruktur kenyataan oleh arti tadi merupakan hal yang sangat disengaja dan sangat terikat dengan bahasa individual.
Dalam huungan ini misalnya Wener orang barat ingin menemukan bahwa dalam bahasa bangsa Lap mempunyai lebih banyak kemungkinan bahasa untuk mengadakan differensiasi. Bahasa Belanda juga mempunyai beberapa nama untuk menyebutkan hujan yang berbeda-beda dan bahasa Inggris mempunyai berbagai nama untuk kabut. Menurut Werner orang barat ingin menemukan interpretasi kausal melalui bahasa. Yang dicari adalah hal yang umum dan hukum-hukumnya. Bangsa yang sederhana ingin menirukan kenyataan. Mereka lebih menginginkan yang spesifik daripada yang umum.
Kenyataan kata-kata menganalisa kenyataan dengan cara yang sangat spesifik. Hal ini membuthkan observasi yang sangat cermat untuk mengetahui dalma konteks linguistic apa, atau konteks bukan linguistic apa seseorang memakai kata-katanya itu dan bagaimana pengharapannya orang lain mengerti kata-katanya.
Sebagaian besar informasi mengenai perkembangan semantic didapatkan tidak dengan eksperimen-eksperimen yang dikontrol, melainkan dating dari observasi-observasi pada psikolog dan para ahli linguistic mengenai anak-anak mereka sendiri. Bahkan baru kata pertama saja yang diucapkan anak, kebanyakan papa atau mama, menunjukkan dengan jelas perbedaan arti bagi anak atau orang dewasa. Kalau kata papa bagi anak menunjukkan person yang ada, maka kata mama digunakan untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya atau untuk memanggil orang tuanya yang tidak ada (tidak nampak).
Juga dalam perkembangan bahasa yang kemudian terdapat perbedaan yang besar dalam arti kata-kata pada hakekatnya. Merupan maslah informasi pengertian. Dalam hubungan ini ada dua macam kesalahan yaitu: anak menggunakan kata-kata pada kaadaan yang tidak tepat, atau ia tidak mampu untuk menggukan kata tertentu pada suatu situasi yang sama.
3.4.10 Mulai Kri Buhler sampai sekarang
Sudah diketahui dimuka bahwa Kari Buhler dalam teori bahasanya memandang semantikmsebagai inti bahasa. Bahasa bukan suatu gejala yang terasing, bahasa merupakan suatu dwitunggal. Arti yang ada dalam suatu kata tergantung daripada konteksnya. Perkembangan bahasa tak dapat dilepaskan dari konteks sosial dan perkembangan kognitifnya.
Dalam stadium sensori-motorik anak juga sudah mempunyai pengertian akan objek-objek. Meskipun belum dapat bicara, tetapi ia sudah dapat mengadakan manipulasi, ia sudah mempunyai gambaran kenyataan dalam dirinya. Perkembangan kognitif mempunyai hubungan yang erat dengan perkembangan bahasa. Akar perkembangan bahasa ada pada stadium sensori motorik, yaitu pada usia 18 bulan pertama. Juga di sini terdapat persesuaian antara K. Bohler dan Piaget. Buhler mengemukakan mengenai kenikmatan berfungsi (Funktion lust) pada anak, yaitu kecendrungan untuk senantiasa mengulang suatu perbuatan atau tingkah laku. Seorang anak yang baru belajar membuka pintu atau kotak, akan dengan senang mengulang-ulang perbuatan itu kembali. Kenikmatan ini berfungsi ini yang mempunyai dasar pengulangan, mempunyai persamaan dengan apa yang disebut Piaget reaksi-reaksi sirkuler.
Menurut Piaget maka dalam stadium sensori motorik akan terlihat pada anak reaksi sirkuler yang primer, sekunder dan tersier. Reaki-reaksi tadi dinamakan sirkuler karena tingkah laku tadi mengandung pengulangannya sendiri. Reaksi sirkuler yang primer (1-4 bulan) tertuju pada badan sendiri (anak bermain-main dengan jari-jarinya dan menemukan bahwa ia dapat membuka kotak atau tas yang diulang-ulang terus). Reaksi sirkuler yang tercier (mulai + kurang 11-18 bulan) berhubung denga tingkah laku mencari dan menemukan secara aktif dan terarah; dalam pengalaman baru dan pengulangan, melainkan suatu dorongan untuk mengeksplorasi dan memanipulasi objek-objek baru dalam lingkungan. Karena di sini pengulangan merupakan aspek yang pokok, maka reaksi sirkuler dan kenikmatan berfungsi mempunyai banyak persamaan (lihat Tabel 6, hal. 213-214).
Suatu hal yang penting yaitu bahwa Buhler menandaskan bahwa semantic selalu tertanam dalam sistem sosial. Hal ini sekarang merupakan objek permasalahan para ahli sosio-linguistik. Para ahli sosio-longuistik beranggapan bahwa setiap bahasa mempunyai suatu konteks sosial dan tidak dapat diteliti lepas daripada konteks sosial (bandingkan Labov, 1970).
3.5 Anak dalam keluarga
Pada waktu sekarang maka hubungan keluarga merupakan suatu gejala yang normal; suatu keluarga dengan dua orang tua dan anak (anak). Dalam masyarakat Indonesia masih ada kemungkinan jumlah keluarga ditambah dengan nenek, adik, atau bibi, paman atau keponakan-keponakan menurut situasinya, namun inti keluarga tetap terdiri daripada orang tua dan anak. Gejala semacam ini yaitu gejala adanya kelompok dengan ikatan yang erat ini, yang disebut kelompok primer, tidak merupakan hal yang sejak dulu sudah ada. Di muka telah dikemukakan bahwa sebelum abad ke 17 , anak dipandang sebagai orang dewasa dalam bentuk kecil. Akibatnya ialah bahwa anak dalam banyak hal diperlakukan seperti orang dewasa. Anak ikut aktif dalam kehidupan orang dewasa. Lugo dan Hershey (1974), h. 25) menunjukkan bahwa bagi anak merupakan suatu hal yang semestinya bahwa mereka ikut dalam tanggung jawab sehari-hari orang dewasa. Merupakan hal yang biasa bahwa anak ikut dalam aktivitas-aktivitas dagang, kehidupan sosial dan dan kerajinan. Anak betul-betul merupakan orang dewasa dalam bentuk kecil. Karean anak terlalu awal dan terlalu intensif ikut dalam kehidupan sosial, kehidupan dagang maupun mencari nafkah hidup, maka hampir tidak ada waktu untuk membuat hubungan seperti yang dikenal sekarang.
Aries (1962) mengemukakan suatu tinjauan historis mengenai relasi antara anak-anak dan keluarga yang lebih berhubungan dengan lingkungan sosial yang lebih “rendah”. Relasi tersebut disbanding dengan keadaan sekarang dapat dipandang sebagai birikut:
Abad ke 17: anak dipercayakan pada orang lain, mereka dimasukkan ke asrama-asrama yang biasanya mempunyai sekolah-sekolahnya sendiri.
Sekarang anak mempunyai kedudukan yang penting dalam keluarga dan pergi belajar kesekolah biasa.
Abad ke 18: anak laki-laki tertua sangat dinomor satukan. Dia merupan jaminanwarisan keluarga.
Sekarang semua anak mempunyai hak yang sama mereka semua mendapatkan kasih saying dan berhak mendapatkan pendidikan yang sama.
Belum lama juga anak laki-laki, terutama yang tertua , paling tidak di jawa juga memperoleh prioritas pendidikan yang lebih dari pada saudara-saudara wanitanya. Hal ini disebabkan oleh pendapat bahwa laki-lakilah yang harus mencari nafkah, sedangkan wanita sesudah kawin akan ikut suami.
Pepatah jawa : “ anak lanang mikir dhuwur, mendmem jero” ( anak laki-laki akan mengusung tinggi dan menanam dalam) serta “ wanita suwarga nunut, neraka katut” ( kesurga ikut , keneraka terikut) merupakan ucapan- ucapan yang terkenal dalam masyarakat jawa yang juga untuk sebagai ikut mengambil peranan sebagai pendorong emansipasi wanita. Pepatah-pepatah tersebut, terutama yank kedua, sekarang sering diucapkan senda gurau saja.
Abad ke 18: kehidupan keluarga serta aktivitas-aktivitasnya dipusatkan pada kehidupan bersama dalam masyarakat.
Sekarang dimasyarakat eropa terutama kepentingan keluarga yang paling menonjol. Titik berat diletakkan pada kesejahteraan anak. Di Indonesia meskipun kepentingan anak sebagai individu dipentingkan tetapi juga kegunaan mereka dalam membangun masyarakat diperhatikan.
Abad ke 18 dan ke 19 : pendidikan formal bagi anak wanita sangat langka.
Sekarang pendidikan formal bagi anak wanita merupakan suatu hal yang biasa dan umum, meskipun masih ada sedikit keterbelakangan terhadap anak laki-laki, tetapi hal itu segara dapat dikejar lagi.
Apa yang dikemukakan diatas merupakan suatu gambaran tipologis mengenai kehidupan keluarga. Sudah barang tentu ada bentuk-bentuk kehidupan yang lain sesuai dengan sifat kultur yang ada. Tetapi apa yang dapat dilihat dengan jelas yaitu adanya pergeseran total dalam pandangan terhadap anak. Dahulu anak merupakan orang dewasa dalam banyak hal; sekarang kehidupan anak dilihat sebagai suatu fase tersendiri, suatu fase hidup yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya. Kekhususan ini tentu juga membawa masalah-masalahnya sendiri. Masalah-masalah yang menyebabkan timbulnya “generation gap” dan pandangan bahwa anak sebagai orang yang “belum dewasa” belum pantas untuk di “sejajarkan” dengan orang dewasa. Bagaimana juga hal yang penting yang perlu ditandaskan ialah bahwa anak sekarang merupakan bagian dari keluarga yang memberikan pendidikan padanya, memberikan norma-norma padanya,yang memberikan kesempatan pad anak untuk belajar tingkah laku dan motif-motif yang perlu untuk berkembang dan berfungsi baik dalam kehidupan bersama.
Shorter (1975) dalam analisis kultur-historis menunjukkan bahwa fungsi sosialisasai keluarga masih dibutuhkan oleh anak kecil dan anak pada masa sekolah: mulai masa remaja maka sosialisasi makin banyak dilakukan oleh “ peer group” atau teman sebay. Pengaruh peer group ini mungkin lebih nampak pada waktu sekarang dari pada waktu dulu, meskipun hal ini tidak berlaku bagi semua aspek tingkah laku. Hartup (1977) mengemukakan bahwa pada orang tua masih mempunyai lebih banyak pengaruh dalam hal-hal politik dan pekerjaan dari pada teman-teman sebaya (lihat juga Monks, 1981).
Keadaan di Indonesia menunjukkan gambaran yang tidak sama. Pada para orang tua yang berpendidikan misalnya di kota-kota wibawa orang tua dalam mengarahkan anak remaja masih dapat berlaku. Hal semacam itu mungkin tidak dijumpai pada para orang tua yang tidak berpendidikan. Misalnya di desa-desa dapat terjadi apa yang disebut “ transfer of authority” artinya bahwa sekarang justru anak remajalah yang menjadi otoritas orang tua dalam arti merekalah yang memberikan pengertian dan nasehat pada orang tuanya karena mereka sekarang lebih pandai dari pada orng tuanya. Mereka telah memperoleh pendidikan formal yang memungkinkan mereka dapat mengerti keadaan lebih baik, mengerti peraturan-peraturan yang berlaku, dan para orang tua sering kali dengan bangga dan senang menyerahkan dirinya untuk di”bimbing” oleh anak-anak merekayang telah menjadi “pandai” tadi. Hal ini sama sekali tidak berarti bahwa anak (remaja atau dewasa awal) tidak menaruh hormat pada orang tuanya , hanya mereka sekarang ada dalam pihak yang lebih “pandai” dan diharapkan dapat memberikan pengertian pada orang tuanya.
Jelas dapat dilihat dibandung dengan dulu, sekarang pada umumnya anak lebih mempunyai kesempatan untuk mengembangkan sifat-sifatnya dan individualitasnya sendiri. Anak mempunyai hak untuk mewujudkan dirinya. Tetapi keadan yang ada sekarang menimbulkan pertanyaan apakah anak betul-betul dapat berkembang seluas-luasnya. Cara pendidikan yang refresif misalnya, yaitu cara mendidik anak dengan banyak memberikan tugas-tugas dan tuntutan-tuntutan yang dianggap perlu bagi anak (yang belum dewasa) tadi, tidak menguntungkan karena tidak bertitik tolak pada individualitas anak hingga lalu bersifat regresif (menekan).
Bagaimana kita akan meninjau cara pendidikan yang demokratis dan berintegrasi social (Tausch & Tausch, 1967); 1980) yang jelas yaitu bahwa anak sekarang mempunyai lebih banyak kemungkinan untuk mewujudkan dirinya, untuk melalui proses emansipasi, menemukan tempatnya yang sesuai, dengan pengetahuan dan kemampuan-kemampuannya. Bahwa dalam keadaan tersebut masih ada pertentangan-pertentangan ataupun hambatan-hambatan memang tidak dapat sama sekali dihindarkan dari suatu kehidupan bersama yang serba bahagia, serba baik dan serba positif, namun dalam kenyataannya kepentingan individu tidak selalu sesuai dengan kepentingan masyarakat. Berhubung dengan itulah maka disamping memberikan kesempatan bagi berkembangnya individualitas, penting pula untuk mengembangkan sikap dan sifat sosialnya sehingga anak tidak berkembang menjadi orang yang individualitas saja. Perpaduan antara sifat individu dan sifat social dapat menjamin hidup yang bahagia sebagai individu yang hidup dalam kehidupan bersama. Keluarga dengan keterbatasan dan kemungkinannya dapat merupakan tantangan dari kesempatan realisasi bagi anak. Diharapkan bahwa dua hal ini dapat saling mengisi dan bermanfaat bagi perkembangan anak yang optimal.
3.6 Rangkuman
Dalam periode akhir tahun pertama sampai dengan tahun keempat banyak sekali kemajuan yang dicapai anak dalam perkembangan motorik. Social dan kognitif. Bertambahnya kemampuan motorik membuat lingkup gerak anak semakin luas dan dengan demikian menambah luas lingkup hidupnya. Belajar tingkah laku anak bertambah melalui peniruan model keluarga maupun teman sebaya dan memperoleh dimensi-dimensi baru melalui dunia permainan. Begitu juga kemampuan bertambah dalam ambil alih peran, yaitu dapat menempatkan diri dalam perasaan , motif, dan pikiran orang lain. Stimulasi yang senilai dalam hal ini dapat lebih menambah lagi kemampuan tersebut. Di samping permainan, maka bahasa serta ganbaran sebagai bentuk pernyataan dan bentuk komunikasi menduduki tempat yang sentral dalam periode ini. Pada usia empat tahun anak sudah dapat menjadi pasangan yang aktif dan sudah dapat mengerti dan memberikan pengaruh terhadap aturan hidup sehari-hari.
Sedangkan didalam buku psikologi perkembangan, disini di sebutkan bahwa :
• Perkembangan bahasa anak dibedakan atas empat masa yaitu :
Masa pertama
Kata-kata pertama yang diucapkan oleh anak, adalah anak kelanjutan dari meraba. Ini dapat kita lihat dengan jelas, jika kita perhatikan bahwa diantara kata-kata itu terdapat beberapa kata y6ang diucapkan juga oleh anak dari bahasa apapun di dunia ini.misalnya kata- kata yang diucapkan oleh anak terhadap ibu dan ayahnya.
Masa kedua
Pada masa ini dengan kecakapannya berjalan ia makin banyak melihat sesuatu dan ingin mengetahui namanya. Oleh karena itu selalu menanyakan nama benda-benda itu, oleh karena itu masa ini kita sebut dengan masa apa itu.
Pada masa ini, terjadi kesukaran berkata, disebabkan oleh karena perkembangan kemauan dan keinginannya lebih cepat dari pada kekayaan bahasanya, sehingga sebenarnya ia akan bercerita tetapi karena perbendaharaan kata-katanya belum mencukupi, maka ia melengkapinya dengan gerakan-gerakan tangan dan kakinya.
Masa ketiga
Pada masa ini anak telah mulai tampak makin sempurna dalam menyusun kata-katanya. Ia sudah menggunakan awalan dan akhiran, sekalipun belum sempurna seperti yang dikatakan orang dewasa.
Masa keempat (2 ;6- seterusnya)
Pada masa ini keinginan anak untuk mengatahui segala sesuatu mulai bertambah-tambah. Karena itu pertayaan pun mulai berkepanjangan.
Sedangkan didalam buku psikologi perkembangan , perkembangan anak dibagi atas :
1. Perkembangan motorik
Ciri –ciri perkembangan motorik yaitu :
Geraakan-gerakanya tidak disadari, tidak sengaja dan dan tanpaa arah.
Gerakan anak-ank itu tidak khas.
Gerakan-gerakan anak itu dilakukan dengan masal.
Gerakan gerakan anak itu disertai gerakan-gerakan lain, yang sebenarnya tidak diperlukan.
2. Perkembangan bahasa
3. Perkembangan permainan
4. Perkembangan menggambar
Dan dibuku yang kedua psikologi perkembangan dikatakan bahwa fase-fase perkembangan anak dibagi atas:
Dalam hal ini, J. Byl mengetengahkan pendapatnya sebagai berikut :
1. fase orok
2. fase menyusuai
3. fase pencoba
4. fase penentang
5. fase bermain
6. fase anak sekolah
7. fase pueral
8. fase pubertas
didalam buku yang berjudul ilmu jiwa anak dan masa perkembangan, membagi masa 9 tahun ini menjadi stdium sebagai berikut :
Stadium : 1- 8 tahun
Stadium pertama disebut realisme fantastic. Setelah anak selesai dengan sifat serba menentang yang I, ia mulai melepaskan diri dari lingkungan keluarga. Ia mulai mengenal perbedaan dirinya dengan orang lain diantra dirinya dengan benda- benda disekitarnya.
Stadium kedua ( Realisme naif )
Ciri stadium ini ialah keserasian bersekolah yang lebih besar seperti tampak pada murid kelas dua. Ia lebih mudah dan lebih giat mengikuti pelajaran. Dengan sendirinya ia mencurahkan perhatiannya kepada hal-hal yang membutuhkan akalnya.
Stadium ketiga, disebut realisme Refleksif
Pada saat ini anak lebih senang berada dialam bebas daripada disebuah gedung yang dibatasi oleh pagar-pagar. Anak- anak sekitar kelas 4 dan 5 senang sekali berdamawisata atau bermain-main dihalaman sekolah.
Tugas dan pertanyan
1. Permanensi objek merupakan tanda kemajuan yang besar dalam perkembangan anak. Pada usia berapa terjadinya itu dan tanda-tanda apa hal tersebut nampak dalam tingkah laku anak?
2. Uraikan secara singkat mengenai perkembangan psikomotorik anak dan apa yang dimaksudkan dengan “Gestaltwan del”? (Zeller, 1936).
3. Apa yang dimaksudkan dengan egosentrisme dan apakah hal itu hanya dijumpai pada anak kecil ataukah juga diketemukan pada tahap usia yang lain?.
4. Ambil alih peran mempunyai peranan yang penting dalam perkembangan anak antara satu dan empat tahun. Apakah yang disebut ambil alih peran dan dapatkah hal itu distimulasi?
5. Periode pembangkangan pernah dipandang sebagai ha sesuatu yang mutlak harus ada dalam perkembangan anak untuk melatih fungsi kehendak. Hasil penelitian yang lebih kemudian tidak mendukung pandangan tersebut. Jelaskan hasil penelitian Kemmler.
6. Bermain dipandang sebagai aktivitas anak yang wajar. Jelaskan mengenai kegunaan dan bentuk-bentuk permainan.
7. Perkembangan gambaran anak berjalan dari pembuatan coret-coret ke arah gambar-gambar figurative. Ceritakan proses ini.
8. Dalam proses perkembagan bahasa tersebut dua pendekatan: pendekatan nativistis dan teori belajar. Perbedaan apa yang ada antara dua pendekatan itu?
9. Antara tahun pertama dan keempat kekayaan bahasa anak mencapai 1.500 kata. Jelaskan proses pengembangannya.
10. Apa yang dimaksudkan dengan perkembangan semantik?
Bab 4
ANAK PRA-SEKOLAH DAN ANAK SEKOLAH
4.1 Perkembangan jasmani dan psiko-motorik
Sampai dengan Gestaltwandel pertama (Zeller, 1952; Hetzer, 1961) sekitar 6 tahun terlihat bahwa badan anak bagian atas lebih lamban berkembangannya daripada badan bagian bawah. Anggota-anggota badan masih relative pendek, kepalarelatif besar, perutnya makin besar dan ada gigi susu.
Sesudah Gestalwandel pertama bila anak sudah mencapai bentuk anak sekolah maka ia lebih menyerupai bentuk orang dewasa daripada misalnya anak umur 2 tahun. Bertambahnya berat badan sebagian besar merupakan akibat bertambahnya jaringan urat daging. Dalam keseluruhannya maka keadaan anak menjadi lebih stabil dan lebih kuat.
Sebagai akibat bertambahnya diferensiasi dan myelinisasi (myeline= suatu zat seperti lemak dalam sumsum tulang belakang dan urat syaraf) dalam susunan urat syaraf maka kecakapan-kecakapan motorik bertambah banyak. Pada umur 5 tahun keseimbangan badan anak sudah berkembang cukup baik, anak sudah pandai berjalan, dapat naik tangga, meloncat dari tanah dengan kuda kakinya bersama-sama dan sering juga sudah dapat bersepeda.
Sesudah Gestaltwandel pertama, jadi sesudah usia 6 tahun, pertumbuhan badan menjadi agak lambat, daripada waktu-waktu sebelumnya. Sampai umur 12 tahunanak bertambah panjang 5-6 cm tiap tahunnya. Sampai umur 10 tahun dapat di lihat sesudah itumaka wanita lebih unggul dalam panjang badan, tetapi sesudah + kurang 15 tahun anak laki-laki mengejarnya dan tetap unggul daripada anak wanita.
Berat badan anak wanita bertambah lebih banyak daripada panjang badannya. Pada akhir periode ini diketemukan lebih banyak perbedaan individual diantara anak-anak: sekarang Nampak lebih banyak perbedaan fisik yang khas daripada dulu.
Seperti telah diketemukan di muka maka pada permulaan masa sekolah, jadi sekitar 6 tahun, kaki dan tangan menjadi lebih panjang, dada dan panggul makin besar. Dalam hal ini hamper tidak ada perbedaan-perbedaan karena jenis seks. Pada umunya ada relasi yang tetap dalam perkembangan tulang dan jaringan. Dengan terus bertambahnya berat dan kekuatan badan dapat diharapkan bahwa kemapuan seperti lari, meloncat dan melempar akan bertambah dalam masa ini. Dari itu juga dapat nampak anak makin bertambah cepat larinya. Juga mereka makin pandai meloncat dengan bertambah usia. Dalam hal ini sekali lagi ada perbedaan pada masing-masing anak.
Pada umur 6 tahun keseimbangan badannya relative berkembang baik, anak makin dapat menjaga keseimbangan badannya (paling senang berjalan di atas dinding, pagar dan sebagainya). Penguasaan badan seperti membongkok, melakukan macam-macam latihan senam serta aktivitas olah raga berkembang dalam masa anak sekolah. Juga berkembang koordinasi antara mata dan tangan (visio-motorik) yang dibutuhkan untuk membidik, menyepak, melempar dan menagkap.
Kekuatan badan dan kekuatan tangan pada anak laki-laki bertambah dengan pesat antara usia 6 dan 12 tahun. Dalam masa ini juga ada perubahan dalam sifat dan frekuensi motorik kasar dan halus. Ternyata bahwa kecakapan motorik ini makin disesuaikan dengan “kelulusan” lingkungan. Gerakan motoriksekarang makin tergantung daripada aturan formal dan aturan yang telah ditentukandan bersifat kurang spontan. Gerakan yang sangat banyakdilakukan oleh anak makin berkurang pada akhir masa ini.
Ha yang perlu dibicarakan adalah gejala untuk badan yang mempunyai hubungan yang langsung dengan beberapa sifat kepribadian tertentu. Sheldon mempunyai pembagian kedalam 3 macam tipe, yaitu tipe endomorph (pendek dan gemuk), ektomorf (panjang dan kurus) dan mesomorf (urat-urat daging kuat dengan proporsi yang baik). Verdonck (1972) berusaha untuk membenarkan tipologi konstitusi tubuh Sheildon tersebut dengan penelitian yang mendalam terhadap anak-anak yang ada dalam yayasan-yayasan.
Verdonck menemukan adanya hubungan antara tipe konstitusi tubuh tadi dengan tingkah laku tertentu. Ia menunjukkan adanya hubungan sebab akibat langsung antara bentuk tubuh dan tingkah laku tangan. Dia dapat menunjukkan bahwa tipe-tipe tersebut mempunyai pre-disposisi untuk belajar tingkah laku-tingkah laku tertentu. Jadi dapat disimpulkan di sini bahwa suatu tipe tertentu tadi tidak langsung berhubungan dengan suatu tingkah laku, melainkan mempunyai lebih banyak kemungkinan untuk mengembangkan beberapa bentuk tingkah lakutertentu. Hal tersebut dianggap tidak hanya dapat terjadi pada orang dewasa, melainkan sudah memegang peranan penting dalam masa kanak-kanak.
4.2 Emansipasi karena pendidikan formal
Sejak lama criteria bagi anak untuk dapat diterima di sekolah dasar adalah “kemasakan”. Bagi Indonesia criteria umur memegang peranan penting. Anak baru bisa diterima bila ia sudah mencapai umur 7 tahun. Criteria umur ini sebetulnya mencakup criteria lain yang juga berhubungan dengan kemasakan, yaitu:
1. Anak harus dapat kerjasama dalam kelompok dengan anak-anak lain, yaitu anak tidak boleh masih tergantung pada ibunya, melainkan harus dapat menyesuaikan diri dengan kelompok teman-teman sebaya.
2. Anak harusa dapat mengamati secara analitis. Ia harus sudah dapat mengenal bagian-bagian dari keseluruhan dan dapat menyatukan kembali bagian-bagian tersebut. Jadi di sini anak harus sudah mempunyai kemampuan memisah-misahkan (lihat Kern, 1954).
3. Anak secara jasmaniah harus sudah mencapai bentuk anak sekolah. Petunjuk untuk ini adalah kalau sudah dapat memegang telinga kirinya dengan tangan kanan melaui atas kepala, atau anak kidal maka tangan kiri harus dapat mencapai telinga kanan melalui kepala. Inilah yang disebut ukuran Filipino (di Nederland hal ini sampai sekarang masih merupakan ukuran apakah anak sudah “masak sekolah” atau belum).
Kriteria apapun yang akan dipilih namun selalu ada sesuatu yang bersifat “sembarangan”. Kalau dilihat kepandaian saja, sebetulnya sangat mungkin kalau anak-anak umur 3 tahun masuk sekolah asal kriterianya diubah dan didaktiknya disesuaikan. Misalnya teknik membaca sudah dapat diajarkan pada anak-anak umur 3 tahun asal dipakai cara-cara yang tepat. Moore (lihat Pines. 1969) menciptakan mesintulis yang dapat bicara dan mempelajari anak membaca pada umur 3 tahun. Di Nederland juga diusahakan pelajaran membaca untuk anak-anak pra-sekolah. Namun mempelajarianak membaca dan menulis sebelum waktunya juga mempunyai segi-segi negatifnya. Di samping belum berkembangnya motorik halus dengan baik (lihat pasal 3.3.9. mengenai “Gmanbaran Anak”) mempelajari sesuatu pada anak sebelum waktunya, menandung kelemahan karena:
1. Seringkali anak diberi pelajaran membaca pada waktu sangat muda melulu untuk memuaskan kebanggan orang tuanya, jadi tidak demi keprntingan anaknya.
2. Kalau anak mengerti bahwa ia sudah menguasai apa yang akan dipelajari di kelas satu hal itu akan bisa menurunkan motivasi belajarnya dan menyebabkan sikap yang negative terhadap tugas-tugas yang harus dilakukan.
Suatu masalah yang khusus dalam hubungan ini adalah mengenai anak-anak yang sangat pandai. Keinginan belajar mereka pada usia yang sangat muda menyebabkan mereka “secara main-main” sudah belajar membaca sebelum mereka pergi ke sekolah. Sangat disayangkan bahwa penampungan yang sesuai bagi mereka baik di Indonesia maupun dikebanyakan Negara eropa masih belum ada. Mengenai anak-anak yang sangat pandai ini akan dibicarakan pada pasal 4. 7.
Dalam memberikan bimbingan yang lebih baik pada anak dapat dianjurkan untuk memilih istilah “kemampuan sekolah” daripada “kemasakn sekolah”. Kemasakan menunjukkan pada proses yang terjadi dari dalam secara spontan, sedangkan mampu sekolah ditentukan oleh factor-faktor dari luar seperti lingkungan dan keluarga (lihat Kemmler & Heckhausen, 1962).
Kriteria “kemasakan sekolah” tersebut ternyata belum dapat menjamin keberhasilan anak dikelas, karena “masak sekolah” belum menjamin mampu bersekolah.
Tes yang dikembangkan di Nijmegen yaitu NST (Nijmeegse Schoolbekwaamheids Test) yang merupakan pengolahan tes Gopinger dari jerman mengungkap kemampuan sekolah anak (lihat Monks, Rost dan Coffle, 1972). Tes ini dilengkapi dengan sebuah daftar pertanyaanuntuk orang tua dan daftar pertanyaan untuk guru TK. Daftar pertanyaan ini berhubungan dengan 3 aspek tingkah laku, yaitu penyesuaian social (S), kemampuan kerja (W) dan sikap mandiri (Z). masing-masing aspek diungkap dengan 7 buah pertanyaan.
Darihasil tes yang dapat diberikan dalam kelompok-kelompok kecil dan dari hasil daftar pertanyaan, diusahakan untuk, dengan pembicaraan dengan guru taman kanak-kanak dan guru kelas 1 sekolah dasar, menilai setepat-tepatnya tiap anak sendiri-sendiri. Dengan begitu dapat dimungkinkan untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan, kekurangan-kekurangan maupun kemampuan-kemampuannya dan dapat memberikan start yang seoptimal mungkin. Jadi penting disini bukan menseleksi, melainkan menetukan (diagnosis) akan kemungkinan-kemungkinan yang ada pada setiap anak.
Dalam publikasi baru NST (Monks, dkk.. 1978) sekali lagi ditandaskan akan fungsisignalemen NST.. dalam waktu-waktu sebelumnya maka tes selalu dipakai sebagai alat yang menentukan (mampu sekolah versus tidak mampu sekolah). Dalam edisi yang baru juga ditinjau lebih mendalam mengenai proses-proses psikologis perkembangan dalam bidang kognitif, social dan motivasional. Motif kompetensi yang dikemukakan White (1959) menjadi intinya. Bila pelajaran dalam sekolah dasar dapat memenuhi kebutuhan anak akan manipulasi dan eksplorasi, maka peralihan dari Taman Kanak-kanak ke Sekolah Dasar akan berjalan dengan mudah dan lancer.
Arti signelemen yang ada pad NST telah dikaji secara empirisdan dibandingkan dengan beberapa tes yang serupa (Van Alphen de Veer, dkk.. 1978). Ternyata bahwa NST dalam kombinasi dengan daftar pertanyaan dan pendapat dari pihak guru memiliki nilai signalemen yang tinggi. Karena penggunaanya yang mudah dan menyenagkan bagi anak, maka NST sangat cocok untuk mengukur nivo tingkah laku serta nivo kognitif anak secara global. Untuk penganalisiaan lebih cermat mengenai fungsi kognitif dan tingkah laku NST dirasa kurang memenuhi persyaratan.
Di Indonesia telah ada laporan mengenai penggunaan NST dibandung dan menghasilkan sebagai berikut: bahwa pada tiga criteria yang pokok, yaitu (1) penyesuaian social, (2) kemampuan kerja, (3) sikap mandiri, diketemukan bahwa sikap mandiri memperoleh skor yang paling rendah.
Akhirnya hal yang perlu diperhatikan di sini ialah bahwa pendidikan harus berusaha untuk menolong anak sesuai dengan kemampuan masing-masing supaya akhirnya ia berhasil dalam pelajarannya. Bila ini dipakai sebagai patokan, maka sekaligus ada jaminan bahwa tiap anak dapat melanjutkan emansipasinya. Emansipasi sebagai penemuan identitas membutuhkan system pelajaran yang memperhatikan anak-anak secara individual, yang berusaha untuk tidak merugikan perkembangan anak masing-masing. Bila “individualisasi” ini tidak ada, maka akan sukar bagi anak untuk menemukan identitas diri, untuk mendaptakn konsep diri. Hal ini dibutuhkan untuk mengembangkan kemungkinan-kemungkinan dalam hubungan dengan lingkungannya.
4.3. Perkembangan sosial dan kepribadian
Perkembangan social dan kepribadian mulai dari usia pra sekolah sampai akhir masa sekolah ditandai oleh meluasnya lingkungan social.anak-anak melepaskan diri dari keluarga, ia makin mendekatkan diri pada orang-orang lain disamping anggota keluarga. Meluasnya lingkungan social bagi anak menyebabkan anak menjumpai pengaruh-pengaruh yang ada diluar pengawasan orang tua. Ia bergaul dengan teman-teman, ia mempunyai guru-guru yang mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam proses emansipasi. Dalam proses emansipasi dan individu maka teman-teman sebaya mempunyai pengaruh yang sangat besar. Di samping itu maka perkembangan motif prestasi dan identitas kelamin sangat penting, tetapi juga perkembangan pengertian norma atau seperti apa yang disebut Piaget moralitas, justru dalam periode ini mendapatkan kemajuan yang essensial. Aspek-aspek tersebut akan dibicarakan berikut ini.
4.3.1 nteraksi dengan anak-anak sebaya
Dalam TK dan SD mempunyai kontak yang intensif dengan teman-teman sebaya. Di muka telah dikemukakan bahwa anak-anak saling mempengaruhi satu sama lain (3.3. Tingkah laku lekat). Mengenai pertanyaan apa yang sampai sekarang telah diketahui mengenai pengaruh timbal balik tadi, maka Hartup (1970) telah mengumpulkan hasil-hasil penelitian mengenai hal tersebut. Sesudah itu datanglah beberapa studi yang lain yang dalam garis besarnya menyokong apa yang telah diketemukan Hartup tadi. Misalnya Younis dan Smollar (1985) dan Mueller & Cooper (1986) menunjukkan betapa perlunya hubungan dengan Peerdan teman-teman bagi perkembangan anak (Peer = teman setingkat dalam perkembangan, tetapi tidak perlu sama usianya).
Anak biasanya berusah untuk menjadi anggota suatu kelompok, kelompok semacam ini terdapat dalam Taman Kanak-Kanan dan Sekolag Dasar.
Pada mulanya anak tidak mengerti tingkah laku apa yang dipuji atau dihargai dan tingkah laku apa yang tidak dipuji atau dihargai, dia belum tahu apa yang harus dilakukan untuk dapat diterma dalam kelompok sering dapat dilihat bahwa anak menirukan anggota kelompok yang paling aktif dan paling berkuasa. Kelompok-kelompok anak dalam Taman Kanak-Kanak dan kelas-kelas permulaan Sekolah Dasar belum mempunyai aturan-aturan, kelompok-kelompok tadi baru merupakan kelompok informal tanpa struktur dan tanpa aturan. Baru di anatara usia 10 dan 14 tahun timbullah kelompok yang ada organisasinya dengan aturan-aturan dan perjanjian-perjanjian.
Hartup menemukan bahwa kebanyakan penelitian mengenai pengaruh timbal balik dilakukan pada anak Taman Kanak-Kanak, misalnya mengenai tingkah laku agresif dan altruistik ternyata bahwa belajar model menempati tempat yang penting. Nampak bahwa melihat suatu model yang altruistic menimbulkan reaksi pada anak Taman Kanak-Kanak yang mirip dengan model yang dilihat tadi. Juga nampak bahwa anak laki-laki lebih mempengaruhi anak laki-laki yang lain dari pada anak wanita dan sebaliknya. Juga dapat dilihat bahwa anak yang lebih tua lebih cepat dipengaruhi oleh teman mereka anak yang lebih tua lebih cepat dipengaruhi oleh teman mereka sebaya daripada oleh anak yang lebih muda.
Penelitian mengenai konformidme juga merupakan studi yang penting. Secara teoritis dapat sebagian dihubungkan dengan pendapat Piaget yang mengemukakan mengenai beberapa stadiumdalam keasadran peraturan. Piaget menemukan adanya permulaan kerjasama serta konformisme sosial yang bertambah pada usia antara 7 dan 10 tahun dan sehubungan dengan itu adanya suatu perhatian yang lebih besar pada interaksi yang mengandung peraturan-peraturan. Masa usia yang sebelumnya yaitu kurang lebih antara usia 2 dan 6 tahun disebutnya fase pra-sosial egosentris. Piaget mengemukakan adanya hubungan yang kurvelinier antara konformisme dan umur, artinya konformisme makin bertambah dengan bertambahnya usia sampai permulaan masa remaja, sesudah itu menurun. Puncak kurve ada di antara 9 dan 15 tahun. Penyebaran 6 tahun menunjukkan bahwa sukar untuk menentukan batas umur yang tepat. Beberapa penelitian menyokong pendapat Piaget akan adanya hubungan yang kurvelinier antara konformisme dan umur meski dengan penyebaran yang cukup lebar. Dapat diduga bahwa sebetulnya bukan faktr umur yang penting, melainkan lebih penting adalah keadaan keliling, jenis kelamin dan sifat tingkah laku yang dilihat hubungannya dengan konformisme itu.\hubungan lain yang diduga ada adalah antara urutan kelahiran dalam keluarga dan besar kecilnya kepekaan pengaruh oleh teman-teman sebaya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa anak yang tertua lebih mudah terpengaruh oleh norma-norma kelompok dan oleh orang-orang lain dibanding dengan adik-adiknya. Hal ini dapat diterangkan sebagai berikut:
5. Anak sulung diduga menerima pendidikan yang lebih berubah-ubah dibanding dengan adik-adiknya.
6. Anak sulung lebih menerima perlindungan, disampping itu maka tingkah laku yang konformistis dan tergantung mendapat pujian.
7. Anak yang lahir kemudian banyak mendapat pengarahan dari kakak-kakaknya yang diduga mengurangi hubungan dengan teman-teman. Hal ini diduga meningkatkan tingkah laku yang non-konformistis.
Namun begitu, sukar untuk menemukan hubungan yang berarti antara urutan kelahiran dengan tingkah laku yang konformistis. Memang dapat ditarik kesimpulan bahwa pada umumnya anak-anak sulung lebih mudah kena pengaruh teman-teman sebaya; tetapi hal ini tergantung pula pada jenis kelamin anak serta situasinya. Juga pendapat bahwa anak wanita lebih peka terhadap tekanan kelompok daripada anak laki-laki tidak dapat begitu saja diberikan. Juga diketemukan dalam penelitian bahwa anak yang ekstrovet lebih konformistis daripada anak yang introvet. Mengenai hal ini belum banyak diadakan peneltiian di Indonesia yang mempunyai sifat hubungan sosial yang berbeda.
Sebagai ringkasan dapat dikemukakan bahwa konformisme pada TK dari permulaan SD tadi lebih ditentukan oleh faktor-faktor situasional daripada oleh sifat-sifat kepribadian anak. Pertama kali yang di cari anak adalah kontak yang menyenangkan. Bila konformisme merubahkan syarat untuk memperoleh kontak, maka anak akan mudah untuk menyesuaikan dirinya. Pada masa-masa berikutnya nampak bahwa pribadi dan faktor-faktor situasi memgang peran penting dalam persoalan tingkah laku konformistis ini.
Suatu hubungan lain yang telah diteliti adalah antara besar kelompok dan pengaruh kelompok terhadap individu. Juga di sini nampak adanya hubungan yang kurvelinier, dalam arti bahwa pengaruh kelompok menjadi makin besar bila besar kelompok bertambah dari 1 sampai 5 atau 7 orang; pengaruhnya kemudian berkurang jika kelompok mencari ±12 orang.
Suatu tinjauan yang penting mengenai tingkah laku agresif telah dilakukan oleh Patterson (1967). Dalam penelitian ini dilihat sampai berapa jauh anak-anak pra-sekolah saling mempengaruhi tingkah laku agresif. Ternyata bahwa beberapa tingkah laku berikut ini dapat memperkuat tingkah laku agresif dan dominan pada anak.
Seorang anak merebut alat permainan anak lain. Bila anak yang direbut permainannya tadi diam saja hal itu dianggap sebagai hadiah bagi anak yang merebut tadi. Pada kesempatan berikutnya ia akan merebut lagi, dan dengan begitu makin lama makin terbentuk tingkah laku agresif. Karena tingkah laku tadi mendapat hadiah. Tingkah laku agresif tadi menurut penelitian ini huga dapat berkembang dari arah yang berlawanan, yaitu bila anak yang direbut permainannya tadi lalu membalas. Anak ini lalu mengerti bahwa membalas tadi merupakan efek dan hal ini dirasanya sebagai hadiah sebagai rainforsemen. Dengan beberapa kali membalas, anak merasa bahwa bersifat agresif itu dapat membawa sukses. Hal yang sama diteliti oleh Hartup (1974) dalam hubungan dan tingkah alturistik atau yang seperti disebutkan tingkah laku pro-sosial.
Jelaslah disini bahwa sejumlah besar tingkah laku timbul dengan cara menirukan, belajar-model, dan oleh reinforsemen dari pihak teman-teman sebaya. Disisni sudah awal dapak nampak pemilihan (preferences) yang khas menurut jenis kelamin serta cara memberi pengaruh. Sampai dengan umur 5 atau 6 tahun masih sedikit ada pengaruh dari anak wanita terhadap anak laki-laki dan sebaliknya tetapi makin lama anak laki-laki makin dipengaruhi oleh anak laki-laki dan anal wanita oleh anak wanita.
Faktor sosialisasi yang memajukan tingkah laku sesuai jenis kelaminmemegang peranan penting disini. Hal ini akan diuraikan lebih lanjut pada pasal 4.3. 3.
Interaksi dengan teman sebaya merupakan permulaan hubungan dengan peer. Sudah sejak awal berkembanglah preferensi tertentu dalam hubungan dengan anak-anak lain. Persahabatan pada anak sekolah pada umumnya terjadi atas dasar interes dan aktivitas bersama. Hubungan persahabatan dan hubungan peer bersifat timbal balik dan memiliki sifat-sifat sebagai berikut : (a) ada saling pengertian, (b) saling membantu, (c) saling percaya, dan (d) saling menghargai dan menerima.
Menurut La Galpa (1979) maka ketiga sifat berikut ini merupakan inti persahabatan, yaitu: (a) loyalitas (jujur dan setia), (b) rasa simpati (tidak ada distansi), dan (c) tulus (tidak ada rasa segan, malu atau kompetensi). Sifat inti persahabatan ini diketemukan pada masa remaja, namun juga sudah tampak pada masa kanak-kanak.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Lutte dkk. (1969) di eropa terhadap remaja laki-laki dan wanita usia 10-18 tahun mengenai sifat ideal pertemanan dikemukakn jawaban-jawaban sebagai berikut: 1) aktivitas dan interes bersama, 2) saling terbuka (segalanya dibicarakan bersama), 3) saling percaya (dapat menyimpan rahasia), 4) empati (ikut merasakan) serta jujur, 5) mengisi kekurangan yang lain (sahabat mempunyai sifat yang di inginkan) dan akhirnya 6) relasi yang dekat: kelekatan yang satu dengan yang lain berdasarkan keterbukaan, kehalusan rasa dan saling membantu.
Hubungan sosial dengan peer adalah sangat penting bagi perkembangan anak. Persahabatan yang semula terjadi karena “melakukan sesuatu bersama” beralih menjadi persahabatan yang mendalam dalam masa remaja dan berpengaruh besar pada perkembangan pribadi individu yang sedang berkembang.
4.3.1.1 Spontanitas versus sikap terkontrol
Suatu penelitian yang telah dilakukan oleh Haditono (1974) menemukan bahwa sikap spontan atau tidak spontan anak-anak pra-sekolah mungkin dipengaruhi oleh sifat suatu kebudayaan tertentu. Pada penelitian terhadap anak-anak Taman Kanak-kanak di jawa diketemukan bahwa kelompok anak-anak tersebut mempunyai sikap yang cukup terkontrol pada usia yang mereka seharusnya masih spontan. Peninjauan yang dangkal mengenai sikap yang tidak wajar pada anak-anak pra-sekolah tersebut adalah adanya hambatan-hambatan yang psikis yang menganggu penyesuaian yang cukup baik. Ditinjau dari kultur jawa hal tersebut bukan merupakan sesuatu yang dirasa umum dan meraka, namun karena hal itu merupakan sesuatu yang dirasa umum dan mereka melihat semua anak juga harus melakukan begitu, maka batasan yang diberikan dalam tingkah laku tadi sama sekali tidak menimbulkan tekanan batin apapun hingga tidak menganggu penyesuaian sosial anak-anak tersebut. Di sini sebetulnya persepsi anak terhadap perintah dan larangan itu yang mungkin lebih penting daripada perintah atau larangannya sendiri.
4.3.2 Perkembangan motivasi prestasi
Setiap tingkah laku tentu mempunyai motif. Setiap perbuatan dan tindakan mempunyai dasar, mempunyai motif. Salah satu aspek kepribadian seseorang yang paling banyak diteliti adalah mengenai motivasi prestasi (lihat McClelland, 1953; Heckhausen, 1962, 1980; Hermans. 1971, dan Haditono, 1979). Harus dibedakan antara kebutuhan dan motif. Kebutahan merupakan dasar timbulnya motif. Misalnya seorang anak yang lapar mencari makanan. Akan mempunyai motif banyak untuk mendapatkan makanan yang diinginkan tadi. Atau anak yang suka jajan akan timbul motif untuk dapat memenuhi kesukaannya itu. Kebutuhan dasar manusia adalah makan, minum dan tidur.
Dalam psikologi banyak disiskusikan mengenai pertanyaan apkah tingkah laku manusia dapat dikembalikan pada beberapa motif dasar. Misalnya Freud berpendapat bahwa tingkah laku akhirnya harus dijabarkan dari nafsu seksual beserta motif-motifnya yang timbul dari nafsu seksual tersebut. Kemudian ia menambahkan nafsu mati serta motif-moyifnya yang timbul dari nafsu tersebut yaitu agresi dan destruksi. Adler berpendapat bahwa semua tingkah laku manusia timbul dari nafsu ingin menguasai. Keinginan untuk menguasai menurut Adler menetukan segala tingkah laku dan perbuatan seseorang. Sedangkan Allport (1966) menunjukkan bahwa banyaknya motif itu sama dengan banyaknya usaha yang ada. Ia mempunyai keyakinan bahwa tingkah laku manusia itu dapat dikembalikan pada beberapa motif dasar saja. Memang ada kebutuhan dasar tetapi motif yang timbul selama hidup ada sangat banyak.
Pada umunya dibedakan antara motivasi yang intrinsik dan yang ekstrinsik. Motivasi yang intrinsik berarti bahwa sesuatu perbuatan memang diinginkan karena sesorang senang melakukannya. Di sini motivasi datang dari dalam diri orang itu sendiri. Orang tersebut senang melakukan perbuatan itu demi perbuatan itu sendiri. Sebaliknya motivasi ekstrensik berarti bahwa sesuatu perbuatan dilakukan atas dasr dorongan atau paksaan dari luar. Orang melakukan perbuatan itu karena ia didorong atau dipaksa dari luar. Misalnya seorang pemuda belajar psikologi karena orang tuanya menginginkan itu atau karena pacarnya ingin kawin dengan seorang psikolog. Pemuda tersebut kemudian masuk fakultas psikologi dan sesudah belajar beberapa lama ia menyenagi pelajaran psikologi. Maka sekarang ia belajar psikologi tidak atas dasar permintaan orang lain, melainkan karena ia sendirimenyenaginya. Motivasi yang ekstrinsik berubah menjadi motivasi yang intrinsik. Bila motivasi sudah menjadi begitu bermotivasi sehingga tiada rintangan yang akan menghambatnya untuk melakukan perbuatan tersebut.
Suatu motif mempunyai 3 macam unsur:
1. Motif mendorong terus, memberikan energi pada suatu tingkah laku (merupakan dasar energetik).
2. Motif menyelaksi tingkah laku, menetukan arah apa yang akan dan tidak akan dilakukan.
3. Motif mengatur tingkah laku artinya bila sudah memilih salah satu arah perbuatan maka arah itu akan tetap dipertahankan.
Dalam setiap motif dapat diketemukankembali dua struktur dasar. Pada satu pihak pengharapan akan sukses dan pada lain pihak ketakutan akan gagl.
Pengharapan akan sukses berarti bahwa bila ada sesuatu yang baik, yang menyenagkan atau bernialai maka orang tua ingin mendapatkan atau mencapainya. Ketakutan akan gagal berarti bahwa bila ada sesuatu yang tidak enak, tidak menyenagkan akan sukar, maka orang akan berusaha untuk menghindarinya. Dua kecendrungan dasar ini, ingin mencapai yang menyenagkan dan ingin menghindari yang tidak enak, diketemukan dalam sema tingkah laku orang, artinya dalam semua tingkah lakun manusia ada dua kecendrungan pokok ini.
Suatu pertanyyaan yang penting ialah, bagaimana timbulnya motif prestasi yang nampaknya sudah ada pada anak pada usia yang sangat awal dan sudah nampak pada bebrapa tingkah laku dan perbuatan-perbuatan tertentu. Tinjauan yang mendalam mengenai timbulnya motif prestasi telah dilakukan oleh Heckhausen dkk, (1962). Dalam filmnya “Anfange der Leistungsmotivation im Wetteifer des Kleinkindes” Heckhausen dapat menunjukkan dengan jelas adanya komponen-komponen tertentu dalam timbulnya motivasi prestasi. Misalnya nampak pada anak yang masih muda adanya keinginan untu dapat berdiri sendiri, ia ingin makan sendiri, ia ingin membuka bajunya sendiri, ingin naik kursi sendiri dan sebagainya. Dorongan untuk melakukan hal-hal sendiri ini harus dipandang sebagai pelopor motif prestasi yang sesungguhnya.
Diantara 3 dan 4 tahun nampak jelas adanya tingkah laku yang mengarah pretasi. Penelitian Heckhausen dan Roelofsen (1962) menemukan bahwa anak-anak yang sehat pada usia 31/2 tahun menunjukkan semua ciri-ciri tingkah laku kompetensi. Mereka meneliti hal ini dengan menyuruh anak-anak membantu sebuah menara. Anak dimasukkan dalam suatu situasi bertanding dengan peneliti. Menara harus dibuat tiap kali, memasukkan suatu gelangan melalui suatu tongkat dan anak harus berusaha untuk secepatnya menyelesaikan tugasnya ini. Ternyata bahwa anak-anak mulai 31/2 tahun sudah mampu untuk membandingkan prestasi mereka dengan prestasi penelitiannya. Penafsiran mengenai prestasi orang lain ini menyebabkan anak mencoba untuk melakukannya lebih cepat dan lebih baik, dibanding dengan standar keunggulan.
Standar keunggulan tadi dapat berhubungan dengan (a) prestasi orang lain, (b) prestasi diri sendiri yang lampau dan dengan (c) tugas yang harus dilakukannya.
(a) Dalam hubungan dengan prestasi orang lain artinya bahwa anak ingin berbuat lebih baik daripada apa yang telah diperbuat oleh orang lain.
(b) Dalam hubungan dengan prestasi sendiri yang lampau, berarti bahwa anak ingin berbuat melebihi prestasinya yang lalu, ingin menghasilkan lebih baik daripada apa yang telah dihasilkannya semula.
(c) Dan dalam hubungan dengan tugas berarti bahwa ia ingin menyelesaikan tugas sebaik mungkin. Jadi tugasnya sendiri merupakan tantangan bagi anak.
Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Haditono di indonesia diketemukan bahwa cara orang tua mendidik anak menyumbang pembentukan motif prestasi anak dalam hubungan denga tiga standar keunggulan tersebut. Ia menemukan bahwa stimulasi dari ibulah (kurang dari pihak ayah) yang diduga lebih berperan dalam pembentukan motif prestasi ini (lihat selanjutnya Haditono, 1979).
Anak-anak sekolah dari usia 31/2 tahun juga lebih mampu untuk menghubungkan berhasi atau tidaknya sesuatu perbuatan dengan dirinya sendiri. Sebelumnya anak belum mampu untuk melihat kegagalan sebagai akibat tingkah lakunya sendiri, dengan lain perkataan mereka belum mengerti akan kemampuan diri sendiri ( uraian yang lengkap mengenai motif prestasi ini diketemukan dalam buku pegangan Heckhausen, Motivation and Handeln (1980) yang menonjol dalam lengkapnya, aksentuasi kritis dan terutama juga oleh rangkumannya yang baik mengenai berbagai macam arah penelitian serta pendapat yang berbeda-beda ) (lihat juga Bergen, 1981).
Uraian singkat mengenai hasil-hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan akan pentingnya memberikan kesempatan pada anak untuk mengembangkan sikap dapat berdiri sendiri. Bila anak tidak pernah diberi kesempatan untuk melakukan sesuatu yang ia sebetulnya sudah mampu melakukannya, maka hal itu akan merugikan perkembangan yang sehat. Anak membutuhkan keyakinan terutama dalam hal apa yang dilakukan, apa yang dihasilkan. Apakah disini ada masalah mendorong usaha prestasi (ambisi) yang sering dipandang kurang baik dalam masyarakat kita, tidaklah jelas. Kenyataannya ialah bahwa anak ingin manipulasi, ingin bergaul dengan benda-benda, ingin menyelidiki lingkungan; dari keinginan dan usaha dalam hal-hal ini lambat laun timbullah keinginan untuk menghasilkan sesuatu untuk dapat berpretasi.
Dipandang dari segi psikologi perkembangan dapat ditentukan bahwa kecenderungan berprestasi ini harus diberi stimulasi bila kita akan menyambut dorongan manipulasi dan eksplorasi anak.
4.3.3 Perkembangan identitas jenis kelamin atau tingkah laku sesuai jenis kelamin
Mengenal perkembangan tingkah laku sesuai dengan jenis kelin ada cukup banyak literatur. Jans (1973) membicarakan mengenai arti seksualitas dan tingkah laku tersebut, yaitu (1) faktor biologis, (2) faktor sosial, dan (3) faktor kognitif.
Jans menunjukkan bahwa ada beberapa studi mengenai tingkah laku yang sdapat menerima adanya pendapat, yaitu “bahwa sejak permulaan ada perbedaan pada dua jenis kelamin mengenai apa yang mungkin dapat disebut sebagai matriks kondisioning yang permulaan” (h. 31 ). Mengenai hal ini mugkin dapat di anggap adanya suatu dasar biologis yang memungkinkan dua jenis kelamin tadi mengembangkan tingkah laku yang berbeda-beda. Dari sudut pandangan biologis. nampaknya dapat diterima bahwa ada perbedaan disposisional yang menyebabkan pelajaran tingkah laku yang berbeda antara anak laki-laki dan anak wanita.
Kohlberg dalam tahun 1966 sudah membicarakan mengenai tiga kemungkinan cara menerangkan mengenai tingkah laku spesifik jenis kelamin menurut tinjauan tiga teori yang berbeda: (1) teori psikoanalisis, (2) teori belajar sosial, dan (3) teori perkembangan yang kognitif.
Pendapat psikoanalisa mengatakan bahwa identitas jenis kelamin timbul karena proses-proses yang terjadi selama periode oedipus antara 2 ½ - 6 tahun; antara 3 dan 4 tahun anak laki-laki ada dalam situasi ini (menurut Freud hal ini merupakan suatu gejala universal). Anak laki-laki mempunyai keinginan seksual terhadap ibu tetapi ia juga mempunyai ketakutan terhadap ayah. Untuk menghindari kesukaran dengan ayahnya, anak sekarang mengadakan identifikasi dengan perintah dan larangan ayah. Sebagai akibatnya timbullah tingkah laku yang spesifik jenis kelamin. Pada anak wanita akan juga terjadi proses yang semacam, yaitu anak wanita yang mempunyai keinginan seksual terhadap ayah akan mengadakan identifikasi dengan ibu untuk menghindari kesukaran-kesukaran.
Menurut pendapat teori belajar maka tingkah laku yang spesifik jenis kelamin timbul karena pengaruh lingkungan sosial. Misalnya dalam setiap masyarakat ada pendapat-pendapat mengenai norma tingkah laku yang sesuai dengan jenis kelamin anak (Belotti, 1973). Anak laki-laki misalnya boleh berbuat kasar, boleh lebih aktif, lebih ribut daripada anak wanita, sedangkan anak wanita diharapkan lebih berperasaan halus, bersikap tidak kasar dan sebagainya. Tingkah laku yang diharapkan dari anak laki-laki atau anak wanita tadi dapat dipuji atau tidak dipuji oleh lingkungannya.
Pujian (memberi hadiah) terhadap sesuatu tingkah laku menambah kemungkinan tingkah laku tersebut dilakukan lagi di kemudian hari. Bila suatu tingkah laku tidak dipuji, jadi tidak mendapat reinforsemen, tingkah laku tersebut akan makin kurang dilakukan dan kemungkinan akan hilang sama sekali. Bila misalnya seorang anak laki-laki umur 8 tahun menangis, kebanyakan orang tua mengatakan : “Jangan menangis seperti anak perempuan saja. Laki-laki kan tidak nangis!". Tingkah laku menangis di sini dianggap tidak pantas bagi anak laki-laki umur 8 tahun. Begitulah kejadian-kejadian tiap hari dalam kehidupan biasa menentukan tingkah laku apa yang akan selalu dilakukan dan tingkah laku apa yang ditinggalkan (lihat lebih lanjut Hendrik dan Monks, 1981)
Teori perkembangan yang kognitif dengan Kohlberg (1966) sebagai tokohnya mengemukakan, bahwa dalam timbulnya tingkah laku spesifik jenis kelamin maka proses kognitif sebagai faktor perantara mempunyai tempat yang penting, artinya seseorang lebih dulu menjalani kategorisasi diri sendiri yang kognitif, yaitu mengenai diri sendiri sebagai laki-laki atau wanita. Baru sesudahnya pengaruh lingkungan mulai berpengaruh. Permulaan identitas jenis kelamin menurut pendapat ini datang dari individu sendiri. Anak mengadakan identifikasi diri dulu baru kemudian datang proses belajar sosial sebagai faktor yang ikut mempengaruhi.
Sesuatu gambaran yang menyeluruh mengenai proses per¬kembangan tingkah laku spesifik jenis kelamin yang telah dikemukakan teori-teori tersebut di muka dapat dilihat pada Gambar 23, pada halaman 193.
Sebagai kesimpulan dapat dikemukakan bahwa menurut pandangan para penulis, faktor-faktor biologis merupakan dasar bagi perkembangan tingkah laku spesifik jenis kelamin; proses belajar sosial sejak awal telah menyumbang pada kenyataan bahwa identitas kelamin terjadi melalui norma-norma sosial yaitu melalui penilaian apa yang baik atau tidak baik bagi anak laki-laki atau anak wanita.
Meskipun adanya keterbatasan dalam mengadakan generalisasi, tidak dapatnya menginterpretasi secara merata mengenai hasil-hasil yang didapat serta adanya faktor situasi yang menentukan tingkah laku spesifik jenis kelamin, namun dapat ditentukan atas dasar beberapa penelitian pada tahun-tahun terakhir, bahwa:
- agresi (mulai tahun ke-2) lebih banyak terdapat pada anak laki-laki.
- aktivitas (mulai tahun ke-3) lebih banyak terdapat pada anak laki-laki,
- dominasi (mulai tahun ke-4) lebih banyak dijumpai pada anak laki- laki.
- impulsivitas (mulai usia pra sekolah) lebih banyak dijumpai pada anak laki-laki.
- kecemasan (mulai 8 atau 9 tahun) lebih banyak terdapat pada anak wanita.
- kecakapan verbal (pada suatu kelompok kecil anak wanita mulai 4 tahun, tetapi pada umunya 11 atau 12 tahun) terdapat pada anak wanita lebih banyak daripada anak laki-laki.
- kecakapan pengamatan ruang (mulai 11 atau 12 tahun) lebih kuat pada anak laki-laki.
- kecakapan kuantitatif (mulai 10 tahun) lebih baik pada anak laki-laki.
(lihat untuk yang terakhir ini juga tulisan yang kontroversial Benbow & Stanley Sex differences in mathematical ability; fact or artifact, 1980).
Mengenai batasan-batasan umur yang dikemukakan di atas perlu dikemukakan bahwa di Indonesia penelitian mengenai hal-hal tersebut masih perlu dilakukan. Tetapi perlu ditunjukkan di sini bahwa dengan bertambahnya usia sampai pada masa remaja ada perbedaan yang makin nampak antara anak wanita dan anak laki-laki (lihat Monks, 1981). Untuk bacaan lebih lanjut harap baca Degenhardt dkk. (1979) dan Merz (1979).
4.3.4 Perkembangan Pengertian Norma
Juga perkembangan pengertian norma atau moralitas merupakan hal yang sangat penting bagi perkembangan kepribadian dan sosial anak. Tinjauan mengenai perkembangan moralitas secara sistematik dapat dikatakan masih baru dalam psikologi. Lama orang mengira bahwa moralitas termasuk bidang etika, tetapi dalam permulaan abad ini, sekitar 1930, maka di Amerika dan di Eropa
diadakan penelitian mengenai fenomena moralitas. Perhatian bertambah lagi pada sekitar tahun 1950. Sesudah itu maka terutama pengertian-pengertian teoretis Piaget yang mendorong diadakannya sejumlah bahwa penelitian dalam hal ini.
Seperti halnya pada tingkah laku spesifik jenis kelamin dapatlah di sini disebutkan pendapat beberapa teori mengenai moralitas yaitu teori psikoanalisa, teori kognitif dan teori belajar. Masih dapat ditambahkan di sini teori yang personalistis, tetapi teori ini akan diterangkan lebih banyak pada bagian yang lain (lihat Monks, 1971).
Meninjau kembali pada bab 1 dapat diadakan ringkasan di sini bahwa menurut pendapat psikoanalisa ada 3 bagian dalam diri seseorang yang akan berkembang menurut urutan sebagai berikut: das Es, das Ich dan das Ueber Ich. Pada permulaan hanya ada das Es, yaitu impuls nafsu. Das Ich lalu menjaga supaya hubungan dengan realitas dapat dikoordinasi dan akhirnya das Ueber Ich merupakan bagian yang membawakan norma-norma, perintah-perintah dan larangan-larangan yang diberikan oleh dunia keliling.
Juga pada timbulnya Ueber-Ich maka situasi oedipus mempunyai arti yang pokok Dl muka telah dikatakan bahwa situasi ini terdapat pada anak antara 3 dan 4 tahun. Menurut pendapat Freud maka anak akan mempunyai keinginan seksual terhadap ibu, tetapi anak tidak dapat merealisasi hal tersebut sebab ayahnya tidak akan memperbolehkannya. Dalam hal itu anak lalu terpaksa untuk mengambil alih norma-norma ayah untuk tidak mengalami konflik dengan ayahnya tadi.
Dengan demikian maka anak lalu mengadakan identifikasi dengan ayah dan bersedia untuk mengadakan introyeksi dengan norma keliling yaitu norma ayah. Kesediaan anak ini datangnya juga dari perasaan berdosa, yaitu anak merasa berdosa akan perasaannya dalam hubungan dengan ibu, ia merasa berdosa terhadap ayah dan karena perasaan berdosa ini ia bersedia untuk mengadakan Identifikasi dengan ayah.
Ueber-lch harus dipandang sebagai suatu instansi dengan norma-norma yang telah diinternalisasi atau diintroyeksi. Ncrma-norma yang add pada Ueber-Ich bukan hanya norma-norma yang berasal dari ayah saja, melainkan Juga norma-norma yang datang dari orang-orang lain. Freud menganggap kesediaan anak untuk merasa berdosa sebagai faktor pokok bagi tumbuhnya kata hati, karena kesediaan tersebut menimbulkan keinginan untuk menyesuaikan diri dan memenuhi tuntutan yang diletakkan padanya.
Brown (1973) masih menunjukkan bahwa karena anak laki-laki lebih langsung mengalami periode oedipus dengan konfrontasi yang lebih keras dengan ayah, maka anak laki-laki pada umumnya mempunyai moralitas lebih keras daripada anak wanita.
Masalah besar yang timbul dari dugaan ini ialah adanya kesukaran untuk membuktikan secara empiris. Mungkin perasaan-perasaan sebagai dilukiskan oleh teori psikoanalisa tadi juga ada, tetapi diragukan apakah keadaan itu bersifat universal dan apakah pada semua orang timbul dalam bentuk yang sama dan pada umur yang sama. Tidak ada bukti-bukti empiris yang dapat membenarkan hipotesis ini. Teori mengenai tingkah laku lekat bahkan membantah pendapat oedipus ini.
Pendekatan yang kognitif menitikberatkan akan faktor pengertian dan pemahaman. Sudah dalam tahun tiga puluhan Piaget mengadakan penelitian yang sistematis mengenai fenomena kata hati. Berturut-turut diselidikinya kesadaran akan aturan realisme moral serta pengertian akan keadilan. Menurut Piaget harus dimulai dengan aturan-aturan, misalnya aturan permainan. karena aturan mengandung arti manghormat, normal terhadap orang lain.
Penemuan Piaget yang penting di sini ialah bahwa anak mempunyai pendapat yang absolut dan penilaian yang absolut. Anak kecil tidak bersedia untuk mengalah dalam ia menilai sesuatu. Hal sesuatu adalah benar atau salah tidak ada pertimbangan faktor situasional. Setelah umur 8 tahun anak menjadi Jebih fleksibel dalam pernilaiannya dan lebih mampu untuk memperhatikan faktor situasional dalam menilai sesuatu. Perkembangan dari yang disebut tanggung jawab objektif ke arah tanggung jawab subjektif, maju pesat sesudah umur 8 tahun. Apa yang disebut tanggung jawab objektif dan tanggung Jawab subjektif dapat diterangkan dengan contoh berikut.
Piaget mempunyai metode apa yang disebut cerita-cerita fiktif. Dalam cerita-cerita ini selalu nampak suatu akibat sesuatu maksud yang baik dan maksud yang tidak baik. Dalam hal yang pertama maka terjadi kerugian besar, dalam hal yang kedua kerugiannya kecil.
Contoh : Seorang anak laki-laki datang dengan rapor yang baik dan dengan tergopoh-gopoh masuk dalam dapur untuk menunjukkan rapor yang baik itu kepada ibunya. Dia tidak tahu bahwa di belakang. pintu dapur ada kursi dengan baki dan gelas-gelas di atasnya. Dia buka pintu dengan kelas, pintu menumbuk kursi dan dengan suara gemuruh baki tumpah dan gelas-gelas jatuh hingga pecah semua. Anak yang kedua pada waktu mengerti kalau ibunya tidak ada di rumah ingin mempergunakan kesempatan itu untuk mengambil kue di atas almari dapur yang diperuntukkan tamu. Dia ambil kursi, naik dan karena tangannya belum sampai, dia raba-raba menyentuh satu gelas hingga jatuh dan pecah. Piaget bertanya sekarang: Mana yang lebih jelek, yang pertama atau yang kedua? Selanjutnya dari dua anak tadi mana yang lebih nakal, yang pertama yang dengan tergopoh-gopoh ingin masuk dapur atau yang kedua yang secara diam-diam ingin mengambil kue. Ditanyakan juga: Siapa yang harus mendapatkan hukuman yang paling banyak
Ternyata bahwa anak sampai umur + 8 tahun terutama melihat akibat-akibat materiilnya, jadi kerugiannya yang ditimbulkan, hal-hal itu yang paling menentukan. Motif atau iktikatnya tidak diperhatikan. Sesudah usia ini nampak bahwa motif dan maksud orang ikut diperhitungkan.
Teori yang dikembangkan Piaget ini dikembangkan dan diberikan dasar teoretis yang lebih baik oleh Kohlberg (1963). Menurut Kohlberg perkembangan insan kamil melalui 6 stadium dan stadium ini akan selalu dilalui oleh setiap anak, jadi merupakan hal yang universal, yang ada di mana-mana; mungkin tidak pada urutan usia yang sama namun perkembangannya selalu melalui urutan itu.
Kohlberg (dalam Lerner dan Spanier, 1980) membagi per¬kembangan moralitas ke dalam 3 tingkatan yang masing-masing dibagi menjadi 2 stadium hingga keseluruhannya menjadi 6 stadium sebagai berikut:
Tingkatan I. Penalaran moral yang pra-konuensional
Mendasarkan pada objek di luar diri individu sebagai ukuran 'benar atau salah.
Stadium 1. Orientasi patuh dan takut hukuman
Suatu tingkah laku dinilai benar bila tidak dihukum dan salah bila perlu dihukum. Seseorang harus patuh pada otoritas karena otoritas tersebut berkuasa.
Stadium 2. Orientasi naif egoistis/hedonisme instrumental
Masih mendasarkan pada orang atau kejadian di luar diri individu, namun sudah memperhatikan alasan perbuatannya, misalnya mencuri dinilai salah, tetapi masih bisa dimaafkan bila alasannya adalah untuk memenuhi kebutuhan dirinya atau orang lain yang disenangi. Ada yang menamakan stadium ini sebagai stadium hedonistik instrumental.
Tingkatan II. Penalaran moral yang konuensionci
Mendasarkan pada pengharapan sosial, yaitu suatu perbuatan dinilai benar bila sesuai dengan peraturan yang ada dalam masyarakat.
Stadium 3. Orientasi anak atau person yang baik.
Anak menilai suatu perbuatan itu baik bila ia dapat menyenangkan orang lain, bila ia dapat dipandang sebagai anak wanita atau anak laki-laki yang baik, yaitu bila ia dapat berbuat seperti apa yang diharapkan oleh orang lain atau oleh masyarakat.
Stadium 4. Crientasi pelestarian otoritas dan aturan sosial.
Anak melihat aturan sosial yang ada sebagai sesuatu yang harus dijaga dan dilestarikan. Seorang dipandang bermoral bila ia "melakukan tugasnya" dan dengan demikian dapat melestarikan aturan dan sistem sosial.
Tingkatan III. Penalaran moral yang post-konuensional
Memandang aturan-aturan yang ada dalam masyarakat tidak absolut, tetapi relatif; dapat diganti oleh yang lain.
Stadium 5. Orientasi kontrol legalistis.
Memahami bahwa peraturan yang ada dalam masyarakat merupakan kontrol (perjanjian) antara diri orang dan masyarakat. Individu harus mamenuhi kewajiban-kewajibannya, tetapi sebaliknya masyarakat, juga harus menjamin kesejahteraan individu. Peraturan dalam masyarakat adalah subjektif.
Stadium 6. Orientasi yang mendasarkan atas prinsip dan konsiensia sendiri.
Peraturan dan norma adalah subjektif, begitu pula batasan-batasannya adalah subjektif dan tidak pasti. Dengan demikian maka ukuran penilaian tingkah laku moral adalah konsiensia orang sendiri, prinsipnya sendiri lepas daripada segala norma yang ada. Kohlberg menyebut prinsip ini sebagai prinsip moral yang universal, suatu norma moral yang dasarnya ada dalam konsiensia orangnya sendiri.
Dalam hal tingkah laku konformistis stadium tersebut adalah sebagai berikut:
Stadium 1. Anak menurut untuk menghindari hukuman.
Stadium 2. Anak bersikap konformistis untuk memperoleh hadiah. untuk dipandang baik.
Stadium 3. Anak bersikap konformistis untuk menghindari celaan dan untuk disenangi orang lain.
Stadium 4. Anak bersikap konformistis untuk mempertahankan sistem peraturan sosial yang ada dalam kehidupan bersama.
Stadium 5. Konformitas sekarang dilakukan karena memenuhi perjanjian bersama yang ada dalam peraturan sosial.
Sfadium 6. Melakukan konformitas tidak karena perintah atau norma dari luar, melainkan karena keyakinan sendiri ingin melakukannya.
Suatu ikhtisar yang diberikan Kohlberg (Gambar 24) menun¬jukkan bagaimana kira-kira pembagian umumya. Kohlberg menemukan pembagian ini berdasarkan penelitian mengenai apa yang disebut dilema moral. Dilema moral berhubungan dengan nilai-nilai pokok dalam kehidupan bersama, misalnya keadilan dan hak untuk hidup. Contoh di bawah menunjukkan cara pengujian Kohlberg:
"Di Berlin ada seorang wanita yang hampir mati disebabkan oleh suatu bentuk kanker yang jarang dijumpai. Para dokter mengatakan bahwa hanya ada satu macam obat untuk menyembuhkannya, yaitu semacam radium yang diketemukan oleh seorang apoteker yang berumah di kota itu. Tetapi harganya sangat mahal. Si apoteker sendiri membayarnya sebanyak Rp2.000,00 tetapi menjualnya dengan harga Rp20.000,00 untuk satu dos kecil. Suami wanita yang sakit tadi telah berusaha untuk memperoleh pinjaman uang kepada siapa saja, tetapi hanya memperoleh Rp10.000,00. Dia datang lagi pada apotekernya untuk mengatakan kalau isterinya hampir mati dan memohon untuk mau menjual obatnya tadi dengan harga yang lebih murah atau untuk membayar sisanya kemudian. Namun apoteker tadi tidak mau memberikan obatnya dengah harga yang lebih murah karena memang sukar memperolehnya. Laki-laki tersebut menjadi penasaran dan akhirnya mencuri obat tadi".
Gambar 24. Enam stadium perkembangan moral (pernilaian moral) dihubungkan dengan empat tingkatan umur (lihat Kohlberg, 1963).
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan berkisar pada': bolehkah laki-laki tadi melakukan hal itu atau: haruskah laki-laki tadi melakukan hal itu, atau: haruskah ia membiarkan isterinya mati?. Pada cerita di atas masih ada sambungannya yaitu obat tadi ternyata tidak manjur dan wanita yang sakit itu menderita sakit yang tak tertahankan. Berhubung dengan ini datang pertanyaan: apakah dokter boleh menolongnya untuk lebih lekas mati? Wanita tadi meminta pada dokternya untuk memberinya suatu obat pemati syaraf supaya lebih ringan menghadapi kematian.
Dapat dimengerti bahwa cerita-cerita semacam ini tidak dapat diberikan kepada siapa saja karena membutuhkan suatu kemampuan refleksi yang besar.
Kohlberg memasalahkan apakah suatu stadium yang telah dicapai akan dapat dipertahankan. Ia menemukan suatu penemuan yang tak terduga, yaitu para mahasiswa yang sebelum masuk Perguruan Tinggi telah mencapai stadium ke 4 atau ke 5, segera kembali lagi pada stadium 2. Hal ini diterangkannya sebagai berikut: karena para mahasiswa ini ada dalam situasi baru, maka. secara fungsional mereka jatuh kembali pada tingkat yang lebih rendah, meskipun secara struktural tingkat yang lebih tinggi tetap ada. Hal ini diterangkan dari kenyataan bahwa sesudah para mahasiswa tadi meninggalkan (lulus dari) Perguruan Tinggi atau juga sudah sebelumnya, kembali lagi dapat berfungsi dengan baik pada tingkat stadium yang telah dicapainya dulu. Masih ada satu faktor lagi yang ditunjukkannya, yaitu mengenai hubungan antara perkembangan tingkah laku moral dan pola peranan yang diharapkan dari seseorang. Kohlbern menemukan bahwa para ibu rumah tangga pada umumnya ada pada stadium 3; menurut Kohlberg hal itu disebabkan karena mereka tidak banyak dituntut untuk mengambil keputusan-keputusan yang berhubungan dengan moral dan insan kamil. Mereka nampaknya ditempatkan pada peranan sosial yang membutuhkan berfungsi pada stadium 3 atau 4 saja.
Kritik yang dapat diajukan di sini adalah terhadap kemutlakan perkiraan itu. Pertanyaan yang telah diajukan terhadap psikoanalisa dapat diulangi di sini. Apakah gejala ini universal dan apakah tingkatan-tingkatan itu harus dilalui menurut urutan yang sudah ditentukan tersebut. Suatu tinjauan kritis mengenai teori Kohlberg dan pendekatan yang mendasarkan pada teorinya itu dapat dibaca dalam penelitian Heymans (1979).
Akhirnya pendapat teori belajar mengemukakan bahwa semua tingkah laku adalah tingkah laku yang dipelajari. Teori ini menolak dengan tegas bahwa manusia mempunyai suatu sifat bawaan, baik itu sifat yang baik maupun yang tidak baik. Alasan yang dikemukakan adalah apa yang baik untuk suatu masyarakat tertentu, dianggap tidak baik oleh masyarakat lain, apa yang dianggap penyesuaian baik oleh masyarakat yang satu, bahkan dianggap tingkah laku menyimpang oleh masyarakat yang lain.
Menurut pendapat ini maka kata hati merupakan suatu sistem norma yang telah diintemalisasi (merasuk menjadi milik pribadi seseorang). Hal ini berarti bahwa seseorang akan tetap melakukan norma-norma tadi meskipun tidak ada kontrol dari luar. Apa yang dulu dilakukan atas dasar hadiah, reinforsemen atau hukuman dari luar, sekarang dialihkan ke dalam. Norrna-norma yang sudah diinternalisasi tadi membuat anak makin dapat bertingkah laku sesuai dengan apa yang seharusnya ia lakukan.
Peneliti yang menganut pendapat ini berusaha untuk menyelidiki fenomena kata hati melalui pertanyaan-pertanyaan mengenai:
a. reaksi terhadap pelanggaran
b. pertahanan terhadap godaan
Dalam hal ini ternyata bahwa cara orang tua mengasuh anak merupakan hal yang pokok. Mempunyai ayah dan ibu yang kasih sayang, yang menerima anak dalam keadaan apa pun merupakan syarat yang paling utama untuk perkembangan kata hati yang baik. Selanjutnya diketemukan bahwa kata hati tergantung pada situasi. Hoffman (1970) mengemukakan mengenai konsistensi yang dinamis. Tingkah laku moral sebagian tergantung daripada situasinya, tetapi orang makin bersikap konsisten, artinya tidak tergantung situasi. Dari studi perbandingan ternyata bahwa moralitas merupakan pernyataan daripada kebutuhan akan keteraturan dan keseimbangan, juga suatu usaha ke arah pemberian arti, meskipun adanya perubahan historis, sosial, dan individual (Monks, 1986).
Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa proses belajar dalam tingkah laku moral memegang peranan yang penting; tetapi Juga proses perkembangan kognitif memberikan pengaruh yang besar akan sifat perkembangan tingkah laku moral. Dalam pasal 6.5 akan ditinjau kembali perkembangan tingkah laku moral. Di situ akan nampak bagaimana pentingnya sifat kepribadian seseorang dalam aspek tersebut bagi perkembangan kepribadiannya.
4.4 Perkembangan Kognitif
Beberapa pertanyaan yang pokok dalam teori perkembangan kognitif adalah: dengan alat dan cara apa orang memperoleh pengertian, menyimpan dan menggunakannya? Pada prinsipnya hal ini berhubungan dengan alat-alat pengenalan dan bentuk-benluk pengenalan. Kognisi adalah pengertian yang luas mengenai berpikir dan mengamati, jadi tingkah laku yang mengakibatkan orang memperoleh pengertian atau yang dibutuhkan untuk menggunakan pengertian.
Psikolog Swiss yang sering disebut dalam buku ini yaitu Piaget telah banyak mempengaruhi psikologi perkembangan dalam hal perkembangan kognisi. Dia telah memberikan banyak pendapat serta dorongan dalam hal ini (bandingkan untuk berikutnya Ginsburg dan Opper, 1969).
4.4.1 Pengertian-pengertian Pokok dalam Teori Perkem¬bangan Piaget
Teori Piaget banyak dipengaruhi oleh biologi dan episfemologi ajaran mengenai pengenalan. Biologi dalam teorinya Piaget banyak menggunakan pengertian yang langsung diambil dari biologi. Misalnya dalam definisi mengenai inteligensi dipakainya pengertian-pengertian seperti adaptasi, organisasi, stadium, pertumbuhan dan sebagainya. Banyak dari pengertian-pengertian ini akan diterangkan lebih lanjut nanti.
Epistemologi: perhatian terhadap cabang ilmu pengetahuan ini antara lain nampak dalam penelitian empiris terhadap timbulnya pengertian atau konsep mengenai waktu, ruang, kausalitas, dan kasadaran akan aturan.
Piaget beranggapan bahwa setiap organisme hidup dilahirkan dengan dua kecenderungan fundamental, yaitu kecenderungan untuk :
a) adaptasi dan kecenderungan untuk (b) organisasi.
b) Adaptasi dapat dilukiskan sebagai kecenderungan bawaan setiap-organisme untuk rnenyesuaikan diri dengan lingkungan. Kecen¬derungan adaptasi ini mempunyai dua komponen atau dua proses yang komplementer, yaitu (a.l) asimilasi dan (a.2) akomodasi.
(a.1) Asimilasi, yaitu kecenderungan organisme untuk mengubah ling¬kungan guna menyesuaikan dengan dirinya sendiri. Suatu contoh yang sederhana dalam bidang biologis adalah maka. Bila orang makan sesuatu maka pencernaan makanannya tidak perlu berubah. Apa yang berubah adalah makanannya yaitu faktor lingkungannya.
Jaga dalam lapangan psikologi maka prinsip asimilasi meme¬gang. peranan besar. Pada suatu saat seorang bayi memperoleh suatu kebiasaan pola tingkah laku terhadap lingkungannya apa yang dijumpai oleh bayi itu dipegangnya. Dunia bagi anak merupakan "dunia raih". Nilai fungsional objek dari sudut pandangan orang dewasa diturunkan menjadi "kemungkinan dapat diraih".
Juga bagi situasi pelajaran maka prinsip asimilasi meru¬pakan hal yang sangat penting. Menurut Piaget maka setiap anak selalu ada dalam salah satu stadium perkembangan. Stadium ini sebagian besar menentukan untuk sebagian besar cara ariak menginterpretasi suatu tugas verbal misalnya: Anak umur 4 tahun dan umur 10 tahun dapat diberikan suatu tugas verbal yang identik, tetapi harus disadari bahwa anak hanya akan mengerti tugas tadi sepanjang struktur kognitif, yaitu Radium perkembangan kognitifnya memungkinkan untuk hal itu. Anak mengasimilasi tugas tadi dengan struktur kognitifnya: Ia mengerti tugasnya sepanjang ia mampu untuk mengertinya.
Akomodasi, yaitu kecenderungan organisme untuk merubah dirinya sendiri guna menyesuaikan diri dengan keliling.
Suatu contoh dalam bidang Biologi dapat dikemukakan jadi mengenai makanan. Bila organisme terpaksa untuk makan makanan yang asing, maka sistem fisiologisnya seringkali ha¬rus menyesuaikan diri dengan faktor lingkungan yang berubah itu.
Dalam lapangan psikologi dapat diambil contoh yaitu bila anak bayi hendak meraih sesuatu, bayi tadi harus menyesuaikan pengamatannya dengan objek tersebut untuk dapat melihatnya dengan baik. Dia harus menyesuaikan pola gerakannya sedemikian rupa, hingga ia dapat mencapai objek tadi dengan tangannya. Dan akhirnya ia harus menyesuaikan raihannya pada misalnya bentuk dan bakat objeknya.
Juga dalam situasi sekolah akomodasi memegang peranan penting; anak harus bersedia untuk selalu memperoleh pengetehuan baru guna dapat mengatasi masalah-masalah yang baru.
Hubungan antara asimilasi dan akomodasi. Kedua proses tersebut seperti telah dikemukakan, adalah komplementer. Dalam setiap tingkah laku organisme dapat diketemukan aspek asimilasi dan akomodasi. Hal ini dapat dilihat pada tingkah laku meraih pada anak bayi
(b) Kecenderungan organisasi. Hal ini dapat dilukiskan sebagai kecenderungan bawaan setiap organisme untuk mengintegrasi proses-proses sendiri menjadi sistem-sistem yang koheren.
Juga kecenderungan ini dapat ditemukan dalam bidang biologis dan psikologis. Contoh yang paling mudah dalam bidang biologis adalah berfungsinya sistem fislologis sendiri sebagai kesatuan yang terintegrasi. Bila ada gangguan dalam integrasinya hal itu berarti "penyakit".
Dalam bidang psikologis dapat dilihat bahwa bayi pada mulanya mempunyai dua struktur tingkah laku yang terpisah: Ia dapat meraih dan ia dapat mengamati sesuatu. Semula anak tidak mampu untuk mengintegrasi dua struktur tingkah laku ini. Baru kemudian maka dua struktur ini dikoordinasi menjadi satu struktur dalam tingkatan yang lebih tinggi, yaitu dalam apa yang disebut koordinasi mata dan tangan atau koordinasi visio-motorik.
Hubungan antara adaptasi dan organisasi. Juga dua proses ini bersifat komplementer. Bila suatu organisme mengadakan organisasi aktivitasnya, maka ia mengasimilasi kejadian baru pada Struktur yang sudah ada dan mengakomodasi struktur yang sudah ada pada situasi baru. Piaget menamakan kedua proses tadi sebagai faktor biologis. Alasannya ialah bahwa dua kecenderungan tadi selalu ada pada semua organisme hidup, Kedua kecenderungan ini merupakan sifat ketuhanan. Bagaimana bekerjanya kedua proses ini dalam diri suatu organisme tertentu, tergantung pada keliling serta pengalaman belajar organisme tersebut.
Ekuilibrium. Pengertian "ekuilibrium" atau "keseimbangan" Juga menduduki tempat yang penting dalam teori Piaget. Prinsip ekuilibrium yang bersifat bilogis ini menjaga agar perkembangan tidak merupakan hal yang tidak keruan, melainkan suatu proses yang teratur. Proses asimilasi dan akomodasi yang komplementer menyebabkan seseorang selalu berusaha mencapai keadaan yang seimbang lagi. Di sini ada kesamaan dengan pendapat seorang teoretikus terkenal lain dalam psikologi perkembangan, yaitu Wemer (1959). Werner bertolak dari prinsip orrogenetis. Dia ingin menunjukkan bahwa perkembangan, genesa suatu individu, berlangsung melalui proses yang teratur. Perkembangan akhirnya mencapai suatu diferensiasi yang semakin tinggi motorik yang semula kasar menjadi makin halus; hal ini juga berlaku bagi bahasa. Di samping itu perkembangan juga akhirnya mencapai suatu aturan yang hierarkis (fungsi yang berbeda-beda makin sesuai satu sama lain dan makin baik integrasinya). Baik Werner maupun Piaget berpandangan bahwa perkembangan itu berlangsung melalui rencana yang sudah ada sejak lahir yang akhirnya mencapai suatu bentuk akhir yang baik. Prinsip ini pada Werner dan Piaget merupakan suatu fakta fundamental dalam perkembangan yang merupakan ciri pokok dalam
kehidupan manusia.
Proses adaptasi tidak lepas dari proses organisasi. Juga di sini terdapat proses interaksi yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan. Pengertian. "keseimbangan" menunjuk. pada relasi antara individu dan keliling dan terutama sekali pada relasi antara struktur kognitif individu dan struktur keliling. Di sini ada keadaan seimbang bila individu tidak lagi perlu mengubah hal-hal dalam keliling untuk mengadakan. asimilasi dan juga tidak lagi harus mengubah dirinya sendiri untuk mengadakan akom'odasi dengan hal-hal yang baru. Sudah barang tentu keadaan ini adalah suatu keadaan ideal. Piaget memang hanya ingin menunjukkan bahwa menurut pendapatnya dalam perkembangan berpikir manusia ada suatu arah menuju ke harmoni dan keteraturan.
Struktur psikologis atau skema: Telah dibicarakan adanya dua macam proses, yaitu adantasi dan organisasi. Pertanyaan timbul sekarang hal-hal apa yang dikenai proses adaptasi dan organisasi itu. Pertanyaan ini dapat dijawab dengan mengemukakan apa yang disebut Piaget dengan struktur psikologis atau skema.
Dalam biologi ada dibicarakan mengenai struktur-struktur yang berubah. Piaget mencoba untuk menemukan suatu analogi dalam bidang tingkah laku. Analogi ini ditunjukkannya dengan pengertian "struktur psikologis" atau "skema". Ia membedakan antara skema-skema sensori motoris atau disebut juga skema-skema tingkah laku dan skema-skama operasional atau disebut juga skema-skema kognitif.
Suatu skema adalah ciptaan seorang psikolog (Piaget), skema adalah suatu abstraksi dari aktivitas manusia; bukan sesuatu yang dapat ditunjukkan secara konkrit dengan salah satu cara pada salah satu tempat tertentu. Bila seseorang melakukan suatu aktivitas tertentu, maka dia tidak akan melakukan hal ini dua kali berturut-turut dengan dua cara yang persis sama. Tetapi meskipun begitu adalah mungkin untuk menemukan suatu struktur dasar, suatu esensi yang stima dalam variasi tingkah laku yang serupa. Struktur dasar inilah yang dimaksudkan oleh Piaget dengan pengertian skema.
Menurut Piaget skema-skema ini pada mulanya bersifat sensori motoris dan merupakan struktur psikologis anak umur sampai + 2 tahun, belum nampak adanya mediasi dalam arti "aktivitas pikir yang intern". Semua tingkah laku anak masih harus dipandang sebagai hal yang diterima secara sensorik dan suatu reaksi yang motorik saja. Contoh-contoh skema sensori motorik adalah skema raih, skema hisap dan skema merangkak.
Mulai umur + 2 tahun di samping skema sensori motorik anak juga memiliki skema kognitif atau operasional. Skema ini dapat dilukiskan sebagai struktur dasar proses berpikir. Suatu contoh skema tersebut adalah apa yang disebut skema klasifikasi. Bila anak umur 7-11 tahun dihadapkan dengan sekumpulan gambar bunga merah dan bunga putih, maka dapat nampak dengan jelas bahwa anak mengerti adanya klasifikasi kelompck bunga merah dan kelompok bunga putih. Jadi anak ternyata sudah memiliki sejumlah struktur dasar dengan integrasi yang baik seperti misalnya mengumpulkan berbagai objek dalam klasifikasi tertentu serta mengatur secara hierargik berbagai kelompok dalam klasifikasi tersebut. Atas dasar tingkah laku ini dapat ditarik kesimpulan bahwa anak telah memiliki skema kiasifikasi.
Jadi pengertian skema atau struktur psikologis adalah sedikit banyak kompleks. Hal ini tidak hanya berhubungan dengan pola tingkah laku yang teratur, melainkan juga berhubungan dengan pola berpikir yang telah diintemalisasi. Piaget menamakan kedua hal tadi skema karena menurut konsep teoretisnya maka skema operasional Itu datang dari skema sensori motorik melalui proses intemalisasi (bandingkan pendapat bahwa anak memperoleh pengertian melalui berbuat aktif dengan dunia luar). Jadi ada kontinuitas di antara kedua skema.
Hal ini berhubungan dengan suatu postulat lain yang penting dalam teori Piaget, yaitu adanya beberapa stadium yang berbeda-beda dalam perkembangan kognisi anak. Hal ini mengandung. arti bahwa struktur kognitif anak pada tingkatan umur yang berbeda dapat mempunyai bentuk yang berlain-lainan.
Suatu skema memungkinkan anak untuk mempelajari respons-respons baru. Hal ini disebabkan oleh proses akomodasi.
Suatu contoh : Bayi memegang bola atas dasar refleks raihnya. Kemudian mau dihisapnya sesuai dengan skema dalam bergaul dengan benda-benda: dunia terdiri dari benda raih dan benda. hisap, jadi ia menghisapnya. Pada waktu ini terjadilah asimilasi, yaitu penyesuaian atas dasar pengertian yang telah ada. Pada waktu ini anak mengerti bahwa bola tidak sesuai untuk dihisap. Mungkin enakkan menjatuhkan bolanya (misalnya anak ada dalam boks) dan mengerti sifat khas bola tadi, kemudian anak mengambil kembali bola tersebut dan menjatuhkannya lagi. Pada waktu ini terjadilah suatu skema baru karena anak menyesuaikan dirinya dengan sifat-sifat bola tadi. Hal ini adalah akomodasi (sebagai ilustrasi lihat Gambar 25).
Dari contoh-contoh di atas dapat dilihat bahwa skema-skema tertentu yang ada serta bergaul dengan lingkungan memberikan sumbangan yang besar dalam menambah luasnya pengertian anak. Di sini menjadi jelaslah bahwa anak lebih banyak mengerti daripada yang dapat dinyatakan dan dikatakan. Di sini juga letaknya salah satu titik tolak Furth yang pokok, yaitu bahwa jelas sampai usia 7 atau 8 tahun berpikir anak harus dipandang lepas dari bahasanya (Furth, 1966).
4.4.2 Representasi dunia dan stadium-stadium dalam per¬kembangan kognitif
Dunia orang dewasa adalah teratur. Hal-hal yang ada dalam diri manusia seperti perasaan, pikiran, impian, keinginan dan hal-hal yang ada di luar diri manusia seperti rumah, pohon, objek-objek tertentu, serta dunia sosial manusia dapat diatur. Hal-hal itu dapat diperlakukan oleh orang dewasa secara objektif karena mereka dapat dipandang sebagai hal sesuatu yang lepas dari diri kita sendiri. Hubungan satu sama lain (kategori, relasi, hubungan-hubungan kausal), yang sudah wajar bagi kita belum merupakan hal yang wajar bagi anak. Anak belum mengalami distansi yang jelas dengan dunia luar. Baru sesudah kurang lebih 12 bulan maka anak, menurut Piaget, baru mampu untuk mengerti bahwa suatu benda tetap ada meskipun tidak lagi nampak (lihat tabel 4). Permanensi objek atau formasi objek ini merupakan suatu langkah yang penting dalam pengertian dunia luar. Hal ini juga merupakan persyaratan yang mutlak untuk dapat memperlakukan objek dalam keliling secara simbolis. Formasi simbol ini mulai berkembang pada umur kurang lebih 18 bulan memungkinkan anak untuk melihat benda sebagai penunjuk hal sesuatu yang lain, sebagai sesuatu yang lain daripada yang sesungguhnya. Scherik-Danziger (1972) dalam hubungan ini mengemukakan bahwa pengertian akan simbol serta timbulnya tanggapan-tanggapan terjadi bersama-sama dengan perkembangan bahasa serta permainan peranan. Ia juga mengemukakan bahwa permainan peranan mempunyai ciri-ciri yang juga harus ada pada pemakaian bahasa dan bekerja dengan simbol, yaitu :
• sikap memperlakukan hal-hal dengan "pura-pura"
• adanya formasi simbol atau pembentukan pengertian yang sembarang (metamorfosa benda)
• mengenakan sifat manusia pada benda atau hewan (antro-pomorfisme);
• merubah peranan manusia secara fiktif
• imitasi tingkah laku atau rangkaian tingkah laku.
Berbagai kemampuan baru anak ini memungkinkan anak untuk mengalami dunia keliling secara "lain" dan mengenalinya dengan cara yang lain.
Kognisi, perkembangan pikir dan pengenalan, membuat setiap orang mengatur dunia keliling dengan caranya sendiri-sendiri. Seorang Eskimo akan mengatur dunianya dengan cara yang lain daripada orang Indonesia atau orang Jepang. Kognisi mengandung proses berpikir dan proses mengamati yang menghasilkan, memperoleh, menyimpan dan memproduksi pengetahuan.
Representasi dunia luar di dalam diri sendiri dan dengan demikian berpikir mengenai dunia luar berjalan sebagai berikut:
1. Bayangan (image): hal ini dijumpai pada anak-anak umur 4 tahun. Ini merupakan representasi pertama suatu kejadian tertentu dan tidak merupakan pencerminan fotografis yang eksak. Hanya me¬rupakan kesan-kesan tertentu yang lepas yang kebetulan melekat pada ingatan. Misalnya setiap orang mempunyai Ingatan akan pengalaman-pengalaman tertentu waktu masih kecil: pada satu saat kita diingatkan nenek. Hal ini juga bisa terjadi dengan melihat sesuatu atau mendengar sesuatu. Apa yang kita ingat tadi adalah kesan-kesan tertentu yang melekat pada ingatan kita.
2. Simbol : Simbol adalah suatu bentuk representasi lain. Di sini tidak hanya berkisar pada bunyi yang khas atau bau yang khas dengan artinya yang khas. Simbol justru melebihi kejadian yang khas dan menunjuk pada sesuatu yang lain daripada hal yang sesungguhnya (Knoers, 1976). Misalnya seorang anak kecil bermain dengan dos korek api seakan itu sebuah mobil. Kelak anak akan mengerti bahwa simbol, seperti halnya tanda lalu lintas, merupakan penunjuk bagi hal sesuatu yang lain.
3. Konsep (pengertian): Mulai usia prasekolah timbullah pada anak suatu kebutuhan untuk mengatur kesan-kesan dan kejadian-kejadian, menemukan hubungan-hubungan dan relasi-relasi kausal. Hal ini merupakan langkah (pertama) yang penting ke arah kesadaran akan aturan. Bertambah banyaknya cara berpikir dalam pengertian nampak misalnya dalam anak menemukan bahwa ciri suatu kendaraan roda dua adalah selalu adanya dua roda, bahwa bila di sini hari Minggu di mana-manapun hari Minggu. Anak makin mengerti bahwa pengertian merupakan suatu kumpulan sifat yang umum.
4. Aturan: Suatu aturan adalah suatu hubungan antara dimensi dua pengertian atau lebih. Ada aturan yang formal dan yang tidak formal, yang formal misalnya "air adalah basah", "api adalah panas", aturan tidak formal misalnya "kue-kue adalah manis". Aturan formal berdasarkan hukum alam, sedangkan aturan tidak formal berdasarkan perjanjian atau pengalaman.
Perkembangan representasi dunia keliling berjalan melalui urutan tersebut di atas. Penting dikemukakan di sini bahwa Piaget tidak menghubungkan fase-fase tadi pada umur-umur tertentu. Ia hanya mengatakan bahwa representasi menunjukkan urutan tersebut dan bahwa makin lama makin tercapai bentuk representasi yang lebih tinggi. Menurut Piaget perkembangan kognisi dapat dibagi menjadi beberapa stadium, artinya fungsi kognitif pada umur yang berlain-lainan dapat jelas dibedakan satu sama lain. Jadi stadium yang berurutan tadi menunjukkan kemungkinan kognitif baru yang sebelumnya belum ada.
Dalam keseluruhan Piaget membedakan adanya 10 stadium sebagai titik mula yang jelas mengenal timbulnya kemungkinan-kemungkinan baru. Pembagian yang paling banyak ada pada stadium pokok yang pertama, yaitu stadium sensori motorik. Stadium ini mencakup 6 buah sub stadium (lihat tabel 4). Stadium pra-operasional, stadium pokok yang kedua biasanya dibagi menjadi dua stadium: dari 2-5 tahun dan dari 5-7 tahun. Dalam sub stadium yang pertama lebih banyak menonjol perkembangan fungsi-fungsi simbolis serta berpikir intuitif. Pada sub stadium yang kedua lebih menonjol perkembangan konservasi. Dalam periode ini tumbuhlah pengertian akan invariansi, sifat kelanggengan benda, artinya banyaknya atau beratnya barang sesuatu akan tetap sama, tetap tidak berubah dengan berubahnya bentuk barang itu. Stadium operasional konkrit (kurang lebih 7-11 tahun) dan stadium operasional formal (mulai kurang lebih 12 tahun) masing-masing merupakan stadium pokok ketiga dan keempat.
4.4.2.1 Stadium sensori-motorik (0-18 atau 24 bulan)
Anak yang masih kecil, si bayi menunjukkan tindakan-tindakan yang inteligen. Dalam tindakan-tindakan nampak inteligensinya. Gerakan-gerakan refleks yang pertama membawa ke arah penguasaan pengetahuan mengenal dunia luar.
Anak sejak lahir, seperti yang telah kita ketahui, mempunyai sejumlah skema tingkah laku seperti menghisap, meraih (memegang), menggoyang-goyangkan badan dan memukul sesuatu.
Piaget berpendapat bahwa dalam perkembangan kognitif selama stadium sensori motorik ini, Inteligensi anak baru nampak dalam bentuk aktivitas motorik sebagai reaksi stimulasi sensorik. Dalam stadium ini yang penting adalah tindakan konkrit dan bukan tindakan imaginer atau hanya dibayangkan saja. Piaget masih membagi periode ini ke dalam sejumlah sub stadium (lihat Tabel 6 dan selanjutnya Dumont, 1966). Dalam stadium ini nampak perkembangan anak sebagai berikut:
Tabel 6. Gambaran mengenai enam sub stadium sensori motorik (0-18, atau 24 bulan) dalam hubungan dengan perkembangan permanensi objek; di samping itu dilukiskan unsur-unsur yang penting yang ada dalam stadium yang berlainan (bandingkan Flavell, 1977, hal 36 dan 58).
Perkembangan kognitif Permanensi Objek
Stadium 1 (+ 0 - 1 bulan)
Skema refleks bawaan (berujud tingkah , laku refleks)
Stadium 2 (1 - 4 bulan)
Modifikasi skema stadium 1 atas dasar pengaruh pengalaman; mengakibatkan koordinasi, antara lain koordinasi mata-tangan (reaksi sirkuler yang primer) tertuju pada badan sendiri, misal mulai 3 bulan: monolong meraban, bemain-main dengan jari-jari kakinya sendiri). Stadium 1 dan 2 (+ 0—4 bulan)
Bayi mengikuti objek yang bergerak dengan mata sampai objek menghilang, perhatian segera hilang dan memandang sebentar pada tempat objek menghilang.
Stadium 3 (± 4 — 8 bulan)
Perkembangan skema yang menyebabkan akibat yang menarik dalam lingkungan. orientasi ekstern, (reaksi sirkuler yang sekunder ditujukan pada lingkungan. misal membuka pintu atau tas).
• Reaksi sirkuler yang sekunder (Piaget, 1936)
• Functionlust (K. Buhler, 1919)
• Motivasi efektif (effectance: motivati¬on) = bergaul secara efektif dengan lingkungan (White, 1959).
Tiga macam nama untuk satu gejala yang sama: tingkah laku yang satu mengundang tingkah laku yang berikutnya = sirkuler.
Stadium 3 (+.4 - 8 bulan)
Mengikuti objek dengan mata, fiksasi bila gerakan objek berhenti, tahu sebelumnya posisi yang akan datang berdasarkan proses gerakan. Mengikuti secara visual sampai melampaui tempat menghilangnya objek (misal, membungkuk dari kursi untuk melihat objek yang jatuh). Dapat mengenal objek yang hanya nampak sebagian. Tidak mencoba untuk memegang bila menghilang meskipun mampu. Tidak heran bila objek menghilang.
Stadium 4 (+ 8 -12 bulan)
Koordinasi respons stadium 3 mengakibatkan tingkah laku intensional, nampak seperti "inteligen" (koordinosi reaksi-reaksi sekunder) Stadium (+ 8 – 12 bulan)
Mencoba memegang dengan tangan objek yang menghilang dari pandangan mata. Mencari terus ditempat menemukan sebelumnya meskipun melihat kalau dipindah. Kebiasaan motorik: "Carilah di tempat yang sebelumnya kau menemukannya"; penting di sini pola aksi sensoris.
Perkembangan kognitif Permanensi Objek
Stadium 5 (+ 12 - 18 bulan)
Stadium 5 (+ 12 - 18 bulan)
Mencari objek di tempat yang untuk terakhir dilihatnya menghilang, misal di tangan, bukan di bawah lap atau layar tempat objek ditinggalkan
Stadium 6 (±. 18 — 24 bulan)
Penemuan, skema alat tujuan yang baru melalui kombinasi mental internal dari skema-skema yang direpresentasi secara simbolis. Perpindahan dari fungsi sensori metoris ke fungsi simbolis lognitif (permulaan berpikir) Stadium 6 (±. 18 — 24 bulan)
Anak menggunakan kecakapan simbolis yang baru berkembang untuk membayangkan kemungkinan berbagai perpindahan yang tidak nampak dari-pada objek yang tersembunyi; tidak khusus terikat pada perpindahan yang nampak.
pada mulanya anak bergerak melului atas dasar tingkah laku refleksi murni. Sama sekali belum ada differensiasi antara anak dan keliling. Baru pada akhir periode ini nampak differensiasi yang jelas antara subjek dan objek. Contoh yang paling jelas mengenai arah perkembangan ini adalah gejala permanensi objek (untuk maksud ini lihat juga pasal 3.1.1.).
Pada mulanya maka suatu objek hanya merupakan suatu perpanjangan tindakan tersendiri. Bagi anak umur ±. 8 bulan objek tidak ada eksistensinya lagi bila misalnya disembunyikan di belakang layar. Baru sekitar 9—12 bulan anak mampu untuk menemukan kembali objek-objek yang disembunyikan. Anak pada usia ini hanya mencarinya di tempat objek tadi disembunyikan pertama kali, Dengan lain perkataan bila suatu objek untuk pertama kalinya disembunyikan di bawah bantal A dan kemudian di bawah bantal B, maka anak umur 12 bulan pertama-tama mencarinya di bawah bantal A.
Baru pada bagian kedua tahun kedua, anak mencari objek tadi di tempat yang terakhir kali ia melihatnya menghilang atau disembunyikan (di bawah bantal B). Tetapi pada usia ini anak masih harus melihat juga apa yang terjadi. Bila kita mengambil suatu objek dan memasukkannya ke dalam dos, kemudian meletakkan dos itu di belakang layar lalu objek dikeluarkan. maka baru pada akhir periode ini-jadi sekitar 18 bulan timbul pengertian pada anak untuk juga melihatnya di belakang layar waktu itulah anak baru mampu untuk membayangkan hal-hal baru.
Dari observasi-observasi ini ternyata bahwa selama stadium sensori motoris ini anak berkembang kearah suatu proses. Piaget menanamkan proses ini proses desentrasi, artinya anak dapat memandang dirinya sendiri dan lingkungan sebagai dua entitas yang berbeda.
4.4.2.2 Stadium pra-operasional (± 18 bulan —7 tahun)
Stadium pra-operasional dimulai dengan penguasaan bahasa yang sistematis, permainan simbolis. imitasi (tidak langsung) serta bayangan dalam mental. Semua proses ini menunjukkan bahwa anak sudah mampu untuk melakukan tingkah laku simbolis. Anak sekarang tidak lagi mereaksi begitu saja terhadap stimulus-stimulus melainkan nampak ada suatu aktivitas internal.
Anak mampu untuk berbuat pura-pura, artinya dapat menimbulkan situasi-situasi yang tidak langsung ada. Ia mampu untuk menirukan tingkah laku yang dilihatnya (irnitasi/dan apa yang dilihatnya sehari sebelumnya (imitasi tertunda). Anak dapat mengadakan antisipasi, misalnya ia sekarang dapat mengatakan bahwa menaranya belum selesai, karena ia tahu menara yang bagaimana yang akan dibuatnya. Ia sekarang mampu untuk mengadakan representasi dunia pada tingkatan yang konkrit. Tetapi meskipun adanya banyak aspek-aspek yang positif dalam cara berpikir pra-operasional ini, namun masih banyak kekurangan juga.
Berpikir pra-uperasional masih sangat egosentris. Anak belum mampu (secara persepsual, emosional-motivational, dan konsepsual) untuk mengambil perspektif orang lain).
Contoh: anak diajak ke lapangan balap mobil. Di lapangan tadi ada 3 buah mobil, merah, putih dan biru berjajaran. Bila anak diminta untuk menyebutkan uratan mobil tadi dari sudut pandangan orang lain yang berdiri di seberang sebaliknya, maka ia akan menjawab dari sudut perspektifnya sendiri.
Cara berpikir praoperasional sangat memusat (centralized). Bila anak dikonfrontasi dengan situasi yang multi-dimensional, maka 2 akan memusatkan perhatiannya hanya pada satu dimensi saja dan mengabaikan dimensi-dimensi yang lain dan akhirnya juga mengabaikan hubungannya antara dimensi-dimensi ini.
Contoh : sebuah gelas tinggi ramping dan sebuah gelas pendek dan lebar diisi dengan ait yang sama banyaknya. Anak ditanya apakah air dalam dua buah gelas tadi sama banyaknya. Anak kebanyakan akan menjawab bahwa ada lebih banyak air dalam gelas yang tinggi ramping tadi karena gelas ini lebih tinggi daripada yang satunya. Anak belum melihat dimensi-dimensi yang lain.
Berpikir pra-operasional adalah tidak dapat dibalik (ir-reversable). Anak belum mampu untuk meniadakan suatu tindakan dengan memikirkan tindakan tersebut dalam arah yang sebaliknya. Sangat khas bagi anak dalam pariode ini adalah, percakapan antara orang dewasa dan anak sebagai berikut:
Totok, kau punya saudara Ya!
Siapa nama saudaramu Mita
Apa Mita punya saudara Tidak
Hubungan "Totok punya saudara Mita' dibalik. Berpikir pra-operasional adalah terarah dibalik. Bila situasi A beralih ke situasi B, maka anak hanya memperhatikan situasi A, kemudian B. Ia tidak memperhatikan transformasi perpindahannya A ke B.
Contoh: bila anak diminta untuk menggambarkan suatu tingkat yang sedang jatuh, maka anak mula-mula menggambar tongkat yang berdiri tegak dan kemudian tongkat yang berbaring. Aspek dinamiknya tongkat sedang jatuh- diabaikan oleh anak.
4.4.2.3 Stadium operasional konkrit (7—11 tahun)
Stadium operasional konkrit dapat digambarkan sebagai menjadinya positif ciri-ciri yang negatif pada stadium berpikir pra-operasional. Cara berpikir anak yang operasional konkrit kurang egosentris. Ditandai oleh desentrasi yang besar, artinya anak sekarang misalnya sudah mampu untuk memperhatikan lebih dari satu ! dimensi sekaligus dan juga untuk menghubungkan dimensi-dimensi ini satu sama lain (hal ini dapat dilihat dari kemampuan anak dalam stadium ini juga mengadakan konservasi; lihat 4.4.2.5. c). Anak sekarang juga memperhatikan aspek dinamisnya dalam perubahan situasi. Akhirnya ia juga sudah mampu untuk mengerti operasi logisnya reversibilitas.
Namun ada juga "kekurangannya" dalam cara berpikir yang operasional konkrit. Hal ini sebelumnya sudah secara implislt ditunjukkan oleh istilah operasional konkrit. Anak mampu untuk melakukan aktivitas logis tertentu (operasi) tetapi hanya dalam situasi yang konkrit. Dengan lain perkataan, bila anak dihadapkan dengan suatu masalah (misalnya masalah klasifikasi) secara verbal, yaitu tanpa adanya bahan yang konkiit, maka ia belum mampu untuk menyelesaikan masalah ini dengan baik.
Dalam uraian labih lanjut akan ditinjau mengenai tugas-tugas tertentu yang dapat menggambarkan perpindahan dari cara berpikir yang pra-operasional ke berpikir yang operasional.
4.4.2.4 Stadium operosional formal (mulai 11 tahun)
Seperti yang sudah dikatakan maka anak dalam stadium opera¬sional konkrit dapat berpikir operasional dengan catatan bahwa materi berpikirnya ada secara konkrit.
Anak dalam stadium operasional konkrit sangat terikat pada masa kini. Ia belum mampu untuk memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa ada. Hal ini berubah dengan datangnya stadium operasional formal.
Berpikir operasional formal mempunyai dua sifat yang penting:
1. Sifat deduktif-hipotetis: bila anak yang berpikir operasional konkrit harus menyelesaikan suatu masalah maka ia langsung memasuki masalahnya. Ia mencoba beberapa penyelesaian secara konkrit dan hanya melihat akibat langsung usaha-usahanya untuk menyelesaikan masalah itu.
Anak yang berpikir operasional formal, akan bekerja dengan cara lain. Ia akan memikirkan dulu secara teoretis. Ia menganalisis masalahnya dengan penyelesaian berbagai hipotesis yang mungkin ada. Atas dasar analisisnya ini, ia lalu membuat suatu strategi penyelesaian. Analisis teoretis ini dapat dilakukan secara verbal. Anak lalu mengadakan pendapat-pendapat tertentu, juga disebut proposisi-proposisi. kemudian mencari hubungan antara proposisi yang berbeda-beda tadi. Berhubung dengan itu maka berpikir operasional formal juga disebut berpikir proporsional.
2. Berpikir operasional formal juga berpikir kombinatoris.
Sifat ini merupakan kelengkapan sifat yang pertama dan berhubungan dengan cara bagaimana dilakukan analisisnya. Hal ini dapat digambarkan dengan contoh berikut: pencoba memberikan lima buah gelas berisi cairan tertentu kepada anak. Suatu kombinasi cairan ini membuat cairan tadi berubah warna. Anak diminta untuk mencari kombinasi ini.
Anak yang berpikir operasional konkrit mencoba untuk mencari kemungkinan-kemungkinan kombinasi tadi secara tidak sistematis, secara trial and error sampai secara kebetulan ia menemukan kombinasi tersebut. Tetapi sesudahnya ia tidak mampu untuk memproduksinya lagi. Kalau anak tidak dapat menemukan kombinasi yang betul tadi, hal itu berarti bahwa kombinasi yang secara kebetulan ditemukan itu, tidak dicarinya secara empiris. Anak yang berpikir operasional formal lebih dahulu secara teoretis membuat matriks mengenai segala macam kombinasi yang mungkin; kemudian secara sistematis mencoba setiap sei matriks tersebut secara empiris. Bila ia menemukan penyelesaiannya yang betul, maka ia juga akan segera dapat memproduksinya lagi. Dari contoh ini nampak bahwa. berpikir operasional formal memungkinkan orang untuk mempunyai tingkah laku "problem solving" yang betul-betul ilmiah, serta memungkinkan untuk mengadakan pengujian hipotesis dengan variabel-variabel tergantung.
4.4.2.5 Perpindahan dari berpikir pro-operesional ke operasional konkrit
Piaget menciptakan sejumlah tugas yang dapat menggambarkan perpindahan dari berpikir pra-operasional ke operasional konkrit. Tugas-tugas ini dapat dipandang sebagai tugas-tugas kriterium, artinya bila anak dapat menyelesaikan tugasnya maka ia ada dalam stadium operasional konkrit. Beberapa dari tugas-tugas ini akan diterangkan secara singkat sebagai berikut:
a. Mengatur secara serial: Bila anak dalam stadium pra-operasional diberi tugas. untuk mengatur beberapa tongkat kecil yang berlain-lainan panjangnya, maka ia tidak mampu untuk mengaturnya menurut panjang pendeknya tongkat-tongkat tadi. Anak yang berpikir operasional konkrit dapat melakukan hal itu.
b. Klasifikasi. Bila anak umur 2—5 tahun diberi sejumlah balok yang mempunyai warna dan bentuk yang berbeda-beda dan bila ia ditanya 'balok-balok mana yang sama, maka ia tidak dapat menjawabnya. Anak hanya membuat apa yang disebut "conceptual chains" artinya ia meletakkan balok-balok tadi dalam suatu "seri". berdasarkan dasar konsepsi yang senantiasa berbeda. Suatu contoh rangkaian konsepsi adalah: sebuah segi empat putih, sebuah segi empat merah (dasar bentuk). sebuah lingkaran merah, sebuah persegi merah (dasar warna). Anak selalu mengubah-ubah dasar konsepsinya dalam meletakkan urutan balok yang berikutnya.
Berikut ini akan diterangkan dulu mengenai pengertian "kelas". Dalam melukiskan kelas dapatlah dibuat suatu daftar mengenai semua objek yang ada dalam kelas tersebut. Bila disebutkan mengenai segi empat putih yang kecil, segi empat merah yang kecil, segi empat putih yang besar dan segi empat merah yang besar, maka penyebutan ini dinamakan ekstensi kelas (luasnya kelas). Aspek yang lain ialah bahwa semua objek yang tercakup dalam kelas ini mempunyai ciri segi empat. Ciri yang sama yang dimiliki oleh semua objek dalam kelas tadi disebut intensi kelas. Ciri yang khas dari kelas tadi menentukan objek mana dari suatu kumpulan objek yang dapat digolongkan dalam suatu kelas tertentu. Jadi dapat pula dikatakan intensi kelas menentukan ekstensinya.
Bila ada suatu kumpulan balok yang terdiri dari beberapa persegi merah dan putih serta beberapa bulatan biru dan hijau, maka klasifikasinya dapat dilukiskan seperti nampak pada Gambar 26.
Gambar 26. Skema klasifikasi mengenai sekumpulan balok yang berbeda-reda menurut bentuk dan warnanya.
Anak umur 5—7 tahun mampu untuk mengadakan klasifikasi sebagai berikut :
- Ia akan menggolong-golongkan semua balok-balok (anak-anak yang lebih muda akan sering menyisakan beberapa yang tidak diklasifikasi)
- Semua balok diklasifikasi menurut atau bentuk perseginya atau bentuk bulatnya. Jadi intensi menentukan ekstensinya.
- Ia juga akan membuat klasifikasi yang tepat menurut warnanya, jadi tidak membuat "conceptual chains".
- Ia juga akan menentukan tingkat hirargisnya; di sini tingkat yang paling rendah adalah warna dan tingkat yang paling tinggi adalah bentuk.
Namun pada usia ini anak belum mempunyai pengertian akan operasi logis dalam Inklusi-kelas, artinya Ia belum mengerti bagaimana relasi di antara tingkatan yang berbeda-beda itu dalam hirargi tadi:
Mengenai kumpulan balok-balok tadi dapat dipikirkan antara lain: (1) semua segi empat adalah merah atau putih, (2) ada lebih banyak segi empat daripada yang merah, (3) ada lebih banyak segi empat daripada yang putih, (4) bila segi empat yang merah diambil, tinggal yang putih, (5) bila segi empat putih yang diambil tinggallah yang merah dan sebagainya. Nampaknya hal ini semuanya masuk akal. Tetapi bila anak ditanya apakah ada lebih banyak segi empat daripada yang merah, atau apakah masih ada segi empat yang sisa bila yang merah semua diambil, maka anak belum dapat menjawabnya. Operasi mengenai inklusi-kelas terletak pada pengertian yang benar mengenai hubungan antara bagian dan keseluruhan, antara keseluruhan dan bagian, dan antara bagian dan bagian.
Ketidakmampuan anak pada umur 5—7 tahun untuk mengerti hal ini diterangkan oleh Piaget dengan hipotesis bahwa anak belum dapat menilai dua macam dimensi yang berbeda (di sini keseluruhan dan bagian) dalam satu situasi pengamatan yang sama.
Mulai 7 tahun anak nampak makin dapat mengadakan klasifikasi secara hirargis dan memperoleh pengertian dalam inklusi-kelas. Namun hal itu hanya dapat dilakukan bila bahan-bahannya adalah konkrit. Biasanya baru mulai usia 11 tahun anak mampu untuk mengadakan klasifikasi secara tepat, juga mengenai hal-hal yang tidak konkrit. Hal ini berhubungan dengan mulainya stadium operasional formal.
c. Konservasi. Hal ini berhubungan dengan pertanyaan bagaimana anak memperoleh pengettian bahwa sifat-sifat tertentu sesuatu objek akan tetap sama meskipun ada transformasi pada objek tadi. Bagi orang dewasa adalah jelas dan semestinya bahwa misalnya suatu bola dari tanah liat yang dirubah bentuknya akan tetap mempunyai berat yang sama. Anak dalam stadium pra-operasional akan mengira bahwa dalam contoh ini perubahan dalam bentuk juga menyebabkan perubahan dalam berat. Dapat dikatakan bahwa anak belum mampu untuk mengerti mengenai konservasi berat. Masalah konservasi ini mengambil tempat yang penting dalam teori Piaget. Mampu untuk konservasi menurut Piaget merupakan persyaratan yang mutlak bagi segala aktivitas intelektual, jelasnya untuk berpikir kuantitatif dan matematis. Prosedur eksperimentalnya yang digunakan Piaget untuk menentukan apakah anak mampu untuk konservasi atau belum dapat dilukiskan dengan contoh sebagai berikut:
Pencoba menunjukkan dua buah gelas yang identik, suatu gelas standard (S) dan suatu gelas variabel (V). Dengan dilihat oleh anak (coba) ia mengisi dua gelas tadi dengan jumlah air yang sama. Ia baru melanjutkan dengan prosedurnya sesudah anak menentukan dengan nyata bahwa dalam dua gelas tadi banyaknya air sama. Kemudian air dalam gelas V dituangkan dalam suatu gelas lain (V1) yang misalnya lebih tinggi dan lebih ramping daripada gelas V.
Pertanyaan konservasinya adalah:
"Apakah banyaknya air sama dalam gelas ini (menunjuk pada VI) dan dalam gelas itu (menunjuk pada S) ataukah airnya lebih banyak dalam gelas ini (menunjuk pada VI) atau gelas itu (menunjuk pada S)?"
Dengan prosedur tersebut dicoba untuk mengetahui kemampuan anak dalam konservasi kuontitas kontinyu. Selanjutnya penelitian konservasi juga tertuju pada konservasi berat (pertanyaah: apakah berat suatu bola' tanah liat berubah bila bentuknya berubah?), konservasi jumlah (pertanyaan bila ada dua deret tangkai korek api yang jumlahnya sama kemudian pada deret yang satu saya jarangkan letaknya, apakah jumlahnya masih sama) dan pada korservasi substansi (pertanyaan: apakah banyaknya tanah liat berubah bila suatu bola tanah liat diubah bentuknya?).
Penelitian Piaget dan lain-lain lagi menjelaskan bahwa anak mula-mula (± 4 tahun) tidak mampu untuk menyelesaikan masalah konservasi. Usia 5 tahun harus dianggap sebagai situasi peralihan artinya anak kadang-kadang bisa dan kadang-kadang tidak bisa menyelesaikan masalahnya. Mulal ± 6 tahun pertanyaan konservasi tidak merupakan masalah lagi bagi anak.
4.4.3 Kekuatan (motor) perkembangan
Sesudah tinjauan singkat mengenai stadium-stadium perkem¬bangan kognitif menurut Piaget ini. masih akan dibicarakan mengenal dua buah pertanyaan. Pertanyaan yang pertama adalah bagaimana anda dapat beralih dari stadium yang satu ke stadium yang lain dan bagaimana hubungannya dengan perkembangan dan belajar? Pertanyaan yang kedua berhubungan dengan kemungkinan sifat universalitas stadium-stadium tadi.
Pertanyaan yang pertama dapat dijawab dalam hubungan dengan faktor-faktor yang menurut Piaget akan memegang peranan yang penting dalam perkembangan inteligensi. Seperti telah diketahui maka dalam psikologi perkembangan ada dua pendapat yang ekstrim mengenai faktor-faktor yang penting dalam perkembangan ini. Pendapat organismis berpendapat bahwa inteligensi hanya ditentukan oleh mekanisme pemasakan yang biologis saja; perbedaan perseorangan disebabkan oleh perbedaan dalam kemampuan bawaan; faktor keliling tidak berpengaruh terhadap perkembangan.
Pendapat yang mekanistis sebaliknya mengatakan bahwa inteligen hanya ditentukan oleh faktor lingkungan saja; pemasakan biologis tidak ada pengaruhnya; perbedaan perseorangan disebabkan oleh perbedaan dalam kondisi lingkungan (bandingkan teori-teori belajar). Piaget memilih pendapat yang interaksionistis yang meletakkan titik berat yang sama pada faktor pemasakan maupun lingkungan.
Menurut Piaget maka pertumbuhan mental mengandung dua macam proses, perkembangan dan belajar. Perkembangan adalah perubahan struktural dan belajar adalah perubahan isi. Proses perkembangan dipengaruhi oleh 4 macam faktor. (Lihat juga Kncers; 1973).
a. Pemasakan: Tumbuhinya struktur-struktur fisik secara berangsur-angsur mempunyai akibat pada perkembangan kognitif anak. Contoh yang mudah dalam hal ini adalah pertumbuhan pusat susunan otak
b. Pengalaman atau kantak dengan lingkungan: Menurut Piaget maka kontak dengan lingkungan mengakibatkan dua macam ciri pengalaman mental. Pertama adalah pengalaman fisik yaitu aktivitas yang dapat mengabstraksi sifat fisik objek-objek tertentu. Pengalaman fisik ini memberikan pengertian mengenai sifat yang langsung berhubungan dengan objeknya sendiri, misalnya pengertian bahwa objek yang satu lebih berat daripada yang lain, bahwa bunga mawar mempunyai bau harum. Pengalaman yang satunya disebut Piaget pengalaman logiko-matematik. Pengalaman ini berhubungan dengan pengertian yang tidak datang dari pengaliaman fisik, melainkan diperoleh dari koordinasi internal perilaku individu. Misalnya anak bermain dengan sejumlah balok, dihitungnya dan berkali-kali dihitungnya lagi, diaturnya begini, lalu begitu. Dengan demikian anak akan memperoleh pelajaran tidak mengenai balok-baloknya sendiri, melainkan mengenai perilaku menghitung dan mengatur sendiri, melainkan ia akan mengerti bahwa perilakunya itu tidak mempunyai akibat apa-apa terhadap jumlah balok-balok tadi.
c. Transmist sosia/:'anak hidup dalam dunia sosial; maka melalui
sekolah, media massa dan lain-lain yang semacam anak mem¬
peroleh informasi yang berpengaruh terhadap perkembangan
kogr.itifnya. Dalam hubungan ini penting untuk disebutkan bahwa
Piaget menganggap bchasa tidak mernpunyai pengaruh langsung
terhadap perkembangan kognisi.
Berpikir adalah tingkah laku yang diinternalisasi. Jadi suatu keterbelakangan perkembangan kognitif tidak dapat dikejar oleh suatu program kompensasi bahasa. Pendapat Piaget mengenai hubungan antara bahasa dan berpikir ditinjau lebih lanjut oleh Furth. Furth telah berulang kali menerapkan percobaan-percobaan Piaget pada anak-anak yang tuli dan setengah tuli dan menemukan bahwa pada anak-anak ini tidak ada keterbelakangan apa-apa dibanding dengan anak-anak "normal". Dia lalu juga menyimpulkan bahwa tidak adanya bahasa ekstern tidak perlu merupakan hambatan untuk dapat secara normal mencapai stadium per-kembangan kognitif yang dikemukakan oleh Piaget.
d. Elcuilibrasi: faktor ini mengintegrasi efek ketiga faktor sebelumnya yang masing-masing kurang cukup memberikan keterangan mengenai proses perkembangan. Proses ekuilibrasi menunjuk pada proses yang mengatur dirinya sendiri dalam diri anak. Proses ini menyebabkan anak berpindah dari stadium yang satu ke stadium yang lain. Dalam perjalanan perkembangan dan
dalam pergaulan yang berulang-ulang dan bermacam-macam dengan lingkungan anak sering berhadapan dengan situasi-situasi konflik. Dalam situasi konflik ini maka keseimbangan yang telah dicapai anak sebelumnya menjadi terganggu. Anak sekarang berusaha untuk mengatasi situasi konflik tadi dengan menemukan keadaan seimbang kembali yang biasanya juga. mernpunyai nilai yang lebih tinggi.
Pertanyaan yang kedua berhubungan dengan sifat universalitas stadium-stadium. Piaget beranggapan bahwa semua orang dalam konteks kebudayaan apapun atan menjalani keempat macam stadium tadi dengan urutan seperti yang dikemukakannya, hanya kecepatannya dapat berbeda-beda Jadi misalnya anak berasal dari apa yang disebut lingkungan sosial ekonomi yang lebih tinggi akan lebih cepat berpindah dari berpikir pra-operasional ke operasional konkrit dibanding dengan anak berasal dari apa yang disebut lingkungan
sosial-ekonomi yang lebih rendah. Begitu pula seorang anak yang dapat mendengar normal lebih cepat mencapainya daripada anak yang setengah tuli. Pendapat Piaget ini diragukan oleh adanya dua macam penelitian.
Penelitian lintas budaya menunjukkan bahwa teori Piaget mungkin sangat berorientasi pada populasi yang khas barat; penelitian-penelitian ulangan dalam kultur yang berbeda tidak selalu memberikan hasil yang diharapkan.
Juga penelitian ulangan dalam kultur barat sendiri yaitu dalam apa yang disebut lingkungan sosial yang lebih rendah menunjukkan bahwa teori Piaget mungkin sangat berorientasi pada sekelompok anak yang baik dan terpilih dari apa yang disebut lingkungan yang lebih tinggi.
Meskipun adanya kritik ini Piaget tetap berkeyakinan akan sifat universalnya pembagian stadium-stadium ini. Titik tolaknya yang prinsip adalah bahwa semua orang pada suatu saat tertentu dalam perkembangannya akan mencapai stadium operasional formal sesudah melalui ketiga stadium sebelumnya. Memang dalam tahun 1972 Piaget mengemukakan perubahan-perubahan kecil dalam artikelnya: in tellectual evolution from adolescence to adulthood" akibat adanya kritik-kritik tersebut. Kalau sebelumnya Piaget beranggapan bahwa stadium operasional formal akan dicapai pada usia antara 11 dan 14 tahun, maka sekarang ia luaskan batas urnur tadi menjadi 15—20 tahun.
Di samping itu Piaget masih memperhatikan bahwa tiap manusia pada umumnya hanya akan mengkhususkan dirinya pada satu bidang pekerjaan tertentu. Dia kemukakan bahwa setiap orang bagaimanapun juga pada suatu tingkat umur tertentu akan mampu untuk berpikir operasional formal justru mengenai hal yang menyangkut lapangannya sendiri. Secara konkrit hal ini berarti bahwa seorang ahli hukum akan mampu untuk mengatasi masalah hukum secara operasional formal, tetapi hal ini tidak akan dapat dilakukan pada masalah yang murni fisika. Hal ini lalu tidak boleh diterangkan bahwa orang tersebut dalam prinsip tidak dapat berpikir secara operasional formal, sebaliknya orang tadi memiliki secara prinsip struktur-struktur berpikir operasional formal, namun dalam hal-hal fisika ia tidak mempunyai pengetahuan yang khusus yang dibutuhkan untuk mengatasi masalahnya.
OBJEK DAN METODE PSIKOLOGI PERKEMBANGAN
1.1 Pengertian perkembangan
Objek psikologi perkembangan adalah perkembangan manusia sebagai pribadi. Para ahli psikologi juga tertarik akan masalah seberapa jauhkah perkembangan manusia tadi dipengaruhi oleh perkembangan masyarakatnya (Van den Berg 1986; Muchow, 1962). Mengenai hal yang terakhir ini akan sering kita jumpai kembali dalam tulisan ini, namun perhatian psikologi perkembangan yang utama tertuju pada perkembangan manusianya sebagai person. Masyarakat merupakan tempat berkembangnya person tadi.
Tetapi apa sebetulnya yang dimaksudkan dengan perkembangan pribadi itu? Apakah artinya bila dikatakan bahwa perkembanga itu sedang berlangsung? Pertanyaan yang kedua ini akan mendapat tinjauan lebih lanjut nanti.
Pengertian perkembangan menunjuk pada suatu proses kea rah yang lebih sempurna dan tidak begitu saja dapat diulang kembali. Perkembangan menunjuk pada perubahan yang bersifat tetap dan tidak dapat diputar kembali (Wenner, 1969). Dalam “pertumbuhan” ada sementara ahli psikologi yang tidak membedakan antara perkembangan dan pertumbuhan, bahkan ada yang lebih mengutamakan pertumbuhan. Hal ini mungkin untuk menunjukan bahwa orang yang berkembang tadi bertambah kemampuannya dalam berbagai hal. Lebih mengalami diferensiasi dan pada tingkat yang lebih tinggi, lebih mengalami integrasi. Dalam tulisan ini, maka istilah pertumbuhan khusu dimaksudkan untuk menunjukan bertambah besarnya ukuran badan dan fungsi fisik yang murni. Menurut banyak ahli psikologi dan para penulis sendiri, maka istilah perkembangan lebih dapat mencerminkan sifat yang khas mengenai gejala psikologi yang muncul.
Pertumbuhan fisik memang mempengaruhi perkembangan psikis, misalnya bertambahnya fungsi otak memungkinkan anak dapat tertawa, berjalan, berbicara, dan sebagainya. Mampu untuk berfungsi dalam suatu nivo yang lebih tinggi karena pengaruh pertumbuhan, disebut pemasakan. Misalnya sebelum pendidikan kebersihan dapat dimulai, maka urat daging pembuangan harus selesai pertumbuhannya, harus sudah masak lebih dahulu. Meskipun dapat dikatakan mengenai belajar berjalan, namun harus ada pemasakan beberapa fungsi lebih dahulu, sebelum belajarnya tadi mungkin dilaksanakan.
Perkembangan juga berkaitan dengan belajar khususnya mengenai isi proses perkembangan; apa yang berkembang berkaitan dengan perilaku belajar. Disamping itu juga bagaimana hal sesuatu dipelajari, misalnya apakah melalui memorisasi (menghafalkan) atau mengerti hubungan, ikut menentukan perkembanagan (Knoers, 1985). Denagan demikian perkembangan dapat diartikan sebagai proses yang kekal dan tetap yang menuju kearah suatu organisasi pada tingkat integrasi yang lebih tinggi, berdasarkan pertumbuhan, pemasakan dan belajar. Terjadilah suatu organisasi atau struktur tingkah laku yang lebih tinggi. Pengertian lebih tinggi berarti bahwa tingkah laku tadi mempunyai lebih banyak diferensiasi, yaitu bahwa tingkah laku tersebut tidak hanya lebih luas, melainkan mengandung kemungkinan yang lebih banyak. Pengertian organisasi atau struktur berarti bahwa diantara tingkah laku tadi ada saling hubungan yang bersifat khas dan menunjukan kekhusussan seseorang pada suatu tingkat umur tertentu. Suatu definisi yang relevan dikemukakan oleh Monks sebagai berikut: “Perkembangan psikologis merupakan suatu proses yang dinamis. Dalam proses tersebut sifat individu dan sifat lingkungan menentukan tingkah laku apa yang akan menjadi actual dan terwujud. Umur kalender disini bukan merupakan suatu variable yang bebas, melainkan merupakan suatu dimensi waktu untuk mengatur bahan-bahan (data yang ada).
1.2 Psikologi kepribadian dan psikologi perkembangan
Dalam pasal yang sebelumnya telah sering ditunjukan adanya hubungan antara perkembangan dengan pribadi atau kepribadian. Pribadi atau kepribadian disini dipandang sebagai kesatuan sifat yang khas yang menandai pribadi tertentu itu. Pemakaian istilah kepribadian menimbulkan permasalahan baru, yaitu karena teori mengenai kepribadian ada bermacam-macam. Hal ini menunjukan bahwa kepribadian tersebut merupakan suatu pengertian yang dapat diartikan bermacam-macam pula. Herman (1969) berpendapat bahwa pengertian kepribadian merupakan suatu konstruk teoritis yang sengat kabur definisinya. Oleh karena itu menurut Hermann lebih baik definisinya diberikan sesudah dilakukan penelitian lebih lanjut daripada diberikan sekarang.
Walupun terdapat banyak perbedaan pendapat antara para ahli teori kepribadian, namun menurut Thomae (1986) ada suatu persamaan pendapat, yaitu bahwa setiap pribadi mempunyai ciri-cirinya yang khas. Tidak ada satu orangpun yang mempunyai ciri seratus persen yang sama dengan orang lain, setiap orang adalah pribadi yang khusus. Disamping itu juga ada suatu stabilitas dalam kepribadian seseorang hingga dapat dikatakan ada suatu identitas pribadi. Meskipun ada perubahan yang dialami seseorang, pada dasarnya orang tadi tetap mewujudkan pribadinya sendiri.
Psikologi kepribadian lebih menitikberatkan pada sifat kepribadian yang umum, maupun yang khusus (yang membedakan seseorang dari yang lain) sertta kombinasi sifat-sifat tersebut sehingga mewujudkan totalitas kepribadian tertentu. Psikologi perkembangan lebih mempersoalkan faktor-faktor yang umum yang mempengaruhi proses perkembangan yang terjadi di dalam diri pribadi yang khas itu.
Titik berat yang diberikan oleh para ahli psikologi perkembangan adalah pada raksi antara kepribadian dan perkembangan. Hal itu disebabkan oleh pendapat bahwa keseluruhan kepribadian itulah yang berkembang, meskipun beberapa aspek lebih menonjol pada masa-masa perkembangan tertentu, misalnya perkembangan fungsi indera dan fungsi motorik lebih menonjol pada tahun-tahun pertama. Ahli psikologi perkembangan lebih tertarik pada struktur yang berbeda-beda pad apribadi yang sedang berkembang, pada urut-urutan perkembangannya maupun pada hubungannya satu sama lain. Sehubungan dengan itulah dipakai istilah stadium yang berurutan bila berkisar pada suatu komponen tertentu, misalnya stadium perkembangan intelegensi. Dengan demikian orang bicara mengenai masa-masa penghidupan yang jelas dapat dibedakan antara yang satu dengan yang lain, misalnya masa kanak-kanak, masa kanak-kanak maupun dengan masa dewasa awal, meskipun ada cirri yang khas masa remaja yang jelas berbeda dengan masa kanak-kanak dan yang kurang jelas berbeda dengan masa dewasa awal. Berhubungan sifat orang adalah khas serta jalan perkembangannya juga khas maka psikologi perkembangan juga dapat dipandang sebagai psikologi jalan hidup seseorang. Charlotte Buhler (1963) sudah bekerja secara sistematis kearah itu, khusunya Thomae (1986) telah menyempurnakan psikologi jalan hidup tadi dengan data empiris.
Thomae adalah pelopor biografik psikologi, yaitu memperoleh data mengenai seseorang seobjektif mungkin. Dalam kenyataan, maka cara ini adalah suatu kombinasi pendekatan nomotorik (mencari hokum) dan yang idiografis (mencari kekhususan individual). Yang pertama adalah cara pendekatan ilmu pengetahuan empiris, yang kedua adalah cara pendekatan ilmu pengetahuan kerohanian ( De Groot, 1996).
1.3 Teori-teori perkembangan
Suatu teori akan memperoleh arti yang penting bila ia lebih banyak dapat melukiskan, menerangkan, dan meramalkan gejala-gejala yang ada. Marx (1963) membedakan adanya tiga macam teori yaitu:
a. Teori yang deduktif: memberikan keterangan yang dimulai dari suatu perkiraan atau pikiran spekulatif tertentu kea rah data yang akan diterangkan.
b. Teori yang induktif: cara menerangkan adalah dari data ke arah teori. Dalam bentuk ekstrim titik pandang yang positivistis ini dijumpai pada kaum behaviorist.
c. Teori yang fungsional: disini Nampak suatu interaksi pengaruh antara data dan perkiraan teoritis, yaitu data mempengaruhi pembentukan teori dan pembentukan teori kembali mempengaruhi data.
Berdasarkan tiga pembagian ini dapatlah disimpulkan bahwa teori dapat dipandang sebagai berikut:
1. Teori menunjuk pada sekelompok hokum yang tersusun secara logis. Hokum-hukum ini biasanya mempunyai sifat hubungan yang deduktif. Suatu hokum menunjukan suatu hubungan antara variabel-variabel empiris yang bersifat ajeg dan dapat diramal sebelumnya.
2. Suatu teori juga dapat merupakan suatu rangkuman tertulis mengenai suatu kelompok hokum yang diperoleh secara empiris dalam suatu bidang tertentu. Disini orang mulai dari data yang diperoleh dan dari data yang diperoleh itu dating pada suatu konsep yang teoritis.
3. Suatu teori juga dapat menunjuk pada suatu cara menerangkan yang menggeneralisasi. Disini biasanya terdapat hubungan yang fungsional antara data dan pendapat yang teoritis.
Berdasarkan data tersebut diatas secara sangat umum dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu teori adalah suatu konsepsualisasi yang umum. Konsepsualisasi atau system pengertian ini diperoleh melalui jalan yang sistematis. Suatu teori harus dapat diuji kebenarannya, bila tidak dia bukan suatu teori.
Didalam ilmu pengetahuan sering digunakan apa yang disebut model, maka perlulah disini untuk membedakan antara teori dan model. Bila suatu gejala kita pandang sebagai suatu kesatuan yang terdiri daripada bagian-bagian yang saling berhubungan, maka gejala tadi disebut suatu system yang konkrit.
Seringkali model digunakan untuk memperoleh informasi yang lebih banyak mengenai gejala. Hal ini disebut fungsi model yang heuristis atau yang bersifat mencari. Hal tersebut menghasilkan suatu hipotesis kerja yang dapat membantu pembentukan teori lebih lanjut. Seringkali suatu model mempunyai fungsi melukiskan atau menerangkan belaka. Melukiskan atau menerangkannya tidak akan bias sempurna, tetapi mempunyai hubungan denganaspek gejala yang dianggap penting.
Suatu model tidak boleh diuji kebenarannya, seperti halnya suatu teori. Model sedikit banyak dapat digunakan untuk melukiskan atau menerangkan gejala-gejala tertentu. Untuk menerangkan model deficit, baiklah kita tinjau model deficit Charlotte Buhler yang berorientasi biologis.
Menurut Buhler (1893-1974) ada lima perkembangan pisikis seseorang
a. Permulaan
b. Penenjakan
c. Puncak masa hidup: 25-50 tahun
d. Penurunan
e. Akhir kehidupan
Menurut Buhler, maka dalam perkembangan fisik ada empat titik balik yang menentukan:
a. Permulaan kemasakan seksual: pada anak laki-laki ± 15 tahun. Pada anak wanita ± 13 tahun.
b. Penghentian pertumbuhan jasmani: wanita ± 18 tahun. Laki-laki ± 25 tahun
c. Akhir masa subur: wanita ± 40-46 tahun. Laki-laki masuh tanda Tanya.
d. Permulaan kemunduran biologis: ± 50 tahun.
Penanjakan kehidupan manusia menurut Buhler berlangsung sampai tahun ke-25, sesudah itu dating masa yang relative stabil, yaitu puncak masa hidup, dan akhirnya dating masa kemunduran biologis. Meskipun kemunduran biologis merupakan suatu fakta yang nyata, tetapi masih belum dapat ditentukan apakah juga ada suatu kemunduran dalam fungsi psikis.
1.3.1 Teori yang berorientasi biologis
Teori ini menitikberatkan pada apa yang disebut bakat. Jadi faktor keturunan dan konstitusi yang dibawa sejak lahir. Perkembangan anak dilihat sebagai pertumbuhan dan pemasakan organisme. Perkembangan bersifat endogen, artinya perkembangan tidak hanya berlangsung spontan saja, melainkan juga harus dimengerti sebagai pemekaran pre-disposisi yang telah ditentukan secara biologis dan tidak dapat berubah lagi (genotype). Dalam hal ini maka perkembangan merupakan suatu proses yang spontan, yang oleh Piaget (1971) disebut sebagai kelanjutan ganesa-embryo. Pengaruh lingkungan yang menguntungkan dan tidak menguntungkan ikut menentukan sifat apa yang akan terwujud yang dimilki organisme dalam periode tertentu (fenotype).
Kelemahan teori ini Nampak dalam penelitian anak-anak kembar. Anak kembar yang identik ( satu telur) yang dibesarkan dalam milieu (lingkungan) yang berbeda, mengalami proses perkembangan yang berbeda pula. Perbedaan dalam perkembangan dua anak tadi tidak dapat diterangkan melulu sebagai reaksi mereka terhadap banyak sedikitnya kehangatan yang diterima, atau melulu karena banyak sedikitnya pendidikan formal yang dialami.
Kelemahan teori yang berorientasi biologis itu juga kita jumpai pada waktu anak dalam suatu kondisi tertentu mampu melaksanakan tingkah laku operasi. Yaitu melakukan tingkah laku intelektual pada waktu yang lebih awal daripada stadium perkembangannya, misalnya dapat membaca pada waktu yang sangat awal. Anak-anak dengan informasi bawaan yang sam mungkin akan menggunakan informasinya itu dengan cara yang berbeda-beda.
1.3.2 Teori Lingkungan
Dalam kelompopk teori lingkungan (atau teori milieu) termasuk teori belajar dan teori sosialisasi yang bersifat sosiologis. Kedua macam teori itu sebetulnya sama karena prionsip sosialisasi itu merupakan suatu bentuk belajar social. Hal ini juga berlaku bagi enkulturasi, yaitu memperolehnya tingkah laku kebudayaan sendiri, yang banyak ditulis oleh ahli antropologi budaya, seperti Benedict (1934), Kardiner (1945), Mead (1953).
Teori-teori belajar mempunyai sifat yang berlainan (Knoers, 1973). Persamaan yang ada diantara berbagai teori belajar itu adalah bahwa mereka semua memandang belajar sebagai suatu bentuk perubahan dalam disposisi seseorang yang bersifat relative tetap, disposisi disini diartikan sebgai potensi untuk bertingkah laku, untuk bersikap. Menurut teori ini maka perkembangan adalah bertambahnya potensi untuk bertingkah laku. Berjalan harus dipelajari, bergaul dengan orang lain juga harus dipelajari, begitu juga berpikir logis.
Teori ini beranggapan bahwa sesudah tahun pertama, potensi untuk melakukan tingkah laku nivo yang lebih tinggi tidak tergantung daripada perubahan spontan pada struktur diri organisme, melainkan tergantung pada apa yang kita pelajari dengan teknik-teknik yang tepat. Jadi bila anak hidup dalam suatu lingkungan tertentu, maka anak tadi akan memeperlihatkan pola tingkah laku yang khas lingkungannya tadi.
Para ahli sosiologi mengemukakan bahwa kemungkinan besar ada semaca watak social (Rolff, 1970). Watak social ini menurut Fromn (1941) adalah inti struktur watak yang dimiliki oleh semua anggota suatu budaya atau sub-budaya tertentu. Watak social berlainan dengan watak individual yang menunjuk pada perbedaan yang diantara orang-orang dari suatu budaya yang sama.
1.3.3 Teori psikodinamika
Teori ini mempunyai kesamaan dengan teori belajar dalam hal pandangan akan pentingnya pengaruh lingkungan, termasuk lingkungan (milieu) primer terhadap perkembangan. Perbedaan ialah bahwa teori psikodinamika memang komponen yang bersifat sosio-afektif sangat fundamental dalam kepribadian dan perkembangan seseorang. Menurut toeri ini, maka komponen yang bersifat sosio-afektif, yaitu keteganagn yang ada dalam diri seseorang, sebagai penentu dinamikanya.
Menurut salah satu teori psikodinamika terkenal, yaitu teori Freud, maka seorang anakdilahirkan dengan dua macam kekuatan (energi) biologis, yaiutu libido dan nafsu mati. Kekuatan atau energi ini “mengusasai” semua orang atau semua benda yang berarti bagi anak, melalui proses yang oleh Freud disebut kathexis. Kathexis berarti konsentrasi psikis terhadap suatu objek atau suatu ide yang spesifik atau terhadap suatu person yang spesifik.
Struktur anak pada waktu dialhirkan adalah apa yang disebut “DasEs” “DasEs” ini mendorong anak untuk memuaskan nafsu-nafsunya (prinsip kenikmatan). Tetapi didalam perkembanganya anak tertumbuk pada realita keliling hingga repaksa harus mengadakan suatu kompromi (prinsip realitas). Dari kenyataan ini timbulah di dalam struktur “Das Es” suatu komponen lain yaitu “Das loh” (aku) yang berfungsi sebagai penentu diri, baik terhadap dunia luar maupun terhadap “Das Es”. Denagn demikian pemuasan nafsu ditunda hingga saat-saat yang sesuia denagn realitas. Kadang-kadang pemusaan nafsu tersebut diubah bentuknya hingga dapat diterima oleh norma realitas.
Kemudian karena pengaruh lingkunagn social pada masa kanak-kanak, yaitu pengaruh orang tua, terbentuklah “Das Ueber-ich” di dalam “Des Ioh” seseorang. “Uber-ich” tadi mengatur laku “Ioh” dan mengatur tuntunan yang datangdari “Es”. Kalau “Ioh” tidak berhasil mengkompromikan tuntutan “ Es” dan tuntutan “Ueer-ich”, maka nafsu-nafsu yang berasal dari “Es” ditekan secara tidak sadar. Hal ini berarti bahwa nafsu-nafsu tadi tidak manifest, tetapi penagaruhnya masih ada secara laten. Seseorang lalu dapat melakukan hal-hal tertentu yang tidak diketahui sendiri alasannya.
Teori perkembangan yang berorientasi kepada psikodinamika tidak lagi mengakui pendapat yang dulu dianut secara umum, bahwa perkembangan fungsi seksual baru dimulai bersamman dengan pertumbuhan organ kelamin pada masa remaja. Libido yang juga disaebut seksualitas sesuai dengan tujuan dan arahnya, sudah mulai berfungsi sejak anak dilahirkan.
Kehidupan seksual mempunyai fungsi memberi kenikmatan pada bagian-bagian badan tertentu; baru kemudian sesudah mencapai tingkatan tertentu dalam perkembangan, maka seksualitas dimaksudkan untuk kepentingan reproduksi (pengembangbiakan). Dalam proses perkembangan ada tiga daerah badan tertentu yang dapat memberikan kenikmatan (daerah orogen), yaitu mulut, anus, dan organ-organ genital. Mulut adalah sumber kenikmatan utama, tidak hanya karena melalui mulut bayi memperoleh makanan atau karena dalam menyusu ia dapat merasakan kehangatan ibu melalui mulutnya melainkankarena gerakan menghisap yang ritmis itulah memberikan kenikmatan tersendiri. Berhubungan dengan itulah maka mulut dalam fase oral ini merupakan alat pertama bagi anak untuk memperoleh kesan kesan. Semuanya dibawa ke mulut untuk dihisapnya. Bila nanti tumbuh gigi-giginya, maka sudah dalam fase inilah timbul implus agresif (sadistis) yang akan berkembang penuh pada fase berikutnya, yaitu fase anal yang sadistis. Dalam fase ini kenikmatan dialami pada fungsi pembuangan yaitu pada waktu menahan dan bermain-main dengan faces (kotoran) juga senag bermain dengan lumpur dan senang melukis dengan jari (“fingerpainting”) yaitu mengecat langsung dengan jari yang mempunyai tujuan psikoterapi, yaitu penyaluran kecemasan dan agresi.
Dalam fase ini nampak jelas hambatan yang dtang dari lingkunagan dalam bentuk pendidikan akan kebersihan, larangan terhadap kecendrungan destruktif dan hambatan terhadap kemauan yang secara agresif ingin dipaksakannya. Sesudah fase ini datanglah lambat laut fase fallis, sesuia dengan nama organ genital laki-laki (phallus) yang kemudian merupakan daerah kenikmatan seksual anak laki-laki. Sebaliknya anak wanita merasakan kekurangan akan penis karena hanya mempunyai klitoris. Terjadilah jalan simpang bagi anak wanita dan anak laki-laki. Anak laki-laki pada masa ini mengalami konflik Oedipus sesuai dengan nama raja Yunani Oedipus yang tanpa diketahuinya telah kawian dengan ibunya sendiri setelah membunuh ayuah yang tidak dikenalnya. Anak laki-laki ingin bermain-main dengan penisnya ( masturbasi) dan dengan penis tersebut juga ingin merasak kenikmatan pada ibu. Tetapi keinginannya ini menimnbulkan ketakutan yang mendalam terhadap ayah. Anak mengira ayah akan melakukan pembalasan terhadap dirinya dengan memotong penis (kastrasi). Dengan demikian terjadi masa latensi. Dalam masa latensi ini seksualitas seakan mengendap, tidak aktif, dalam keadaan laten. Tetapi dalam keadaan laten ini dimungkinkan juga suatu pengolahan seksualitas dari dalam yang menimbulkan rasa mesra dalam diri anak (Cluckers, 1977).
Iri hati akan penis ini juga dapat mengakibatkan penolakan seksualitas yang dapat mempengaruhi perkembangan erotik serta menghambat kemungkinan mencapai kebahagiaan dalam hubungan seks dengan orang lain nanti. Dengan pertumbuhan organ-organ kelamin pada masa remaja, timbullah fase yang terakhir yaitu fase genital. Dalam fase ini, organ-organ genital menjadi sumber kenikmatan sedangkan kecendrungan lain ditekan. Bila dalam hubungan ini norma “Uber-ich” anak terlalu tinggi, misalnya karena tekanan orang tua, maka munculnya kebutuhan seks dapat menyebabkan gangguan batin yang serius.
Teori perkembangan yang berorientasi psikodinamika mempunyai kelemahan, yaitu tidak dapat diuji secara empiris (Eysenck, 1959; De Waele, 1961). Teori tersebut menitikberatkan akan perkembangan sosio-sfektif. Bila dalam teori ini seksualitas menduduki tempat yang utama, perlu diketahui juga bahwa libido dan agresi selalu berjalan bersama-sama. Jadi kalau misalnya seksualitas ditekan karena norma pendidikan orang tua, maka agresi ikut ditekan juga.
Erikson (1964) meluaskan teori freud yang agak menyebelah ini dengan mencoba meletakkan hubungan antara gejala psikis dan edukatif di suatu pihak dan gejala masyarakat-budaya di pihak yang lain. Suatu kehidupan bersama ditandai oleh cara anak diasuh dalam lingkungan hidup mereka yang wajar. Misalnya sebagai contoh Erikson mencoba mengartikan cara pendidikan orang Amerika dan pentingnya peranan ibu dalam menciptakan “home” di rumah, khusunya dalam waktu banyak pionir sedang pergi jauh keluar dari lingkungannya sendiri. Disini dapat dilihat bahwa Erikson kurang mengindahkan pengaruh kelembagaan modem dalam masyarakat.
Walaupun begitu, cara pendekatan Erikson yang bersifat normopsikologis ditinjau dari pendekatan Psikologi sepanjang hidup cukup relevan untuk ditinjau sejenak. Erikson membagi hidup manusia menjadi beberapa fase atas dasar proses-proses tertentu berdasarkan akibat-akibatnya. Dari segi pandangan psikologi perkembangan, maka pada setiap fase seseorang mempunyai “tugas” yang harus diselesaikan dengan baik.
Sebagai suatu contoh dapat dilihat perkembangan seorang bayi dalam masa oral. Ia dapat memperoleh atau tidak memperoleh kepercayaan dasar terhadap dunia luar tergantung daripada sikap milieu primernya, terutama ibu, pada waktu anak mencari pengalaman melalui mulut. Hal ini dapat ikut membentuk timbulnya berbagai bentuk gangguan dan tingkah laku kejahatan.
Bila anak dapat menyelesaikan fase pertama dengan baik, maka kemungkinan telah terbentuk dasar perkembangan yang utama, meskipun dalam setiap fase individu dapat macet lagi meski dalam nivo yang tidak terlalu dalam. Karena gangguan tidak terjadi terlalu dalam maka dengan keberanian fase-fase yang sebelumnya, gangguan tadi lebih mudah diatasi.
1.3.4 Teori ilmu kerohanian
Tokoh yang paling utama dalam teori ini adalah Eduard Spranger (1882-1962). Titik berat pandangannya adalah pada kekhususan psikis individu. Sesuai dengan pendapat Dithley (1833-1911) Spranger mengemukakan bahwa gejala psikis seseorang sulit diterangkan seperti halnya menerangkan gejala fisik
Gejala dimengerti dari keseluruhan strukturnya, begitu pula gejala perkembangan dimengerti dengancara seperti itu. Misalnya pemasakan seksual adalah suatu gejala fisiologis, tetapi remaja memberikan arti dalam keseluruhan struktur psikologinya, penundaan pemuasan seks hingga sesudah masa remaja, menurut Spranger adalah suatu hal yang berarti, karena baru pada usia dewasa “Sexus” (nafsu seks) dan “Eros” (rasa kasih yang mempunyai hakekat etis) dapat bersatu.
Meskipun pendapat Spranger masih tergolong spekulatif, mungkin bertitik tolak dari perhatian antropologis, namun ide-idenya banyak dianut oleh penulis yang kemudian. Di negeri Belanda maka Langeveld (1959), Calon (1953) dan Beets (1954) dipandang sebagai wakil aliran ilmu kerohaniaan yang bersifat antropologis. Seprti halnya pada setiap teori, maka teori ini juga mempunyai beberapa variasinya.
1.3.5 Teori interaksionisme
Beberapa teori yang dibicarakan sebelumnya agak bersifat menyebelah, dari sebab itu membutuhkan suatu sintesa. Sintesa tersebut didapat di dalam teori interaksionisme yang sekarang banyak dianut oleh kebanyakan ahli psikologi perkembangan di Barat. William Stern dapat dipandang sebagai pelopor teori konvergensi yang beranggapan bahwa setiap tingkah laku merupakan hasil pertemuan (konvergensi) antara faktor pribadi dan faktor lingkungan.
Dalam Negara blok Timur lebih dianut teori lingkungan. Hal ini dapat dimengerti karena mereka menganut ideology Marxis yang menganggap perkembangan sebgai cermin masyarakat lingkungan. Dalam tingkah laku seseorang Nampak ada dialektik dengan lingkungan (Kossakowski, 1969; Davidow, 1961). Menurut Vygotsky perkembangan kognitif bukan merupakan perkembangan yang “wajar”, melainkan ditentukan oleh kebudayaan (Van Parreren, 1979; 1983).
Teoretikus terkenal dalam interaksionisme adalah Piaget (1947). Pendapatnya agak menyebelah karena Piaget hanya mementingkan perkembangan intelektual dan perkembangan moral yang berhubungan dengan itu. Disini moral dipandang sebagai berhubungan dengan intelektual anak.
Inti pengertian teori Piaget adalah bahwa perkembangan harus dipandang sebagai kelanjutan ganesa-embrio. Perkembangan tersebut berjalan melalui berbagai stadium dan membawa anak ke dalam tingkatan berfungsi dan tingkatan struktur yang lebih tinggi. Terlaksananya perkembangan ini dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, pertama dapat disebut faktor pemasakan yang memungkinkan dilakukannya aktivitas seseorang. Anak tidak dapat melakukan tindakan (operasi) tertentu, sebelum ia mencapai suatu tingkatan kemasakan tertentu. Pengaruh lain dating dari pengalaman dan transmisi sosial. Transmisi sosial berarti penanaman nilai-nilai melalui pendidikan, tetapi juga melalui bahasa yang karena strukturnya yang khas, dapat membuka kemungkinan-kemingkinan baru. Tetapi yang paling penting adalah aktivitas sosial individu yang dapat belajar menyesuaikan diri pada tuntutan realitas melalui pengalaman dan transmisi sosial. Bentuk penyesuaian ini oleh Piaget disebut asimilasi, yaitu memperoleh kesan dan pengertian baru atas dasar pola pengertian yang sudah ada. Istilah asimilasi diambil dari istilah biologi seperti juga halnya istilah adaptasi. Dengan istilah akomodasi Piaget mengartikan penyesuaian diri untuk dapat bertindak yang cocok dengan situasi baru dalam lingkungannya. Maka dari itulah suatu akomodasi lebih lanjut yang dibutuhkan untuk bertindak yang sesuai akan memecahkan keseimbangan tadi. Ekuilibrasi berarti mendapatkan keseimbangan baru secara aktif.
Istilah interaksionisme menunjuk pada pengertian interaksi, yaitu pengaruh timbale balik. Di sini dimaksudkan tidak hanya pengaruh mempengaruhi antara bakat dan milieu, antaqra pemasukan dan belajar, melainkan juga interaksi antara pribadi dan dunia luar. Interaksi tadi mengandung arti bahwa orang dengan mengadakan reaksi dan aksi ikut memberikan bentuk pada dunia luar )keluarga, teman, tetangga, kelas sosial, kelompok kerja, bangsa).
Di samping interaksi ada kovariansi faktor keturunan dan faktor lingkungan, artinya kedua faktor berjalan bersama-sama. Misalnya orang tua merupakan pengaruh keturunan dan pengaruh lingkungan sekaligus bagi anak. Dengan begitu dapat dilihat nanti, bahwa pengertian adaptasi Piaget dalam arti biologis harus dilengkapi dengan arti sosiologis. Dalam halini mungkin istilah emansipasi lebih tepat untuk melukiskan keadaan tersebut. Dalam pedagogic dan psikologi pengertian emansipasi digunakan untuk menunjukan usaha anak dan pemuda untuk membebaskan diri dan menemukan kepribadian sendiri, baik sebagai individu maupun sebagai anggota kelompok.
1.3.6 Teori perkembangan dan pendidikan: teori mengenai tugas-tugas perkembangan
Perkembangan dilukiskan sebagai suatu proses yang membawa seseorang kepada suatu pola tingkah laku yang lebih tinggi. Pandangan ini mempunyai akibat yang luas bagi teori psikologi perkembangan yang dikaji oleh Havigurst bagi perkembangan orang Amerika. Havigurst mengemukakan bahwa perjalan hidup seseorang ditandai oleh adanya tugas-tugas yang harus dapat dipenuhi. Tugas ini dalam batas tertentu bersifat khas untuk setiap masa hidup seseorang. Hvigurst menyebutnya sebagai tugas perkembangan (development task) yaitu tugas yang harus dilakukan oleh seseorang dalam masa hidup tertentu sesuai dengan norma masyarakat dan norma kebudayaan.
Tugas perkembangan tersebut menunjukan adanya hubungan dengan pendidikan, yaitu pendidikan dan pelajaran formal yang diterima seseorang. Pendidikan menentukan tugas apakah yang dapat dilaksanakan seseorang pada masa-masa hidup tertentu. Bila dalam masa dewasa muda seseorang tidak berhasil untuk menemukan jodoh, orang tadi akan tidak merasa bahagia, namun sebetulnya hal ini sangat tergantung pada filsafat hidup orang itu. Beberapa catatan yang masih dapat dikemukakan di sini ialah pertama bahwa pengertian masa dewasa muda menurut Havigurst mengandung pengertian lebih luas daripada yang biasanya diberikan. Daiantara apa yang oleh Havigurst dimaksudkan dengan masa dewasa awal dan masa dewasa remaja, terseliplah masa dewasa muda dalam artin yang sempit. Catatan kedua adalah bahwa kesejahteraan dan kebahagiaan hanya sebagian saja dipengaruhi oleh berhasil atau tidaknya melakukan tugas perkembangan. Catatan ketiga ialah bahwa pendidikan banyak ditentukan oleh kebudayaan suatu bangsa. Catatan keempat berhubungan dengan pasal yang akan dating. Havigurst terlalu menitik beratkan pada pengaruh kebudayaan dan masyarakat terhadap beberapa tugas perkembangan tertentu meskipun pengaruh dan tekanan masyarakat maupun kebudayaan merupakan hal yang penting.namun perlu ditonjolkan bahwa pribadi yang sedang berkembang itu, khusunya mulai masa remaja, menentukan sendiri tugas mana yang diterima dan mana yang ditolak. Dalam ketegangan antara keinginan untuk tergantung dan dorongan untuk bebas dari otorita orang tua, remaja berpeluan untuk memperoleh tanggung jawab sendiri dalam menentukan pola hidupnya.
1.3.7 Psikologi perkembangan dan pengertian emansipasi
Lavengeld (1964) memandang pengertian emansipasi sebagai satu aspek pembentukan identitas atau indivisualisme, yakni pembentukan kesadaran diri. Meskipun pengertian emansipasi di sini memperoleh arti yang lebih aktif daripada semula, namun belum terlalu jelas ditunjukan bahwa emansipasi makin lama makin dimengerti sebagai suatu proses aksi sosial atau aksi masyarakat yang berwujud perjuangan kelompok sosial atau kelompok sub-kultural untuk memperoleh perlakuan hokum yang sama.
Ada yang beranggapan bahwa emansipasi dapat menimbulkan masalah, yaitu bila tidak ada control intern yang cukup, misalnya yang dapat terjadi pada kelompok yang mengalami diskriminasi. Dari pandangan psikologi perkembangan, maka pengertian emansipasi mempunyai arti yang penting. Proses perkembangan seseorang akan lain bila ia emndapat kesempatan untuk mengembangkan dorongan eksplorasi, yang oleh Langeveld dihubungkan dengan emansipasi, bersama dengan teman-teman sebaya.
Sebagai rangkuman dapat dikemukakan bahwa emansipasi merupakan suatu proses dalam perkembangan, yaitu untuk belajar mengaktualisasikan diri bersama-sama dengan orang-orang lain yang ada dalam situasi yang sama. Aktualisasi diri tersebut mengandung arti menunjukan diri sebagai suatu kelompok yang memiliki hak yang sama dengan orang-orang lain serta menunjukan diri sebgai pribadi-pribadi yang khas. Hal ini dilakukan dengan melepaskan diri dari ikatan yang membuat mereka menjadi kelompok yang mengalami diskriminasi.
Pendidikan dapat membantu anak dan remaja dalam proses tersebut, bila mereka senantiasa ditantang untuk mengadakan refleksi dir yang kritis.
1.3.8 Pandangan dalam tulisan ini
Teori mengenai emansipasi adalah yang paling tepat untuk menerangkan dan mengerti perkembangan seseorang. Faham interaksionisme dapat mempersatukan kedua faktor yaitu bakat dan lingkungan. Keterikatan inisiatif pribadi dengan masyarakat ini merupakan tema teori tugas perkembangan maupun teori emansipasi karena keduanya menitikberatkan akan pengaruh kebudayaan dan pengaruh kelompok dalam keadaan situasi sosial yang sama.
Pendapat Hill (1973) dan Thomae (1968) dan dengan model isomorfisme Oerter (1978, 1981). Menurut Hill, maka teori perkembangan harus memenuhi emapat persyaratan, yaitu bahwa:
1. Kontinuitas dan diskontinuitas dalam perkembangan hanya dapat dimengerti dalam rangka perjalanan hidup sebagai keseluruhan.
2. Pengertian-pengertian dapat diterapkan baik terhadap perubahan pada pribadi maupun pada lingkungan.
3. Teorinya bersifat interaksionistis
4. Tingkah laku selalu dinilai sebagai fungsi faktor pribadi, maupun faktor situasional.
Di samping teori makro yang berhubungan dengan keseluruhan proses perkembangan, juga ada banyak teori mikro atau teori tingkatan lebih rendah yang terutama ingin menerangkan gejala perkembangan tertentu saja.
Untuk menguji suatu teori makro, maka yang paling penting adalah memakai kombinasi metode, hal semacam itu akan dilakukan dalam uraian berikutnya.
1.4 Metode psikologi perekembangan
Beberapa metode dimaksudkan untuk memberikan lebih banyak pengertian akan gejala perekmbangan, beberapa metode lain lagi memberikan pengertian bagaimana caranya mengatasi hambatan dalam proses perekembangan. Dapat pula dibedakan antara pendekatan yang lebih umum dan metode yang lebih spesifik. Pendekatan yang lebih umum memberikan pengertian akan keseluruhan proses perkembangan atau beberapa aspek lainnya, misalnya perkembangan intelektual, atau pengertian akan arti faktor endogen dan eksogen bagi perekembangan seseorang.
1.4.1 Pendekatan yang umum
Dalam uraian diatas telah disebutkan bahwa pendekatan yang umum ini dibedakan antara dua kelompok, kelompok yang satu memberikan lebih banyak data mengenai keseluruhan perkembangan atau beberapa aspeknya, kelompok yang lainnya meninjau apa ynag dipengaruhi oleh faktor bawaan atau apa yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan, khususnya faktor kebudayaan.
1.4.1.1 Metode longitudinal vs transversal
Yang di sebut metode longitudinal adalah cara menyelidiki anak dalam jangka waktu yang lama, misalnya mengikuti perkembangan seseorang dari lahir sampai mati, atau mengikuti perkembangan seseorang dalam sebagian waktu hidup yaitu misalnya selama masa kanak-kanak atau selama masa remaja. Dengan metode ini biasanya diteliti beberapa aspek tingkah laku pada satu atau dua orang yang sama dalam waktu beberapa tahun. Dengan begitu akan diperoleh gambaran aspek perkembangan secara menyeluruh. Keuntungan metode longitudinal ini ialah bahwa suatu proses perkembangan dapat didikuti dengan teliti. Tetapi kerugiannya ialah bahwa penyelidik sangat tergantung pada orang yang diselidiki tersebut dalam jangka waktu yang cukup lama. Hala ini sering kali menimbulkan kesulitan, misalnya bila orang yang diselidiki tadi tiba-tiba pindah atau meninggal.
Sebaliknya dengan metode transversal atau metode krosseksional deselidiki orang-orang atau kelompok atau kelompok orang dari tingkatan usia yang berbeda-beda. Dengan mengambil kelompok orang dari tingkatan umur yang berurutan akhirnya dapat juga diketemukan gambaran mengenai proses perkembangan satu atau beberapa aspek kepribadian sesorang. Mungkin gambaran yang akan diperoleh nanti agak kurang dipercaya atau kurang jelas karena tidak mengenai orang yang sama seperti halnya pada metode longitudinal. Tetapi sebaliknya dengan metode transversal itu dapat diperoleh pengertian yang lebih baik akan faktor yang khas atau kurang khas bagi kelompok-kelompok tertentu, karena dengan metode ini dapat diambil kelompok-kelompok yang dapat diperbandingkan, misalnya meneliti seseorang dari status masyarakat yang berbeda-beda.
Metode lain yang disebut tiem-lag membandingkan orang-orang dari usia yang sama tetapi dari kohort yang berbeda-beda. (kohort = kelompok orang yang ahir pada tahun yang sama). Wheeler (1942) menemukan bahwa anak-anak dari usia dan daerah yang sama lebih tinggi sekor tingkah lakun kecerdasannya pada tahun 1940 daripad tahun 1930.
Juga dapt diadakan kombinasi metode longitudinal dan kroseksional denagn meneliti beberapa kelompok selama beberapa tahun, misalnya selama tiga tahun, tetapi diusahakan sedemikian rupa hingga usia kelompok yang satu dengan yang lain saling menutupi. Misalnya kelompok yang satu terdiri daripada anak umur 12,13, dan 14 tahun; kelompok yang lain berumur 14,15,dan 16 tahun. Sifat longitudinalnya ada dalam mengikuti kelompok tadi selama 3 tahun berturut-turut, sedangakan krosseksionalnya dapat dilakukan dengan membandingkan usia 14tahun yang saling menutupi tadi mengenal beberapa tingkah laku tertentu. Di Nijmegen, Nederland pernah diadkan penelitian mengenai perkembangan anak dengan memakai metode kombinasi itu (lihat Wels van dan Munckhof, 1974; Pahl-Andersen B. dkk. 1979 ).
1.4.1.2 Pendekatan lintas budaya
Antropologi budaya telah berjas dengan menunjukkan bahwa faktor-faktor yang dulu dianggap sebagai faktor kemasakn ternyata merupakan hasil pengaruh lingkungan atau kebudayaan sekitar.
Benedict (1934), kardher (1945) dan mead (1958) dapat menunjukkanbahwa enghayatan kemasakan seksual dalam masa remaja sangat dipengaruhi oleh perlakuan dan norma yang berlaku pada suatu kebudayaan tertentu. Diskrepansi antara kemasakan seksual dan tingkah laku seksual sangat tergantung pada norma yang berlaku pada kebudayaan tadi. Hal tersebut menyebabkan tibulnya berbagai penelitian untuk membandingkan orang-orang dari usia yang sama tetapi hidup dalam alam adat yang berbda-beda. Denagn demikian dapat diperoleh pengertian yang lebih baik mengenai berbagai macam aspek dalam perkembangan kepribadian seseorang. Misalnya Piaget (1937) beranggapan bahwa perkembangan inteligasi dimulai dengan suatu “stadium egosentris”; dalam stadium tersebut belum dapat membedakan anatar dirinya dan dunia luar. Perkembangan inteligens akan menyebabkan datangnya pengertian akan perbedaan itu. Brunei (1972) dapat menunjukkan bahwa anak Senegal tidak mengalami perkembangan semacam itu. Begitu pula Reich mengemukakan bahwa pada ornag Eskimo sama sekali tidak ada perbedaan antara individu dan dunia luar. Bila penemuan Bruner dan reich itu benar, maka ada kemungkinan perkembanagn cara berfikir yang egosentirs ke cara berfikir yang objektif lebih menonjol atau lebih cepat terjadi pada anak di barat.
Pendekatan lintas budya (kroskultural) ini memberikan pengertian yang lebih mendalam akan proses perkembangan seseorang. Juga di barat banyak diadakan penelitian banding antara anak-anak yang berasal dari suku bangsa yang berbeda-beda tetapi hidup dalam masyrakat yang sama, misalnya membandingkan anak kulit putih dengan anak negro di Amerika. Perbedaan alam budaya atau perbedaan kulutral semacam itu kadang-kadang dimengerti sebagai perbedaaan subkulural, yaitu perbedaan yang terdapat dalam kelompok yang berbeda-beda yang hidup dalam masyarakat yang sama. Di Amerika, orang negro tergolong kelas sosial ekonomi yang rendah. Ciri perkembangan orang yang tidak berpendidikan, atau ciri anak yang hidup di bagian kota yang miskin (slums) diketemukan pada anak negro. Namun penemuan ini masih terbuka untuk di kaji lebih lanjut. Jensen (1969) dapat menunjukkan bahwa ornag negro memperoleh sekor beberap angka lebih rendah daripada ornag kulit putih dalam beberapa tes intelegensi. Secara dangakal hal ini dapat disimpulkan bahwa ornag negro lebih kurang cerdas daripada orang kulit putih. Penelitian tersebut dilakukan terhadap kelompok orang negro dan kelmpok orang kulit putih yang kurang lebih sama latar belakang pendidikan dan sosial ekonominya. Tes intelegensi yang dikenakan bersifat bebas budaya (culuture free) terdiri dari beberapa tes yang non verbal sehingga bebas dari hambatan bahasa. Hal ini cukup penting karena banyak pendapat mengatakan bahwa perkembngan bahasa di tentukan oleh subbudaya seseorang (Bernstein 1967; oevermann.1971). Masih dapat dipermasalahkan yaitu pakah motif prestasi, watak sosial dan sebagainya di sini tidak mengambil peranan yang penting. Misalnya tes Raven yang dianggap “culture free” masih juga dipengaruhi oleh latar belakang kulutural orang yang dites (Drenth, 1973). Pedekatan lintas budaya ini dengan jelas membuktikan bahwa motif prestasi banyak ditentukan oleh faktor cultural atau subkultural, dengan demikian pendekatan lintas budaya memeberikan sumbangan besar pada penelitian psikologi perkembangan.
1.4.2 Metode spesifik
Dalam rangka pendekatan yang telah diuraikan di atas masih ada beberapa metode yang khusus dalam psikologi perkembangan. Secra kasar dapat dibedakan antara metode eksperimental dan non eksperimental. Kebanyakan ada diantara kedua metode tersebut. Dengan penegertian ini dapatlah dibicarakan secara singkat mengenai dua macam metode ini.
1.4.2.1 Metode eksperimental
Metode eksperimental dapat dibedakan antara eksperimen murni dan eksperimen lapangan. Perbedaan antara keduanya tersebut ada dalam tingkat kemungkinannya dalam mengerti hubungan antara faktor-faktor tertentu dengan gejala-gejala perkembangan. Pada eksperimen murni maka control terhadap situasi lebih dpat dilakukan dengan baik dengan demikian hubungan antara suatu variable dengan suatu gejala perkembangan lebih dapat di tentukan. Eksperimen lapangan bertitik tolak dari suatu kehidupan nyata. Dalam hal ini seringkali hubunga antara suatu variabel dengan suatu gejala perkembangan kurang dapat dilihat dengan pasti
Dalam suatu eksperimen maka semua variabel kecuali satu dibuat konstan, kemudian dengan memanipulasi variabel yang satu tersebut (yaitu variabel bebas) dapatlah diketahui pengaruhnya terhadap efek yang ditimbulkannya (variabel tergantung)
Dalam eksperimen ada yang disebut kelompok eksperimen yang dikenal variabel bebas tadi. Misalnya dua kelompok anak yang sama dalam hal usia, intelegensi, status sosial ekonomi, pendidikan, dan sebagainya masing-masing dikenakan perlakuan yang berbeda misalnya dalam membuat suatu tugas (tes) maka kelompok yang satu diberi tahu bahwa tes tersebut hanya latihan saja, sedangkan kelompok yang lain diberi tahu bahwa siapa yang dapat mencapai angka 8 atau lebih akan memperoleh suatu hadiah. Eksperiman ini menguji suatu hipotesis bahawa kelompok yang diberi pengharapan akan hadiah tadi akan melakukan tesnya dengan lebih baik.
Bila perbedaan hasil antara kedua kelompok tadi signifikan dapatlah ditarik kesimpulan akan adanya hubungan “kausal” antara pengharapan akan hadiah (variabel bebas) dan hasil tes. (variabel tergantung). Artinya bahwa dalam keadaan tertentu itu pengharapan akan hadiah mempengaruhi hasil tes kelompok tersebut. Meskipun begitu kita harus berhati-hati sekali dalam mengadakan suatu generalisasi umum bahwa hadiah memacu prestasi yang lebih baik. Disarankan untuk cukup berhati-hati dengan menggunakan hasil eksperimen karena terbatasnya metode tersebut untuk penelitian psikologis dalam situasi sosial.
Seringkali eksperimen dilakukan dalam situasi yang lebih bebas. Misalnya membandingkan anak dari berbagai kelas sekolah. Penelitian semacam ini lebih dapat disebut eksperimen lapangan karena sangat sulit untuk membuat kelas-kelas tersebut sama dalam semua hal. Mungkin persamaan dapat dicapai dalam umur atau lokasi sekolah, misalnya kota atau desa, lingkungan buruh atau cendekiawan, tetapi mungkin masih ada satu hal yang berbeda, yaitu mutu sekolah tersebut atau buku pelajaran yang dipakai. Hasil eksperimen lapangan yang dilakukan dalam keadaan semacam itu kurang sesuai untuk pengajuan suatu hipotesis. Sifat penelitian seperti itu tetap eksploratif bukan menguji. Artinya banyak merupakan suatu kecenderungan saja yang masih harus diuji dalam penelitian lebih lanjut.
1.4.2.2. Metode non-eksperimental
Suatu eksperimen dimaksudkan untuk membuat setinggi mungkin nilai objektif data yang diperoleh. Seorang peneliti tidak selalu berhasil untuk mengontrol situasinya. Meskipun begitu ia mampu untuk melakukan pengamatan yang dipandang dari segi teoritis maupun praktis cukup berarti. Caranya mengadakan observasi dapat berbeda-beda, ia dapat menggunakan alat dan teknik yang bermacam-macam. Salah satu cara adalah yang disebut “Event-sampling” yaitu mencatat tingkah laku yang khas yang timbul dalam jangka waktu itu.
Metode klinis berbeda daripada metode eksperimental tidak hanya dalam hal kecermatan cara mengadakan registrasi, yaitu dalam hal pengumpulan dan pencatatan data, melainkan terutama dalam hal representativitas sampel. Pemilihan kelompok “orang coba”nya tidak perlu berdasarkan persamaan sifat yang dimiliki oleh keseluruhan populasi, melainkan cukup dilakukan penelitian terhadap beberapa kasus saja, misalnya terhadap anak-anak dan tingkatan umur tertentu yang secara berturut-turut atau bersamaan waktu diobservasi oleh beberapa orang pengamat. Alat yang dipakai adalah berbagai macam tes atau pemberian tugas-tugas tertentu. Misalnya Piaget (1947) menyuruh anak-anak dari berbagai tingkatan usia membuat cacing-cacingan daripada bola-bola was. Anak umur 4 tahun akan mengira baha cacing-cacingan tadi mengandung was yang lebih banyak daripada bola-bola was yang semula. Anak umur 8 tahun tidak akan membuat kesalahan itu lagi. Mereka sudah mengerti bahwa perubahan bentuk tidak mengubah banyaknya barang sesuatu, mereka sudah mengerti hukum konservasi mengenai banyaknya barang sesuatu, yaitu bahwa banyaknya barang sesuatu itu tetap sama meskipun ada perubahan bentuk.
Berhubung dalam hal tersebut diatas tidak ada hipotesis yang dapat diuji berdasarkan manipulasi variabel tertentu, maka cara ini dapat disebut penelitian ex post facto, yaitu adanya hubunga nditentukan sesudah penelitian dilakukan (Albinski, 1967). Metode angket ini makin berarti bagi penelitian ilmu-ilmu sosial. Disini masih dibedakan, seperti halnya pada metode observasi yang lain, antara observasi orang lain. Misalnya data mengenai tingkah laku sosial anak dan remaja dapat ditanyakan pada yang bersangkutan sendiri atau pada orang lain, misalnya pada orang tua atau tetangga-tetangga.
Suatu daftar pertanyaan berisi suatu kumpulan pertanyaan mengenai suatu persoalan yang konkrit. Pertanyaan dapat bersifat bebas, atau bersifat tertutup, misalnya dengan mengggunakan apa yang disebut skala (scale). Dalam hal yang terakhir ini pertanyaan sering dibuat dalam bentuk pernyataan. Jawaban berujud setuju atau tidak setuju terhadap pernyataan itu. Seringkali ada tingkatan (gradasi) dalam menjawab setuju atau tidak setuju.
Contoh :
Acara TV yang menggambarkan tingkah laku seks tidak baik untuk dilihat oleh anak dibawah umur 12 tahun.
Setuju sekali
Setuju
Tidak tahu
Tidak setuju
Tidak setuju sekali
Responden (orang yang diberi pertanyaan) memberikan tanda pada tempat segi empat di belakang pernyataan yang dipilih. Sejumlah aitem semacam itu merupakan skala sikap orang tua dalam pendidikan seks terhadap anak mereka. Dalam daftar pertanyaan tadi dapat juga ditanyakan mengenal data pribadi orang tua seperti status sosial ekonomi, agama, pendidikan, tempat tinggal, umur dan sebagainya. Dalam hubungan itu banyak data psikologi perkembangan dapat diperoleh sehubungan dengan keadaan dan sikap orang tua pada berbagai tingkatan usia, misalnya mengenai toleransi mereka terhadap tingkah laku seksual anak. Disamping itu banyak juga data yang diperoleh mengenai perkembangan seksual anak. Hal ini mengingat bahwa perkembangan seks banyak dipengaruhi oleh pendidikan orang tua.
Metode angket dapat pula dipakai untuk menguji suatu hipotesis. Misalnya ada hipotesis bahwa orang usia antara 15-25 tahun lebih bersikap toleran terhadap kenakalan anak dibanding dengan orang usia antara 35-45 tahun. Hal ini dapat disebut teori yang mendasari hipotesis tersebut. Melalui angket maka hipotesis tadi dapat diuji kebenarannya. Dapat pula diketemukan adanya hubungan dengan perbedaan pandangan agama dan sebagainya.
Berbagai metode yang dikemukakan diatas sebetulnya bukan metode yang khusus untuk psikologi perkembangan, namun sering dipakai dalam cabang ilmu tersebut. Karena arti perkembangan berhubungan dengan perjalanan hidup seseorang, maka semua data yang diperoleh dari pencatatan perjalanan hidup orang itu dapat dipandang sebagai materi penelitian dalam psikologi perkembangan. Pendekatan yang penting disini adalah metode longitudinal. Metode longitudinal ini dapat dikombinasi dengan data pencatatan dokumen, karangan, atau pencatatan tingkah laku yang khusus. Dalam hal ini metode tadi disebut metode biografis yang dapat menggunakan buku harian, surat, sajak, karangan dan sebagainya, yang akhirnya juga dapat bersifat autobiografis (observasi diri, laporan diri).
Paradigma Multitrait-Multimethod
Secara singkat telah dibicarakan mengenai beberapa metode dan teknik pakai dalam psikologi perkembangan. Metode-metode ini masing-masing mempunyai keunggulan dan kelemahannya sendiri. Untuk memperoleh data penelitian yang secermat mungkin dan paling dapat dipercaya, maka dalam psikologi makin sering dipakai suatu strategi penelitian yang disebut paradigma multitrait-multimethod.
Perlu diketahui suhu unsur-unsur apakah yang membentuk suatu hasil pengukuran psikologis. Ada tiga macam unsur yang dapat dicatat.
1. Variasi, yaitu perbedaan yang timbul dalam faktor yang diukura sendiri (misalnya variasi pada prestasi orang coba disebabkan oleh kelelahan, penurunan konsentrasi, penurunan motivasi dan sebagainya pada waktu pengambilan tes).
2. Variasi pada hasil pengukuran disebabkan oleh kesalahan pada cara pengukurannya.
3. Variasi yang timbul karena kesalahan yang tak terduga dalam pengukuran (Runkei dan McGrath, 1972, p. 163).
Dengan menggunakan paradigma multitrait-multimethod maka beberapa faktor psikologis (multitrait) diukur dengan satu metode, misalnya suatu test tertentu. Hal ini untuk menentukan apakah alat pengukur tadi betul-betul mengukur sifat-sifat spesifik yang akan dikur itu ataukah bekerja secara global, artinya mengukur secara keseluruhan. Sebaliknya satu sifat yang sama diukur dengan lebih dari satu alat pengukur multimethod, misalnya dengan tes, angket dan observasi. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan tingkat penyesuaian antara berbagai macam definisi operasional satu sifat tertentu.
Korelasi yang diketemukan antara variabel yang satu dengan variabel yang lain mempunyai artinya sebagai berikut (bandingkan Ferguson, 1966) :
1. Korelasi antara pengukuran yang berulang dengan alat pengukur yang sama terhadap salah satu variabel yang sama : bila korelasinya tinggi dapat disimpulkan bahwa alat pengukurnya dapat dipercaya
2. Korelasi antara hasil pengukuran dengan alat pengukur yang berbeda terhadap salah satu variabel yang sama, memberikan gambaran akan persesuaian antara dua definisi operasional mengenal satu variabel yang sama
3. Korelasi antara pengukuran dua variabel yang berbeda, diukur dengan alat pengukur yang sama menunjukkan sampai seberapa jauh persamaan yang ada antara dua variabel tersebut.
4. Korelasi yang terakhir adalah korelasi antara satu variabel diukur dengan satu alat pengukur tertentu dan variabel lain diukur dengan alat pengukur lain. Dugaan yang ada adalah bahwa tidak akan diketemukan korelasi yang tinggi bila masing-masing alat pengukur dan masing-masing variabel tidak tergantung satu sama lain.
1.5. Rangkuman
Dalam bab ini telah dikemukakan secara singkat pengertian dan berbagai macam teori mengenai perkembangan, yaitu teori yang berorientasi biologis, berorientasi biologis, berorientasi lingkungan, psikodinamis dan teori kerohanian. Akhirnya telah ditunjukkan keunggulan sintesa interaksionitis yang mencakup teori tugas perkembangan dan teori emansipasi.
Selanjutnya telah dikemukakan sedikit mengenai berbagai macam metode dalam psikologi perkembangan. Telah ditunjukkan bahwa metode yang digunakan harus sesuai dengan tujuan penelitiannya. Untuk penelitian yang eksak pada daerah yang terbatas maka metode eksperimental yang paling sesuai. Bila ingin mengerti jalannya proses mengerti jalannya pross perkembangan dalam salah satu aspek perkembangan tertentu atau ingin mengerti keseluruhan perkembangan pribadi seseorang maka akan lebih sesuai untuk menggunakan metode pencatatan bigrafis. Dalam bab ini juga telah ditunjukkan adanya berbagai alat dan teknik yang dapat mempertinggi objektivitas pengumpulan data. Berbagai macam teknik observasi dalam kehidupan bebas makin banyak dilakukan dalam psikologi perkembangan.
Pemakaian metode yang terpadu menambah kemungkinan untuk memperoleh pengertian mengenai hubungan gejala perkembangan yang satu dengan yang lain, baik mengenai tingkah laku, pendapat maupun kondisi tertentu dalam proses perkembangan seseorang.
BAB II
PERIODE PRENATAL DAN TAHUN PERTAMA
2.1. Perkembangan Embrio dan Fetus
Pengertian akan reproduksi dan perkembangan manusia makin terasa perlu dalam masyarakat yang makin maju. Kapan kehidupan dimulai ? Apakah pada waktu dilahirkan ataukah sudah ada sebelumnya ? Secara biologis hidup dimulai pada waktu konsepsi atau pembuahan tetapi mungkin masih merupakan tanda tanya apakah perkembangan psikologis sudah dimulai pada waktu konsepsi. Menurut pendapat homunculus maka pada waktu konsepsi semua telah ada dalam bentuk yang teramat kecil hingga seakan-akan hanya dapat dilihat melalui suatu mikroskop. Perubahan-perubahan yang terjadi sesudahnya hanyalah bersifat kuantitatif. Pendapat ini tercermin pada lukisan-lukisan kuno yang menggambarkan anak-anak dengan wajah tua dan pakaian orang dewasa, mereka dianggap sebagai orang dewasa dalam bentuk kecil.
Pada waktu sekarang kita lebih cenderung untuk menganggap bahwa permulaan perkembangan psikologis dimulai pada waktu anak yang belum dilahirkan mulai bereaksi terhadap rangsang dari luar. Reaksi terhadap rangsang dari luar ini telah dimulai sangat awal. Telah dapat ditunjukkan bahwa janin yang ada dalam kandungan pada bulan-bulan pertama telah dapat mengadakan reaksi mengadakan tingkah laku spontan atau tingkah laku berulang seperti menghisap ibu jari, bahkan telah nampak habituasi: hal ini menunjukan bahwa anak dalam kandungan telah menyesuaikan diri misalnya dengan suara-suara dari luar. Suatu percobaan dengan sebuah bel yang dipasang pada sebilah kayu dan ditempelkan pada perut ibu, menunjukkan bahwa anak yang belum dilahirkan tadi semua mereaksi dengan detik nadi yang bertambah cepat, tetapi sesudah rangsang (bel) tadi diberikan berulang-ulang. Maka bayi tidak mengadakan reaksi apa-apa lagi. Bel tersebut ditempelkan pada perut ibu, hingga dengan begitu getaran dapat langsung dipindahkan pada fetus.
Perkembangan biologis pada manusia dimulai pada sat konsepsi atau pembuahan, yaitu pada pembuahan telur oleh spermatosoma. Bila spermatosoma laki-laki memasuki dinding telur (ovum) wanita, terjadilah konsepsi. Skema dibawah (gambar 3) menunjukkan bagaimana proses menunjukkan mana proses pembuahan terjadi.
Kemungkinan terjadinya pembuahan semacam itu telah ditentukan secara alamiah. Sekali dalam 28 hari, seringkali sekitar pertengahan siklus menstruasi, sebuah telur dalam salah satu kandung telur menjadi masak dan bergerak pelan masuk ke dalam rahim. Perjalanan ini biasanya memakan waktu 3 sampai 7 hari. Kalau dalam perjalanan ini tidak terjadi pembuahan, maka lenyaplah telur itu didalam rahim.
Bila telur dalam perjalanan ke rahim berjumpa dengan spermatosoma masuk melalui dinding telur, terjadilah pada detik itu hal-hal sebagai berikut: sel benih melepaskan 23 bagian kecil-kecil dari dirinya, bagian-bagian itu disebut chromosa. Pada saat itu pecahlah inti telur dan lepaslah : 23 chromosa. Chromosa ayah dan chromosa ibu lebur menjadi satu dan membentuk bekal keturunan bagi anak. Chromosoma tadi mengandung bagian yang lebih kecil lagi yang membawa faktor-faktor keturunan yang sesungguhnya. Bagian-bagian yang kecil tadi disebut gene.
Salah satu dari 23 pasang chromosoma adalah ohromosoma kelamin. Pada wanita normal maka kedua chromosoma kelamin tadi adalah sama, disebut chromosoma X. Laki-laki normal mempunyai dua chromosoma kelamin yang berkelainan, yaitu sebuah chromosoma X dan sebuah chromosoma Y yang lebih kecil. Chromosoma Y bersama-sama dengan chromosoma X terdapat dalam sel-sel badan. Pada pembagian sel (meiosa) maka jumlah chromosoma berkurang menjadi separuh; sel benih sebagai chromosoma kelamin mengandung atau suatu chromosoma Y atau suatu chromosoma X; sel telur selalu mengandung cromosoma X bersatu dengan sel benih atau sperma yang mengandung chromosoma Y, terjadilah anak laki-laki. Bila sel telur bersatu dengan chromosoma X terjadilah anak wanita.
Karena sel-sel sperma separuh terdiri daripada chromosa X dan separuh dari chromosoma Y, maka secara teoritis ada kemungkinan yang sama untuk pembuahan anak laki-laki dan anak wanita. Kenyataan menunjukkan bahwa lebih banyak dilahirkan anak laki-laki daripada anak wanita, pada umumnya dilahirkan 106 anak laki-laki dalam perbandingan dengan 100 anak wanita. Hal ini diduga karena sperma Y lebih kecil dan lebih gesit daripada sperma X hingga lebih mudah dapat menerobos dinding telur.
Urutan perkembangan dalam periode pra-natal telah pasti dan tidak dapat diubah. Kepala, mata, tubuh, tangan, kaki, alat-alat kelamin dan alat-alat berkembang dengan urutan yang tertentu dan juga kurang lebih pada usia pra-natal yang sama pada semua fetus. Perkembangan yang teratur menurut skema itu sebelum dan sesaat sesudah dilahirkan merupakan hal yang sangat penting.
Dan didalam buku psikologi perkembangan karangan Prof. Drs. Agoes Soejanto bahwa perkembangan embrio disini dikatakan bahwa :
1. Masa Pranatal
Sebenarnya pada masa ini belum banyak yang dapat diketahui tentang kehidupan jiwa embrio, tetapi oleh karena ada beberapa hal yang perlu diketahui oleh para calon, orang tua anak, maka kan dibicarakan serba sedikit tentang masa ini, antara lain ialah :
a. Faktor- faktor apa yang mempengaruhi perkembangan embrio dalam kandungan antara lain
• Faktor keturunan
• Faktor kemasakan, dan
• Faktor penyesuaian diri,
a.1 ) Embrio, yang berkembang didalam kandungan ibu, ditentukan oleh sel-sel telur dari pihak ibu dan sel-sel telur dari pihak ayah. Sejak pertemuan antara keduanya itu mulailah
terjadi kehidupan.
a.2 ) Menjadi masaknya embrio, mempengaruhi kehidupan jiwa embrio itu sendiri. Misalnya anak yang lahir pada umur tujuh bulan, tampak lebih tidak berdaya dibandingkan dengan anak yang lahir pada umur 9 bulan.
a.3 ) Perkembangan embrio dalam kandungan dipengaruhi oleh lingkungannya
b. Faktor apa yang dapat menimbulkan gangguan fisis pada embrio
Tentang hal yang ini dapat dibedakan atas tiga kelompok ialah :
Yang kurang berbahaya, misalnya alkohol dan nikotin,
Yang sedikit berbahaya, misalnya kehidupan emosi si ibu.
Yang sangat berbahaya, misalnya kelaparan, kurang vitamin.
c. Tentang hal gerakan-gerakan anak dalam kandungan.
Dari penelitian itu disimpulkan bahwa gerakan embrio dalam kandungan ada hubungannya dengan kelancaran kemajuan motoris bagi anak sesudah dilahirkan.
2. Masa orok
a. Hal –hal yang menarik perhatian
Yang sangat menarik perhatian para penyelidik pada saat anak baru lahir, ialah tentang tangis bayi, sehingga hal ini menimbulkan beberapa pendapat yang antara satu dengan yang lain berbeda- beda, tangis si bayi itu disebabkan oleh karena pada saat itu terjadi perpindahan dan kehidupan yang tidak disadari.
Hal kedua yang menarik perhatian tentang si bayi ialah tentang ketidak berdayaan si bayi mengundang banyaknya si penolong, dan ini memungkinkan sianak dapat berkembang lebih sempurna dari pada anak.
Hal yang ketiga yang menarik perhatian adalah tentang tidur si bayi, didalam 24 jam lamanya hanyalah untuk tidur-tidur ayam, untuk menyusu, untuk gerakan-gerakan spontan dan lain-lain. Hal ini berlangsung 2 minggu lamanya.
Sampai dengan umur 6 bulan, pada saat-saat tidak tidur ia mulai mengelurkan suara- suara, ia mulai tertarik pada benda –benda lain, sebagai alat alat permainannya dan semua yang dapat digapainnya dicobanya dimasukkan dimulut.
3. Kehidupan fisis si Bayi
a. Detak jantung
Tentang detak jantung dikatakan bahwa waktu lima bulan sebelum kelahirannya, jantung sibayi sudah berdetak sebanyak 150 kali / menit. Pada waktu lahir menurun tinggal 130 kali / menit, demikian terus menerus sehingga pada waktu berumur 2 tahun tinggal 80/ menit.
b. Tentang pernapasan si bayi.
Pada waktu dalam kandungan tentu tidak mungkin sibayi bernapas dengan paru-paru tetapi telah menggerakan badannya.
c. Tentang makan dan minum
d. Tentang pembuangan kotoran.
2.2. Pengaruh Pra-natal pada Tingkah Laku Sesudah Dilahirkan
Pengaruh pra-natal pada tingkah laku sesudah dilahirkan mendapat banyak perhatian para ahli psikologi perkembangan; banyak pula pendapat dan dugaan mengenai masalah tersebut, namun belum ada data yang eksak mengenai hal itu. Salah satu studi yang baik mengenai perkembangan pra-natal adalah tulisan Joffe (1969). Lebih dari dua pertiga penelitian Joffe dilakukan terhadap perkembangan hewan.
Telah dikemukakan dimuka bahwa perkembangan biologis manusia terjadi pada saat konsepsi, yaitu pada waktu sel sperma dan ovum lebur menjadi satu. Fase pra-natal dibedakan menjadi tiga fase (1) fase germinal: waktu 2 minggu pertama; (2) fase embrional: waktu 6-8 minggu berikutnya, dan (3) fase fetal: mulai minggu ke-8 sampai saat dilahirkan. Waktu kehamilan berlangsung biasanya selama 270 hari atau kurang lebih 40 minggu sesudah hari pertama menstruasi berakhir.
Menurut definisi World Health Organization (WHO, 1961) sebutan pra-maturitas atau prematurity dikenakan pada bayi bila berat badan pada waktu dilahirkan kurang dari 2.500 gram dan periode kehamilan kurang dari 37 minggu. Pra-maturitas banyak dipandang sebagai salah satu sebab gangguan tingkah laku, meskipun masih banyak pendapat yang simpang siur. Untuk mudahnya pengaruh pra-natal tersebut dibedakan antara (1) pengaruh lingkungan (faktor ekstern, ketegangan, kebiasaan subjektif, ketegangan emosi, takhayul) dan (2) sikap ibu.
2.2.1. Pengaruh Lingkungan
2.2.1.1. Faktor Ekstern
Joffe membuktikan bahwa sinar rontgen mempunyai tingkah laku post-natal dalam bidang : tingkah laku motorik, gerak bebas, pembuangan, aktivitas, belajar diskriminatif dan tingkah laku persetubuhan. Penelitian mengenai akibat penyinaran membuktikan akan adanya hubungan antara umur kehamilan dan banyak sedikitnya penyinaran pada satu pihak dengan besar kecilnya akibat yang ditimbulkan: makin banyak dosis penyinaran, makin buruk akibatnya.
Pemakaian obat-obatan jelas memberikan pengaruh terhadap tingkah laku, meskipun sering tidak nampak tanda-tanda morfologis pengaruh obat penenang seperti softenon atau Thalidomid sangat besar hingga dapat mengakibatkan cacat yang berat. Penelitian antara 1959-1962 menemukan bahwa cacat yang disebabkan oleh Thalidomid terjadi antara hari ke-34 dan ke-50; jadi antara minggu kelima dan ketujuh usia kehamilan. Knebel (1973) mengemukakan bahwa terjadinya kelainan-kelainan jantung juga terjadi pada usia kehamilan yang awal ini. Usaha-usaha pengguguran dengan obat-obatan pada usia kehamilan awal ini dapat menyebabkan gangguan-gangguan perkembangan. Akibat-akibat tersebut dapat pada usia kehamilan yang dianggap masih kebal terhadap segala jenis gangguan.
2.2.1.2. Ketegangan emosional
Beberapa studi kasus dalam penelitian Fels (Yellow Springs, Ohio) yang telah mengadakan penelitian sejak tahun 1929 (lihat Sontag dkk,.1958) membuktikan bahwa para wanita dengan susunan syaraf otonom yang labil mempunyai fetus yang paling aktif. Dalam delapan kasus dalam Institut Fels ditunjukkan adanya kenaikan aktivitas yang sangat menyolok pada fetus sebagai akibat ketegangan emosi para ibu (misalnya pada satu kasus karena ancaman pembunuhan oleh suami; pada kasus lain karena kecelakaan lalu lintas dengan akibat yang serius pada keluarga).
2.2.1.3. Takhayul dan Kenyataan di Indonesia
Di Indonesia banyak dipermasalahkan mengenai pengaruh tingkah laku orang tua terhadap keadaan bayi akan dilahirkan. Misalnya bila ayah atau ibu atau keduanya benci pada seseorang, maka anaknya akan mirip dengan orang yang dibenci tadi. Bila ayah atau ibu membunuh seekor hewan, misalnya luar, pada waktu ibu sedang hamil, anaknya akan mempunyai gambar sirip ular pada kulitnya. Hal-hal ini semua belum merupakan hasil pembuktian ilmiah, dari itu masih termasuk lingkup takhayul.
Satu hal yang perlu mendapat keterangan secara ilmiah adalah kenyataan bahwa seorang ibu hamil menginginkan sesuatu (biasanya makanan = ngidam) kadang-kadang yang aneh-aneh, misalnya makanan tertentu, buah-buahan yang masam, menginginkan bau-bauan tertentu; misalnya bau minyak putih. Ingin senantiasa menghalau nyamuk, mual membau keringat atau rokok suami. Hal-hal yang anek masih banyak didengar di kalangan orang Indonesia. Mungkin perlu diteliti apakah hal-hal itu juga terjadi pada orang-orang barat dan bagaimana interpretasi ilmiahnya ? Penelitian di Laboratorium Psikologi di Nijmegen mengenai hal-hal yang serupa menunjukkan adanya pengaruh adanya hormonal terhadap perubahan psikis ibu.
2.2.2. Sikap Ibu
Sejak lama telah dimengerti bahwa sikap menolak dari pihak ibu terhadap janin dalam kandungan akan diteruskan sesudah anak dilahirkan. Tetapi beberapa penelitian Geissler (1965) di Jerman Timur 90% jumlah ibu yang semula bersikap menolak, berubah mempunyai sikap yang positif terhadap anak sesudah dilahirkan. Geissler dalam penelitian longitudinal menunjukkan adanya kesayangan dalam sikap ibu terhadap anak yang belum dilahirkan, yaitu dari sikap positif ke sikap negatif. Dan dari sikap negatif ke sikap yang positif dan bahwa sikap yang berubah-ubah itu akhirnya menjadi positif, yaitu sikap menerima terhadap anak yang dilahirkan.
Lukesch dan Lukesch (1976) membuat suatu daftar pertanyaan untuk mengungkap sikap ibu terhadap kehamilannya. Maksud daftar pertanyaan ini adalah untuk mengerti komponen-komponen psikis disamping itu juga untuk memperoleh titik temu individual untuk mengadakan pembicaraan mengenai kehamilan.
Akhirnya dapat diketemukan dua pertanyaan yang dalam prinsip belum dapat terjawab :
1) Mengapa ada sementara anak yang jelas-jelas mempunyai lingkungan, yang negatif tidak menunjukkan suatu gangguan adapun dalam perkembangan, dan
2) Mengapa ada banyak anak mempunyai gangguan tingkah laku, padahal pada waktu pra-natal tidak diketemukan pengaruh yang menghambat.
Pada umumnya diketemukan lebih sedikit tingkah laku terganggu daripada yang dapat diharapkan dari keadaan pra dan peri-natalnya.
2.3. Perkembangan Baru dalam Bidang Penelitian Pra-natal
Dalam tahun 1971 telah didirikan “Internationale Studiengemeinschaft fur Pra-natale Psychologie” (ISPP) di Wina. Kongres pertama diadakan pada tahun 1972 (lihat Graber & Kruse, 1973) dan dalam bulan Maret 1978 diadakan kongres yang kelima di Salzburg dengan tema “Geburt-Eintritt in eine neue Welt”. Makin lama makin dapat ditunjukkan baha gagasan-gagasan intuitif yang bersifat psikoanalitis itu harus diganti dengan hasil penelitian eksperimental. Misalnya gerakan mata yang cepat (Rapid Eye Movements-REM) waktu tidur dapat dianalisa secara eksperimental. Dapat dibuktikan bahwa REM terjadi bersama-sama dengan impian-impian. REM (disebut juga fase-fase REM) pada anak yang baru dilahirkan memegang peranan yang lebih penting daripada bila hal itu terjadi pada orang dewasa. Fase-fase REM meliputi 50% daripada keseluruhan waktu tidur anak yang baru dilahirkan, 40% pada bayi usia 3 sampai 5 bulan, 25% pada anak usia 2 tahun dan 20% pada anak usia 3 sampai 5 bulan, 25% pada anak usia 2 tahun dan 20% pada anak usia 3 tahun dan pada orang dewasa. Schindler (1976) mengemukakan bahwa pada kongres ISPP yang ketiga, paling tidak selama bulan-bulan terakhir kehidupan dalam kandungan, keadaan bermimpi mempunyai peranan yang lebih besar daripada waktu sesudah dilahirkan. Bahwa hal ini sukar untuk memindahkan keadaan-keadaan ini (bermimpi) dari keadaan ingatan jangka pendek kepada keadaan ingatan jangka panjang.
Berdasarkan beberapa penelitian fisiologis-epidemiologis Schindler mengemukakan bahan pada tiga bulan pertama usia kehamilan fetus telah berkembang menjadi organisme yang dapat berfungsi dengan baik. Setelah masa peralihan yang pendek maka fetus telah ada dalam keadaan yang optimal aktivitas dapat dikembangkan dengan mudah dan posisinya sudah dapat dikontrol pula. Fetusluga sudah dapat melakukan pengulangan-pengulangan tingkah laku. Pengulangan tingkah laku atau pengulangan aktivitas akan menjadi sangat penting bagi belajar tingkah laku pada tahun-tahun pertama.
Meskipun telah diperoleh dada eksperimental yang eksak mengenai aktivitas bermimpi dan aktivitas motorik, namun mengenai arti dan pengaruhnya terhadap tingkah laku sesudah dilahirkan sampai sekarang masih belum dapat diketahui. Seringkali diadakan interprestasi berdasarkan proses perkembangan yang menyimpang (seperti halnya pengaruh Softenon), tetapi hal tersebut baru ada artinya bagi para genokolog untuk dapat kerja sama yang sebaik-baiknya. Seperti dikemukakan oleh Kruse (1973): penelitian terhadap kehidupan sebelum dilahirkan merupakan suatu tantangan bagi spikolog perkembangan; tujuannya adalah memperoleh pengertian akan sebab-sebab yang paling mendasar mengenai tingkah laku manusia (h. 123). Dengan dapat memperoleh pengertian itu dapatlah diadakan usaha preventif untuk berbagai macam gangguan dalam perkembangan seseorang.
2.4. Berbagai Macam Teori Mengenai Kelahiran
Kelahiran merupakan dorongan bagi para penulis untuk memberikan interpretasi-interpretasi bagaimana suatu fetus yang sama sekali tergantung tiba-tiba berubah menjadi seorang anak yang bebas Portmann. 1961). Protmann seorang ahli zoologi Swiss menyebutnya sebagai “extrauterine Fruhjahr”. Ia menyamakan manusia dengan hewan menyusul yang tinggi yang lahirkan setahun terlalu awal. Periode kehamilan yang penuh seharusnya berlangsung sampai akhir tahun pertama sesudah dilahirkan, tetapi berhubung adanya proses evolusi maka masa itu lalu terbagi menjadi dua tahap: “In die Schwangerschaft im Mutterleib und in eine zweite periode nach der Geburt das Jahr des sozialen Uterus, das hinuberfuht in die eigentche Kindheit” (Portmann, 1976, p 54/55). Jadi tahap pertama adalah tahap dalam kandungan ibu dan tahap kedua adalah tahap satu tahun sesudah dilahirkan, yang terakhir ini disebut tahap uterus (rahim) soal yang seterusnya akan beralih menjadi masa kanak-kanak yang sesungguhnya.
Menurut Portmann bahwa seseorang harus melewati suatu uterus sosial dalam perkembangan bukannya suatu kebetulan saja, melainkan memang dimaksudkan untuk memungkinkan pemenuhan tiga macam tugas perkembangan yang paling utama, yaitu : berdiri, berbicara dan berfikir. Ketiga macam fungsi manusia ini hanya dapat berkembang di dalam kontak sosial dengan orang-orang lain. Kontak antara individu dan dunia sosial bukan terjadi karena kebetulan saja, kontak tersebut adalah mutlak perlu supaya individu dapat berkembang.
Gehlen (1941) mengemukakan mengenai manusia sebagai “Mangelwesen”, artinya bahwa manusia dibandingkan dengan hewan menyusui tingkat tinggi mempunyai kekurangan-kekurangannya. Bayi yang baru dilahirkan membutuhkan perlindungan, dia belum bisa apa-apa, ia harus diusap, pendek kata: ia sama sekali dalam keadaan tergantung. Jadi seorang manusia sejak mula mempunyai banyak kekurangan-kekurangan hingga dibanding dengan makhluk yang lain ada dalam kedudukan yang kalah.
Rank (1924) seorang ahli psiko-analisis murid Freud, mengemukakan mengenal trauma kelahiran, artinya bahwa kelahiran bagi seorang anak merupakan suatu penghayatan yang dramatis, putusnya tali pusat tidak hanya berarti biologis putus, melainkan juga psikologis putus. Anak menjadi lepas dan tidak terlindung lagi. Jeritan pertama menunjukkan kecemasan yang alami. Menurut Rank maka kecemasan-kecemasan manusia yang berikutnya tidak ada artinya dibanding dengan kecemasan yang pertama ini. Ia memberikan contoh-contoh dalam praktek psiko-analisanya yaitu adanya impian-impian yang melukiskan orang-orang dengan segala macam kekuatannya yang luar biasa meloloskan diri dari saluran-saluran yang sempit dan akhirnya keluar ditempat yang jauh yang tidak menyempit dan akhirnya keluar ditempat yang jauh yang tidak menyenangkan. Dari tempat terlindung ini anak dilempar ke tempat yang tidak terlindung sama sekali.
2.5. Periode Tahun Pertama
Sesudah dilahirkan maka bayi menunjukkan banyak gerak refleks. Dahulu orang berpendapat bahwa masa ini kurang ada perkembangan psikologis yang menarik karena anak hanya melakukan tingkah laku yang instinktif apa saja yang dilakukan anak pada hari-hari pertama sesudah dilahirkan. Diketemukan bahwa 7% waktunya digunakan untuk makan, jadi reaksi yang positif 1% untuk tingkah laku spontan dan kurang lebih 88% untuk tidur atau semacamnya. Hal inilah yang menyebabkan bahwa periode ini dulu disebut sebagai periode tidur.
Bloom (1964) dalam bukunya : “Stability and change in human characteristics” menambah pula perhatian orang terhadap periode tahun pertama. Ia berpendapat bahwa pengaruh lingkungan terhadap salah satu sifat anak akan sangat besar yaitu pada waktu sifat tersebut sedang dalam perkembangannya yang paling cepat. Misalnya bila dalam perkembangannya yang paling cepat. Misalnya bila dalam periode amorional (minggu ketiga sampai dengan minggu kedelapan) si ibu mendapat suatu kecelakaan tertentu atau minum obat-obat tertentu terlalu banyak atau yang merugikan, dapat terjadi gangguan-gangguan sentral atau mental pada janin yang ada dalam kandungan. Hal ini disebabkan karena pada periode ini terjadi perkembangan otak yang paling cepat. Itulah sebabnya maka gangguan pada kehamilah yang terjadi pada dua bulan yang pertama lebih banyak menyebabkan gangguan-gangguan pada otak dibanding dengan bila gangguan tersebut terjadi pada periode ketiga atau periode fetal.
Untuk menyokong pandangannya mengenai percepatan pertumbuhan pada usia-usia tertentu, Bloom menuntut pada perkembangan inteligensi yang cepat dan intensif selama tahun-tahun pertama. Berdasarkan modal yang didapat dari penelitian longitudinal diketemukan bahwa pada umur satu tahun dicapai 20% dan pada umur 17 tahun 100% perkembangan inteligensi. Penalaran yang selanjutnya adalah bahwa pada umur 4 tahun tercapai 50% dan pada umur 8 tahun tercapai 80% perkembangan inteligensi. Angka-angka ini merupakan petunjuk belaka akan proses-proses yang terjadi dan bukan pencerminan realitas yang eksak. Tetapi hal ini dapat menjelaskan bahwa tahun-tahun penghidupan pertama dan tahun-tahun sekolah pertama merupakan mata rantai yang penting dalam perkembangan inteligensi. Selanjutnya analisis semacam ini menunjukkan bahwa pengaruh pendidikan pada periode ini justru sangat penting dan semua dapat terjadi kerusakan yang berat bila anak tidak memperoleh kesempatan perkembangan yang optimal. Sebaliknya hal ini tidak seperti bahwa perkembangan intelektual atau kognisi pada usia sekitar 10 tahun secara garis besar telah selesai dan hampir tidak dapat mengubah lagi (lihat juga pembicaraan mengenai model Bloom oleh Wonkwill dalam Brim & Kagan, 1980).
Juga data penelitian baru di Belanda yang menitiberatkan akan sifat terbukanya belajar tingkah laku pada kelompok umur yang lebih tua, mengaku akan dapatnya tingkah laku dan fungsi kognitif pada umur kemudian.
Penelitian yang unik mengenal hal tersebut diatas diakhiri oleh Leppers di Belanda (1981). Dia meneliti masalah apakah betul ada dan sampai dimanakah perkembangan kognitif anak yang suka belajar sesudah masa sekolah dasar, yaitu sesudah usia 13 tahun. Dia membandingkan sekelompok subjek sukar belajar laki-laki dan wanita umur 13-25 tahun (kelompok eksperimen) dengan kelompok normal belajar dari umur yang sama (kelompok kontrol). Pertanyaan yang diajukan berdasarkan 2 macam pertimbangan (1) perkembangan kognitif pada anak-anak sukar belajar mencapai puncaknya sekitar umur 13 tahun, (2) berkurangnya frekuensi anak-anak sukar belajar sesudah usia sekolah dasar(Leppers, 1981, hal. 182).
Kelompok sukar belajar mempunyai IQ antara 70 dan 80. Ternyata bahwa ada pertambahan percakapan kognitif pada kelompok ini sampai kurang lebih umur 19 tahun. Sesudah itu “tingkah laku kognitif pada anak-anak sukar belajar menjadi stabil pada tingkatan yang telah mereka capai (hal. 182). Pertambahan dalam kecakapan kognitif ini tidak berarti bahwa jarak antara dua kelompok ini menjadi semakin kecil; lebih baik dikatakan ada perkembangan yang paralel. Elastisitas kognitif pada remaja sukar belajar dan dewasa awal sukar belajar yang diselidiki oleh Leppers ini sekaligus merupakan petunjuk bahwa dalam penyesuaian sosial dan sifat-sifat kepribadianseseorang ada kemungkinan untuk berubah. Hal ini dapat dibuktikan oleh keadaan kelompok sukar belajar yang pada umumnya tidak memberikan masalah-masalah dalam masyarakat.
Salah satu penelitian dalam hubungan ini yang paling sering disebut-sebut adalah penelitian Skeels & Dye (1939) dan Skeels (1966). Dalam suatu penelitian lanjutan mereka mengikuti perkembangan 25 anak yang dibesarkan dalam rumah yatim piatu yang tidak baik. 13 diantara mereka sesudah 19 bulan dipindahkan ke dalam rumah yatim piatu yang lain dan setelah 3,5 tahun mereka diadopsi. Sisanya tinggal dalam tempat yang semula. Sesudah 25 tahun kedua kelompok dibandingkan. Ternyata bahwa semua anak yang diadopsi belajar suatu pekerjaan dan dapat mencukupi dirinya sendiri; mereka hidup normal. Kelompok yang lainnya, semua kecuali satu, tidak mencapai taraf tersebut. Kecakapan intelektual mereka tidak menjadi sebaik kelompok yang diadopsi; mereka tidak menjadi sebaik kelompok yang diadopsi; mereka menjadi tergantung dan berfungsi pada tingkatan yang rendah. Juga data Clark & Clark (1976) menunjukkan akan dapatnya diperbaiki keterbelakangan perkembangan mental yang dialami sebelumnya. Kecuali itu juga dari penelitian pada para remaja delinkuen diketemukan bahwa perbaikan.
Dengan begitu hipotesis Schaffer dapat dibenarkan, yaitu dalam bulan-bulan pertama anak mengarahkan diri secara alami kepada manusia pada umumnya, yaitu karena sifat-sifat yang menari yang ada pada roman muka manusia.
Disamping sifat tertarik pada manusia ini, anak juga sudah dapat membuat berbagai macam tanda untuk memenuhi kebutuhannya. Misalnya seorang ibu akan segera dapat membedakan bermacam-macam tangis anaknya. Misalnya membedakan antara tangis lapar dan tangis sakit. Kedua anak pada bulan-bulan pertama ditentukan oleh situmulus yang diberikan. Beberapa titik pada selembar kertas yang diperlihatkan pada anak akan memancing ketawa sama halnya dengan melihat wajah ibunya.
Arah sosial anak pada bulan pertama belum dipengaruhi oleh proses belajar; baru pada bulan ketiga anak menunjukkan pengetahuan terhadap orang-orang tertentu dan belajar membedakan tanda-tanda yang diberikan oleh orang tersebut.
Kemajuan pada tingkah laku anak ini bersamaan dengan perkembangan fisiologis yang penting pada pusat susunan syaraf.
1. Beberapa refleks bawaan (a.I. refleks genggam, dan refleks moro) menghilang sekitar bulan kelima. Bila refleks-refleks ini masih ada sesudah itu, hal itu dapat dianggap sebagai hambatan dalam perkembangan atau merupakan pertanda adanya kerusakan otak. Menghilangnya refleks-refleks ini menunjukkan makin berfungsinya korteks refleks terjadi melalui batang otak, korteks dapat menghambatnya.
2. Penelitian dengan Electric-encephalogram (EEG) menunjukkan bahwa baru pada akhir bulan ketiga terjadi irama seperti yang terdapat pada EEG orang dewasa.
3. Pada bedah mayat diketemukan bahwa pada bula ketiga kadar DNA (asam desoxyribonucleine) dan RNA (asam riboucleine) dalam otak tiba-tiba naik hampir mencapai kadar DNA dan RNA orang dewasa. (DNA dan RNA memegang peranan penting dalam menyimpan informasi).
4. Menyelinisasi beberapa urat syarat yang penting (misalnya urat syaraf mata) selesai pada bulan ketiga. Lapisan menyelin disekitar urat syarat memungkinkan penyaluran impuls-impuls.
Di dalam buku psikologi perkembangan yang ini dikatakan bahwa perkembangan anak dalam tahun pertama dibagi dalam :
A. Kecakapan- kecakapn instingtif
Yaitu kecakapan instingtif yang matang atas pengaruh dari dalam pada triwulan pertama.
1. Kecakapan anak pada tahun pertama
Pergaulan anak dengan benda
• Meandang termangu- mangu kepintu dan jendela.
• Kepala dan tangannya akan terbuka bila di sentuh.
• Dapat menggenggam bila diberi sesuatu
• Dapat mencoba membuka kotak.
• Dapat melempar atau menggulingkan bola
Penguasaan Badan
• Mengamati mainannya,
• Dapat meluruskan dan memalingkan kepalanya walaupun agak susah,
• Menarik-narik pakaiaannya atau selimut,
• Memperhatikan sesuatu sejurus dengan dan mengamati mainan yang dipegannya,
• Memutar badan dari sikap meniarap kesikap menelentang,
• Dapat duduk tanpa pertolongan dan mulai merangkak,
• Dapat menggulingkan badannya sehingga berbaring pada perutnya.
Penguasaan anak dengan Manusia.
• Dapat tersenyum, memandang orang,
• Dapat tertawa dengan berbunyi,
• Menangis atau menunjukkan perasaan tidak enak bila diputuskan hubungannya,
• Dapat mereaksi belaian terhadap wajah yang ramah atau yang marah
• Mulai aktif mencari hubungan dengan mengeluarkan bermacam-macam bunyi,
• Dapat bermain sembunyi muka,
• Dapat mengatakan mama dan papa.
• Mulai mencoba menarik perhatian
2.5.1.2. Pengenalan benda dan manusia
Untuk menentukan apakah anak mengenal suatu stimulus dapat dilihat dari berkurangnya perhatian anak terhadap stimulus tersebut sesudah penyajian berulang-ulang. Sebagai indeks perhatian sering dipakai lama waktu fiksasi anak, atau lama waktu anak mengamati stimulus tertentu.
Gambar 6 menunjukkan bahwa pada penyajian stimulus yang sama secara berulang-ulang terjadi penurunan perhatian. Proses ini disebut habituasi atau berkurangnya perhatian karena penyajian berulang-ulang dan yang tidak disebabkan oleh adanya kelelahan reseptor (daya memperhatikan). Tidak adanya kelelahan reseptor dapat dibuktikan dengan naiknya perhatian anak dengan pesat pada waktu suatu stimulus baru disajikan. Penyajian pertama stimulus D menarik perhatian anak seperti halnya penyajian S.1 untuk pertama kali. Menolaknya perhatian kembali pada penyajian stimulus D disebut Recovery atau pemulihan kembali. Habituasi dianggap sebagai suatu gejala kognitif; pada setiap penyajian S, anak membentuk suatu representasi internal (gambar atau skema) mengenai S. Sokolov (1960 menyebut representasi tersebut sebagai model neuronci. Berdasarkan penyajian stimulus yang berulang-ulang terbentuklah dalam korteks suatu susunan sel-sel urat syaraf yang menyimpan berbagai komponen stimulus tersebut (lama waktu, intensitas, ukuran dan sebagainya). Pada setiap kali penyajian bertambahlah komponen stimulus tadi melengkapi skema yang ada dalam kognisi anak. Bila representasi atau skemanya sudah sempurna atau sudah selesai. Maka sempurnalah proses habituasi, stimulasinya tidak memberikan rangsan lagi.
Ada beberapa hal yang menunjukkanbahwa kecepatan habituasi dapat dipakai sebagai indeks perkembangan kognisi, yaitu:
1. makin bertambah umur anak, makin cepat habituasinya. Pada anak umur 3 bulan, maka garis pada gambar 6 masih merupakan garis horizontal, berarti tidak ada habituasi dengan bertambahnya usia anak, arah garis makin menukik ke bawah.
2. makin tinggi tingkat hewan dalam deret filogenesa (berkaitan dengan besar lingkar kepala) makin cepat ia mengadakan habituasi. Seekor kera rhesus lebih cepat habituasinya daripada kucing atau kelinci. Kucing atau kelinci lebih cepat habituasinya daripada burung, burung lebih cepat daripada ikan .
3. bila sebagian korteks tidak dapat berfungsi (misalnya karena luka pada korteks) maka proses habituasi berjalan lebih lambat.
4. pada waktu tidur, bila bagian pusat otak yang lebih rendah berkuasa, tidak terjadi habituasi.
Sekitar usia 3atau 4 bula anak dapat mengenal ibunya. Cepat atau lambatnya seorang anak mengenai ibunya tidak dapat dipakai sbagai ukuran kecedasan anak, karena banyak faktor lingkungan ikut mempengaruhi kemampuan anak dalam hal ini. Misalnya anak dapat mengenal ibunya bila ia juga mendapat kesempatan untuk sering melihatnya. Tetapi bila anak hidup dalam lingkungan yang ribut yang banyak orang simpang-siur disitu hingga anak selalu melihat orang yang berbeda-beda, maka pembentukkan skema dalam kognisinya mengenai orang-orang tertentu juga terhambat. Ternyata bahwa anak yang hidup dalam panti asuhan dengan orang-orang yang selalu berganti-ganti, lebih lambat ketawa terhadap orang-orang tertentu daripada anak yang hidup dalam keluarga yang normal.
2.5.1.3. Perkembangan tingkah laku leka
Dalam teori kepribadian Thomae yang telah dikemukakan dalam tahun 1944 dalam “Das Wesen der menschiichein Antriebsstruktur” dikemukakan bahwa tingkah laku lekat (Attachment behavior) manusia merupakan hal yang sentral. Ia berpendapat bahwa hal yang penting dalam perkembangan yang sehat adalah kemampuan anak untuk dapat perkembangan yang sehat adalah kemampuan anak untuk dapat mengembangkan tingkah klaku lekat tadi. Apa yang dipandang sangat penting oleh Thomas pada empat puluhan tahun yang lalu, baru muncul dalam sepuluh tahun terakhir dalam psikologi Amerika. Belum terhitung lama juga mereka mulai meneliti tingkah laku olekat pada bayi dan anak-anak (lihat Hartup, 1973 dalam Psychologen over het kind III). Hal ini mungkin juga disebabkan karena dalam iklim psikologi oyang eksperimental ketat metode observasi baru saja mendapat pengakuan yang sesungguhnya. Metode eksperimen terlalu sukar untuk diterapkan pada bayi dan anak kecil, hingga banyak dibutuhkan metode observasi.
Tingkah laku lekat merupakan tingkah laku yang khusus pada manusia, yaitu kecenderungan dan keinginan seseorang untuk mencari kedekatan dengan orang lain, untuk mencari kepuasan dalam hubungan dengan orang lain tersebut. Pada kelekatan maka pemenuhan keinginan bukan merupakan hal yang pokok; hal tersebut menjadi penting pada tingkah laku ketergantungan. Ketergantungan dapat ditujukan pada sembarang orang. Kelekatan selalu tertuju pada orang-orang tertentu saja. Tingkah laku lekat pada anak kecil dapat dilihat sebagai berikut; menangis bila objek lekatnya kembali; kemudian juga mengikuti dengan mata arah menghilangnya objek lekat tersebut. Tingkah laku lekat berkembang dalam bagian kedua tahun pertama.
Beberapa pendapat mengenai timbulnya tingkah laku lekat :
a. Hipotesis mengenai nafsu sekunder
Pendapat ini mengatakan bahwa ketergantungan sosial terjadi karena ketergantungan fisik melalui proses belajar : misalnya bila nafsu primer anak selalu terpenuhi oleh orang tertentu atau bila dekat dengan orang tersebut, maka orang tertentu itu akan memperoleh nilai positif bagi anak dan terjadilah pada anak nafsu sekunder terhadap orang tertentu itu, yaitu orang yang mengasuhnya. Anak kemudian akan melekatkan dirinya pada orang yang mengasuhnya itu. Hal yang memberatkan hipotesis ini ialah pada sementara hewan (burung, kera) telah terjadi kelekatan sebelum ada pemenuhan nafsu primernya. Juga pada anak bisa terjadi kelekatan pada orang yang tak mengasuhnya.
b. Keterangan kedua mempunyai
Anak merasa tertarik pada seseorang karena sifat-sifat persepsualnya atau sifat-sifat yang dapat dilihat oleh anak. Pada mulanya roman muka manusia mempunyai daya tarik tyang alami bagi anak. Bila anak seringkali melihat orang tertentu itu. Bila orang tersebut ada di dekat anak, maka anak akan merasa aman, bila ada orang asing datang, omaka anak akan tahun perbedaannya antara orang asing dengan orang tyang telah dikenal tadi. Ia akan bersikap negatif terhadap orang yang asing tersebut.
Bowlby berpendapat bahwa timbulnya kelekatan anak terhadap figur lekat (biasanya ibu) adalah suatu akibat menjadi aktif suatu sistem tingkah laku (behavioral system) yang membutuhkan kedekatan dengan ibu (Bowlby, 1972). Bila anak ditinggalkan ibu atau dalam keadaan takut, sistem tingkah laku tadi segera menjadi aktif dan hanya bisa dihentikan oleh suara, penampilan, atau rabaan ibu. Kebutuhan anak untuk menghisap, melekatkan diri, mengikuti, menangis dan ketawa, juga merupakan hal-hal penyebab timbulnya tingkah laku lekat anak. Tetapi apa yang dimaksudkan dengan sistem tingkah laku adalah lebih dari itu, yaitu suatu kumpulan tingkahlaku yang lebih kompleks dan bertujuan, yang timbul antara bulan ke-9 dan ke-18. Sistem tingkah laku ini berkembang karena interaksi anak dengan lingkungannya, terutama dengan ibu; berhubung dengan itu menurut Bowlby tingkahlaku lekat tadi terasuk kelompok tingkah laku sosial. Oleh Bowlby maka tingkahlaku lekat sebagai akibat menjadinya aktif suatu sistem tingkah laku control theory of attachment behavior.
Pendapat-pendapat lain mengemukakan bahwa tingkah laku lekat terjadi pada usia sekitar 7 bulan meskipun ada banyak perbedaan individual. Ada penyebaran dari 5 sampai 15 bulan.
Faktor apakah yang menentukan siapa yang akan menjadi objek kelekatan anak? Faktor pengasuhan ternyata bukan merupakan hal yang menentukan; 20% kelekatan pertama ditujukan pad aorang yang sama sekali tidak berurusan dengan pengasuhan anak. Ada dua macam tingkah laku yang menyebabkan seseorang dipilih sebagai objek kelekatan, yaitu :
1. Sering mengadakan reaksi terhadap tingkah laku anak yang dimaksudkan untuk menarik perhatian.
2. Sering membuat interaksi secara spontan dengan anak
Objek lekat tidak mesti hanya satu orang saja 1/3 dari jumlah anak sejak awal mempunyai kelekatan dengan orang yang berbeda-beda dan pada usia 1½ tahun hal itu merupakan keadaan yang biasa.
Biasanya ada hierarki antara orang-orang yang menjadi objek kelekatan. Ibu biasanya mempunyai kedudukan yang paling atas, tetapi pada usia 1½ tahun, 1/3 dari jumlah anak mempunyai orang lain (bukan ibu) sebagai objek lekat yang pertama.
Bila anak ada didekat objek lekat, timbullah keberanian untuk bereksplorasi. Sebaliknya anak mengalami ketakutan bila berpisah dengan objek lekatnya.
Ada dua macam ketakutan pada akhir tahun pertama :
a. Takut terhadap orang asing (bukan ke-8)
Dari penelitian terbukti bahwa anak yang mempunyai banyak interaksi dengan ayah kurang takut terhadap orang asing daripada anak yang hanya mempunyai interaksi dengan ibu saja.
b. Takut untuk berpisah (9-12 bulan)
Ketakutan berpisah timbul pada waktu ditinggalkan oleh objek lekat. Bersamaan dengan itu timbul hambatan dalam tingkah laku normal, misalnya hambatan dalam tingkah laku eksplorasi.
Lebih para adalah keadaan anak yang kehilangan objek lekat untuk waktu yang agak lama dalam tahun-tahun pertama, misalnya karena mondok di rumah sakit. Bowbly mencatat tiga stadium tingkah laku anak dalam situasi semacam itu, yaitu :
a. Fase protes : menangis, agresi, tidak mau makan
b. Fase putus asa : interaksi normal dengan anak-anak dan orang dewasa lain, tetapi acuh terhadap orang tuanya bila ditengok.
c. Pada perpisahan yang lama : menunjukkan tingkah laku tak perduli terhadap kontak dengan orang lain.
Penelitian Adiyanti (1989) di Yogyakarta mengenai kelekatan anak usia 6 bulan sampai dengan 3 tahun memberikan hasil sebagai berikut :
1. Tahap kelekatan sesuai dengan teori Bowlby (1980) ada dalam tahap 2 sampai dengan 4
2. Tingkah laku lekat sangat bervariasi sesuai dengan perkembangan kognisi, a.l anak yang telah memiliki konsep permanensi objek akan mencari ibu (objek lekat) bila ibu atau objek lekat tidak tampak dalam jangkauan pandangannya.
3. Anak yang egosentrimenya mulai menurun mau mengerti jika ibu minta diri untuk pergi sebentar.
4. Anak yang telah mempunyai kemampuan verbal jika ditinggal ibu bentuk protesnya adalah bertanya dan tidak menangis. Anak yang belum memiliki kemampuan verbal melakukan protesnya dengan menangis.
5. Tingkah laku lekat anak umur 6 bulan berbeda dengan anak umur 12, 10, 24, dan 36.
2.5.1.4. Institusionalisasi
Apakah yang akan terjadi bila anak tidak mempunyai kesempatan untuk mendapatkan kontak yang tetap dengan orang-orang tertentu dan dengan begitu tidak dapat mengembangkan tingkah laku lekat dengan orang lain ? Keadaan ini banyak diutarakan sebagai hasil beberapa penelitian mengenai anak yang hidup dalam yayasan-yayasan institusional berarti memasukkan anak dalam suatu yayasan).
Pada anak-anak tersebut nampak adanya perkembangan yang menyimpang dan tidak normal :
a. Mereka sering menunjukkan tingkah laku stereotip misalnya menumbuk-numbukkan badan pada dinding, pintu atau sesuatu yang lain atau mereka tidur terlentang di lantai, atau menghisap ibu jari.
b. Sering menunjukkan sikap apatis sama sekali.
c. Menunjukkan tingkah laku sosial yang abnormal, misalnya ketakutan yang berlebihan terhadap benda-benda asing atau orang asing, agresi atau kehausan akan perhatian orang dewasa.
d. Kemunduran perkembangan pada umumnya yaitu kemunduran dalam bidang motorik, kognisi dan bahasa.
Juga pada hewan terjadi tingkah laku tersebut diatas, yaitu setelah mengalami isolasi yang lama sesudah dilahirkan tingkah laku tadi disebut “sindrom-deprivasi primat”.
Menurut Bowlby (1951) dan Spitz (1945 : 1946) hanya ad satu sebab bagi tingkah laku menyimpang ini, yaitu “lack of emotional sayang yang sangat dibutuhkan untuk berkembang dengan sehat dan normal. Tetapi disamping oitu terdapatlah kenyataan-kenyataan yang sukar dapat diterangkan, yaitu :
a. Retardasi seringkali sudah timbul sebelum ada hubungan emosional (6-9 bulan)
b. Retardasi juga bisa timbul walaupun anak sudah mempunyai hubungan emosional yang memuaskan.
c. Seringkali juga tidak timbul retardasi meskipun anak mengalami kekurangan kasih sayang.
2.5.1.5. Peranan stimulasi
Telah diselidiki pada sejumlah kera mengenai akibat sesudah mereka dibesarkan dalam keadaan gelap gulita. Sesudah beberapa waktu nampak perkembangan berhenti, bahkan nampak ada degenerasi sel-sel otak pada korteks visual. Sudah barang tentu deprivasi yang begitu ekstrim hampir tidak pernah dijumpai pada manusia meskipun deprivasi yang lebih ringan juga dapat memberikan berbagai akibat yang cukup serius.
Dalam bulan-bulan pertama pada waktu anak kurang memperoleh stimulasi visual, yaitu pada waktu mereka kebanyakan berada dalam posisi tidur, maka posisi tidur, maka perhatian visualnya dapat mengecil. White (1968, 1969) berpendapat bahwa pemberian stimulasi visual dalam ranjang anak dapat sangat mempertinggi perhatian anak terhadap keliling. Meskipun bila stimulus tadi terlalu banyak dapat berakibat sebaliknya, perhatian berkurang dan anak akan menangis.
Tahun pertama disebut “pcriode kesiapan mendengarkan” yaitu anak belajar mendengarkan. Hal ini sangat penting bagi perkembangan bahasa dalam periode tahun pertama, yaitu karena :
a. Kualitas dan kuantitas vokalisasi seorang anak dapat bertambah dengan pemberian reinforsemen verbal.
b. Dalam bagian kedua tahun pertama anak mulai menirukan kata-kata yang didengarnya.
Dalam penelitian Walraven (1973) ternyata bahwa bayi yang sering diajak bicara oleh ibu dengan menyebutkan nama benda-benda yang ada disekelilingnya mendapatkan tingkat perkembangan yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak memperoleh perlakuan semacam itu. Tetapi sebaliknya stimulasi auditif yang terlalu banyak juga memberikan akibat yang tidak baik.
Dapat diduga bahwa stimulasi taktil mempunyai pengaruh terhadap cerebelum (susunan otak kecil) yang bersama dengan bagian otak yang lain mempengaruhi tingkah laku sosial-emosional. Selanjutnya kera yang mengalami deprivasi taktil odan bertingkah laku agresif, ternyata mempunyai EEG cerebellum yang abnormal. Sesudah sebagian cerebellum dihilangi secara operatif maka hasil EEG dan tingkah lakunya menjadi normal kembali.
Anak prematur yang lama ada dalam “couveuse” nampak berkembang lebih baik bila sesudahnya itu mereka ditempatkan dalam semacam ranjang bayi yang selalu bergerak. Berhubung dengan itu maka cara sementara orang di Indonesia menidurkan anak dalam selendang yang digantung pada kedua ujungnya hingga dapat bergoyang-goyang pada setiap kali bayi bergerak, mempunyai keuntungan tersendiri bagi perkembangan anak.
Variasi dalam stimulasi sangat penting sehubungan dengan perhatian anak yang makin mengecil bila suatu stimulus yang sama terus menerus diberikan. Hal tersebut dapat terjadi antara umur 3 dan 6 bulan. Anak bosan terhadap stimulus yang terus menerus sama, karena sudah membentuk representasi intem mengenai stimulus tersebut.
Bila anak sudah membentuk representasi intern mengenai S, maka ia akan mempunyai perhatian yang besar terhadap suatu stimulus yang ada persamaannya dengan S, tetapi juga tidak persis sama atau tidak terlalu menyimpang daripada S tadi (lihat gambar 7). Hal inui disebut hipotesis diskrepansi.
Berdasarkan hipotesis diskrepansi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa para pendidik dan orang tua dapat menaikkan kperhatian anak dengan menyajikan stimulus-stimulus oyang baru tetapi juga jangan yang sama sekali baru.
Juga waktu atau saat memberikan stimulasi besar pengaruhnya terhadap perkembangan anak. Sering dan cepat memberikan respons terhadap tingkah laku anak mempunyai akibat yang bermacam-macam.
Mengadkan respons dan atau reaksi pada saat-saat yang tepat terhadap tingkah laku anak dapat memberikan pengaruh yang penting terhadap rasa diri anak. Karena anak memperoleh respon terhadap tingkah lakunya, ia akan merasa bahwa tingkah laku tadi dapat mengakibatkan sesuatu dalam lingkungan. Ia merasa dapat menjadi sebab sesuatu akibat. Hal ini dapat menimbulkan motif yang dipelajari dan apa yang disebut kontrol lokus yang internal (internal locus of control). Hal ini berarti bahwa anak merasa bahwa dirinyalah yang menguasai reinforsemen, bahwa dialah yang menentukan akibatnya. Sebaliknya adalah bila anak selalu tidak mendapatkan reaksi terhadap tingkah lakunya. Disini anak merasa bahwa tingkah lakunya tidak mempunyai akibat apapun atau pengaruh apapun terhadap lingkungan, bahwa dia tidak kuasa atau pengaruh apapun terhadap lingkungan, bahwa dia tidak kuasa menentukan akibatnya, keadaan diluar dirinyalah yang menentukan. Hal ini dapat menimbulkan apa yang disebut kontrol lokus yang eksternal (external locus of control). Menurut penelitian di Barat maka orang yang memiliki sifat kontrol lokus yang eksternal ini pad umumnya datang dari lingkungan yang kurang dan mempunyai korelasi positif dengan prestasi sekolah yang rendah. Penemuan ini perlu mendapatkan pengujian di Indonesia karena kontrol lokus tersebut sangat berhubungan dengan filsafat hidup dan pandangan suatu kebudayaan.
Sebagai kesimpulan dapat dikatkan bahwa pada umumnya seorang ibu atau pengganti ibu mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan anak karena :
1. Dia dapat menentukan berapa banyaknya stimulasi dan pada saat-saat apa stimulasi diberikan pada anak. Dia memegang kuncinya untuk mengadakan stimulasi bagi perkembangan anak.
2. Orang yang paling awal dan paling banyak mengadakan hubungan dengan anak biasanya juga orang yang dijadikan objek lekat anak. Biasanya orang ini adalah ibunya. Hubungan yang erat dengan anak tadi memberikan pengaruh yang kuat terhadap stimulasi yang diberikan terhadap tingkah laku anak tersebut, lebih kuat daripada bila misalnya stimulasi diberikan oleh orang yang asing bagi anak.
2.5.1.6. Penelitian mengenai stimulasi terhadap perkembangan anak masa awal
Penelitian Riksen-Walraven (1977 : 1978) pada 100 orang anak Belanda berasal dari kelas sosial-ekonomi yang rendah menunjukkan betapa pentingnya stimulasi yang tepat diberuikan selama periode tahun pertama. Dalam penelitian tersebut diadakan stimulasi terhadap 2 aspek perkembangan masa awal.
Aspek pertama yang diteliti adalah motif kompetensi. White (1959) melukiskan motif ini sebagai suatu kecenderungan bawaan ke arah interaksi yang efektif dengan keliling. Pada tahun-tahun pertama maka kecenderungan ini berujud tingkah laku eksplorasi dan manipulasi dengan keliling.
Motif kompetensi yang bersifat bawaan dapat segera diperlemah atau diperkuat oleh orang-orang keliling pada waktu yang awal, yaitu melalui banyak sedikitnya reaksi yang diberikan terhadap tingkah laku anak tadi. Bila sejak dilahirkan anak mendapatkan banyak reaksi terhadap tingkah lakunya, maka anak akan merasa bahwa perbuatannya berhasil karena ia melihat akibat tingkah lakunya itu. Dengan begitu ia makin terdorong untuk berbuat sesuatu lagi dan melihat akibat yang ditimbulkannya. Pengalaman akan adanya hubungan atau kontingensi antara tingkah laku sendiri dengan akihat atau efeknya dalam keliling, sangat penting untuk perkembangan moitif kompetensi anak yaitu karena dengan demikian anak memperoleh rasa berhasil yang mendorongnya lagi untuk dapat menguasai kelilingnya misalnya melalui tingkah laku eksploratif).
Bila anak sering mendapatkan reaksi terhadap tingkah lakunya, maka tidak saja anak tadi terdorong untuk melakukan tingkah laku yang semacam itu lagi, melainkan ia juga lebih dapat menganalisa mengenai tingkah laku mana yang dapat memberikan efek tertentu itu. Proses ini disebut dengan istilah analisis-kontingensi : anak belajar untuk dapat meletakkan hubungan antara tingkah laku dengan akibat yang ditimbulkannya dalam keliling. Banyak sedikitnya reaksi yang diberikan oleh keliling terhadap tingkah laku anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang responsif akan memperlihatkan tingkah laku eksplosif yang tinggi, dan akan mampu untuk mengerti hubungan antara tingkah laku sendiri denan akibat yang ditimbulkannya.
Di samping penelitian terhadap aspek motif kompetensi ini juga dicoba untuk menstimulasi kecepatan habituasi. Seperti yang sudah beberapa kali diterangkan di muka maka habituasi adalah berkurangnya perhatian anak terhadap suatu stimulus yang berkali-kali disajikan. Habituasi berarti pula mendapatkan representasi internal tidak saja mengenai benda-benda, melainkan juga mengenai hubungan, hukum, relasi sosial dan sebagainya. Riksen-walraven berpendapat bahwa kecepatan habituasi itu dapat distimulasi : makin bervariasi stimulus yang ada dalam keliling anka, makin baik anak dapat meresapkan informasi dari luar dan makin cepat habituasinya.
Program stimulasi Riksen-Walraven dimulai pada waktu anak berusia 9 bulan. Anak-anak tersebut diambil dari lingkungan sosial ekonomi yang rendah karena menurut beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Para orang tua dari golongan sosial-ekonomi rendah kurang responsif dan tidak banyak memberikan stimulasi pada anak-anak mereka. Tujuan program stimulasi ini telah menstimulasi tingkah laku eksploratif, analisis kontingensi dan kecepatan habituasi anak dengan menpertinggi responsivitas dan stimulasi orang tua terhadap anak-anak mereka.
Cara kerjanya adalah sebagai berikut :
Pada usia 9 bulan anak diobservasi dua kali 40 menit, sekali pada waktu pagi dan sekali pada waktu sore hari. Observasi dilakukan atas dasar 17 kategori tingkah laku anak seperti ketawa, menangis, melihat dan 16 kategori tingkah laku pengasuh (ibu) seperti celaan verbal, menyebutkan nama benda, menunjuk sesuatu, (lihat Riksen-Walraven, 1977, hal. 87 dan seterusnya).
Atas dasar observasi itu setiap pengasuh memperoleh sekor R (Responsivitas) dan Sekor S (banyaknya stimulasi). Di samping itu ditentukan tingkah laku eksploratif, analisis kontingensi dan kecepatan habituasi anak dalam berbagai cobaan. Sesudah pengukuran pendahuluan ini orang tua menerima beberapa alat permainan dan sebuah buku kerja. Buku terebut berisi bermacam-macam petunjuk dan sugesti untuk bermain dan berinteraksi dengan anak. Sementara orang tua menerima buku yang bersifat menstimulasi responsivitas mereka terhadap anak (buku R) sementara orang tua lagi menerima buku yang menitikberatkan akan pentingnya memberikan stimulasi yang banyak dan bermacam-macam (buku S). Pada usia 12 bulan jadi sesudah periode intervensi 3 bulan setiap anak diobservasi lagi dalam interaksi dengan pengasuh (orang tua) dan tingkah laku anak diukur lagi. Ternyata bahwa pemberian pengaruh terhadap orang tua dan stimulasi perkembangan anak dapat berhasil. Para orang tua yang menerima buku R menjadi lebih responsif terhadap anak-anak mereka daripada kelompok kontrol yang tidak menerima program intervensi, sedangkan anak-anak mereka menunjukkan tingkah laku eksploratif lebih banyak dan analisis kontingensi lebih cepat daripada anak-anak kelompok kontrol. Para orang tua yang menerima program S memberikan lebih banyak stimulasi pada anak daripada kelompok kontrol dan anak-anak mereka mempunyai kecepatan habituasi yang relatif lebih besar.
Penelitian ini dikemukakan agak luas untuk menunjukkan suatu eksperimen-intervensi yang praktik dan berhasil.
Dari analisis teoretis dan empiris ini ternyata bahwa proses perkembangan seperti habituasi, eksplorasi dan kontingensi serta faktor-faktor lingkungan seperti responsivitas dan stimulasi paling tidak merupakan faktor-faktor inti dalam perkembangan manusia. Pelaksanaan program itu menunjukkan adanya kemungkinan untuk menunjukkan adanya kemungkinan untuk membuat perubahan dan kemungkinan untuk menyesuaikan cara mengasuh anak terhadap kebutuhan-kebutuhan yang ada pada anak. Hanya melalui perubahan sikap dapat diharapkan efek yang tahan lama dan dapat diharapkan untuk membuat anak, juga sesudah tahun pertama, tumbuh menjadi individu yang kompeten. Pertanyaan yang timbul di sini adalah ialah apakah di Indonesia sikap orang tua yang berasal dari kelas ekonomi-ekonomi yang rendah juga menunjukkan lebih sedikit responsivitas dan lebih sedikit memberikan stimulasi pada anak-anak mereka. Mengenai hal ini masih menunggu penelitian yang sesuai, namun orang Indonesia (Jawa) membawa anak kemana-mana dalma selendang dan mulai anak bisa mengangkat kepalanya didukung dalam posisi duduk, akan memberikan keuntungan yang besar bagi bertambahnya variasi stimulus yang diterima anak, karena daerah pengamatan anak jauh lebih luas daripada bila ia diletakkan dalam ranjang atau dalam kereta bayi. Hal ini perlu dikemukakan sebentar oleh penulis berhubung cara membawa naak dalam selendang oleh para ibu terutama di kota kurang disukai karena dianggap kurang “modern”. Beruntung sekali bahwa sekarang telah dipopulerkan “baby-keeper” terbuat dari plastik sebagai pengganti selendang.
Perkembangan fisik dan psiko-motorik selama tahun pertama.
Pada wakt dilahirkan mak anak laki-laki pada umumnya lebih panjang dan lebih berat daripada anak wanita. Selama tahun pertama panjang badan bertambah 1/3 bagian dan berat badan menjadi tiga kali berat semula. Proporsi badan berubah dengan cepat terutama pada bagian kedua tahun pertama. Kaki tumbuh dengan sangat cepat mulai 8 minggu, lebih cepat dibanding dengan pertumbuhan kepala. Kepala tumbuh relatif lebih lambat dibanding dengan pertumbuhan badan sebagai keseluruhan. Meskipun begitu besar tengkorak serta bentuk tengkorak berubah dengan jelas. Perbedaan mengenai pertumbuhan fisik anak ini sangat besar pada berbagai macam kultur dan bangsa. Perbandingannya adalah pada waktu dilahirkam maka besar kepala adalah seperempat besar seluruh badan : pada orang dewasa perbandingan kepala terhadap bagian badan yang lain adalah 1/8 (lihat Gambar 8.).
Pada waktu dilahirkan hanya sedikit anak yang sudah tumbuh giginya; juga ada anak yang baru pada usia satu tahun tumbuh giginya. Pada umumnya gigi pertama tumbuh pada usia + 7 bulan, dan pada usia 12 bulan biasanya sudah tumbuh 6 buah gigi.
Pengerasan tulang-tulang mulai periode pra-natal dan berlangsung terus sampai masa remaja. Tulang naak yang masih muda lebih lentur, lebih reaksi dan lebih mudah bengkok daripada tulang orang dewasa. Tetapi karena kelenturan ini tulang anak tidak mudah patah. Terdapat banyak perbedaan perseorangan dan perbedaan kelompok dalam sifat kelenturan tulang itu. Di samping itu terdapat juga perbedaan di antara bagian-bagian badan. Juga terdapat perbedaan antara pria dan wanita dengan wanita dengan wanita lebih unggul daripada pria dalam perkembangan kerangka.
Urat daging pada pada bayi yang baru dilahirkan belum berkembang. Urat daging tumbuh dalam panjang, lebar dan besarnya. Urat daging kepala dan tengkuk berkembang lebih cepat daripda urat daging pada anggota-anggota badan. Anak laki-laki mempunyai proporsi jaringan urat daring leih besar daripada anak perempuan. Anak wanita berkembang lebih cepat daripada anak laki-laki, mereka mempunyai banyak lemak dan lebih sedikit air. Anak wanita pada umumnya lebih ringan berat badannya dan lebih pendek daripada anak laki-laki. Disamping itu juga tidak terdapat banyak variasi dalam perkembangan badan anak wanita.
Anak yang baru dilahirkan mempunyai sejumlah refleks. Mereka merupakan dasar bagi bayi untuk mengadakan reaksi dan tindakan yang aktif. Beberapa dari refleks ini akan menghilang dalam waktu tertentu dan disebut refleks anak menusu atau refleks bayi. Ada yang tidak menghilang dan disebut refleks permanen. Termasuk yang terakhir ini adalah reflek urat Achiiles (kontraksi urat-urat daging kempol bila urat Achiiles dipukul), refleks urat lutut atau refleks pattellair (kontraksi urat-urat daging pada kaki atas bila ada pukulan pada urat di bawah lutut) dan refleks pupil (mengecilnya pupil bila ada sinar masuk dan pada akomodasi). Termasuk refleks anak menusu atau refleks sementara adalah :
a. Refleks moro : dalam gerak refleks ini akan mengembangkan tangan ke samping lebar-lebar, melebarkan jari-jari laku mengembangkan tangannya dengan tarikan cepat seakan-akan ingin memeluk seseorang (dari itu refleks ini juga disebut refleks “peluk”). Refleks ini dapat ditimbulkan dengan memukul bantal di kedua samping kepala anak atau dengan menepuk-nepuk tangan, artinya refleks ini timbul karena anak terkejut. Biasanya akan mulai menghilang sekitar 4 bulan dan sesudah 6 bulan hanya dapat ditimbulkan dengan susah payah.
b. Refleks mencium-cium atau “rooting-reflex” : refleks ini ditimbulkan oleh stimulasi taktil pada pipi atau daerah mulut. Anak mereaksi dengan memutar-mutar kepalanya seakan-akan mencari putting susu.
c. Refleks hisap : refleks mencium-cium dan refleks hisap biasanya timbul bersama-sama dengan merangsang pipi. Refleks-reflek ini mempunyai fungsi eksploratif yang menenangkan. Merupakan hal yang terkenal bahwa bayi pada bulan-bulan pertama ingin menyelidiki keliling melalui daerah mulut, dari itu kedua refleks ini juga disebut refleks oral. Kedua refleks menghilang sekitar 6 bulan.
d. Refleks genggam atau refleks Darwin : bila kita membuat rangsang dengan menggoreskan jari melalui bagian dalam lengan anak ke arah tangan, tangan akan membuka bila rangsang hampir sampai pada telapak tangan. Bila jari diletakkan pada telapak tangan, anak akan menutup telapak tangannya tadi.
e. Refleks Babinski : adalah semacam refleks genggam kaki. Bila ada rangang pada telapak kaki, ibu jari akan bergerak ke atas dan jari-jari lain membuka. Kedua refleks ini akan menghilang pada sekitar 6 bulan.
Mengenai keadaan panca indera dapat dikatakan sebagai berikut :
Pencium/pembau, ada tanda-tanda bahwa indera pencium pada mulanya belum berkembang meksipun belum banyak penelitian mengenai hal ini. Bayi akan nampak memalingkan kepala bila ada bau yang tidak enak.
Pengecap, anak yang baru dilahirkan sudah bereaksi dengan menyengirkan mukanya bila mengecap sesuatu yang tidak enak. Sekitar bulan kedua dan ketiga mulailah perkembangan indera pengecap.
Indera kulit, pada bulan terakhir periode fetal sudah mulai ada rasa tekanan dan rasa sakit, meskipun masih global dan belum jelas. Bila bayi yang tidur dipegang, denyut jantungnya akan bertambah cepat. Bila ia dipegang pada waktu bangun, denyut jantungnya menjadi lambat.
Rasa suhu, anak yang baru dilahirkan mempunyai jenjang rasa suhu yang lebar, dari jauh di atas sampai dengan jauh di bawah suhu badan.
Penglihatan, anak sudah dapat melihat terang, gelap dan warna. Bayi mengadakan reaksi terhadap perbedaan intensitas stimulus-stimulus visual melalui refleks biji mata. Anak bayi dapat mengikuti gerakan-gerakan sesuatu dengan matanya. Mereka dapat mengadakan konvergensi dan fiksasi binokuer. Sekitar 2 bulan anak baru dapat mengadakan akomodasi.
Mengenai kompleksitas pengamatan-pengamatan visual masih ada pendapat yang berbeda-beda. Yang jelas yaitu bahwa perhatian anak tertuju pada stimulus yang kompleks. Hanya belum dapat dibuktikan apakah anak akan makin tertarik pada stimulus-stimulus yang semakin kompleks. Di muka dapat dibuktikan bahwa stimuulus yang mirip tetapi tegak menyimpang dari skemata (representasi internal) yang ada, akan memikat perhatian. Perhatian hilang bila stimulus yangbaru itu identik sama sekali, atau sama sekali tidak ada persamaannya dengan skemata yang lama;
Anak juga sudah bisa melihat dalam, tetapi belum dapat dibuktikan apakah kemampuan ini merupakan suatu kemampuan bawaan ataukah hasil pengaruh belajar (lihat Gambar 9. “Jurang Visual”).
Pendengaran : anak yang baru dilahirkan sudah dapat mendengar, ia mengadakan reaksi terhadap stimulus auditif. Di sini nampak adanya perbedaan-perbedaan perseorangan. Sementara anak sudah mengadakan reaksi pendengaran segera sesudah dilahirkan, sementara anak yang lain membutuhkan waktu yang agak lama. Wertheimer (1961) dapat membuktikan bahwa bayi 10 menit sesudah dilahirkan dapat memalingkan pandangan ke arah suatu stimulus suara. Hal ini disebut reaksi orientasi dan membuktikan bahwa suatu koordinasi motoris antara penglihatan dan pendengaran dapat terjadi tanpa melalui proses belajar lebih dahulu. Bila perhatian visual ditimbulkan oleh gerakan dan kontur, maka perhatian auditif dapat timbul karena irama dan lama waktu berlangsungnya suara.
Keterangan tersebut di atas menunjukkan bahwa sementara alat indera anak pada waktu anak dilahirkan atau segera sesudahnya sudah dapat berfungsi dengan baik. Misalnya indera mata dan telinga. Mungkin pad setengah abad yang lalu atau sesudahnya orang-orang kita di Indonesia masih banyak melihat bayi dilahirkan dengan mata tertutup dan baru setelah beberapa hari mulai terbuka. Kenyataan itu menimbulkan kesan dan anggapan bahwa bayi yang baru dilahirkan masih belum dapat melihat apa-apa bahkan mungkin juga belum dapat mendengar sama sekali. Namun kemudian bayi di Indonesia juga dilahirkan dengan mata terbuka sesuai dengan hasil penelitian yang telah disebutkan di atas. Apakah hal itu erat hubungannya dengan pengertian faktor gizi yang bertambah baik atau faktor pemeliharaan kesehatan sebelum dilahirkan yang bertambah baik, juga masih menunggu suatu penelitian tersendiri.
Pola tingkah laku motorik pada anak makin lama makin bertambah baik koordinasinya, makin cermat dan makin cepat (lihat Gambar 10).
Kinestasi : anak yang baru dilahirkan juga sudah mempunyai aktivitas kinestetis, yaitu sudah mempunyai penghayatan gerakan aktif, sudah dapat merasakan gerakan-gerakannya. Dalam perasaan kinestetis
Gambar 10. Tingkah laku motorik di bawah ini dapat dilakukan 25%, 50% , 75% dan 90% oleh kelompok sample yang diselidiki Cools dan Hermans (1977) di Neeri Belanda (umur di tulis dalam bulan). (Masih harus dipertanyakan umur rata-rata anak Indonesia dalam melakukan tingkah laku motorik tersebut.
25% 50% 75% 90%
Dapat mengangkat kepalanya 45o sampai berbaring tengkurap 0.5 1.0 1.7 25
Duduk dengan dibantu, kepala diam 0,6 1,2 2,0 3,2
Perut dada ke atas 1,4 2,2 3,3 4,8
Duduk tanpa dibantu 6,5 7,6 8,8 10,2
Berdiri dengan sandaran 7,7 9,0 10,6 12,25
Menarik diri untuk berdiri semacam bentuk merangkak 7,6
9,2 11,0 13,0
Berjalan dengan dibantu
9,0 10,4 11,9 13,6
Berdiri lepas dengan tegap 11,2
12,8 14,5 16,2
Berjalan baik 12,4 13,8 15,4 16,9
Menyepak bola ke muka 14,0 15,8 18,6 24,7
Termasuk perasaan posisi tubuh, anggota badan, urat-urat daging, keseimbangan, gerakan memutar. Termasuk juga dalam golongan ini pengamatan tingkah laku sendiri. Juga sebelum dilahirkan, fetus dapat merasakan kinestesi meskipun masih sangat terbatas.
Duduk : rata-rata pada usia 2-3 bulan anak dapat duduk dengan bantuan, pada usia 7 bulan anak dapat duduk tanpa bantuan orang lain.
Merangkak : walau ada perbedaan-perbedaan perorangan yang besar, dapat dilihat adanya 3 tingkatan dalam gerakan merangkak. Tingkatan pertama adalah pada usia + 8 bulan, di sini lutut ditarik ke mulai melalui badan. Sekitar 34 minggu anak dapat bergerak maju dengan menarik dirinya di atas lantai. Perut masih belum diangkat dan anak maju dengan bantuan gerakan tangan dan kaki. Kepala berpaling ke arah bagian tangan dan kaki yang ditekuk. Cara merangkak semacam ini disebut homolateral, yaitu anak merangkak dengan sisi yang satu dulu kemudian dengan sisi yang lain. Baru sekitar 40 minggu akan merangkak dengan tangan dan lutut dan sekitar 45 minggu dengan tangan dan kaki. Sekarang anak bisa diesbut bilateral, yaitu ia mampu untuk menggerakkan kedua sisi basan secara serasi.
Berdiri dan berjalan : kebanyakan anak sudah dapat berdiri beberapa minggu pertama sebelum me reka dapat berjalan. Biasanya anak dapat berjalan pada usia kurang lebih satu tahun meskipun ada banyak variasinya antara 9-15 bulan.
Untuk menjaga keseimbangannya, anak mengangkat kedua lengan ke sisi atau ke atas. Dengan pertolongan perubahan-perubahan dalam proporsi badan serta perkembangan dalam sistem neuro muskuler anak mampu untuk berjalan dengan cara yang normal.
Cools dan Hermans (1977:1979) telah membuat norma-norma mengenai suatu tes yang dipakai di Belanda, yaitu Denver Ontwikkeling Screening tes (DOS). Tes ini dimaksudkan untuk menemukan secara dini permasalahan yang ada dalam perkembangan anak. Pembuatan norma-norma ini dilakukan dengan melibatkan 1260 anak (628 anak pria dan 632 anak wanita) berumur 1 tahun sampai 6 ½ tahun (rentang usia dalam hari yaitu 16-2340 hari). DOS mempunyai 105 kategori perilaku konkrit, yaitu 20 bentuk perilaku sosial seperti “glindingan bola itu kembali”, “mengenakan pakian di bawah pengawasan”, 30 bentuk perilaku adaptasi seperti “memegang krintingan”, “menirukan membuat jembatan”, 24 bentuk perilaku bahasa seperti “mengkombinasikan dua kata”, “mengerti pengertian dingin, lelah, lapar”, dan 30 bentuk perilaku motoris (gambar 10 sebagian besar diambil dari DOS). Dari DOS juga bisa diperoleh data-data longitudinal (Hermanss & Cooks, 1978).
Norma DOS untuk Belanda dinyatakan dalam presentase (nilai P) dengan batas Bawah dan batas Atas. Dengan demikian maka P90 pada kategori perilaku “dapat berdiri sendiri” dengan B15.6. dan A 16.9 berarti bahwa 90% dari kelompok anak usia 15.6 bulan, sampai 16.9 bulan dapat melakukan perilaku motoris ini “gambar 10) (lihat Cools & Hermanns, 1977. hal. 236/237).
Memegang/meraih : antara minggu ke 16 dan ke 52 anak dapat memegang suatu dengan baik (lihat gambar 10). Sekitar usia 5 bulan anak dapat memandang benda sesuatu tetapi ia tidak akan memegangnya. Anak usia 2 ½ bulan akan memukulnya dan sekitar usia 4 bulan ia mencoba untuk menyentuhnya. Baru pada usia 5 bulan ia mencoba untuk memegang/meraihnya. Kemampuan ini tergantung baik pada pemasakan fungsi-fungsi anak dari dalam maupun dari pengaruh-pengaruh keliling.
Bahasa : dasar psiko-motoik tingkah laku bahasa ada pada tahun pertama. Mulai kurang lebih 6 anak mulai meraba (mengoceh). Meraba ini dapat dipandang sebagai permulaan bahasa dan pada sekitar tahun pertama anak mulai mengucapkan kata-kata pertama. Pada bagian kedua tahun pertama anak sudah bisa mengadakan semacam dialog dengan dirinya sendiri. Dalam hubungan ini penting bagaimana orang-orang disekeliling anak mengadakan reaksi terhadap pernyataan perasaan anak ini. Hal ini sangat penting bagi perkembangan vokalisasi dan sosialisasi anak.
Gambar 11. Perkembangan tingkah laku motorik : mraih
+ 16 minggu Belum ada kontak sesungguhnya dengan obyek. Anak melihat tetapi belum akan memegangnya
+ 20 minggu Memegang secara visual terarah. Anak dapat menyentuh bendanya, mencoba memegangnya, tetapi belum dapat menggenggamnya dengan baik.
+ 28 minggu Telapak tangan ikut memegang peranan.
+ 36 minggu Jari telunjuk memegang peranan.
+ 52 minggu Koordinasi antara ibu jari dan jari telunjuk. Juga jari-jari yang lain dipakai secara efektif.
Pengenalan awal anak-anak resiko
Segera sesudah anak dilahirkan dan sekali lagi 5 menit sesudahnya kebanyakan anak dites dengan apa yang disebut tes APGAR. Tersebut dibuat oleh Virginia APGAR dalam tahun 1953 untuk menentukan bayi mana yang perlu memperoleh perhatian medis yang khusus. Tes tersebut terdiri dari observasi sederhana yang dilakukan oleh dokter yang menolong mengenai fungsi-fungsi vital anak : denyut jantung, pernafasan, ketegangan urat daging, refleks dan warna kulit. Pada tiap dimensi tadi anak mendapatkan sekor 0 atau 1 atau 2. Kelima sekor dijumlah dan merupakan sekor APGAR anak.
Anak dengan sekor APGAR 10 ada dalam keadaan sehat fisik yang bagus. Bayi dengan sekor 8 dan 9 mempunyai kondisi badan yang baik. Mereka yang mempunyai sekor 5 dan 7 dapat mempunyai masalah-masalah medis yang membutuhkan perhatian. Sekor 4 atau di bawahnya mempunyai kemungkinan hidup yang kecil dan membutuhkan perhatian medis dengan segera.
Semula tes APGAR digunakan untuk mengerti indeks kasar untuk menentukan keadaanf isik anak pada waktu dilahirkan. Sesudahnya itu hasil tes APGAR ini juga digunakan untuk meramalkan tingkah laku anak jangka panjang, begitu juga perkembangan dan inteligensinya. Hal ini terutama karena ada dugaan bahwa anak terbelakang mental akan mempunyai sekor APGAR yang lebih rendah pada waktu dilahirkan. Sementara peneliti menemukan korelasi yang signifikan antara sekor APGAR dan tingkat inteligensi kemudian.
Penelitian harus menimbulkan dugaan bahwa ada beberapa variabel lain yang ikut mempengaruhi korelasi ini. Variabel yang mempengaruhi inteligensi anak pada waktu yang awal ikut mempengaruhi kesukaran kelahiran, jadi mempengaruhi sekor APGAR. Suatu penelitian baru pada 26.000 anak dari 12 kota pusat medik di Amerika Serikat menunjukkan bahwa bila pengaruh kelas sosial-ekonomi, bangsa atau sekse dihilangi, maka baik sekor APGAR anak normal maupun anak yang menyimpang tidak mempunyai korelasi yang signifikan dengan sekor intelegensi anak-anak tersebut pada umur pra-sekolah. Jadi kecuali bila sekor APGAR itu sangat rendah maka kita tidak perlu terlalu khawatir mengenai kesehatan psikis dan perkembangan selanjutnya (lihat Holm & Morrison, 1979).
Juga pada penerimaan apa yang disebut anak-anak resiko (high risk infants) maka tes APGAR dapat memberikan bantuan yang berharga. Telah diadakan penelitian perbandingan mengenai sejarah hidup 125 mati dalam ranjang dengan lebih dari 50.000 bayi yang tahan hidup; kelompok yang pertama jelas menunjukkan sekor APGAR yang lebih rendah.
Di Belanda misalnya setiap tahuna da kurang lebih 200 bayi yang mati mendadak dan tanpa ada tanda-tanda sakit. Hal ini kebanyakan terjadi di antara bulan ke 2 dan ke 4. Kematian ini yang disebut “wiegedood” atau “Suddent Infant Death Syndrom”, menurut beberapa penelitian dapat dicegah oleh pemeliharaan yang wal dan tepat. Anak-anak resiko ini membutuhkan stimulasi dan pengaktivan terarah terutama dalam bulan-bulan pertama. Pada waktu kelahiran ada beberapa tingkah laku refleks dan spontan yang perlu bagi anak untuk dapat hidup. Dengan myelinisasi serta perkembangan fungsi-fungsi otak yang lebih tinggi maka tingkah laku yang dipelajari. Hal ini mempunyai puncaknya pada bulan ke 2 dan ke 4. Selama periode perkembangan neural yang cepat ini nampaknya anak masih harus mempelajari beberapa pola tingkah laku, antara lain bernafas spontan. Dengan lain perkataan pernafasan dan pola-pola tingkah laku yang lain makin ditentukan oleh tingkah laku belajar. Anak-anak resiko (anak prematur, kelahiran dengan komplikasi-komplikasi hingga menyebabkan cacat-cacat ringan pada otak) membutuhkan stimulasi dan pengaktivan tambahan untuk dapat tahan hidup. Dalam tulisan Lipsitt (1979) ditunjukkan bahwa penyebab wiegedood juga dapat diterangkan secara psikologis yaitu disebabkan oleh atau merupakan akibat dari tidak adanya pengalaman belajar pada perpindahan dari tingkah laku spontan ke tingkah laku yang disengaja. Hal ini berarti bahwa pemeliharaan bayi terutama pada anak-anak resiko harus berorientasi medis dan psikologis.
Depresi Post-Partum
Akhir-akhir ini ada perhatian yang meningkat akan suatu gejala yang dikenal sebagai depresi post-partum, yaitu problema psikis sesudah melahirkan seperti labilitas efek, kecemasan, dan depresi pada ibu yang dapat berlangsung berbulan-bulan. Dalam tulisan-tulisan yang baru diadakan beberapa diferensiasi pada permasalahan post-partum yang bersifat depresif. Dibuatlah suatu kontinum permasalahan yang bergerak dari “menangis sehari-harian” sampai gejala psikosa. Depresi post-partum ada di antara dua gejala ini (Dirksen, 1985) (Post Partum atau post-natal = sesudah melahirkan; psikosa = pecahnya pribadi hingga hubungan dengan dunia luar rusak. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor endogen maupun faktor eksogen). Keadaan depresi semacam itu menyebabkan ibu tidak bisa berfungsi baik sebagai anak yang sehat. Dalam penelitian Dikresen (1985) dan De Jonge Adriaanseen (1985) dibicarakan lebih lanjut mengenai hal ini.
Di Nederland kurang lebih 1 dari 10 wanita mengalami depresi post-partum hingga mengganggu fungsi mereka sebagai isteri dan ibu. Meskipun perkiraan frekuensi depresi post-partum tadi di Nederland berkisar 2% sampai 10%, namun dalam pembandingan data dengan Inggris dan Amerika diketemukan adanya hubungan antara intervensi medis pada waktu melahirkan dengan depresi post-partum.
Tabel berikut ini memberikan gambaran mengenai intervensi medis pada kelahiran (lihat De Jonge-Adriaanssen, hal.9).
Tabel 3. Persentase intervensi medis pada kelahiran di Nederland (De Haan dan Van Impe, 1983) Inggris (Oakley, 1980) dan Amerika (Entwisle dan Doering, 1981).
Nederland Inggris Amerika
Bedah Caesar
Tang
Vakuum
Episotomi
Tusuk punggung
Stimulasi buatan
Tidak ada intervensi dengan alat
Tanpa pencegah sakit
Sadar penuh 5
3
6
43
1,4
16
83
86
+ 90 -
48
4
98
79
21
-
1
- 16,7
56,7
0
78,3
Biasa dilakukan
13
26,7
7
32
Kurang lebih seperempat jumlah ibu yang diteliti di Inggris dan Amerika menderita depresi dalam jangka waktu lama. Termasuk kelompok resiko tinggi jug para ibu yang mengalmai persalinan dengan pembedahan. Di Amerika serikat terdapat 35% dari kelompok tersebut yang mengalami depresi berat. Dalam penelitian banding De Jonge-Adriaansen (1985) menyimpulkan bahwa intervensi teknologi-medis yang berlebihan sering menjadikan penyebab timbulnya depresi dan rasa tak berdaya. Sehubungan dengan itulah maka penting kiranya untuk mengusahakan agar proses persalinan dapat berlangsung sewajarnya untuk menjaga stabilitas psikis ibu. Ibu yang secara psikis stabil sangat besar artinya bagi perkembangan anak yang sehat.
Ibu dan anak : persyaratan yang penting untuk perkembangan yang sehat?
Dalam buku “Maternal Depriviation” Rutter (1972) mengemukakan bahwa Bowlby dalam laporannya pada WHO (Who Health Organization) pada tahun 1951 mengajukan dua macam kesimpulan yang penting, yaitu :
1. Bahwa perawatan anak yang ada di yayasan sangat tidak baik, yaitu bahwa mereka dipandang sebagai makluk biologis daripada sebagai makhluk psikologis dan sosial yang berperasaan.
2. Bahwa kasih sayang ibu sangat penting bagi perkembangan psikis anak yang sehat : sama pentingnya sepertih halnya vitamin dan protein bagi perkembangan biologis.
Kesimpulan Bowlby yang pertama membawa perubahan yang penting dalam sistem perawatan pada yayasan-yayasan bagi anak-anak cacat. Kesimpulan yang kedua menjadi suatu kenyataan dan merupakan persyaratan yang mutlak.
Dalam bukunya, Rutter mencoba untuk menunjukkan atas dasar bukti-bukti yang cukup banyak, bahwa kasih sayang ibulah merupakan satu syarat yang tidak bisa tiada untuk menjamin suatu perkembangan psikis anak yang sehat. Namun Rutter menambahkan bahwa pemberian kasih sayang ini tidak harus berasal dari seorang ibu biologis, melainkan dapat pula dari orang-orang lain, misalnya dari ayah, nenek, kakak atau orang asing pengganti ibu. Yang penting di sini ialah bahwa anak dapat mengembangkan tingkah laku lekat pada seseorang tertentu. Inilah yang penting. Bukan ibu biologis yang penting, melainkan seseorang tertentu yang dapat dikenakan tingkah laku lekat oleh anak yang menerima anak, yang memenuhi kebutuhan anak untuk melekatkan diri pada seseorang tertentu (lihat juga Paopuse & Papousek, 1978).
Suatu masalah yang lain lagi adalah mengenai pemberian ASI (Air Susu Ibu) dan susu kaleng. Air susu ibu mempunyai keunggulan terhadap susu kaleng dalma pemberian kekebalan anak terhadap penyakit. ASI dari seorang ibu lain yang diberikan dengan botol tetap mempunyak keunggulan ini. Ditinjau dari perkembangan psikis yang sehat, maka bukan air sususnya yang penting, misalnya apakah dari ibu atau dari kaleng, melainkan sikap si sibu atau si pengasuh itulah yang penting. Seorang ibu yang memberikan Asi dapat mempunyai sikap menolak terhadap anaknya, sebaliknya seorang ibu atau pengasuh yang memberi susu kaleng dapat merawat dan bersikap penuh kasih sayang terhadap anak. Sikap terhadap anak inilah yang sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan psikis seorang anak.
Perkembangan psikis seseorang, dilihat dari integrasi proses-proses sosialisasi, bukanlah suatu perkembangan yang hanya ditentukan oleh hukum-hukum dari dalam diri orang saja. Juga perkembangan dalam tahun pertama sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar diri anak tersebut. Yang penting adalah untuk memandang anak dari awal-mula sebagai pasangan interaksi yang serious yang secara aktif ikut memberikan bentuk pada perkembangannya. Anak mempunyai sifat ingin bersatu dengan lingkungan sosial maka lingkungan sosial harus dapat memberikan kesempatan pada anak untuk memenuh dorongan sosial itu.
Bila anak mendapatkan stimulasi, bila ia diterima, bila ia memperoleh kehangatan, maka hal-hal ini akan berpengaruh sangat positif bagi perkembangan yang sehat. Anak mulai mengadakan emansipasi, anak akan menemukan dan mengembangkan kemampuannya dalam batas-batas yang diberikan oleh keluarga. Anak akan makin lama makin menemukan dirinya atas dasar proses emansipasi. Hal ini makin dapat terlaksana bila padanya mulai berkembang kontrol lokus yang internal, artinya bila ia makin mengerti bahwa tingkah laku dan perbuatannya memberikan akibat dalam keliling.
Rangkuman
Mulai konsepsi sampai kelahiran, yaitu pada masa pranatal, anak sudah mengalami pengaruh dari luar. Keadaan fisik dan psikis ibu yang baik dan seimbang adalah persyaratan mutlak bagi perkembangan pranatal anak yang sehat. Meskipun sampat saat ini belum bisa ditentukan seberapa jauh faktor luar tadi memberikan pengaruh positif maupun negatif pada janin dalam kandungan tersebut.
Sejak dilahirkan seorang anak bukan hanya merupakan makhluk yagn reaktif saja, melainkan juga suatu pasangan yang aktif yang memberikan pengaruh kepada lingkungan dan dengan demikian juga memberikan pengaruh terhadap dirinya sendiri. Karena arah perhatian sosial serta meningkatnya kemungkinan motoris dan kognitif bertambahlah lingkup aktivitas bayi dengan cepat. Tingkah laku lekat, kelekatan dengan ibu (atau denan objek yang lain), merupakan ciri kas perkembangan anak pada tahun pertama.
Kehangatan serta rasa aman merupakan dasar berkembangnya hubungan emosional yang baik antara ibu dan anak. Hubungan penuh stimulasi dan perhatian sangat dibutuhkan bagi perkembangan anak yang sehat. Hal inilah yang sering tidak dialami oleh anak-anak dalam yayasan.
Sudah sejak lahir sekor APGAR dapat memberikan kesan keseluruhan mengenai tingkat perkembangan anak yang baru dilahirkan bagi pemeliharaan lebih lanjut anak-anak resiko maka sekor APGAR ini sangat penting. Denver Ontwikkeling Screeningtesi (DOS) merupakan alat observasi yang baik untuk menentukan tingkat-tingkat perkembangan anak masa dini.
Dan didalam buku psikologi perkembangan karangan Prof. Drs. Agoes Soejanto bahwa perkembangan embrio disini dikatakan bahwa :
4. Masa Pranatal
Sebenarnya pada masa ini belum banyak yang dapat diketahui tentang kehidupan jiwa embrio, tetapi oleh karena ada beberapa hal yang perlu diketahui oleh para calon, orang tua anak, maka kan dibicarakan serba sedikit tentang masa ini, antara lain ialah :
d. Faktor- faktor apa yang mempengaruhi perkembangan embrio dalam kandungan antara lain
• Faktor keturunan
• Faktor kemasakan, dan
• Faktor penyesuaian diri,
a.1 ) Embrio, yang berkembang didalam kandungan ibu, ditentukan oleh sel-sel telur dari pihak ibu dan sel-sel telur dari pihak ayah. Sejak pertemuan antara keduanya itu mulailah
terjadi kehidupan.
a.2 ) Menjadi masaknya embrio, mempengaruhi kehidupan jiwa embrio itu sendiri. Misalnya anak yang lahir pada umur tujuh bulan, tampak lebih tidak berdaya dibandingkan dengan anak yang lahir pada umur 9 bulan.
a.3 ) Perkembangan embrio dalam kandungan dipengaruhi oleh lingkungannya
e. Faktor apa yang dapat menimbulkan gangguan fisis pada embrio
Tentang hal yang ini dapat dibedakan atas tiga kelompok ialah :
Yang kurang berbahaya, misalnya alkohol dan nikotin,
Yang sedikit berbahaya, misalnya kehidupan emosi si ibu.
Yang sangat berbahaya, misalnya kelaparan, kurang vitamin.
f. Tentang hal gerakan-gerakan anak dalam kandungan.
Dari penelitian itu disimpulkan bahwa gerakan embrio dalam kandungan ada hubungannya dengan kelancaran kemajuan motoris bagi anak sesudah dilahirkan.
5. Masa orok
b. Hal –hal yang menarik perhatian
Yang sangat menarik perhatian para penyelidik pada saat anak baru lahir, ialah tentang tangis bayi, sehingga hal ini menimbulkan beberapa pendapat yang antara satu dengan yang lain berbeda- beda, tangis si bayi itu disebabkan oleh karena pada saat itu terjadi perpindahan dan kehidupan yang tidak disadari.
Hal kedua yang menarik perhatian tentang si bayi ialah tentang ketidak berdayaan si bayi mengundang banyaknya si penolong, dan ini memungkinkan sianak dapat berkembang lebih sempurna dari pada anak.
Hal yang ketiga yang menarik perhatian adalah tentang tidur si bayi, didalam 24 jam lamanya hanyalah untuk tidur-tidur ayam, untuk menyusu, untuk gerakan-gerakan spontan dan lain-lain. Hal ini berlangsung 2 minggu lamanya.
Sampai dengan umur 6 bulan, pada saat-saat tidak tidur ia mulai mengelurkan suara- suara, ia mulai tertarik pada benda –benda lain, sebagai alat alat permainannya dan semua yang dapat digapainnya dicobanya dimasukkan dimulut.
6. Kehidupan fisis si Bayi
e. Detak jantung
Tentang detak jantung dikatakan bahwa waktu lima bulan sebelum kelahirannya, jantung sibayi sudah berdetak sebanyak 150 kali / menit. Pada waktu lahir menurun tinggal 130 kali / menit, demikian terus menerus sehingga pada waktu berumur 2 tahun tinggal 80/ menit.
f. Tentang pernapasan si bayi.
Pada waktu dalam kandungan tentu tidak mungkin sibayi bernapas dengan paru-paru tetapi telah menggerakan badannya.
g. Tentang makan dan minum
h. Tentang pembuangan kotoran.
Di dalam buku psikologi perkembangan yang ini dikatakan bahwa perkembangan anak dalam tahun pertama dibagi dalam :
A. Kecakapan- kecakapn instingtif
Yaitu kecakapan instingtif yang matang atas pengaruh dari dalam pada triwulan pertama.
B. Kecakapan anak pada tahun pertama
Pergaulan anak dengan benda
• Meandang termangu- mangu kepintu dan jendela.
• Kepala dan tangannya akan terbuka bila di sentuh.
• Dapat menggenggam bila diberi sesuatu
• Dapat mencoba membuka kotak.
• Dapat melempar atau menggulingkan bola
Penguasaan Badan
• Mengamati mainannya,
• Dapat meluruskan dan memalingkan kepalanya walaupun agak susah,
• Menarik-narik pakaiaannya atau selimut,
• Memperhatikan sesuatu sejurus dengan dan mengamati mainan yang dipegannya,
• Memutar badan dari sikap meniarap kesikap menelentang,
• Dapat duduk tanpa pertolongan dan mulai merangkak,
• Dapat menggulingkan badannya sehingga berbaring pada perutnya.
Penguasaan anak dengan Manusia.
• Dapat tersenyum, memandang orang,
• Dapat tertawa dengan berbunyi,
• Menangis atau menunjukkan perasaan tidak enak bila diputuskan hubungannya,
• Dapat mereaksi belaian terhadap wajah yang ramah atau yang marah
• Mulai aktif mencari hubungan dengan mengeluarkan bermacam-macam bunyi,
• Dapat bermain sembunyi muka,
• Dapat mengatakan mama dan .
• Mulai mencoba menarik perhatian
C. Cara anak belajar
Yaitu anak kecil belajar dengan mencapai tujuannya yang terlihat didalam aktivitas yang anak lakukan. Artinya dengan aktivitas belajar yang khusus si anak merasakan kegembiraan, kegembiraan itulah tujuan yang akan dicapai oleh sianak. Karena itu menangislah si anak yang tidak mendapatkan kesempatan untuk melakukan aktivitas yang diinginkan.
BAB 3
USIA SATU SAMPAI DENGAN EMPAT TAHUN
3.1 Perkembangan sesudah tahun pertama
Perkembangan sesudah tahun pertama ditandai oleh beberapa proses-proses yang sangat fundamental. Misalnya perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian ditandai oleh perkembangan tingkah laku lekat. Tingkah laku lekat harus tumbuh dan menjadi stabil sebagai latar belakang struktural tingkah laku yang akan datang. Dalam tahun pertama harus dibuat suatu basis bagi timbulnya tingkah laku lekat yang nanti akan memegang peranan yang esensial sepanjang hidup.
Secara singkat ada 8 tanda-tanda esensial yang dapat disebutkan dalam perkembangan seorang anak antara akhir tahun pertama dan permulaan usia 4 tahun. Beberapa dari 8 tanda-tanda ini akan diuraikan nanti lebih lanjut.
Dalam periode ini terjadi kemajuan yang sangat pesat. Kemungkinan-kemungkinan-kemungkinan yang ada pada permulaan periode ini, dapat dilihat pada akhir periode tersebut sebagai suatu kenyataan.
Kemajuan-kemajuan itu adalah :
1. Pada permulaan periode ini akan bisa duduk, berdiri dan berjalan dengan bantuan. Bila anak mencapai usia 4 tahun ia dapat meloncat-loncat, memanjat, merangkak di bawah meja dan kursi dapat melakukan gerakan-gerakan yang kasar dan halus dengan tangan, kaki dan jari-jarinya. Dalam hal motorik praktis ia dapat mandiri.
2. Pada anak usia 4 tahun maka tangan dan mata bekerja sama dalam koordinasi yang baik, anak lebih dapat mengadakan orientasi dalam situasi-situasi yang tidak asing. Pada usia itu tangan anak merupakan alat untuk mengadakan eksplorasi keliling yaitu melalui manipulasi dengan benda-benda, terutama alat-alat permainan dan benda-benda sehari-hari.
3. Pada usia 4 tahun anak sudah dapat berbahasa. Ia dapat mengambil bagian secara aktif dalam percakapan di rumah, komunikasi dengan teman-teman sebayanya memperoleh dimensi baru. Ia dapat memberikan pengaruh melalui bicaranya, ia dapat menyatakan keinginan dan kebutuhan-kebutuhannya.
4. Pada akhir periode ini anak memperoleh pengertian banyak mengenai benda-benda menurut warna dan bentuknya, membedakan antara suara keras dan suara lembut, ia mengerti nama benda-benda dan dapat menanyakan nama benda yang belum diketahuinya.
5. Pada usia 4 tahun anak sedikit banyak sudah mengerti ruang dan waktu. Ia mengerti perbedaan antara siang dan malam, misalnya ia mengerti orang bermain pada siang hari dan tidur pada malam hari. Ia mengerti apa yang disebut “ di sana”, “ di sini”, “ di atas”, dan “di bawah”. Ia sudah menguasai serangkaian tugas-tugas seperti menyisir rambut, mengenakan baju, mengambil barang sesuatu dari almari, melipat serbet dan sebagainya.
6. Pengertian akan norma-norma pada anak usia 4 tahun juga sudah ada. Kata-kata “baik”, “buruk”, “tidak boleh”, jangan” dan sebagainya merupakan tanda-tanda untuk mengatur tingkah laku yang akhirnya harus merupakan norma-norma batin bagi tingkah laku selanjutnya.
7. Kebutuhan untuk aktif, untuk berbuat sesuatu makin lama makin ditentukan secara kognitif, artinya : perbuatan dan tingkah lakunya tidak lagi ditentukan secara kebetulan sesuai dengan apa yang ada; anak sudah dapat membuat rencana, memikirkan apa yang akan dilakukannya. Dalam batas-batas tertentu anak sudah mempunyai suatu perspektif masa depan.
8. Anak tidak hanya menginginkan ada bersama-sama dengan roang dewasa, melainkan ia sudah menginginkan dapat bergaul secara aktif dengan mereka. Di samping itu ada kebutuhan untuk bergaul dengan anak-anak sebaya. Pada akhir periode ini anak juga sudah mampu untuk bermain bersama dengan anak-anak sebaya dan memperhatikan aturan-aturan yang ada.
3.2 Permananesi objek dan konstansi besar dan bentuk
Dua kemampuan elementer yang dimiliki seorang bayi dalam minggu-minggu pertama untuk dapat mengamati relitas secara akurat adalah konstansi besar dan bentuk. Hal ini berarti bahwa seorang bayi dapat melihat (mengerti) bahwa suatu objek sama besarnya, juga bayi memiliki pengertian akan konstansi besar. Suatu objek juga mempunyai bentuk yang sama, meskipun ia nampak berbeda dilihat dari sudut yang lain. Jadi bayi juga mempunyai pengertian akan konstansi bentuk. Kemampuan akan konstansi besar dan bentuk adalah hal yang sangat penting bagi anak tetek, sebab hal itu berarti bahwa ia tidak perlu mengkonstruksi gambaran-gambaran baru bagi objek yang sama dilihat dari jarak dan sudut yang berbeda-beda.
Bower (1965; 1974) menunukkan bahwa bayi-bayi usia 1 bulan sampai 2 bulan “mengerti” bahwa suatu objek tetap besar dan bentuknya dilihat dari jarak dan sudut yang berbeda meskipun bayangan yang jatuh pada selaput jala mereka berubah (lihat gambar 12 dan gambar 13).
Besar objek yang se-
Sungguhnya
30 cm 30 cm 90 cm 90 cm
Jarak antara ank dan objek 1 m 3 m 1 m 3m
Besar bayangan apda
Selaput jala
Situasi 1 2 3 4
Gambar 12. hal di atas adalah penggambaran konstansi besar pada bayi. Dalam suatu ekperimen Bower (1965) mengajar anak-anak bayi umur 40 sampai 60 hari untuk memalingkan kepala ke kiri bila melihat kubus putih dengan panjang sisi 30 cm pada jarak 1 m. kemudian diperlihatkan atau 1) kubus yang sama pada jarak yang sama, atau 2) kubus yang sama para jarak 3 m. Bayangan kubus dengan sisi 30 cm pada jarak 1 m sama besarnya pada selaput jala anak dengan bayangan kubus bersisi 90 cm pada jarak 3 m. bayangan kubus bersisi 30 cm pada jarak 1 m tidak sama pada selaput jala anak dengan bayangan kubus tersebut pada jarak 3 m. Namun bayi tadi menoleh ke kiri juga pada waktu melihat kubus bersisi 30 cm tadi pada jarak 3 m. Eksperimen ini menunjukkan bahwa bayi umur 1 atau 2 bulan memiliki konstansi besar. Mereka nampaknya mengerti bahwa suatu objek akan tetap besarnya, meskipun bayangan yang jatuh pada selaput jala mereka berbeda (Holmes & Morrison, 1979, hal. 98).
Bentuk obyek yang
Sesungguhnya
Cara meletakkan obyek diputar lurus lurus
Bentuk bayangan yang
Jatuh pada selaput jala
Gambar 13. Di atas adalah penggambaran bentuk pada bayi. Bower mempelajari bayi-bayi usia 50-60 hari untuk memalingkan kepala pada waktu papan segi panjang yang diputar sejauh 45 derajad. Pada waktu melihat papan yang dipegang lurus di atas kepala mereka, bayi tadi tetap memalingkan kepala meskipun bayangan kedua pengamatan pada selaput jala, yaitu pengamatan papan yang diputar dan yang lurus, berbeda-beda sekali. Bayi tadi tidak memalingkan kepala ketika melihat papan bentuk trapesium yang memberikan bayangan yang sama pada selaput jala denan bayangan papan semula yang diputar 45 derajad. Hal ini menunjukkan bahwa bayi umur 1-2 bulan memiliki konstansi bentuk. Mereka mengerti bahwa suatu bentuk tetap mempunyai bentuk yang sama, meskipun bayangan pada selaput jala berubah karena diputarnya objek tadi (Holmes & Morrison, 1979, hal. 99).
Hal yang nampaknya sama tetapi tidak boleh dikacaukan dengan konstansi besar dan bentuk, adalah permanensi objek. Permanensi objek menunjuk pada kecakapan psikis untuk mengerti bahwa objek masih tetap ada meskipun pada waktu itu tidak nampak oleh kita dan tidak bersangkuan dengan aktivita kita apda waktu itu. Piaget mengemukakan bahwa tanda-tanda pertam akan permanensi-objek terjadi dalam sub-stadium ke-4 (8 – 12 bulan) periode sensori-motorik. Tetapi dalam stadium ini permansensi-objek masih belum sempurna (lihat perkembangan kognitif mengenai permanensi objek). Misalnya dengan dilihat oleh anak, suatu permainan disembunyikan di bawah selimut. Seorang naak dalam sub-stadium 4 akan menarik selimutnya untuk menemukan permainannya. Tetapi bila permainan tadi disembunyikan lagi sebelum anak dapat menemukan, misalnya di bawah bantal dekat selimut tadi, maka anak akan terus mencarinya di bawah selimut meskipun ia melihat apa yang terjadi.
Baru pada sub-stadium ke 5 (12-18 bulan) seakan-akan anak mengerti betul akan permanensi –objek (lihat gambar 14). Objek tidak hanya dilihat sebagai hal yang ada terus melainkan juga sebagai benda yang unik dan berdiri sendiri. Dalam contoh di atas anak akan mencari permainannya di bawah bantal bila ia tidak dapat menemukannya di bawah selimut. Hal ini merupakan bukti permanensi objek yang sempurna.
3.3 Perkembangan fisik dan psikomotorik
Di muka dikemukakan bahwa perkembangan anak antara akhir tahun pertama dan tahun ke empat terjadi dengan kemajuan-kemajuan yang pesat. Namun begitu, mengenai perkembangan psikomotornya akan lebih baik untuk mengambil batas, sampai anak usia 5 tahun, karena lebih mudah untuk mengadakan pemisahan antara umur 5 dan 6 tahun daripada antara 3 dan 4 tahun.
Anggota-anggota badan tumbuh dengan kecepatan yang berbeda-beda. Perlu dilihat pula bahwa tiap anak mempunyai tempo perkembangannya sendiri, meskipun ada norma-norma yang dapat dipakai sebagai ukuran perkembangan normal. Umur kerangka (skelet) dapat dilihat dari pergeseran tulang dan tangan anak. Seorang anak dapat mempunyai umur kerangka 4 tahun sedangkan umur kronologisnya adalah 6 tahun.
Proporsi badan dan jaringan urat daging dapat dikatakan tetap sampai kurang lebih tahun kelima. Sekitar tahun kelima mulailah apa yang disebut “Gestalwandel” pertama (Zeller, 1936). Hal ini berarti bahwa anak yang sampai sekarang mempunyai kepala yang relatif besar dan anggota badan yang pendek akan mulai mempunyai proporsi badan yang seimbang. Anggota-anggota badannya menjadi lebih panjang, perutnya mengecil dan kepalanya dibanding dengan bagian-bagian badan yang lain mendapatkan proporsi yang normal. Semua jaringan-jaringan tulang dan urat daging lebih berkembang menjadi lebih berat. Jaringan lemak bertambah lebih lambat. Selama tahun kelima tampak perkembangan jaringan urat daging secara cepat (Gestaltwandel kedua mulai sekitar umur 10 tahun, yaitu pada waktu mulanya pubertas atau pada waktu mulainya perkembangan seksualitas) (lihat Zeller, 1936).
Sekitar usia 3 tahun anak sudah dapat berjalan dengan otomatis, bahkan pada alas yang tidak rata anak sudah dapat berjalan tanpa kesukaran. Sekitar 4 tahun anak hampir menguasai cara berjalan orang dewasa. Kesukaran yang ada pada belajar berjalan berhubungan dengan kekuatan badannya, yaitu untuk dapat menyandarkan seluruh berat badannya pada satu kaki. Masalah yang lain adalah perkembangan mekanisme keseimbangan yang dibutuhkan untuk dapat berjalan tegak.
Belajar berjalan banyak berhubungan dengan proses-proses pemasakan yang dapat dipercepat dengan latihan. Bila anak sudah dapat berjalan maka ia juga akan mencoba berjalan dengan berbagai variasi. Misalnya berjalan mundur (+ sekitar 17 bulan) dan berjalan di atas tumit (+ sekitar 30 bulan).
Sekitar bulan ke 18 anak mencoba untuk lari, tetapi gayanya masih menyerupai gaya berjalan. Pada usia 2 atau 3 tahun anak betul-betul dapat lari, tetapi ia belum mampu untuk berhenti dengan cepat atau untuk membalik. Pada usia 4 sampai 5 tahun anak sudah dapat lari, berhenti dan berputar membalik. Sekitar 5 atau 6 tahun anak sudah dapat lari seperti orang dewasa dan dapat menggunakan kemampuannya ini dalam aktivitas-aktivitas permainannya.
Sesudah dapat berjalan dengan baik, anak juga belajar untuk berjalan memanjat dan menuruni tangga. Dengan bantuan orang lain semula anak belajar turun dari tangga dengan berjalan tegak. Memanjat tangga berlangsung dengan setiap kali menapakkan sebelah kakinya ke muka dan menarik kaki yang satunya ke sampingnya. Sekitar 18 atau 20 bulan anak dapat memanjat tangga dengan bantuan orang lain. Menuruni tangga baru dapat dilakukan kemudian. Di samping perbedaan-perbedaan perseorangan dapat dikatakan bahwa 90% anak pada usia 6 tahun sudah menjadi pemanjat-pemanjat yang baik.
Sekitar 2 atau 3 tahun anak juga belajar meloncat-loncat, berjingkat-jingkat dan berbagai variasi berjalan yang lain. Sekitar 29 bulan anak dapat berdiri di atas sebelah kaki. Anak usia 3 tahun masih mempunyai kesukaran untuk menangkap bola atau untuk memukul bola dengan tongkat. Sekitar usia 4 tahun anak sudah agak pandai untuk melakukan itu.
Pada usia ini anak juga banyak belajar berbagai macam koordinasi visio-motorik. Aktivitas-aktivitas senso-motorik telah dapat diintegrasi menjadi aktivitas yang dikoordinasi. Hal ini penting misalnya pada waktu mencontoh sebuah gambar atau sebuah benda. Apa yang dilihat dengan mata harus dapat dipindahkan dengan motoriknya sebuah pola tertentu. Sekitar tahun ke 4 juga semua pola lokomotorik yang biasa sudah dapat dikuasainya.
Perkembangan persepsual atau perkembangan pengamatan banyak dipengaruhi oleh pengaruh faktor keliling. Perkembangan pengamatan yang terjadi pada waktu itu adalah perkembangan pengamatan yang terjadi pada waktu itu adalah perkembangan pengamatan bentuk. Anak yang masih sangat muda lebih melihat keseluruhan (global) daripada detil atau perinciannya. Baru sekitar usia 5 atau 6 tahun anak melihat benda-benda secara khusus. Peralihan dari sifat pengamatan yang lebih khusus ini sampai lama merupakan kriterium yang pokok untuk aturan “masuk sekolah”.
Kem (1954) berpendapat bahwa anak yang tidak dapat melihat secara terperinci, dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk membeda-bedakan, dari itu juga belum mampu untuk pergi ke sekolah dan belajar sekolah. Membaca dan menulis mengandung arti dapat memisahkan hal-hal yang khusus, memisahkan untuk dihubungkan dengan sifat-sifat pengamatan anak. Cara membaca yang global mempunyai dasar teoretisnya pada pendapat di atas. Alasan lain yang dapat dikemukakan untuk memakai metode global ini ialah dengan mengemukakan sebuah contoh : bila kita melihat sebuah rumah maka yang kita lihat bukan pintunya, dua buah jendelanya, dinding yang menggelinginginya, melainkan rumah sebagai suatu keseluruhan, suatu hal yang global. Tetapi ternyata metode global ini memberikan masalah-masalah dalam kelas tiga. Anak mempunyai kesukaran-kesukaran membaca yang disebut Schenk kelemahan membaca atau legasteni (Schenk-Danzieger, 1971). Anak dengan kelemahan ini mempunyai kesukaran untuk memisahkan huruf dari kata-kata. Dalam bagian lain akan diterangkan lebih lanjut mengenai hal ini.
Latihan kebersihan juga termasuk perkembangan psikomotorik karena latihan kebersihan membutuhkan pemasakan urat-urat daging alat-alat pembuangan. Anak harus mampu untuk menguasai urat daging alat-alat pembuangannya pada waktu hendak buang air kecil atau buang air besar. Ternyata bahwa anak baru mampu untuk melakukan hal ini pada usia kurang lebih 15 bulan. Berhubung dengan itulah dapat dianggap tidak bertanggungjawab untuk memulai latihan kebersihan ini sebelum anak berusia 15 bulan. Bila latihan ini dilakukan sebelum anak usia 15 bulan dapat timbul pengalaman-pengalaman yang traumatis. Hal ini dapat mengakibatkan anak masih sering “ngompol” pada usia yang seharusnya ia sudah dapat bersih atau anak akan menunjukkan gangguan-gangguan tingkah laku yang lain.
3.4 Perkembangan kepribadian dan perkembangan sosial
3.4.1 Tingkah laku lekat sesudah umur satu tahun
Tingkah laku lekat pada bagian kedua tahun pertama yang tertuju pada satu orang, segera akan tertuju juga pada orang-orang lain disekitarnya.
Keterangan di muka menunjukkan bahwa terjadinya tingkah laku lekat pada anak dapat ditinjau dari dua macam segi. Segi yang satu menunjukkan bahwa tingkah laku lekat terjadi karena proses belajar, sedang segi yang lain menyatakan bahwa tingkah laku lekat tersebut merupakan ciri khas manusia. Manusia mempunyai ciri khas untuk bercakap-cakap, untuk mengadakan manipulasi dan eksplorasi benda, untuk mencari kontak dengan manusia lain. Dari ciri-ciri khas tersebut ini timbullah tingkah laku lekat. Pendapat yang kedua ini menurut para penulis lebih mendekati kenyataan. Tingkah laku lekat merupakan para penulis lebih mendekati kenyataan. Tingkah laku lekat merupakan kecenderungan dasar pada anak yang sudah ada sebelum proses-proses belajar dapat terjadi. Dalam hubungan yang dyadis yang merupakan sifat khas hubungan antara ibu (pengasuh) dan anak, maka tingkah laku lekat dapat dipandang sebagai “sifat” yang struktural dari hubungan ibu dan anak” (Hartup, 1973. h. 17).
Sampai sekarang maka beberapa pendapat yang dikemuakan hanya mengenai pendapat tentang tingkah laku pada tahun pertama. Dalam hal ini ada dua teori : 1) teori diferensiasi dan 2) teori pararel.
3.4.2 Teori deferensiasi
Teori berdasarkan pendapat Bowlby (1951). Sejak lama pendekatan dan ketergantungan dianggap mempunyai arti yang sama. Kenyataannya dua hal ini sangat berbeda satu sama lain. Pada kedekatan maka anak mencari kontak sosial tetapi juga suatu sikap penuh kehanatan dan kasih sayang. Dalam hal ini anak mempunyai pilihan terhadap orang-roang tertentu : pertama adalah ibunya, ayahnya atau anggota-anggota keluarga yang lain.
Ketergantungan sudah lama diselidiki mulai akhir tahun empat puluhan, yaitu dalam rangka penelitian mengenai hubungan sosial pada anak. Ketergantungan dilukiskan sebagai “kecenderungan umum untuk menyandarkan diri pada orang lain dalam hal mencari pembenaran, kasih sayang dan bimbingan” (Hartup, 1973, h.1). Sejak beberapa tahun yang lalu maka istilah ketergantungan makin diganti dengan istilah kelekatan sedangkan kedua istilah tersebut makin dibedakan satu sama lain. Ketergantungan dipandang sebagai kecenderugnan umum pada anak untuk mencari kontak sosial lepas daripada identitas orangnya. Kelekatan adalah mencari dan mempertahankan kontak dengan orang-orang tertentu saja. Orang yang pertama dipilih dalam kelekatan adalah ibu (pengasuh), ayah dan saudara-saudaranya.
Meskipun dalam pasal 2.5 sudah dibicarakan mengenai berbagai aspek laku lekat, namun masih perlu dikemuakan di sini bahwa menurut Bowlby (1951) ibulah yang dipandang sebagai figur sentral bagi anak; anggota-anggota keluarga yang lain tidak mempunyai peranan yang penting sampai dengan umur 6 tahun.
Bowlby-lah yang mengatakan bahwa seperti halnya vitamin dan protein penting sekali untuk perkembangan fisik, maka kasih sayang ibu adalah essensial untuk perkembangan psikis yang sehat. Menurut Rutter (1972; 1979) bukan melulu ibu yang menjadi objek kelekatan. Keadaan menjadi ibu biologis itu tidak menjamin bahwa anak akan lekat dengannya. Rutter mempunyai bukti-bukti empiris bahwa anak dapat mengadakan sikap lekat dengan orang-orang lain, juga dalam tahun yang pertama.
Menurut teori diferensiasi ini anak dianggap relatif mempunyai kelekatan dengan ibunya sampai kurang lebih 6 tahun; baru sesudahnya anak akan mengadakan ikatan dengan orang-orang dewasa yang lain (lihat gambar 15).
Sampai + 6 tahun satu objek
Lekat yang dewasa
Gambar 15. Penggambaran skematis mengenai teori diferensiasi
Dalam teori yang kemudian, Bowlby (1972) mengemukakan bahwa sudah umur 3 tahun kebanyakan anak makin dapat merasa aman dalam situasi asing bersama dengan objek lekat pengganti, misalnya dengan saudaranya atau gurunnya. Namun begitu perasaan aman semacam itu ada persyaratannya. Pertama figur pengganti tadi harus sudah dikenal oleh anak. Kedua, anaknya sendiri harus ada dalam kondisi sehat. Ketiga ia harus tahu dimana ibunya dan bahwa ia dengan mudah dapat mencari kontak kembali dengannya.
3.4.3 Teori paralel
Dalam meninjau teori ini perlu kiranya untuk meninjau teori Maccoby dan Maters (1970). Maccoby, Masters dan Hartup berpendapat bahwa anak sesudah umur satu tahun segera akan menunjukkan tingkah laku lekat terhadap orang-orang dewasa maupun pada anak-anak sebaya yang lain. Observasi-observasi yang dilakukan terhadap keadaan di Indonesia menunjukkan bahwa anak bayi mengalami pola asuhan yang tidak sama yang sangat tergantung pada situasinya.
Anak di kota kadang-kadang tidak sepenuhnya dirawat oleh ibunya. Melainkan untuk sebagian waktunya dirawat oleh seorang pembantu. Hal ini dapat terjadi juga sesudah anak berumur satu tahun. Sehubungan dengan hal ini maka tingkah laku lekat anak sebelum atau sesudah umur satu tahun dapat ditujukan pada ibunya maupun pada pembantu yang ikut mengasuhnya. Di desa anak bayi seringkali tidak hanya diasuh oleh ibunya melainkan juga oleh saudara-saudaranya. Seringkali kakak wanita yang menggendongnya kemana-mana. Dalam keadaan ini tingkah laku lekat anak akan tertuju pada ibunya dan pada saudara yang mengasuhnya.
Teori pararel mengenai tingkah laku lekat mengatakan bahwa sampai dengan umur satu tahun anak akan mencari objek lekat pada satu orang, biasanya ibunya. Sesudah umur satu tahun maka orang dewasa lain atau anak-anak sebaya akan bisa menjadi objek kelekatan (lihat gambar 16).
Sampai + 1 tahun satu objek
Lekat (orang dewasa)
Gambar 16. Penggambaran skematis mengenai teori paralel
Bila kita tinjau keadaan di Indonesia dapatlah dikemukakan bahwa teori pararel mungkin lebih cocok untuk menerangkan tingkah laku lekat anak, hanya denan suatu catatan bahwa perluasan objek lekat tadi bahkan sudah dapat terjadi sebelum anak berumur satu tahun.
Kelekatan anak pada anak sebaya dapat memberikan banyak pengaruh terhadap pelajaran tingkah laku. Contoh-contoh mengenai hal ini dapat dikemukakan antara lain :
a. Pada waktu salah seorang penulis mengantarkan sekelompok anak ke taman Kanak-Kanak (yang dilakukannya setiap pagi selama beberapa bulan) selalu terdengar percakapan mengenai salah seorang anak yang kebetulan tidak ada pada waktu itu. Hal ini membuktikan betapa besarnya pengaruh tingkah laku anak terhadap anak-anak lain hingga hal selalu merupakan objek percakapan di antara anak-anak tersebut.
b. Hubungan yang fungsional di anara anak-anak yang ada dalam pemainan mempunyai sifat yang lain daripada sifat hubungan anak dengan orang dewasa. Dalam anak bermain dengan teman-teman sering terlihat bahwa tingkah laku koperatif tiba-tiba dapat berubah menjadi tingkah laku agresif. Pada suatu saat anak tertawa-tawa, atau terpusat perhatiannya pada suatu hal, tetapi tiba-tiba ia menangis dan sama sekali tidak mau bermain-main dengan teman-temannya lagi. Perubahan emosional dari positif ke negatif ini yang akhirnya dapat dikemukakan lagi suatu keseimbangan yang baik, tidak bisa terjadi dalam hubungan anak dengan orang dewasa. Bila orang dewasa mencoba bermain dengan anak dan menggunakan bahasa anak, mereka segera mengerti bahwa anak-anak akan memandang aneh mereka.
c. Harlow (1971) mengadakan penelitian terhadap sejumlah kera thesus untuk mengerti seberapa jauh berbagai cara asuhan dapat mempengaruhi tingkah laku mereka. Meskipun penelitian mengenai tingkah laku hewan ini tidak dapat disamakan dengan tingkah laku pula. Penelitian dilakukan terhadap sejumlah kera yang hidup dalam isolasi. Pada sejumlah kera yang hidup dalam kelompok terlihat pada usia 6 bulan adanya pertengkaran dan sementara tingkah laku agresif. Tingkah laku ini menghilang sesudah beberapa waktu dan tidak pernah nampak lagi. Kera-kera yang dibesarkan dalam isolasi menunjukkan, sekitar umur 1 ½ tahun, tingkah laku agresif yang jelas menunjukkan keinginan untuk menyakiti dan merugikan makhluk lain. Tingkah laku ini nampaknya bersifat tetap diketemukan pada sejumlah kera yang hidup dalam isolasi tadi, tidak nampak pada kera-kera yang hidup dalam kelompok. Dapat pula diduga bahwa dalam hubungan dengan teman-teman sebaya tadi dapat dimanifestasikan beberapa tingkah laku dan dapat diselesaiakn beberapa momen perkembangan tertentu. Hal ini tidak dapat terlaksana bila mereka hidup dalam keadaan isolasi.
Bila kita tinjau kejadian-kejadian yang kompleks yang berhubungan dengan perkembangan sosial dan kepribadian tersebut, timbullah dua pertanyaan sebagai berikut :
(1) kemungkinan interaksi apakah yang ada pada anak dan
(2) proses interaksi apakah yang timbul yang membawa ke arah suatu perkembangan tingkah laku.
Tingkah laku sosial interaktif seperti tingkah laku koperatif, altruistis dan agresif banyak dipengaruhi oleh latar belakang struktural yang disebut “role taking” (atau ambil alih peran), (lihat Leckie, 1975) dan egosentrisme. Ambil alih peran dan egosenstrisme merupakan suatu struktur dan sekaligus suatu proses. Makin berkembang ambil alih peran makin kecil egosentrisme dan sebaliknya. Selanjutnya penting bahwa ambil alih peran dan egosentrisme tetap ada sepanjang hidup tetapi mempunyai sifat yang saling menghambat.
3.4.4 Egosentrisme
Dalam buku ini diusahakan untuk membuat suatu integrasi daripada pendekatan yang tematik maka pembicaraan mengenai sesuatu perkembangan akan melampaui batas umur yang ditentukan dalam bab nya. Hal ini akan dijumpai dalam pembicaraan mengenai egosentrisme.
Egosentrisme adalah pemusatan pada diri sendiri dan merupakan suatu proses dasar yang banyak dijumpai pada tingkah laku anak; pengamatan anak banyak ditentukan oleh pandangan sendiri; anak juga belum mempunyai orientasi mengenai pemisahan subjek-subnjek. Perasaan dan pandangan masih terpusat pada diri sendiri. Anak belum dapat menempatkan diri dalam keadaan orang lain. Egosentrisme harus dapat jelas dibedakan dari egoisme; yang terakhir ini merupakan suatu sikap yang menunjukkan ketamakan. Egosentrisme sebagian dapat diterangkan dari reaksi lingkungan terhadap tingkah laku anak. Suatu contoh dari cara berfikir kausal seorang anak kecil; pada suatu hari ada beberapa anak sedang bermain-main. Seorang anak laki-laki menginjak suatu kubangan air, air memercik jauh mengenai baju bersih anak lain. Anak laki-laki tersebut marah waktu ditegur dan mengatakan : “saya tidak mengotori bajunya”. Di sini tidak ada persoalan bohong atau bersalah. Anak laki-laki tadi memang belum mengerti hubungan kausal yang ada, dia belum dapat mengadakan diferensiasi dan belum mengerti pandangan yang berbeda-beda. Egosentrisme berlawanan dengan desentrasi yang memungkinkan untuk memperhatikan pandangan yang berbeda-beda maupun hubungan yang berbeda-beda dengan pengamatan sendiri.
Pada waktu sekarang dibedakan antara enam macam bentuk egosentrisme (lihat Looft, 1972). Piaget dan Inhelder hanya membedakan antara tiga macam bentuk egosentrisme yang berhubungan dengan tiga tingkat perkembangan yang pertama (stadium sensomotorik, pra-operasional dan operasional konkrit).
1. Egosentrisme dalam stadium sensomotorik
0 – 18 bulan. Stadium ini ditandai oleh kenyataan bahwa anak hampir tidak mampu untuk mengadakan diferensiasi anara diri sendiri dan dunia luar. Kemungkinan untuk mengadakan diferensiasi makin berkembang selama 18 bulan ini. Menurut Piaget dan Inhelder (1973) timbullah dalam 18 bulan yang pertama ini suatu perubahan ke arah suatu desentrasi umum yaitu anak mampu untuk melihat dirinya sebagai objek dalam hubungan dengan objek-objek lain (h. 23).
2. Egosentrisme dalam stadfium pra-operasional
+ 18 bulan - + tahun ke 6. Fase ini ditandai dengan kemampuan anak untuk bekerja dengan tanggapan. Ia sudah memiliki pengertian objek, misalnya bila ia berkata “kursi” hal ini dapat mempunyai arti yang macam-macam seperti “ayah harus duduk di kursi ini” atau “saya ingin duduk di kursi ini”.
Anak mulai memakai simbol dan kata, ia berbuat seakan-akan sebuah kata mempunyai arti yang lebih daripada kenyataannya. Ia tidak atau hampir tidak dapat membedakan antara simbol dan artinya, antara permainan dan bayangan impian yang dibuatnya sendiri dengan kenyataan. Sering dibedakan juga antara “private speech” dan “socilazed speech”.
Private speech tidak ada nilai komunikatifnya, anak bicara seorang diri dan tidak ditujukan pada orang lain.
Bahasa sosial sebaliknya mempunyai arti komunikatif yang jelas. Menurut Furth (1969, h.118). “tidak ada anak normal dalam peridoe perkembangan apapun yang menggunakan bahasa hanya untuk komunikasi dengan dirinya sendiri saja.”
Mueller (1971) dapat menunjukkan bahwa pada anak umur tiga tahun pun terdapat egosentrisme dalam pengguanan bahasa, bahas selalu mempunyai nilai komunikatif.
3. Egosentrisme dalam stadium operasional konkrit:
+ 6 - + 11 tahun. Elkind telah banyak membicarakan tentang hal ini. Anak belum mampu untuk membedakan antara hasil cipta mentalnya sendiri dengan hal-hal yang nyata. Menurut Elkind maka egosentrisme anak pada stadium ini ditandai oleh apa yang disebutkan realitas asumtif, yaitu anak melihat kenyataan berdasarkan informasi yang terbatas dan tidak dipengaruhi oleh informasi baru atau informasi yang bertentangan. Di sini sebabnya, menurut Elkinds, mengapa anak tidak lagi memandang orang tua sebagai yang serba tahu. Anak merasa dalam aspek-aspek tertentu lebih mengerti daripada orangtuanya. Sering ditarik konklusi umum : orang tua sebetulnya tidak mengerti apa-apa. Mereka lebih percaya pada teman-teman sebaya atau pada guru. Elkind menamakan rasa superioritas kognitif ini sebagai keseimbangan kognitif. Seringkali anak ingin menunjukkan kecerdikan mereka dengan berbohong atau beruat kenakalan-kenakalan. Dengan begitu mereka dapat membuktikan pada orang dewasa betapa cerdiknya dan betapa superiornya mereka.
4. Egosentrisme pada remaja
Menurut Piaget anak umur 11 tahun yang dapat mengadakan operasi normal serta dapat berfikir secara hipotesis-deduktif sekarang juga mampu menganalisis fikiran sendiri dan mampu untuk mengerti jalan fikiran orang lain.
Tetapi menurut Elkind hal ini merupakan inti egosentrisme remaja. Remaja tidak membedakan antara hal atau situasi yang dipikirkannya sendiri dengan dipikirkan orang lain. Ia selalu memikirkan akan bagaimana pendapat orang lain terhadap dirinya. Pikiran ini berdasarkan pengharapan bahwa dirinya akan menjadi pusat perhatian. Elkind menamakan pola penghargaan ini, yaitu pengharapan tentang apa yang akan dipikirkan orang lain mengenal dirinya, sebagai “publik imajiner. Dalam kenyataannya sikap remaja ini adalah suatu reaksi pengharapannya sendiri terhadap apa yang dipikirkan oleh publik imajiner itu atau bagaimana pendapat publik imajiner itu. Jadi ia mereaksi terhadap sesuatu yang telah diharapkannya sendiri dari orang lain.
Dengan begitu ia tidak mendiferensiasi antara apa yang dipikirkan dnegan apa yang dipikirkan oleh orang lain. Di samping itu remaja sangat menilai penting perasaanya sendiri dan oleh karena itu ia selalu berpendapat bahwa publik imajiner tadi senantiasa memperhatikannya, maka ia menganggap perasaannya sendiri tadi sebagai unik atau khas. Elkind menyebutkan hal ini sebagai “fabel pribadi”. Ia menunjukkan akan keunikan perasaan remaja. Egosentrisme yang spesifik ini pada umumnya hanya berlangsung sementara saja, meskipun kadang-kadang juga bisa berlangsung lama.
5. Egosentrisme pada orang dewasa
Di sini sukar untuk menentukan umur yang tepat karena sampai sekarang hampir tidak ada penelitian mengenai hal itu. Juga karena ada macam-macam bentuk egosentrisme pada usia dewasa. Contoh yang jelas mengenai egosentrisme pada usia dewasa adalah bahwa dalam percakapan atau diskusi-diskusi sering orang tidak dapat menempatkan dirinya pada jalan pikiran orang lain. Piaget memberikan contoh yang sangat tepat. Ia mengatakan : “marilah kita mengambil contoh orang dewasa. Tiap dosen muda sekarang atau besuk akan melihat bahwa kuliah-kuliahnya yang pertama tidak dapat dimengerti. Hal ini disebabkan karena kuliah-kuliahnya tadi sebetulnya ditujukan pada dirinya sendiri saja. Kuliah-kuliah tadi dapat dimengerti dipandang dari sudut dirinya. Dengan segala susah payah maka ia sedikit demi sedikit dapat menempatkan dirinya pada tempat mahasiswa-mahasiswanya”. Begitulah kmasih banyak contoh mengenai egosentrisme dalam dunia orang dewasa yang dapat dilihat dari sikap tidak bisa menempatkan diri pada tempa: orang lain hingga timbulmaslah-masalah tertentu. Mengenai hal ini masih banyak kemungkinan untuk melakukan penelitian-penelitian.
6. Egosentrisme pada orang tua
Penelitian mengenai orang tua yang mengungkap akan egosentrismenya juga masih langka, tetapi sudah pernah diadakan penelitian mengenai regresi kognitif, penyempitan relasi social dan rigiditas. Ketiga macam aspek tersebut mempunyai hubungan yang langsung dengan egosentrisme, yaitu:
a. Regresi kognitif menunjuk pada kemajuan yang berkurang dalam bidang kognitif. Kemampuan belajar pada orang tua berkurang. Mereka kurang pleksibel dalam proses mental dan lebih sering lupa.
b. Di samping hal tersebut di atas terjadilah proses pelepasan tingkah laku lekat (disengagement), artinya karena mengalami pension, meninggalkan teman-teman lama, sedangkan tidak ada atau hamper tidak ada dating teman-teman yang baru, maka orang tua sering mengalami isolasi social.
c. Dalam hubungan sosial dengan orang lain-lain maka sikap yang fleksibel juga berkurang hingga timbul rigiditas. Regresi kognitif serta menyempitnya hubungan sosial menyebabkan orang tua sukar untuk mengadakan pemisah antara pendapat sendiri dengan pendapat orang lain. Mereka menjadi lebih kaku dalam sikap dan pendapat mereka.
Bila dalam keadaan tersebut lingkungan sosial juga bersikap dan memandang orang tua sebagai seseorang yang perlu ditolong dan dikasihani maka orang tua dengan ketiga macam sifat tersebut mudah mengembangkan sikap egosentrismenya.
3.3.5 Tingkah laku ambil alih peran
Ambil alih peran merupakan proses sosial dan proses kognitif yang menunjukkan bahwa seseorang dapat menempatkan diri pada motif-motif, perasaan, pikiran dan tingkah laku orang lain. Hal ini berarti bahwa orang tadi mampu untuk melepaskan diri dari pandangan diri sendiri, dapat memandang dunia luar dari perspektif orang lain (bandingkan Lieshout dan kawan-kawan, 1973. Hal 2). Yang penting di sini adalah untuk memahami berbagai proses internal orang lain seperti kemampuan emosional, persepsual dan intelektual dan juga kebutuhan, pendapat, motif dan maksud-maksudnya. Di samping memahami hal-hal ini perlu pula untuk dapat menyesuaikan tingkah laku dengan keadaan orang lain tadi. Sikap dapat menempatkan diri dalam keadaan orang lain ini mengandung arti bahwa seseorang dapat membedakan dasar pandangan orang lain dari dasar pandangan sendiri, perspektif sendiri. Kemampuan ini disebut “desentrasi sosial”.
Desentrasi sosial ini bertentangan langsung dengan ogosentrisme yang dibicarakan di muka dan dinamakan tingkah laku ambilalih peran.
Dapat menempatkan diri pada perspektif, perasaan dan maksud orang lain mengandung arti juga dapat ikut merasakan secara empatis. Empati, yang berarti dapat merasakan dan ikut merasakan, jelas merupakan suatu kecakapan atau suatu aspek tingkah laku yang snagat erat hubungannya dengan ambil alih peran. Empati dan ambil alih peran merupakan aspek-aspek tingkah laku yang saling berhubungan. Keduanya mungkin merupakan aspek proses perkembangan yang sama, yaitu lepas dari perspektif diri sendiri dan masuk dalamperspektif, perasaan dan motif orang lain.
Dapat dibedakan antara 3 macam bentuk ambil alih peran:
a. Ambil alih peranpersepsual
Hal ini merupakan kemampuan untuk meramalkan apa yang dilihat orang lain mengenai objek yang sama, dilihat dari pandangan perspektif yang berbeda. Suatu kemampuan untuk melepaskandasar pandang sendiri dalam mengamati sesuatu dan mengambil dasar pandangan orang lain. Percobaan klasik Piaget mengenai hal ini sering dikemukakan dalam variasi yang bermacam-macam. Eksperimennya berujud sebagai berikut : anak-anak dihadapkan dengan suatu maket yang menggambarkan 3 buah gunung dengan ukuran tinggi yang berbeda-beda. Anak diminta menerangkan apakah seseorang yang berdiri di sebelah sisi lain daripadanya akan melihat gunung-gunung itu juga lain.
Anak sampai umur kurang lebuh 5 tahun hampir tidak dapat menempatkan diri dalam posisi orang lain.
b. Ambil alih peran konsepsual
Halini menunjuk pada kecakapan untuk menempatkan diri dalam pembentukan pengertian atau dalam formasi konsep orang lain. Contoh: ada dua kotak yang satu berisi uang 25 rupiah, yang satunya 50 rupiah. Banyaknya uang yang ditulis dengan jelas diatas masing-masing kotak. Anak (K) diberi tugas:
1. Ambillah uang yang menurut pikiranmu akan diambil oleh temanmu (S). Temanmu ini sudah mengerti bahwa kau mengambil slah satu daripada uang itu. Sesudah anak mengambil uangnya (melakukan tugasnya) ditanya lagi:
2. Mengapa kau ambil uang yang ini?
Bila kita bandingkan jawaban anak-anak dari tingkatan umur yang berbeda-beda dan mulai dari umur 5 tahun ke atas, dapat dilihat jawaban-jawaban yang khas:
1. Anak memandang kognisi dan motif-motif anak lain seperti yang dirasakan pada dirinya sendiri, misalnya: “Ia tentu akam mengambil yang 50 rupiah”.
2. K sekarang maju setapak lagi, S dapat meramalkan apa yang akan dilakukan K, dari itu K akan mengubah tingkah lakunya “Teman saya mengira bahwa saya akan mengambil yang 50 rupiah, dari itu saya ambil yang 25 rupiah”.
3. K sekarang setapak lebih maju lagi. K mengira bahwa S mengerti akalnya dari itu baik untuk kembali pada rencana semula untuk mengejutkan S. “Teman saya mengira bahwa saya mengira bahwa dia tidak mengambil yang 50 rupiah melainkan yang 25 rupiah, dari itu saya mengambil yang 50 rupiah juga”.
4. Anak sering dapat meramalkan apa yang akan dipilih S. K tidak dapat mencari motif tindakan S. “Saya sungguh tidak tahu apa yang akan saya lakukan, sya betul-betul tidak tahu”.
Apa yang disebutkan dalam (1) belum mengandung desentrasi sosial; belum dipikirkan adanya kemungkinan berbagai motif orang lain. Pada (2) dan (3) nampak adanya usaha-usaha yang jelas untuk menempatkan dirinya pada keadaan pengertian orang lain, sedangkan pada (4) tidak ada dasar sama sekali untuk mengadakan ramalan yang berarti.
Contoh yang lain: Flavell mencoba dengan suatu cerita bergambar yang terdir dari 7 atau 4 buah gambar. Bila cerita dari 7 gambar tadi diambil 3buah gambarnya terjadilah cerita yang lain. Dalam cerita dengan tujuh buah gambar Nampak apada anak laki-laki berjalan-jalan dikejar oleh seekor anjing. Anak tadi lekas-lekas memanjat pohon dan disalah satu sudut duduklah seekor anjing dengan tenang. Kedua macam cerita ini diperlihatkan pada anak-anak dari berbagai tingkatan umur. Pertama kali ditunjukkan cerita dengan 4 buah gambar, anak ditanya cerita apa kiranya yang akan diberikan oleh anak lain nanti bila ditunjukkan 4 buah gambar itu. Di sini nampak bahwa anak-anak yang masih muda selalu kembali pada cerita yang dramatis dalam 7 buah gambar dan tidak mendasarkan diri pada situasi yang nyata seperti yang terlihat dalam 4 buah gambar tersebut. Juga di sini nampak bahwa anak-anak yang masih muda belum begitu dapat menempatkan diri dalam dunia pengertian orang lain.
c. Ambil alih peran emosional-motivasional
Hal ini menunjuk pada kecakapan untuk ikut merasakan secara konkrit alam perasaan dan motif-motif orang lain.
Contoh: sebuah cerita bergambar dari tulisan Leckie dkk. (1975) memperlihatkan seorang anak bermain di tepi pantai dan bermain membuat kue-kue dari pasir. Gelombang air datang dan menyapu kue-kue tadi. Anak pulang ke rumah. Ibu kebetulan mengeluarkan kue-kue dari alat pembakar (kue-kue tadi mempunyai bentuk yang sama dengan kue-kue daripada pasir tadi). Ibu sama sekali tidak mengerti kejadian di pantai: ia memberikan sepotong kue yang baru masak tadi kepada anaknya, tetapi tiba-tiba anak menangis. Anak yang sedang diteliti diberi pertanyaan: (1)mengapa anak itu menangis (pertanyaan akan sebabnya) dan (2)bagaimana pikiran ibu mengenai sebab anaknya menangis tadi (pertnyaan akan kecakapan pengambilan peran).
Jelas bahwa ketiga aspek pengambilan peran tersebut ada hubungan yang erat satu sama lain. Dalam praktek sukar untuk memisahkannya, meskipun secara teoretis ada mamfaatnya. Makin berkurang egosentrisme, makin bertambah kemampuan ambil alaih perannya. Reaksi lingkungan pendidikan mempunyai peranan yang penting (Van Lieshout dkk, 1973). Ambil alih peran merupakan proses selama hidup orang meskipun kualitasnya berbeda-beda. Merupakan dasar bagi semua proses dan tingkah laku sosial-interaktif, dari itu merupakan factor yang sangat penting bagi perkembangan kepribadian dan sosial seseorang.
3.3.5.1 Gambaran mengenai program stimulasi kognisi sosial
Penelitian Leckie (1975) hanya merupakan suatu bagian kecil daripada penelitian mengenal perkembangan kognisi sosial, yaitu berpikir tentang kenyataan sosial. Penelitian tersebut dimulai pada tahun 1973 dan bertujuan tidak hanya untuk pengembangan teori saja, melainkan untuk mengembangkan suatu program stimulasi pengembangan sosial anak dalam sekolah Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar. Realisasi maksud di atas sudah dapat terlaksana dengan keluarnya buku “Denken Over jeself en ander” (Berpikir tentang diri sendiri dan orang lain) (Gerris, Jansen & Badal, 1980).
Dalam buku tersebut diterangkan bahwa lapangan perkembangan sosial dapat dibagi dalam tiga bagian yaitu (1) kognisi sosial, artinya pengertian akan tingkah laku orang lain: (2) kecakapan dalam bergaul dengan orang lain seperti sikap altruistis dan koperatif: (3) nilai-nilai sosial, artinya “berpikir dan bertindak dalam kemyataan sosial, berlangsung atas dasar pemilikan niali-nilai” (Gerris dkk., 1980.h.12).
Berdasarkan dan unutk sebagian berhubungan dengan tingkat-tingkat perkembanan sosial kognitif yang dikemukakan oleh Selman (1976 lihat h. 212/213) terdapatlah delapan kecakapan: kecakapan untuk mengidentifikasi, mendiskriminasi, mendiferensiasi dan membandingkan, menempatkan diri pada tempat orang lain, bersikap relative, mengkoordinasi dan akhirnya memasukkan dalam perhatian. Dengan kecakapan sosial kognitif dimaksudkan kecakapan untuk dapat menempatkan diri pada pendapat orang lain. Dapat pula dikatakan kecakapan yang berhubungan dengan cara seseorang (anak) berpikir tentang berbagai aspek dalam lingkungan sosial (lihat Tabel 3 dan cerita mengenai Tini).
Tini dan Kucing
Tini adalah seorang gadis usia 8 tahun. Ia suka sekali memanjat pohon. Dia paling pandai memanjat pohon di antara anak-anak tetangga. Pada suatu hari ia memanjat pohon lagi. Pada waktu mau turun ia terjatuh dari batang yang paling bawah. Untung dia tidak apa-apa. Ayahnya melihat Tini jatuh. Dia sangat terkejut dan Tini harus berjanji untuk tidak memanjat pohon lagi.
Siang harinya Tini dan kawan-kawan berjumpa dengan Mita. Mita sangat sedih. Kucingnya ada di atas pohon yang tinggi. Kucingnya tidak berani turun. Ia harus segera ditolong sebelum ia terjatuh ke bawah. Tini adalah satu-satunya yang dapat memanjat cukup baik untuk menolong kucingnya. Tetapi… dia ingat akan janjinya kepada ayah.
Waktu Tini dating ke rumah, ayahnya menegerti dari pakaian dan kakinya yang kotor bahwa daia telah memanjat pohon lagi.
Program tersebut dibuat sedemikian rupa hingga terdapat 3 buah tingkatan. Empat kecakapan pertama merupakan tingkatan pertama, tingkatan kedua adalah menempatkan diri dalam tempat orang lain dan dapat bersikap relatif, sedangkan tingkatan ketiga adalah kecakapan koordinasi dan memperhatikan prespektif orang lain. Tujuan tingktan terakhir ini adalah untuk mempelajari
Table 4. Delapan kecakapan sosial kognitif (termasuk tiga sub-kategori mengenai identifikasi dalam hubungan dengan sifat pertanyaan serta contoh yang praktis.
Kecakapan Sifat pertanyaan/tugas Contoh
1. Identifikasi menanyakan akan adanya “Apa orang lain melihat
a. melihat suatu hal suatu perspektif sesuatu?”
dalam suatu situasi. “Apa orang lain memi-
kirkan sesuatu?”
b. mengenai menilai apakah suatu per- “Apakah mita senang
spektif yang diberikan co- atau sedih waktu ia
cok dengan suatu perspek- ketemu Tini?”
tif yang nampak. “Bagaimana perasaan
c. melukiskan suatu perspektif yang bagaimana perasaan
Nampak dilukiskan secara ayah Tini ketika Tini
verbal. Jatuh dari pohon?”
2. Diskriminasi menilai apakah dua per- “Apakah perasaan Tini
Spektif nampak cocok atau dan ayahnya sama waktu
Tidak satu sama lain. Tini jatuh dari pohon?”
3. Diferensiasi dapat mengerti kemung- “Mita memikirkan kucing
kinan bahwa masing- nya”. “Tini memikirkan
masing orang mempunyai tentang apa kiranya?”.
perspektif yang berbeda. “waktu Tini dating di ru-
4. Membandingkan dapat menemukan hal-hal mah Apa yang/berbeda
Yang sama dan/atau ber- antara yang dipikirkan
Beda antara perspektif- ayahnya?"
Perspektif.
5. Menempatkan diri dapat mengerti perspektif “Apa yang akan dipikir-
Dalam tempat orang orang lain yang tidak dise- kan ayah kalau Tini
Lain. Butkan (melepaskan diri da- datang di rumah?”
ri pandangan sendiri dan
menempatkan diri dalam
posisi orang lain).
6. Bersikap relatif dapat menerangkan me- “Mengapa ayah tidak
ngapa dua perspektif atau senang seperti Tini?”
lebih berbeda atau sama.
7. Koordinasi dapat mengerti kemung- “Tini menganggap bah-
kinan bahwa setiap wa ayahnay tidak akan
orang dalam situasi sosial marah padanya. Tahukah
tertentu dapat mengerti kamu mengapa?”
perspektif orang lain (me-
nempatkan diri dalam tem-
pat orang lain).
8. Memasukkan dalam memperhitungkan per- “apa yang dapat dilaku-
perhatian spektif orang lain. kan Tini untuk menolong
kucingnya dengan tidak
membuat marah ayahnya?
Untuk mengerti contoh dalam table 4 ini harap baca cerita “Tini dan Kucing” (disesuaikan dari Selman, 1976) pada halaman 119.
anak dalam mengerti hubungan antar perspektif orang banyak dalam situasi tertentu, dan juga untuk member pengertian bagaimana orang dapat saling memperhatikan perspektif dan maksud masing-masing. Melalui skema yang mangandung beberapa instruksi tadi ingin dijelaskan pertanyaan atau tugas apa yang berhubungan dengan latihan atau pemberian stimulasi sesuatu kecakapan sosial kognitif tertentu (lihat Tabel 4, Gerris dkk., 1980, hal. 20).
Jelaslah di sini bahwa proses pengambilan peran yang ditulis dalam buku ini, tidak saja menjadi lebih jelas, melainkan juga lebih dapat dikaitkan dengan usaha-usaha pendidikan.
3.3.6 Belajar Model
Belajar model adalah proses menirukan tingkah laku orang lain yang dilihat, dilakukan secara sadar atau tidak. Sinonim dengan belajar model ini adalah imitasi, identifikasi dan belajar melalui observasi. Belajar model merupakan bentuk belajar yang kompleks.
Menurut “teori sosial mengenai belajar” (Bandura dan Waiters, 1963) maka suatu tingkah laku dapat dipelajari dengan “melihat” saja. Bandura mengadakan eksperimen sebagai berikut: pada sekelompok anak ditunjukkan film. Dalam film tadi ada orang dewasa (modelnya) berbuat sangat agresif terhadap sebuah boneka; sekelompok anak yang lain (kelompok kontrol) tidak melihat film tersebut. Kedua kelompok tadi masing-masing dimasukkan ke dalam ruang yang sama dan diberi boneka yang sama. Kemudia dilihat dari arah agresif model tadi ditirukan atau tidak. Hasilnya: kelompok anak yang emlihat tingkah laku agresif dalam film tadi juga melakukan tingkah laku agresif seperti apa yang dilihatnya dalam film itu.
Mereka jelas lebih agresif daripada kelompok control. Perbedaan ini juga masih nampak sesudah berselang waktu 6 bulan, meskipun tidak terlalu jelas lagi.
Mengenai pertanyaan orang mana yang dapat dipilih sebagai model tidakdapat ditentukan dengan jelas. Hanya dapat ditentukan bahwa kasih sayang dan kehangatan bukan merupakan unsur-unsur yang menentukan. Juga tidak ada interaksi langsung dengan modelnya. Yang penting ialah bahwa tindakan-tindakan model tadi harus dapat berhasil dan bahwa antara model dan anak harus ada persamaan tertentu.
Dapat dibacakan antara model pribadi menirukan demi sifat-sifat tingkah laku pribadi dan model posisional: menirukan demi posisional kesuksesan, umur, jenis sekse.
feed back --
situasi tingkah konsekuensi respons konsekuensi
untuk laku negative atau pengamat diberikan oleh
model model positif bagi model lingkungan
sosial pengamat
Gambar 17. Penggambaran skematis belajar model
Bila skema ini misalnya diterapkan pada pengaruh film pada anak. Dapatlah dilihat bahwa film memberikan pengaruh yang lebih besar pada anak kalu situasi (S1) anak yang mengamati tingkah laku (S2) yang diperlihatkan tadi dapat ditiru oleh anak-anak dan harus menghasilkan konsekuensi yang positif (S3). Baru kalau ketigapersyaratan ini cepat terpenuhi dapatlah diharapkan bahwa tingkah laku model yang dilihat dalam film tadi dapat memberikan efek yang relative. Tetapi juga pribadi pengamat mempunyai peran yang penting sebab setiap orang mengadakan reaksi (R) dengan caranya sendiri. Di samping itu. Konsekuensi yang diberikan oleh lingkungan sosial anak. S1 juga memberikan sumbangan yang sangat besar. Baru dengan kerja sama antara faktor-faktor tadi terjadilah efek model dan identifikasi. Pada umumnya belajar dari model terjadi melalui observasi (untuk keterangan lebih lanjut lihat Knoers, 1973: Hendriks & Monks, 1981).
Teori sosial mengenai belajar yang dikembangkan oleh Bandura (1977) telah memberikan banyak sumbangan kepada persoalan belajar model, bahkan memberikan pengertian baru terhadap tingkah laku manusia. Menurut Bandura kebanyakan tingkah laku orang terjadi karenapengamatan atau belajar-model. Model yang ditiru bukan hanya orang-orang yang konkrit ada, melainkan juga model-model simbolis, misalnya yang dilihat pada TV atau dibaca dalam buku. Suatu bentuk lain belajar-model yang simbolis adalah instruksi verbal. Misalnya instruksi pengendara mobil mengajarkan tingkah laku apa yang perlu dilaksanakan pada waktu mengendarai mobi, hal ini biasanya disertai dengan demonstrasi tingkah laku.
Menurut Bandura harus ada empat persyaratan untuk dapat menirukan model dengan baik : 1) perhatian (suatu model tidak akan bias ditiru bila tidak diadakan pengamatan): 2) retensi atau disimpan dalam ingatan (tingkah laku yang diamati harus bias diingat kembali untuk bias ditirukan juga bila model tidak ada lagi ada; 3) reproduksi motoris (untuk dapat menirukan dengan baik seseorang harus memiliki kemampuan motorisnya), dan 4) reinforsemen dan motivasi (orang yang menirukan harus melihat tingkah laku itu sebagai tingkah laku yang terpuji dan bermotivasi untuk menirukannya).
Keempat komponen belajar model ini merupakan persyaratan bagi timbulnya tingkah laku baru atau berubahnya tingkah laku yang lama. Komponen-komponen tersebut dapat dibedakan, tetapi dalam kenyataan sering terjalin satu sama lain (lihat juga van Lieshout, 1971 dan Crain, 1980).
3.3.7 Periode pembangkangan—fase kepala batu
Dalam buku-buku Eropa maka pembangkangan usia awal ini, yang dapat timbul antara 2 1/2 dan 3 ½ tahun merupakan suatu halyang mutlak dalam perkembangan. Menurut Hetzer (1961) dan Remplein (1962) pembangkangan ini diangap sebagi proses inti perkembangan kemauan dan kepribadian. Anak yang tidak menunjukkan pembangkangan pada periode tersebut mengalami bahaya untuk berkembang menjadi pribadi yang terganggu.
Maslahnya adalah (a)apakah pemabngkangan pada anak kecil merupakan suatu gejala yang terkait pada perkembangan manusia, yaitu suatu gejala pemasakan, dan (b) apakah hal itu juga dapat dipandang dan diinterpretasikan lain daripada yang dilakukan oleh penulis-penulis tersebut diatas? Mungkin agak menyolok yaitu bahwa “pembangkangan” sebagai periode tersendiri tidak disebut-sebut dalam literature Amerika. Kita hanya memerlukan tinjauan mengenai reaksi negative atau “temper tentrum”. Hal ini adalah suatu tingkah laku reaktif yang nyata.
Kemmler (1957) beberapa tahun yang lalu telah mengadakan penelitian mengenai gejala “pembangkangan” sebagai metode dipakainya “event-sampling” artinya hanya gejala yang bersifat pembangkangan yang diperhatikan. Semua yang berhubungan dengan gejala tersebut diobservasi dan dicatat. Kemmler mengadakan observasi terhadap 71 orang anak selama 71 hari dalam keluarga-keluarga dan yayasan-yayasan. Dia terpaksa menunggu berhari-hari untuk mencatat apa yang berhubungan dengan reaksi pembangkangan tersebut.
Selama waktu penenlitiannya tadi Kemmler mencatat 488 tingkah laku pembangkangan. Dari observasi ini ia menarik kesimpulan: “pembangkangan selalu merupakan reakasi anak terhadap tindakan (dalam arti luas) keliling yang ditujukan “terhadap anak” (h. 285). Reaksi ini mempunyai suatu siafat dinamis-afektif dan dalam kenyataannya merupakan suatu penolakan yang diffuse. Pada waktu itu kontak dengan keliling terputus.
Reaksi pembangkangan berbeda dengan sikap tidak mau menurut, agresi, ingin mempunyai pendapat sendiri, malu terhambat dan mengadu kekuatan secara main-main.
Hasil penelitian :
1. Frekuensi : frekuensi tingkah laku pembangkangan perhari dapat dikatakan tidak banyak kurang lebih lima dalam keluarga biasa. Dalam yayasan hanya didapatkan 2 kali perhari. Pada beberapa anak tidak dijumpai tingkah laku pembangkangan, tetapi apada 1 kasus bahkan dijumpai 19 kali pembangkangan.
2. Orang-orang yang dapat memancing pembangkangan: orang-orang yang dapat memancing pembangkangan 90% adalah orang dewasa tau anak yang lebih tua. 10% adalah anak sebaya. Hanya jarang sekali pembangkangan disebabkan oleh benda-benda, jadi nampaknya anak membangkang terutama terhadap orang yang mempunyai kelebihan fisik dan mental.
3. Penyebab: penyebab reaksi pembangkangan dapat dilukiskan secara singkat sebagai berikut: anak sedang melakukan sesuatu, biasanya sedang asyik bermain, kemudian mendapat perintah untuk melakukan sesuatu yang lain. sudah barang tentu tidak ada pada semua perintah anak mereaksi dengan negatif.
4. Kebutuhan-kebutuhan aku (dorongan kekuasaan dan penyataan diri)sama sekali tidak mengambil peranan dalam reaksi pembangkangan.
5. Reaksi: reaksi pembangkangn merupakan tingkah laku reflex semu, suatu cetusan efek yang tidak ditujukan pada seseorang. Anak kehilangan kontak dengan kenyataan, mulai menjerit-jerit dan sebagainya, tetapi tidak menangis.
6. Lam waktu: reaksi pembangkangan biasanya hanya berlangsung beberapa menit saja, kadang-kadang ada periode laten.
7. Umur: pada anak-anak normal pembangkangan sudah dimulai sekitar 1 tahun. Puncaknya ada pada usia 2 tahun dengan frekuensi rat-rata 7 kali perhari. Antara 2 ½ dan 3 tahun reaksi pembangkangn menghilang karena anak makin lama mengerti tuntutan orang tua.
8. Perbedaan jenis kelamin: tidak ada bentuk pembangkangan yang spesifik antara anak laki-laki dan anak wanita. Pembangkangan memang lebih banyak terdapat pada anak laki-laki daripada anak wanita dan juga berlangsung lebih lama, mungkin karena tingjah laku itu lebih diperbolehkan pada anak laki-laki.
Di sini Nampak bahwa reaksi pembangkangan tadi snagt berhubungan dengan pendidikan dan perbedaaj perseorangan.
9. Waktu dilakukan pembangkangan dalam sehari: reaksi yang terbanyak dilakukan antara jam11 dan 13. Waktu itu adalah waktu anak merasa lapar dan hal ini mempunyai pengaruh yang sangat besar.
10. Hubungan antara periode pembangkangan dengan perkembangan anak selanjutnya.
- Harus diadakan perbedaan pembangkangan dan agresi. Pembangkangan adalah suatu letusan efek yang tidak ditujukan pada seseorang dan merupakan reaksi terhadap sesuatu. Agresi sebaliknya merupakan “tingkah laku fisik atau verbal yang menyebabkan kerugian atau sakit” (hartup, 1974 bandingkan juga De Wit dan Hartup, 1974).
- Pola pembangkangan yang menetap sesuadah usia 3 tahun dapat terjadi oleh pendidikan yang sangat tidak konsekuen.
- Arti tingkah laku pembangkangan berhubungan dengan kemampuan penguasaan keliling yang lebih baik.
Selanjutnya dapat diliaht bahwa tidak pada semua anak terdapat reaksi pembangkangan. Dimuka telah dikemukakan bahwa reaksi ini banyak berhubungan dengan sifat pendidikan orang tua. Mungkin di Indonesia gejala ini relative tidak begitu mencolok. Hal itu disebabkan karena anak di Indonesia tidak dikenakan pendidikan disiplin yang ketat dan orang tua lebih banyk menuruti kehendak anak (permissive) dengan dasar pandangan bahwa anak kelak akan mengerti sendiri dan tidak akan nakal lagi (misalnya tidak menurut) bila ia sudah besar nanti.
Dalam beberapa penelitian mengenai tingkahlaku pembangkangan diketemukan bahwa reaksi ini tidak diketemukan pada anak yang bodoh. Pada anak yang pandai maka diskrepansi anatara keinginan pemenuhan kebutuhan dan pengertian situasinya. Tidak terlalu lebar seperti halnya pada anak-anak yang bodoh sering tidak menunjukkanaktivitas yang banyak.
Sebagai konklusinya dapat dikatakan bahwa tingkah laku tersebut perlu mendapatkan interpretasi yang lain daripada apa yang diberikan sebelumnya. Seperti yang telah dikemukakan oleh sementara penulis sebelumnya maka reaksi pembangkangan ini merupakan gejala yang pokok bagi perkembangan kepribadian dan sosial anak. Misalnya Hetzer, (1961) mengatakan: seorang anak yang tidak mengalami fase ini kan tidak bias mencapai perkembangan kemauan yang sehat.
Selanjutnya penelitian ini menunjukkan bahwa reaksi pembangkangan tadi paling sering dijumpai antara usia 1 ½ dan 2 ½ tahun, jadi tidak antara 2 ½ dan 3 ½ tahun.
Inti penyebab reaksi pembangkangan ini adalah berfungsinya dua hal yang diskrepan pada diri anak: yaitu diskrepansi antara apa yang dikehendaki anak dengan apa yang dapat dimengerti secara intelektual.
3.3.8 Permainan dan tingkah laku bermain
Anak dan permainan merupakan dua pengertian yanghampir tidak dapat dipisahkan satu satu sama lain. berpikir mengenai anak selalu menimbulkan asosiasi mengenai bermain. Timbul pertanyaan apakah bermain betul-betul merupakan kesibukan khusus anak. Sebab dalam kemyataan maka orang tua dan remaja bermain. Mungkin hanya merupakan suatu kebiasaan unutk memakai istilah hobi atau olahraga atau reaksi. Bagi orang-orang dewasa, sedangkan istilah “bernmain” hanya dapat diapaki untuk anak saja.
Pemisahan antar dunia anak dan dunia orang dewasa ini berlangsung selama tiga abad ke 16 permainan anak dan permainan orang dewasa tidak dapat dibedakan satu sama lain.sebagi permulaan yang jelas mengenai proses ini dapat dikemukakan buku pelajaran pedagogic Emile (1976) yang ditulis oleh Rousseau (1712-1778). Mulai saat ini anak betul-betul dipandangsebagai anak dan bukan sebagi orang dewasa dalam bentuk kecil.
Sekarang anak sudah mempunyai dunia sendiri dengan permainan pakaian dan “hak-hak” sendiri meskipun hal ini belum merata sampai di pelosok-pelosok seperti halnya di Indonesia. Masih saja banyak anak yang belum dapat menikmati hak-haknya sebagai anak. Masih saja ada anak yang harus bekerja mencari nafkah pada waktu mereka seharusnya masih menuntu ilmu di bangku sekolah. Kewajiban belajar masih belum dapat dibedakan meskipun usaha-usaha untuk memberikan pendidikan formal pada semua anak sudah banyak dilakukan. Temapat-tempat permainan yang khusus dibuat untuk anak masih sedikit adanya.
Tetapi dalam dunia yang sudah maju maka dunia anak betul-betul terpisah dengan dunia orang dewasa. Anak mendapatkan perhatian khusus, pakaian khusus, buku-buku dan pendidikan yang terarah. Dalam keadaan seperti itu timbullah pertanyaan apakah perlakuan-perlakuan terhadap anak tadi betul-betul sudah baik? Sebab anak memperoleh latihan untuk memikul tanggung jawab. Dengan timbulnya dunia anak maka peralihan ke dalam dunia orang dewasa menjadi lebih problematis, lebih sukar (lihat Dasberg, 1980). Sebaliknya dapat pula dikemukakan bahwa pandangan mengenai dunia orang dewasa sebagai dunia penuh rentetan kerja. Tugas-tugas dan tangung jawab memberikan tempat lagi bagi permainan.
Pemisah yang kental antara “waktubermain” dan “waktu bekerja” ini dalam hubungan dengan tingkat-tingkat usia atertentu tidak akan dilakukan dalam tulisan psikologi sepanjang hidup. Dalam pasal-pasal berikutnya maka pembicaraan mengenai berbagai macam aspek permainan akan tidak dibatasi pada masa kanak-kanak saja.
3.3.8.1 Teori-teori permainan
Meskipun Darwin (1809-1882) tidak mengembangkan teori permainan sendiri, namun teori evolusinya memberikan pengaruh yang beasar pada sementara toeri permainan, misalnya teori Groos, Hall, spencer dan Schaller.
Groos membuat formulasi mengenai teori latihan. Menurut Groos maka permainan harus dipandang sebagai latihan fungsi-fungsi yang sangat penting dalam kehidupan dewasa nanti. Dengan begitu permainan peranan anak gadis yang bermain dengan bonekanya merupakan latihan bagi perannay kemudian sebagai seorang ibu.
Hall yang banyak mendasarkan teorinya pada Rousseau dan Darwin, memandang permainan berdasarkan teori rekapitulasi, yaitu sebagai ulangan bentuk-bentuk aktivitas yang dalamperkembangan jenis manusi pernah memegang peranan yang dominan.
Menurut teori rekapitulasi maka perkembangan individu (ontogenesa) adalah ulangan perkembanagn jenis manusia (filogenesa). Menurut Hall maka permainan merupakan sisa-sisa periode perkembangan manusia waktu dulu tetapi yang sekarang perlu sebagai stadium transisi dalam perkembanagn individu.
Schaller berpendapat bahwa permainan memberikan “kelongaran” sesudah orang melakukan tugasnya dan sekaligus mempunyai sifat membersihkan. Permainan adalah sebaliknya daripada bekerja. Dalam hubungan dengan sifat pembersiahnnya tadi (katarsis) Schaller mengatakan: bila orang Inggris menderita karena jatuh cinta, maka ia akan bermain tennis sebebtar dan semuannya beres kembali.
Akhirnya Spencer menandaskan bahwa permainan merupakan kemungkinan penyaluran bagi manusia untuk melepaskan sis-sisa energy. Karena manusia melalui evolusi mencapai suatu tingkatan yang tidak terlalu membutuhkan banyak energi untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidup, maka kelebihan energinya harus disalurkan melalui cara yang sesuai; dalam hal ini permainan merupakan cara yang sebaik-baiknya (lihat selanjutnya Dunk, 1981).
Teori permainan seorang ahli psikologi Rusia Ljublinskaja (1961) memandang permainan sebagai pencerminan realitas, sebagai bentuk awal memperoleh pengetahuan. Dengan begitu jelaslah bahwa pendapat yang “berprasangka” cultural ini ingin dihindari dalam penelitian empiris dan teoretis yang lebih baru. Selalu datang pertanyaan-pertanyaan yang jelas dalam penelitian permainan, yaitu: yang harus ada untuk dapat dikatakan permainan dan (3) apakah akibatbya bila kita bermain atau justru tidak bermain. Dalam pasal-pasal berikutnya hal-hal ini kan kita bicarakan lebih lanjut.
3.3.8.2 Struktur atau ciri-ciri esensial tingkah laku bermain
Telah dilakukan beberapa usaha untuk melukiskan bermacam-macam bentuk permainan dan proses perkembangannya (lihat. Tabel 3). Di situ diusahakan untuk melukiskan unsure-unsur yang ada menurut isi dan strukturnya. Namun dengan begitu tidak diketemukan jawaban mengenai pertanyaan: bagaimana daptnya menentukan bahwa sesuatu aktivitas merupakan tingkah laku bermain? Jawaban yang paling lengkap dan paling mendalam mengenai “sifat hakekat permainan” sampai sekarang baru dieberikan oleh Buytendjik (1887-1974) dan Huizinga (1872-1945).
Berdasarkan analisa fenomenologis maka Buytendjik menemukan cirri-ciri permainan sebagai berikut:
1. Permainan adalah selalu bermain dengan sesuatu;
2. Dalam permainan selalu ada sifat timbale balik, sifat interaksi;
3. Permainan berkembang, tidak statis melainkan dinamis, merupakan proses dialektik yaitu tese-antese-sintese. Karena proses yang berputar ini, dapat mencapai suatu klimaks dan mulailah prosesnya dari awal lagi.
4. Permainan juga ditandai oleh pergantian yang tak dapat diramalkan lebih dahulu, setiap kali dipikirkan suatu cara yang lain atau dicoba untuk datang pada suatu klimaks tertentu.
5. Orang bermain tidak hanya bermain dengan sesuatu atau dengan orang lain, melainkan yang lain tadi juga bermain dengan orang yang bermain itu.
6. Bermain menuntut ruangan untuk bermain dan menuntut aturan-aturan permainan.
7. Aturan-aturan permainan membatasi bidang permainannya.
Beberapa tahun sesudah Buytendjik, maka Huizinga (1940) memberikan definisi mengenai permainan atas dasar latar belakang sejarah kebudayaan sebagai berikut : “bermain merupakan tindakan atau kesibukan suka rela yang dilakukan dalam batas-batas tempat dan waktu, berdasarkan aturan-aturan yang mengikat tetapi diakui secara suka rela dengan tujuan yang ada dalam dirinya sendiri, disertai dengan perasaan tegang dan senang dan dengan pengertian bahwa bermain merupakan sesuatu “yang lain” daripada kehidupan biasa” (h. 42).
Bagaimana tepatnya pencirian Buytendjik dan Huizinga ini, dapat diliahat dari berbagai pelukisan peneliti-peneliti baru seperti batesan (1971), Miller (1973) dan Suton-Smith (1979). Istilah-istilah yang dipakai berbeda namun esensinya sama.
1. “Reframing” atau “memberikan isyarat” adalah cirri structural yang pertama dari permainan. Orang-orang saling memberikan isyartnya (misalnya mengangkat tangan,senyum, intonasi yang lain) sebelum permainan dimulai. Bentuk komunikasi yang spesifik ini nampaknya dipelajari anak pada tahun-tahun pertama.
2. “Reversal” atau “pemutarbalikan” merupakan cirri structural yang kedua daripermainan. Dalam permainan maka realita dapat “diputar balik” semua anak. Semuanya mungkin, bats-batas kenyataan dapat dihilangkan. Dalam permainan peran, anak dapat memutar balik kenyataan kehidupan keluarga yaitu dengan bermain menjadi ibunya.
3. “abstarksi prototype” merupakan cirri lanjut permainan. Di sini diambil beberapa aspek tingkah laku yang menyolok dari suatu rentetan tingkah laku (missal:karikatur). Vygostski (1967) memberikan suatu contoh yang tepat: “dua gadis bersaudara.” Permainannya bukan suatu imitasi kejadian sehari-hari, melainkan hanya ditirukan beberapa tingkah laku saja mengenal kehidupan dua bersaydara tersebut.
4. Suatu cirri yang spesifik adalah “tema dan variasi”. Permainan selalu merupakan suatu variasi meneganl suatu tema. Jadi ada suatu tema yang pokok kemudian dipikirkan dan diperagakan aspek-aspek baru di sekitar tema tersebut. Misalnya seorang anak bermain dengan sebuah boneka. Dia akan dapat melakukan tingkah laku macam-macam Dallam merawat “anaknya” itu. Atau seorang anak laki-laki bermain dengan bola akan menemukan atau mencoba bermacam-macam cara menedangnya.
5. Permainan selalu terikat tempat dan waktu. Batas seringkali ditentukan oleh ruang (tempat bermain, lapangan, stadion). Juga waktu menentukan batas permainan (sorehari, hari minggu). Batas permainan anak biasanya tidak jelas. Dengan mengubah kenyataan maka batas-batas tadi dapat diperjelas, misalnya:
5a. Memperkecil kenyataan
Kebanyakan alat permainan adalah imitasi kenyataan. Misalnya “sifat kecilnya” permainan mobil-mobilan memungkinkan anak untuk berbuat seakan-akan menjalankan mobil-mobilan memungkinkan anak untuk berbuat seakan-akan menjalankan mobil yang sesungguhnya.
5b. Memperbesar Kenyataan
Seringkali gerak-gerik dank at-kata dilebih-lebihkan. Memberikan aksentuasi yang lebih pada perasaan misalnya dijumpai juga pada permainan.
5c. Ulangan yang siklis
Dengan ulangan yang siklis (berputar), yaitu selalu melakukan hal yang sama, meskipun dengan variasi-variasi tertentu, timbullah kesan seakan-akan orangnya sendiri dapat menentukan batas-batas ruang dan waktu. Proses permainan yang siklis (berputar) dan ritmis (berirama) ini menunjukan oleh Lehr (1959) melalui observasinya.
6. Permainan selalu mempunyai sifat tegang dan bergairah. Melalui ketegangan dan kegairahan, permainan sering datang pada suatu klimaks kemudian timbul kelonggaran. Dalam hal itu permainan merupakan suatu tantangan. Permainan juga berguna untuk menghilangkan ketegangan yang terlalu tinggi. Dengan begitu maka ketegangan batin anak sering dapat disembuhkan melalui terapi permainan. Ketegangan batin, ketegangan emosiaonal ataupun kejemuan dapat menghambat anak bermain.
3.3.8.3 Syarat-syarat permainan
Dalam bab ini telah dikatakan bahwa anak dan permainan sukar dapat dipisahkan satu sama lain. Dari pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa anak kan bermain dengan sendirinya. Jadi agak mengherankan bila orang berkata bahwa anak harus belajar bermain. Kiranya yang dimaksudkan adalah; belajar memperoleh pengalan. Berhubungan dengan itu perlu mengatur lingkungan sedemikian rupa hingga anak juga dapat memperoleh pengalaman tersebut.
Bagi perkembangan dalam tahun-tahun pertama, baik bagi manusia maupun hewan, maka perlindungan dan stimulasi merupakan syarat yang mutlak. Hal ini juga berlaku bagi tingkah laku bermain biasanya ibulah yang memberikan perlindungan dan stimulasi itu hingga tingkah laku anak dapat berkembang.
Ibu merupakan suatu hal yang konstan maupun suatu ahal yang berubah-ubah (Lewis, 1979). Pada hari pertama seorang ibu telah menciptakan suatu bentuk komunikasi dengan anaknya yang dapat menimbulkan sifat-sifat ekspresif sebagai berikut :
Suatu roman permainan : alis diangkat, mulut terbuka, mata membelalak lebar, suatu ekspresi keheranan.
Suatu pandangan bermain : pandangan penuh kasih sayang
Sambil bicara pada anaknya.
Bunyi-bunyi bermain : bunyi tinggi, bunyi huruf mati
Yang diperpanjang bicara lambat.
Berbagai roaman muka : muka didekatkan atau dijauhkan.
Waktu bermain : biasanya sesudah makan atau sebelum anak ditidurkan.
Ruang/kesempatan bermain : dalam tempat tidur, di pangkuan ibu,
Dalam selendang, di dekat ibu.
Bentuk komunikasi ini telah dibicarakan secara mendalam oleh Stern (1977). Ibu dan anak sejak mula telah terlibat dalam saat-saat interaksi yang ditandai oleh saling mengadakan aksi yang yang kontras. Aksi-aksi yang kontras tadi ditimbulkan oleh peranan ibu dan anak yang saling bertentangan. Dalam interaksi tersebut ketegangan silih berganti dengan kelonggaran. Sutton-Smith (1949) berpendapat bahwa interaksi ibu-anak ini merupakan sumber fundamental permainan dengan aspek-aspek tersebut karena permainan baru timbul bila tercipta suasana komunikasi yang aman dan bila dapat terjadi ketegangan dan kelonggaran karena tindakan-tindakan yang bertentangan. Peneliti membuktikan bahwa banyaknya sikap bermain orang pada umur-umur yang kemudian sangat dipengaruhi oleh sifat hubungan ibu-anak ini, begitu pula oleh banyknya variasi pada waktu menciptakan saat-saat bermain itu.
Cirri-ciri structural permainan yang bermacam-macam telah ada dalm interaksi ibu-anak dan merupakn dasar permainan di kemudian hari, baikpermainan seorang dir maupun dengan anak-anak sebaya.
Di samping perlindungan dan stimulasi maka kesempatan untuk eksplorasi merupakan persyaratan yang penting bagi permainan. Biasanya tingkah laku bermain dimulai oleh penyelidiakan terhadap sebuah benda atau suatu person. Dalam eksplorasi itu anak menginginkan jawaban terhadap pertanyaan: “apakah benda ini atau apakah orang itu?” bila tingkah laku menyelidiki ini telah menghasilkan pengertian-pengertian tertentu, berubahlah tingkah laku anak dan pertanyaan yang timbul sekarang adalah : “apakah yang dapat saya perbuat dengan benda atau orang itu”.
Lamanya mengadakan eksplorasi berbeda-beda dan sedikit banyak bersifat stereotif; melalui alat-alat indera (auditif, visual dan taklil) akan diperoleh informasi secarabersamaan. Penelitian membuktikan bahwa anak dan orang dewasa membutuhkan jangka waktu tertentu untuk mengenal keadaan, objek-objek atau orangyang baru. Bila fase eksplorasi untuk mendapatkan informasi ini tidak cukup waktunya, maka permainan juga tidak akan dapat berkembang. Dalam keadaan sehari-hari dapat dilihat bahwa orang dewasa maupun anak segera ingin mulai dengan bermain. Mengenai pentingnya stimulasi dan eksplorasi ini suadah diuraikan dalam pasal 2.5.1.6., yaitu pada pembicaraan stimulasi pada masa perkembangan awal.
3.3.8.4 Konsekuensi permainan
Sampai kini dipakai dasar anggapanbahwa manusia itu bermain: telah dikemukakan tentang bergabai persyaratan dan unsur-unsur yang structural mengenal permainan. Tetapi apa yang akan terjadi bila manusia tidak bermain? Pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang retorik karena hamper tidak ingin mengadakan eksperimen yang bersifat membelenggu manusia dalam tingkah lakunya yang wajar.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas maka Csikszentmihalyi (1975) melakukan penelitian dalam dua fase. Dalam fase sendiri menurut instruksi sebagai berikut : Anda harus hidup wajar saja dalam dua hari ini, tetapi hendak lah sebanyak mungkin sadar akan tingkah laku anda sendiri dan catatlah semua yang anda lakukan untuk kesenangan anda sendiri, terutama hal-hal yang biasanya anda lakukan secara “tidak dipikirkan”.
Dalam fase kedua-seminggu kemudian-diajukan persyaratan sebagai berikut : “mulai besok pagi dari bangun samapi jam 09.00 malam hendaklah anda bertingkah laku sewajar mungkin, lakukan semua hal apa yang harus anda lakukan, tetapi janganlah melakukan apa yang mirp dengan permainan atau yang tidak instrumental. Bila dibandingkan “eksperimen” dengan deprivasi permainan wajar dalam fase kedua ini dengan fase yang pertama, nampaklah hal-hal sebagai berikut: para orang coba merasa capai dan mengantuk, kurang sehat dan kurang sanati; mereka lebih banyak merasa sakit kepala, merasa dirinya lebih lekas marah dan kurang kretaif.; aktivitas (instrumental) sehari-hari dirasa sebagai beban yang berat, dilakukan dengan dan marah dan kehilangan konsentarsi, juga ada perasaan sedih dan kesan bahwa tindakan-tindakan tadi dilakukan sebagai robot dan secara otomatis saja.
Meniadakan permainan, meskipun di sini hanya mengenai eksperimen pura-pura saja, dapat menunjukkan konsekuensi apa yang dapat timbul bila orang tidak bermain. Dengan menunjukkan apa yang disebut “bukan permainan” jelaslah betapa fundamental permainan bagi kesejahteraan manusia itu. Manusia mempunyai suatu kebutuhan untuk mengatur pengalaman-pengalamannya sesuai dengan apa ynag dipandangnya baik, dia ingin menemukan imbangnya antara tuntutan-tuntutan keliling dengan kemampuan dan keinginan-keinginanya sendiri. Fungsi tingkah laku permainan yang dapat mengatur keseimbangan tadi mempunyai dua mavam fungsi: (1) bila stimulasi terlalu sedikit, kurang ada tantangan (misalnya dibandingkan dengan kemampuan sendiri) tingkah laku bermain dapat memberikan komponesasi; tidak adanya tantangan dan stimulus ini dapat menimbulkan akibat negative pada anak yang merasa jemu itu, misalnya timbul gangguan-gangguantingkah laku, (2) bila tuntutan terlalu tinggi yang dapat menimbulkan ketegangan batin, maka permainan mempunyai sifat yang melonggarkan dan menyegarkan.
Di samping fungsi kompensasi dan melonggarkan maka permainan juga mempunyai sumbangn penting pada proses kreatif seseorang. Kreativitas berarti bahwa seseoarang dapat bertindak “mencipta” dan berhubungan dengan kelilingnya dengan cara yang khas untuknya. Untuk melakukan hal itu, maka anak atau orang dewasa membutuhkan kesempatan untuk memberikan bentuk sendiri terhadap apa yang dialaminya atau dijumpainya. Hal ini bagi kebanykan anak, dimungkinkan selama anak belum masuk sekolah. Pada waktu anak masuk sekolah dasar, pada waktu itu dunia bermain berubah menjadi dunia sekolah dan hal itu berarti bekerja menurut aturan-aturan tertentu; kesempatan menjadi sedikti untuk berbuat kreatif dengan dunia kelilingnya, untuk membentuk dunia atau realitas sesuai dengan kehendaknya sendiri. Seperti yang dilukiskan di muka, suatu pembagian yang jelas antara dua anak dan dunia orang dewasa, atau dunia bermain dengan dunia tidak bermain tidak dapat dibenarkan. Menurut Vygotsky (1967, hal. 16) maka “permainan menciptakan daerah dan sumber perkembangan yang merupakan proses seumur hidup.
Penelitian mengenai permainan pada anak-anak membuktikan bahwa permainan dapat menjelaskan aspek-aspek perkembangan seperti motorik, kreativitas, kecakap-kecapakn sosial dan kognitif dan juga perkembangan motivasional dan emosional (lihat Rost, 1981; De Groos, 1980). Permainan di sini harus dapat ditinjau dalam nuansa-nuansanya yang lebih banyak dan tidak sebagai sesuatu yang global.
3.5.8.5 Bentuk-bentuk permainan
Sejak tinjauan yang sistematis mengenal perkembangan manusia juga diusahakan untuk menentukan hubungan antaraberbagi bentuk permaian dengan umur seseorang. Seperti yang sudah ditandaskan di muka, mak oleh proses pemaskan dan belajar. Usaha pertama yang dilakukan berhubungan dengan pertanyaan : permainan apa yang dilakukan anak apada umr-umur tertentu?
Bertalian dengan itu suami istri Buhler (1928) mengobservasi anak dari berbagai tingkat umur untuk meneliti apakah ada bentuk-bentuk permainan yang palingdisukai pada sesuatu tingkat usia tertentu. Mereka juga menganggap permainan sebagai suatu kemungkinan bagi anak untuk mengumpulkan dana memasak informasi dari luar.
Parten (1932) meninjau permainan anak dari sudut tingkah laku sosial anak.; pendekatannya juga dapat dilukiskan sebagai sosiologi genetic. Melalui observasi Parten menemukan 6 macam kategori.
Piaget (1945) tidak begitu melihat permainan sebagai kemungkinan perkembangan dan indiksi tingkah laku sosial. Melainkan lebih melihatnya sebagai relasi dengan dunia fisik. Menurut Piaget maka permainan merupakan bentuk pernyataan perkembangn kognitif. Dia menemukan 3 kategori.
Suatu pembagian yang lain sama sekali, berasal dari Caillois (1958:1961). Pembagiannya berorientasi pada proses hidup menusia dan sejarah kebudayaan berdasarkan pandangan Huizinga. Caillois membagi permainan menjadi 4 kategori berdasarkan pemenuhan emapat kebutuhan hidup manusia yang dipandangnya sebagi primer.
3.3.9 Gambaran anak
Seperti halnya bermain, maka menggambar juga merupakan suatu aktivitas yang spontan. Anak “menggambar” segera seudah merekamampu memegang pensil atau alat tulis yang lain. anak bias melakukan hal itu mulai berusia kurang lebih 52 minggu. Menggambar merupakan suatu gerakan motoris yang global bagi anak; seluruh badan seakan-akan ikut terlibat melakukan gerakan itu. Cret-coret anak misalnya belum dapat disebut suatu gambar, melainkan hanya suatu goresan hasul suatu gerakan. Karena sebuah pensil digores-goreskan di ats kertas, terjadilah bekas goresan tersebut. Goresan pensilyang berujud coret-coret ini adalah dasar dan permulaan usaha anak untuk membuat gambar-gambar-gambar yang berarti. Makin lama anak makin “melihat” apa yang dihasilkan itu dan mulai
Membandingkan secara kritis hasil gambarannya dengan gambar anak-anak lain. pola-pola dengan pembagian ruang mulai nampak pada usia 3 dan 4 tahun. Dalam perkembangan lebih lanjut muncullah gambar-gambar bentuk sederhana atau kombinasi bentuk-bentuk tadi. Pada sekitar usia 4 tahun muncullah “kepala kaki” yang terkenal; kepala ditambah dua kaki menujukkan gambar manusia yang utuh bagi anak (lihat Gambar 19. Hal 141) berhubung anak dalam gambarnya sudah ingin melukiskan sesuatu, maka dapat dikatakan ia telah mencapai stadium gambar figuratif. Karena adanya perkembangan psikomotorik (yaitu koor-dinasi mat-tangan lebih baik) serta perkembangan kognitif, ditambah pengalaman belajar, maka anak lambat laun akan mencapai fase meng-gambar bentuk mengenal apa yang dilihatnya (bandingkan dalam perkembangan bahasa mengenai perpindahan “Ausdruck” ke “Darstrelling”).
Penggambaran tadi adalah sangat global, begitu juga batasan usiannya adalah kira-kira saja. Tetapi memang urutan perkembangan gambaran ini dialami oleh semua anak asal mereka diberi kesempatan untuk melakukan hal itu; nampaknya perkembangan tadi merupakan gejala universal. Diantara usia 6-12 tahun Nampak adanya pengaruh kebudayaan dalam gambbaran anak; gambaran anak di atas 12 tahun menunjukkan cirri-ciri khas individual.
Gambaran anak sering dipakai sebagai alat diagnostic (lihat miasl subtes gambaran manusia dalam NST, Monks, dkk., 1978). Dasar pemakaian gambaran sebagai alat diagnostic anak adalah, bahkan anak mengeluarkan perasaan dan pengalaman melalui gambarannya. Disamping itu gambaran anak juga merupakan tolak ukur perkembangan kecerdasan. Meskipun gambaran tidak sempurna, namun gambaran tadi dapat memberikan pengertian akan kualitas penganamtan kritis anak. Misalnya gambar kepala-kai menunjukkan pengamatan global anak, suatu pengamatan dengan kesan yang dominan dan tidak mementingkan detil. Meskipun memang ada anak yang berbakat dan kurang berbakat dalam soal menggambar, anamun ahsil gambaran saja dalam menilai bakat tersebut. Ternyata bahwa dalam satu minggu saja anak dapat menghasilkan gambaran bermacam-macam. Menggambar sepewrti halnya bermain merupakan aktiviotas yang perlu bagi anak. Menggambar perlu sebagai pernyataan perasaan dan persiapan membaca dan menulis. Khususnya untuk aspek yang pertama jelaslah bahwa anak harus diberi kesempatan dan harus didorong untuk mau menggambar, meskipun tidak boleh dipaksa. Seperti halnya pada bermain, maka anak membeutuhkan perlindungan dan stimulasi dalam perkembangan kemampuan menggambar. Dalam pasal 3.3.8.3. telah dikemukakan bahwa lingkungan harus dibuat sdemikian rupa, hingga anak dapat memperoleh pengalaman yang dibutuhkan.
3.4 Perkembangan Bahasa
3.4.1 Perkembangan dalam sejarah
Sejak mula, filsafat telah membahas meneganai bahasa dan struktur bahasa. Pada abad-abad permulaan terdapat pengertian bahwa bahasa itu merupakan perjanjian yang disebgaja antar manusia. Pandangan ini dianut misalnya oleh aliran sofisme. Bertentangan dengan pandangan ini adalah pandangan alirang stoicijn yang memandang bahwa sebagai suatu kecakapan alamiah. Pandangan Plato dan Atistotelesada di tengah-tengah dua pandangan ini.
Filsafat bahasa sebagai suatu disiplin sendiri dalam filsafat baru timbul sejak Wilhelm nov Humboldt (1766-1835). Dengan adanya perbandingan ilmu-ilmu bahasa maka studi yang sistematis mengenai susunan bahasa yaitu hubungan antara berpikir dan berbahasa, antara fungsi ekspresi dan fungsi untuk melukiskan dalam bahasa.
Bagi psikologi yang sebagian berakar pada filsafat maka bahasa sejak mula merupkan objek studi yang pokok. Para pakar ploner dalam psikologi perkembangan telah memberikan sumbangan yang sangat penting mengenai pengertian perkembangan bahasa (Clara dan Willliam) Stem: Die Kindersprache, 1928; Heltzer Reindorf: Sprochenetuicklung und soziales Milieu 1927). Suatu sumbangan yang sangat penting dari Karl Buhler dalam hubungan ini adalah Sprachtheirie (1934) yang dalam tahun 1927 telah dikupas dalam garis besar dalam bukunya Die Krise der Psychologie, juga Van Ginneken dengan bukunya De roman van een Kleuter (1917) telah memberikan pengertian-pengertian dalam perkembangan bahasa melalui observasi yang diteliti. Terutama mengenai pernyataan-pernyataan bahasa yang pertama.
Dengan bukunya Die Krise der Psycholigie yang pada tahun 11965 telah terbit untuk ketiga kalinya tanpa perubahan, Buhler ingin mengajukan kritik untuk dapat mengatasi krisis dalam psikologi. Ia mendasarkan diri pada arti kata Yunani Krino= sya membedakan. Dia membuat teorinya yang merupakanreaksi yang beralasan terhadap pendekatan-pendekatan behaviorisme serta pendekatan Wundt yang bersifat “bewusstseinpshologisch”. Wund mendasarkan teori bahasanya pada aksioma parallel, artinya bahwa gerakan-gerakan fisik merupakan pernyataan gerakan-gerakan psikis, jadi paralellisme antara gejala batin dan gejala luar. Buhler memberikan kritik terhadap pendapat Wundt ini. Wundt selanjutnya mengatakan bahwa ada perberdaan dalam gerakan-gerakan ekspresi antara hewan dan manusia. Hal yang ketiga yaitu bahwa bahasa yang terdiri dari suara-suara tadi berkembang menjadi seekor yang berdiri sendiri dan melepaskan diri dari kesatuan gerakan-gerakan ekspresi.
Menurut Buhler ada tiga macam factor yang menentukan dalam teori bahasa. Yaitu 1) Appell, 2) Ausdruck, dan 3) Darstellung. Appel berarti bahwa bila kita ingin menyatakan sesuatu harus juga melihat orang lain yang dapat dicapai oleh pernyataan tadi. Buhler melihat semantic sebagai sesuatu yang esensial, jadi yang penting adalah erlasi antara tanda hal yang ditunjuk, relasi antara pemberi tanda dengan penerima tanda. Sebab bila apa yang dikatakan Wundt sebagai aksioma pertanyaan mengenai semantic tidak akan mungkin. Menurut Buhler maka semanyik merupakan factor konstitutif kegidupan hewan dan manusia dalam suatu kehidupan bersama. Semantic menunjukkan adanya dwi-tunggal; seorang yang memberikan tanda dan seorang yang menerima tanda atau si pemberi tanda dan si penerima tanda. Bahasa sebagai alat komunikasi mempunyai funsi sosial. Fungsi sosialnya ada dalam semantic. Bahasa selalu termasuk dalam jaringan sosial dan bahasa mempunyai fungsi-fungsi ekspresif. Kedua aspek ini yaitu “Appel” dan “Ausdruck” juga diketemukan kembali dalam komunikasi hewani, tetapi aspek yang ketiga yaitu aspek kemampuan untuk melukiskan sesuatu meletakkan atau mengerti hubungan antara hal yang satu dengan hal lain, dapat memformulaisikan ide-ide, adalah sifat-sifat manusia yang spesifik: hanya manusia yang dapat mengadakan “Darstellung”.
Di sini dapat ditunjukkan bahwa Karl Buhler selama lebih dari 50 tahun yang lalu sudah mengemukakan akan aspek-aspek yang penting dalam perkembangan dan pengertian bahasa. Aspek-aspek tersebut sekarang juga merupakan pusat perhatian para ahli psikolinguistik dan sosio-linguistik
3.4.2 Keadaan sekitar 1965
Pertentangan lama selama lebih dari dua puluh tahun mengenai perkembangan bahasa berkobar lagi dengan pembicaraan ahli linguistic Chomsky (1959) mengenai “verbal behavior”nya: “ Syntactic Structurres”: dalam 1965 “ Aspects” dan dalam 1968 “Language and Mind”. Publikasi-publikasi ini menimbulkan banyak diskusi, hasil-hasil penelitian ditinjau dari sudut pandang yang lain. penelitian-penelitian batu dimulai diadakan dan pandangan-pandangan baru yang berbeda-beda timbul. Chomsky tidak hanya menyelidiki perkembnagn bahasa saja. Dia juga menaruh perhatian terhadap epistemology filsafat dan perkembangn kognitif untuk dapat mengerti yang lebih baik mengenai perkembangan bahasa, lepas dari menghitung kekayaan bahasa anak pada usia tertentu.
Berdasarkan ceramah Frank Kessel (28-10-1974) maka perhatian sekitar tahun 1965 tertuju pada hal-hala dan pertanyaan-pertnayaan di bawah ini:
1. Bagaimana sintaksis anak, bagaimana struktur tata bahasa kalimat dua kata kalimat tiga kata.
2. Bagaimana produksi kata-kata anak? Bagaimana hal ini bias terjadi dan berapa banyak anak dapat mengucapkan kata-kata dalam dan tingkat umur tertentu.
3. Timbullah pengertian bahwa perkembangan bahasa yang sesungguhnya dimulai sekitar umur 1 ½ tahun dan selesai pada kurang lebih tahun keempat dan kelima. Pertanyaan mengenai apakah waktu mulai dan waktu selesai ini betul atau tidak merupakan perhatian kebanyakan peneliti.
4. Kemungkinan linguistic apa dan struktur semantic apa terdapat pada anak? Apakag ada aturan-aturan dalam bahasa yang dibawa anak sejak lahir, apakah ada pengertian, apakah bahsa mempunyai dasar prinsip kreatif? Mislanya mengapa kita tidak mengatakan : saya mempunyai IQ yang cepat, adik saya pandai berkicau.
5. Seperti halnya Piaget yang membicarakan mengenai stadium-stadium universal maka dalam perkembangan bahasa juga ingin diketahui apakah ada stadium-stadium yang universal itu dalam bahasa.
6. Ada keyakinan bahwa lingkungan sangat kecil dalam perkembangan bahasa. System Chomsky ) LAD = Language Acguisition Device) harus dimengerti sebagai kecakapan bawaan yang menyebabkan lingkungan tidaka atau sedikit sekali pengaruhnya. Bahasa dipandang sebagai sesuatu yang khas bagi manusia.
7. Banyak perhatian ditujukan pada bahasa egsentrik anak, bahasa yang tidak merupakan bahasa komunikasi, melainkan tertuju pada diri sendiri. Tidak ada atau hamper tidak ada perhatian terhadap bahasa dalam situasi-situasi sosial.
8. Dalam situasi ini timbullah Head Strat Project (suatu program stimuylasi bahasa bagi anak-anak kecil dari lingkungan sosial yang lemah). Di Amerika diketemukan bahwa anak-anak Negro dan anak-anak minoritas sosial merupakan korban kekurangan linguistic. Kekurangan linguistic ini akan dapat dihilangi oleh program kompensasi tersebut. Hasil daripada program kompensasi ini menunjukkan bahwa sama sekali tidak ada kemajuan dalam perkembangan pengetahuan umum anak.
Sosio-linguist Laboy mengemukakanm bahwa bangsa yang berbeda juga berbeda bahasanya, bahwa setiap bahasa mempunyai struktur yang berarti dan sifat informatif. Penting pula untuk menunjuk pada perbedaan yang diadakan oleh sosiolog Inggris Basil Bernstein dalam “restricted code” dan “elaborated code”.. Berstein tidak melihat perbedaan ini sebagai perbedaan antar abaik dan tidak baik, melainkan sebagi dua macam pemakaian bahasa yang berbeda. Kedua macam pemakaian bahasa tadi masing-masing mempunyai unsure-unsur yang penting yang dibutuhkan oleh bahasa sebagi alat komunikasi, namun mereka berbeda atau sama lain.
Perlu dikemukakan bahwa dari delapan hal yang dikemukakan tersebut, masih ada satu yang menjadi pusat perhatian. Kemungkinan-kemungkinan linguistic dan yang berhubungan dengan itu: struktur semantiknya, perkembangan semantinya serta arti bahasanya.
Pertanyaan mengenai semantic sekaligus merupakan pertanyaan mengenai konteks sosial. Bahasa tidak dapat dilihat lepas dari konteksnya. Berhubung dengan itu maka para ahli sosio-linguistik mengambil peranan yang penting. Mereka melihat bahasa sebagai alat komunikasi yang berguna dalam kehidupan bersama. Di sini pendapat Buhler menjadi menonjol lagi. Ia sangat menandaskan bahasa sebagai alat komunikasi.
3.4.3 Pandangan yang nativistis
Menrut pandangan yang nativistis atau organismis maka struktur bahasa telah ditentukan secara biologis. Tokoh yang penting dari pandangan ini adalah ahli linguistic Chomsky. Anak sejak mula sudah mempunyai kemampuan untuk berkembang bahasanya. McNeill (1966) mempunyai hipotesis akan adanya sifat-siafat linguistic yng universal. Sifat-sifat ini menurut McNeill akan dapat diketemukan kembali pada semua bahasa. Memang berbagai bahasa tadi dalam bentuk luarnya Nampak berbeda. Namum prinsip fundamentalnya lebih mempunyai persamaan daripada yang diduga semula.
Perhatian terhadap pola dasar yang uniform atau yang sama, seperti yangyang dikemukakn dalam butir 5 pasal sebelumya, berkurang. Namun diantara pada ahli linguistic masih ada aliran yang kuat yang ingin menyelidiki struktur dalamnya bahasa, yaitu sifat universalnya. Mereka beranggapan bahwa sifat universal tersebut tidak perlu dipelajari, melainkan sudah ada sebagai kecakapan bawaan.
Anak akan mengenal sifat universal bahasa dan menginterpretasinya dengan betul. Menurut pandangan ini dapat diadakan dua ramalan: (a) pada mulanya anak tidak mengenal sifat khasnya bahasa yang sedang dipelajari. Berhubung dengan itu bahasa awal anak masih belum menunjukkan transformasi, yaitu struktur bahasa anak tadi akan masih harus lebih mempunyai persamaan dengan struktur dalam atau struktur inti bahasa orang dewasa, daripada dengan apa yang disebut struktur permukaan bahasa yang dipelajari. Anggapan ini menimbulkan dugaan bahwa bahasa awal anak dalam prinsipnya sama dengan semua bahasa di dunia, meskipun bahasa orang dewasa dengan jelas menunjukkan struktur permukaan yang menyimpang.
Masih sedikit penelitian yang menguji hipotesis ini. Pendapat diatas didukung oleh hasil-hasil penelitian perbandingan dalam hubungan dengan (a) penelitian mengenal timbulnya kalimat negative yang pertama, (b) bentuk pertnayaan yang pertama dan (c) penelitian mengenai relasi dasar tata bahasa.
Mengenai butir (a) dapat dikatakan pada kalimat pertama yang berstruktur tata bahasa sudaha ada negatifnya. Misalnya suatu kalimat yang menunjukkan sesuatu diberi suatu morfem yang menunjukkan negasi, misalnya misalnya kalimat: “makan pisang” diberi morfem “tidak” menjadi “tidak makan pisang” diduga bahwa pada bahasa-bahasa lain juga terdapat cara pengingkaran seperti itu: peningkatan dalam bahasa anak mempunyai persamaan dengan pengingkaran yang terdapat pad struktur dalam atau struktur inti kalimat orang dewasa.
Mengenai butir (b) kalimat pertanyaan juga sudah Nampak dalam perkembngan bahasa anak-anak sejak awal. Dalam sementara buku pelajaran masih dikemukakan bahwa umur 3 tahun dianggap sebagai umur bertanya, karena sekitar umur ini akan selalu ingin bertanya dan selalu ingin mengerti segalanya mengapa itu begini atau begitu. Juga dalam hal ini bentuk kalimat pertanyaannya menunjukkan persamaan dengan struktur dalam atau struktur inti kalimat orang dewasa.
Mengenai butir (c) pertanyaan yangtepat mengenai fungsi bagian kalimatnya, baru dapat dilakukan bila bagian itu mempunyai hubungan dengan struktur dalamnya suatu kalimat. Dari struktur luarnya atau struktur permukaannya, fungsi-fungsi tersebut belum dapat diketahui. Dalam hubungan ini telah diadakan analisis mengenai berbagai relasi dalam tata bahasa yang selalu ada hubungannya dengan struktur dalamnya suatu kalimat asa yang diduga bersifat universal bagi bahasa yang berbeda-beda. Dapat dismpulkan bahwa hasil penelitian semacam ini mendukung hipotesis faham nativis, yaitu bahwa pengetahuan awal dan kecakapan awal anak merupakan faktor pembawaan.
Chomsky membuat suatu model untuk menunjukkan bagaimana anak belajar tata bahasa. Model Chomsky dikenal sebagai LAD
Data linguistik kemampuan tata
(Input) (kemampuan untuk membentuk dan mengerti
kalimat-kalimat)
(Output)
Morfem. Fonem-fonem sudah ada sejak bahasa ocehan anak, tetapi belum membentuk suatu morfem. (language acquisition device) atau program penguasaan bahasa.
LAD ini mendapatkan inputnya dari data bahasa dari lingkungan. Kemudian LAD menjabarkan aturan tata bahasa dari ini. Hal ini dapat dilakukan karena LAD mempunyai stuktur internal yang dapat menjabarkan stuktur yang sama dalam semua bahasa, dan yang juga ada dalam data bahasa yang masuk tadi. Dengan lain perkataan: system LAD tadi mempunyai sifat-sifat yang diperlukan untuk dapat mengadakan penjabaran atau ekstraksi.
Tata bahasa yang generatif transformasional di sini memegang peranan yang penting. Dia menghubungkan apa yang didengar (struktur permukaan, misalnya besok pagi hari libur ibu memanggil adik banyak mobil dijalan) dengan apa yang dimaksudkan (struktur dalam). Tata bahasa ini mengadakan spesifikasi bagaimana arti yang ada di belakangnya dapat diubah menjadi suatu kalimat.
Di sini dapat dijabarkan tiga jenis tujuan penelitian sebagai berikut:
1. Menyelidiki skema bawaan yang menggambarkan suatu golongan bahasa potensial.
2. Menentukan perujudan yang sesungguhnya dari pada interaksi antara stimulasi dan organisme yang dapat membuat bekerjanya mekanisme bawaan tersebut.
3. Menentukan seberapa jauh hipotesis mengenai struktur bicara dan bahasa yang terkandung dalam tata bahasa generative, mempunyai persamaan dengan data yang ada dalam kalimat hingga aturannya dapat dimengerti dari bahasa tadi.
Tugas ini sukar terutama karena : “ … the learner must select the hypothesis regarding the language to which he is exposed that reject a good part of the data on which his hypothesis much rest” (Chomsky dalam Dale, 1972, h. 79).
Penelitian neurofisiologis menunjukkan bahwa pelajar bicara dan perkembangan struktur neural yang spesifik yang berhubungan dengan bahasa mempunyai lokalisasi terutama dalam hemisfeer otak bagian kiri dan keduanya berhubungan erat satu sama lain.
Bila ada kerusakan pada struktur ini maka pengaruhnya lebih buruk terhadap kemungkinan belajar bicara bila kerusakan tadi terjadi pada saat yang lebih kemudian dalam perkembangan anak. Bila kerusakan tadi terjadi sangat awal, maka hemisfeer bagian kanan masih dapat menganbil alih fungsi yang dibutuhksn untuk belajar bicara dan belajar bahasa. Hasil penelitian neurologis sama sekali belum bias menerangkan mengenai struktur neural, sifat-sifat model LAD yang dikemukakan Chomsky dan juga belum bias menerangkan mengenai ada atau tidaknya sistem semacam itu.
Jadi menurut Chomsky sistem LAD ini mengatur tentang aturan-aturan sintaktis morfologi pada penguasaan bahasa; mekanisme ini diduga berlaku secara universal. Sesuai pendapat franscescato (1973) dapat diajukan sanggahan disini yaitu bahwa anak belajar bahasa kelilingnya dan mampu untuk beralih bahasa bila juga kelilingnya berubah. Ini berarti bahwa belajar bahasa tadi ditentukan oleh keliling. Pernyataan kedua sebagai sanggahan terhadap pendapat Chomsky adalah: bagaimana kerja mekanisme LAD pada anak yang berbahasa dua (bandingkan Francescato, h. 113 dan 114). Maka dapat dikatakan bahwa program penguasaan bahasa atau LAD yang dikemukakan Chomsky tidak bias dibuktikan secara empiris.
3.4.4 Pandangan yang empiris dan yang mendasarkan diri pada teori belajar
Pandangan ini bertitik tolak pada pendapat bahwa anak di lahirkan tidak membawa kemampuan apa-apa. Ia masih harus banyak belajar, juga belajar berbahasa yang dilakukan anak melalui imitasi, belajar model dan belajar dengan reinforsemen. Skinner (1972) memakai teori stimulus respons dalam menerangkan perkembangan bahasa, sedangkan bandura (1969) mencoba menerangkan dari sudut pandangan teori belajar sosial. Dia berpendapat bahwa anak belajar bahasa karena menirukan suatu model. Tingkah laku imitasi ini tidak mesti harus menerima reinforsemen, sebab belajar model dalam prinsipnya lepas dari reinforsemen dari luar. Meskipun pendapat ini dapat menerangkan banyak, namun belum dapat menerangkan mengapa anak pada satu saat membuat kalimat-kalimat baru yang belum penah dibuat sebelumnya dan mengapa ia membuat suara-suara baru dalam awal perkembangan bahasa yang tidak dipelajarinya melalui imitasi dari luar.
Memang teori belajar dapat memberikan pengertian mengenai peranan interaksi. Antara misalnya ibu dengan anaknya yang sedang belajar bahasa. Dari penelitian Brown, Cazden dan Bellugi (1969) didapatkan bahwa para ibu mempunyai kecendrungan untuk menerima kalimat yang salah menurut tata bahasa, asal isinya benar, artinya bila anak dapat menyatakan dengan baik apa yang ingin dikatakan nya. Sebaliknya para ibu tidak mau menerima kalimat yang sebetulnya betul menurut tata bahasa tetapi tidak betul isinya: saya minum susu atau saya makan susu. Yang terakhir disalahkan meskipun menurut tata bahasa betul.
Selanjutnya dapat nampak bahwa interaksi bahasa antara ibu dan anak banyak menentukan apakah anak dapat meluaskan kompetisi bahasanya atau tetap tinggal pada kompetensi yang relatif sederhana. Cara memberikan keterangan pada anak bila anak tadi menanyakan sesuatu sangat mempengaruhi perkembangan bahasa anak itu. Bila misalnya ibu dan anak berjalan-jalan dimuka masjid lalu anak menanyakan gedung apa itu, maka jawaban ibu dapat : “ itu rumah yang besar , kau lihat bukan” atau ”itu masjid tempat orang-orang berdo’a pada tuhan. Pada hari jum’at banyak orang datang disitu untuk sembahyang”. Dalam kedua hal anak menerima informasi, tetapi dalam keterangan yang terakhir, anak mendapatkan informasi sebegitu rupa hingga ia dapat menanyakan lebih lanjut : “ Apa itu tuhan, apa itu sembahyang”.
Satu hal lagi yang penting adalah bahwa anak belajar untuk meluaskan kalimat. Bila misalnya anak mengatakan “ saya punya jeruk” maka ibu dapat menjawab “o ya, kamu senang sekali makan jeruk bukan”. Hal ini nampaknya berpengaruh positif terhadap perluasan pemakaian bahasa.
Menurut Dale (1972) maka model yang pasif tidak memberikan keterangan bagaimana terjadinya perkembangan sintaktis itu. Dari itu makin lama diperhatikan mengenai aktivitas dan kreativitas pada perkembangan bahasa. Plaget dengan teori interaksinya menitik beratkan akan aktivitas anak, akan sikap manipulasinya dengan benda-benda. Anak bertingkah aktif dengan keliling atas dasar struktur pengertian yang sudah ada. Bergaul aktif dengan keliling ini selanjutnya memberikan pandangan baru, struktur pengertian baru lagi. Struktur pengertian ini diduga juga sangat penting dalam belajar bahasa. Ruth Weir (1962) menemukan sebagai hasil observasi terhadap anaknya bahwa anak tadi sebelum tidur masih bermain-main sebentar dan dalam waktu itu mengucapkan macam-macam kata. Misalnya “ poppi”, poppi maem”, “ndak mau maem”,ini susi”. Observasi semacam itu juga dilakukan Preyer (1983) terhadap anaknya; Scupin melihat juga hal-hal serupa pada anaknya Bubi. Jadi anak makin lama makin dapat menciptakan struktur verbal baru karena iteraksi dengan berbagai objek, karena apa yang dilihat dan dilakukan, dicobanya untuk dinyatakan dengan kata-kata.
3.4.5 Permulaan bicara : meraban (mengoceh)
Suara petama yang dilalukan anak adalah jerit tangis pada waktu dilahirkan. Tangis pertama ini berguna untuk memungkinkan anak dapat bernafas, karena mulai saat itu anak harus bernafas sendiri.
Suara-suara yang dikeluarkan anak dapat dibedakan antara suara tangis dan ocehan. Tangis menunjukkan keadaan tak senang sedangkan ocehan menunjukkan rasa senang dan kepuasan. Tangis merupakan “ appel” dan ekspresi ( dua fungsi bahasa menurut Buhler). Tangis bukan suatu gejala yang berdiri sendiri. Melainkan suatu tingkah laku refleks terhadap sesuatu karena pada satu pihak menunjukkan keadaan tidak nyaman, tetapi sekaligus juga menginginkan reaksi keliling.
Van Ginneken (1917) dalam bukunya “Roman van een kleuter” menceritakan mengenai Keesje yaitu bahwa suara-suara pertama yang dikeluarkan adalah huruf-huruf hidup atau huruf-huruf vocal. Menurut Van Ginneken maka tangis terletak pada dasr vokalisasi, ketawa pada dasar artikulasi. Gregoire (1937) mengemukakan dalam “L’apprentissage du langage” bahwa suara-suara pertama yang dikeluarkan anak adalah a,e,i,o,u. Alat fonetiknya menurut Gregoire masih sangat rudimenter. Baik Van Ginneken maupun Gregoire berpendapat bahwa bahasa mempunyai dasar fisiologis. Menurut Buhler huruf-huruf mati atau konsonan-konsonan pertama yang diucapkan adalah b, p, n, k, g, r. sering pula kita dengar bahwa anak dalam meraban mencoba-coba mengucapkan macam-macam rrr.
Suara-suara pertama yang oleh Van Ginneken dan Gregoire dianggap mempunyai dasar fisiologis-biologis tadi merupakan proses emosional, sebab rasa nyaman dan tidak nyaman tadi memang ditentukan oleh faktor-faktor fisiologis, namun mempunyai arti emosional juga. Atas dasar itulah mengeluarkan suara-suara. Meraban umumnya dilihat sebagai permulaan perkembangan bahasa yang sesungguhnya. Meraban dimulai sekitar umur 3 bulan. Buhler menyebutnya sebagai monolog ocehan. Tingkah laku ini berlangsung sampai umur 9 atau 12 bulan. Sementara anak sudah dapat mengucapkan kata-kata petama mulai dari usia 9 bulan. Maka mulailah stadium kalimat satu kata.
Meraban atau mengoceh mempunyai variasi yang lebih banyak dari pada menangis. Dengan ocehan dapat dinyatakan perasaan-perasaan positif; juga terdengar variasi banyak dalam suara-suara yang dikeluarkan. Mulai bulan ke 6 maka ocehan mempunyai fungsi komunikatif. Anak tidak sekedar mengoceh begitu saja, melainkan sekarang sudah jelas merupakan reaksi terhadap orang lain yang mencari kontak verbal dengan anak tersebut.
Kapan ocehan tadi mempunyai sifat yang komunikatif masih terdapat perbedaan faham diantara para penulis. Gesel (1954) menganggap hal tersebut terjadi pada usia 4 bulan. Penulis lain menemukan bahwa anak berhenti sebentar dengan meraban pada usia sekitar 5 bulan; kemudian mulai lagi sesudah selang beberapa waktu. Mulai saat inilah ocehan dianggap mempunyai nilai yang komunikatif. Sering masih terdapat perbedaan dalam menentukan usianya. Ada yang menentukan anak berhenti sebentar pada usia 6 bulan. Ada yang mengatakan sekitar 8 atau 9 bulan. Persamaan yang ada diantara pendapat-pendapat tersebut adalah bahwa ada waktu istirahat selama kurang lebih 4 minggu. Sesudah waktu istirahat ini mulailah waktu ocehan lagi yang mempunyai sifat komunikatif. Pada saat ocehan tadi mengandung sifat komunikatif, meskipun dalam taraf yang begitu permulaan. Maka ocehan tersebut mengandung suatu nilai pelukisan yang oleh Buhler disebut dengan “ Darstellungswert”. Jadi dalam stadium ini telah diketemukan tiga unsur atau fungsi bahasa yang dikemukakan oleh Karl Buhler.
Meskipun pada penyebaran dari bulan ke 8 sampai bulan ke 14 (Gesell pada usia 10 bulan dan Shirly pada usia 14 bulan) namun pada umumnya. Ada persamaan pendapat bahwa anak pada usia sekitar 10 bulan betul-betul dapat menirukan kata-kata. Yaitu anak mencoba untuk menirukan apa yang didengarnya. Van Genneken juga mengemukakan bahwa anak mulai menirukan kata-kata sekitar akhir tahun pertama yang disebutnya “echo-lalie”. Meskipun mungkin belum merupakan peniruan yang betul-betul namun sudah mengandung unsur-unsur peniruan yang cukup banyak.
Sekitar tahun pertama anak mengucapkan kata-kata yang pertama, kebanyakan kata “mama”:”mama” lebih dulu dapat diucapkan dari pada “papa”.
3.4.6 Kalimat satu kata dan kalimat dua kata
Satu kata yang diucapkan oleh anak harus dianggap sebagai satu kalimat penuh. Missalnya kalau anak mengatakan “kursi” maka hal itu dapat berarti : saya mau duduk dikursi, atau : mama harus duduk dikursi, atau saya minta kursi untuk naik diatasnya untuk mengambil itu. Itulah sebabnya mengapa ucapan satu kata anak ini dipandang sebagai kalimat satu kata. Kata-kata pertama anak tidak bisa dipandang sebagai penyebutan objek yang murni, mereka mempunyai isi psikologis yang bersifat intelektual, emosional dan sekaligus volisional, yaitu anak menunjukkan mau atau tidak mau akan hal sesuatu.
Telah dikemukakan dimuka bahwa pada ocehan anak kecil sudah ada foneem-foneem dalam bentuk bunyi-bunyi tertentu. Mulai kurang lebih 6 bulan maka foneem-foneem ini digabung menjadi kombinasi suara yang kompleks. Kombinasi suara ini terutama dilakukan dengan bibir dan ujung lidah. Kata-kata pertama adalah terutama kata-kata ocehan atau huruf-huruf yang diulang, misalnya ma-ma, ba-ba, da-da.
Diantara bulan ke 18 dan ke 20 (dengan kemumgkinan penyimpangan yang banyak) datinglah kalimat dua kata yang pertama. Anak mempunyai kemungkinan yang lebih banyak untuk menyatakan maksudnya dan untuk menagadakan komunikasi.
Dalam kelompok yang pertama termasuk kata-kata yang sering dipakai oleh anak, sedangkan kata-kata dari kelompok kedua tidak sering dipakai oleh anak, sedangkan kata-kata dari kelompok kedua tidak sering dipakai oleh anak. Seringkali kata-kata pivot juga mempunyai tempat yang tetap dalam kalimat dua kata. Jumlah kata-kata yang termasuk kelompok pivot tidak banyak sedangkan kelompok terbuka selalu ditambah dengan kata-kata baru.
Contoh :
Pivot terbuka
gi (pergi)
gi (pergi)
gi (pergi) Susu
Mama
oto
Yang perlu diperhatikan disini ialah bahwa kata pivot yang sama dapat berbeda-beda artinya dalam kombinasi dengan kata terbuka yang berlainan (Bloom, 1970).
“Gi susu” dapat berarti bahwa anak tidak mau minum susu lagi, kan “ Go oto” berarti otonya baru saja pergi.
Jadi yang penting disini adalah intensitas semantiknya, yaitu arti dari pada apa yang dimaksudkan. Hal ini berarti bahwa anak dalam kalimat dua kata sudah mampu untuk menyatakan berbagai maksudnya meskipun dengan alat sintaktis yang masih terbatas. Anak sudah dapat menyatakan bentuk hubungan yang bermacam-macam.
3.4.7 Kalimat tiga kata
Dari kalimat dua kata berkembanglah lambat laun kalimat tiga kata yang dalam arti struktural mula-mula masih mirip dengan kalimat dua -kata. Perubahan ini terjadi kurang lebih antara bulan ke 24 dan bulan k 30. Meskipun mula-mula masih mirip dengan bentuk kalimat dua-kata secara truktural, namun segera terjadi suatu differensiasi dalam kelompok kata-kata dimasukkan dalam klasifikasi baru. Dengan lain perkataan anak mengatur kembali kata-kata dalam bahasanya.
Mengenai proses pengaturan baru kata-kata ini belum dapat diperoleh hasil-hasil penelitian secara meluas mengenai waktu timbulnya kalimat-satu-kata. Dua- kata dan tiga-kata dan juga mengenai apa yang dikatakan oleh anak. Tetapi arti yang langsung mengenai pengaturan baru dalam kata-kata ini dan kata-kata apa yang mendapatkan tempat baru,belum banyak dapat diketahui.
Struktur sintaksis bahasa anak sekarang mendapatkan arti yang lebih besar, yaitu rangkaian kata-kata dalam kalimat serta merubahnya kata-kata. Bagi anak yang berbahasa inggris, urutan kata-kata yang lebih penting, sedangkan bagi anak yang berbahasa Rusia lebih penting berubahnya kata-kata, karena urutan kata-kata dalam bahasa rusia lebih penting berubahnya kata-kata, karena urutan kata-kata dalam bahasa rusia lebih luwes.
Meskipun dalam bahasa yang berbeda-beda ada banyak perbedaan dalam meletakkan titik berat mana yang penting, rangkaian kata-kata atau berubahnya kata-kata, dalam kenyataannya maka anak belajar dan juga menggunakan urutan kata-kata yang relatif konstan. Hal ini mungkin dapat diterangkan dari sikap orang di seliling anak yang pertama-tama mencoba untuk memudahkan struktur bahasa bagi anak. Dengan begitu anak terdorong untuk selalu memakai urutan kata-kata yang sama. Tetapi meskipun begitu tidak merupakan pedoman umum bahwa anak terutama akan menitikberatkan pada urutan kata-katanya. Dale (1972) menemukan bahwa ada anak yang memakai urutan kata-kata yang sangat bebas, tetapi disamping itu juga belum menggunakan perubahan kata-kata.
Pada umumnya dapat dikemukakan bahwa dalam belajar bahasa anak memperhatikan kedudukan kata dalam kalimat serta penerapan aturan tata bahasanya. Tetapi disamping itu perlu pula diingat bahwa kreativitas anak juga memegang peranan penting dalam konstruksi kalimat-kalimat. Hal ini tidak diketemukan dalam bahasa orang dewasa. Kreativitas dalam bahasa anak ini mungkin dapat diterangkan dengan adanya beberapa proses seperti dikemukakan oleh Piaget, yaitu proses asimilasi dan akomodasi. Misalnya anak selalu mencoba untuk mengubah pengertiannya sendiri guna memberikan dimensi baru pada realitas.
Dibawah ini dikemukakan gambar tinjauan umum mengenai perkembangan kekayaan bahasa anak selama 7 tahun yang pertama.
Gambar 22. Kekayaan bahasa rata-rata pada berbagai tingkat usia. Gambar ini diambil berdasarkan hasil penelitian terhadap 10 kelompok anak di Amerika ( Developmental Psychology Today, 1971, h. 173).
Menurut Schaerlaekens (1977) maka periode kalimat satu kata disebut pra-lingual, kemudian dating periode lingual-awal dar5i 1 sampai kurang lebih 2 ½ tahun datanglah periode diferensiasi: periode kalimat tiga kata dengan bertambahnya diferensiasi pada yang pertama ini sangat penting dan sangat berguna bagi siapa yang ingin memperdalam dalam perkembangan bahasa.
Penelitian yang dilakukan oleh Mar,at di Kotamadya Bandung terhadap 30 anak balita mengenai perkembangan bahasa menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia juga mengikuti tingkatan perkembangan bahasa seperti tersebut di atas, yaitu pada periode pra-lingual lingual-awal menjadi kalimat dua-kata. Pada periode diferensiasi terbentuk kalimat tiga-kata (S. Mar,at, 1973).
Schaerlaekens menciptakan istilah baru yaitu “psikolinguistik perkembangan”. Sayangnya tidak dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan perkembangan. Dapat diduga bahwa perkembangan dapat dipandang sebagai proses pemasakan berhubung pernyataan-pernyataan seperti: “Penguasaan bahan pertama sukar dipelajari sebagai sesuatu hal yang lepas dari perkembangan kognitif anak, dari perkembangan motoriknya, dari pemasakan emosional dan sosialnya dan dari seluruh dunia penghayatannya”. Dan kemudian “jadi perkembangan bahasa serta perkembangan emosional dan sosial mempunyai hubungan yang sangat erat dan saling mempengaruhi satu sama lain” (h.6). timbullah dua pertanyaan : dimana letak perbedaan antara psikologi perkembangan dan psikolinguistik perkembangan dalam pendapat yang begitu luas seperti itu? Apakah bahasa itu juga begitu mutlak untuk perkembangan keperibadian yang normal bila mengingat penelitian-penelitian Furth pada orang-orang tuli yang begitu menyakinkan? (Furth, 1966; Furth & Wachs, 1974).
Dalam disertasinya Van Geert (1975) telah menganalisis hamper dua ribu keadaan bahasa hasil observasi longitudinal berdasarkan teori perkembangan bahasa yang kognitif. Menurut Van Geert maka studi mengenai perkembangan bahasa harus bertitik tolak dri relasi antara dua yang dipersepsi dengan bahasa. Satu-satunya kenyataan yang dihayati baik oleh anak maupun orang deawasa adalah dunia yang dapat dipersepsi oleh keduanya.
Perlu ditambahkan disini bahwa karena kematian P.J.A calon yang mendadak pada tahun1973 banyak data monografi mengenai perkembangan bahasa tidak selesai dikerjakan.
3.4.8 Penelitian mengenai kecakapan berbahasa
Lepas dari penelitian-penelitian lama yang dilakukan oleh Stern, Buhier dan lain-lain yang berujud observasi mengenai bahasa anak, sekarang terdapat alat-alat baru untuk menyelidiki kecakapan bahasa pada anak. Misalnya sekarang ada kemungkinan untuk menyelidikiseberapa jauh anak mapu untuk menirukan bahasa orang dewasa. Di sini harus di bedakan adanya dua macam peniruan:
1. Peniruan spontan bahasa orang lain, biasanya bahasa orang tua;
2. Peniruan yang dilakukan anak sesudah anak menerima tugas untuk melakukan itu.
Bila anak menirukan secara spontan maka kalimat yang ditirukan itu diulang kembali dengan tata bahasa anak sendiri. Imitasi spontan hamper tidak berbeda dengan penggunaan bahasa oleh anak secara bebas. Dari itu dapat diadakan pengukuran batas-batas kecakapan aanak untuk memproduksi kata-kata. Dengan menyuruh anak untuk memproduksi kata-kata dapat diketahui sejauh mana anak mengerti bahasa. Suatu tekhik untuk mengukur ini dikembangkan oleh Fraser, Bluggi dan Brown (lihat Dale, 1972) yaitu ICP (Imitation Comprehension Production test). Prosedurnya adalah sebagai berikut: anak dihadapkan dengan dua macam bentuk tata bahasa yang bertentangan, misalnya bentuk kalimat aktif dan pasif. Yang satu: “anak makan sate” dan yang lain “satetelah habis dimakan anak”. Sesudah itu anak di tunjukkan gambar-gambar yang sesuai dengan dua macam bentuk kalimat tersebut, misalnya gambar anak duduk sedang makan sate dan yang satu anak duduk dibelakang meja dan diats meja ada piring bekas tempat sate dengan tusuk-tusuk sate. Anak harus menunjukkan gambar yang cocok dengan kalimat yang diucapkan peneliti. Kecakapan anak untuk menunjuk gambar yang tepat memperlihatkan sampai dimana pengertian anak akan kalimat-kalimat tersebut (Comperhension). Pada akhir tes anak sendiri harus membuat kalimat-kalimat pada gambar-gambar yang telah dikenal itu (produktion).
Hasil umum mengenai tes semacam itu adalah bahwa anak lebih pandai untuk mengadakan imitasi daripada mengerti kalimat dan bahwa kecakapan untuk mengerti lebih tinggi daripada kecakapan untuk memproduksi kalimat-kalimat sendiri.
Perlu dikemukakan disini bahwa tes semacam itu hanya mengukap hal-hal yang kontras dalam tata bahasa yang juga masih diperjelas oleh gambar-gambar. Disini dapat pula dikacau anatara pengetahuan bahasa dan kopetensi (kemampuan) bahasa. Penelitian menegai bahasa yang sekarang, hampir tidak atau tidak dapat menjawab pertanyaan mengenai pengetahuan bahasa anak.
Penelitian bahasa pada umumnya dibedakan antara :
a. Perkembangan fonologis – atau penguasaan sistemsuara/bunyi.
b. Perkembangan morfologis – atau penguasaan pembentukan kata-kata.
c. Perkembangan sintaksis – atau penguasaan tat bahasa.
d. Perkembangan leksikal – penguasaan dan perluasan kekayaan kata-kata serta pengetahuan mengenai arti kata-kata.
e. Perkembangan semantic – atau pengusaan arti bahasa.
bahasa anak tidak dapat memberikan pengertian akan perkembangan semantisnya. Hal ini mempunyai beberapa macam alasan:
1. Bila kita mengetahui sebuah kata baru dalam bahasa anak. Hal ini tidak memberikan pengertian apa-apa mengenai arti kata itu bagi anak.
2. Kekayaan kata-kata hanya merupakan satu daftar kata-kata saja karena baru relasinya antara arti kata-kata itu menentukan arti kalimatnya.
3. Penelitian mengenai kekayaan kata-kata mengenai proses yang dapat merubah arti kata-kata menjadi arti kalimat.
Hambatan yang paling besar dalam penelitian mengenai perkembangan semantic terletak pada kenyataan bahwa kompetensi sematis bahasa orang dewasa sampai sekarang hamper tidak dimengerti, hingga belum ada titik referensi yang betul-betul untuk meneliti perkembangan semantic. Sekarang ada dua teori yang agak maju dalam hubungan dengan penelitiansemantis, yaitu teori relasi (referential theory) dan teori tingkah laku (behavioral theory).
1. The referential theory simple states that the meaning of a word is tis referent. In other words, words are symbols that stand for something other than themselves, something in the world, namely their referents (Dale, 1972, h. 132). Teori relasi ini hamper tidak bisa menerangkan bagaimana seorang pelajar kata-kata dan arti kata-kata itu. Kata-kata tidak tentu mempunyai arti yang sama, meskipun ada dalam relasi yang sama. “Yogyakarta” dan “Universitas” misalnya dapat selalu ada dalam relasi yang berlain-linan. Juga pada banyak kata-kata lain, seperti: “tetapi”, “karena”, “pada”, sama sekali tidak jelas bentuk relasinya. Disamping itu bentuk relasi atau maksud yang ada dalam suatu kata tertentu juga dapat diinterpretasi macam-macam oleh orang yang berlain-lainan.
2. Teori tingkah laku berpendapat bahwa arti suatu kata itu ditentukan atau tergantung daripada reaksi orang yang mendengar kata tersebut. Seringkali juga situasinya pada waktu mengatakan itu termasuk dalam cara menerangkan teori tingkah laku. Teori ini tidak hanya digunakan untuk menerangkan sesuatu kata saja , melainkan juga untuk menerangkan keseluruhan kalimatnya. Teori tingkah laku ini sering mendapatkan kritik karena kata-kata dan kalimat-kalimat sering tidak menimbulkan reaksi apa-apa. Terhadap kritik ini teori tadi mengatakan bahwa arti suatu kalimat itu justru bukan reaksi yang hanya nyata tersebut, melainkan kecenderungannya untuk melakukan reaksi yang ditimbulkan oleh kata tersebut. Jadi bukan reaksinya yang nyata itu yang penting, melainkan apa yang ditimbulkan oleh ucapan itu.
Teori tingkah laku dan teori relasi memungkinkan untuk menghubungkan keterangan mengenai atrti kata-kata dan kalmia-kalimat dengan teori-teori psilkologi yang klasik, misalnya karena mempelajari arti kata-kata disisni ingin diterangkan melalui model kondisioning klasik.
Dalam diskusi mengenai arti, yaitu isi semantic kata-kata, maka Bolinger (1968) mengusulkan untuk memandang arti sebagai suatu sistem yang dapat mengatur dan menstruktur kenyataan. Dengan perkataan lain arti kata-kata dapat membantu untuk mengatur dunia secara semantic. Apa yang diartikan “kenyataan” atau “dunia” disini adalah semua yang dapat menjadi objek pembicaraan. Cara menstruktur kenyataan oleh arti tadi merupakan hal yang sangat disengaja dan sangat terikat dengan bahasa individual.
Dalam huungan ini misalnya Wener orang barat ingin menemukan bahwa dalam bahasa bangsa Lap mempunyai lebih banyak kemungkinan bahasa untuk mengadakan differensiasi. Bahasa Belanda juga mempunyai beberapa nama untuk menyebutkan hujan yang berbeda-beda dan bahasa Inggris mempunyai berbagai nama untuk kabut. Menurut Werner orang barat ingin menemukan interpretasi kausal melalui bahasa. Yang dicari adalah hal yang umum dan hukum-hukumnya. Bangsa yang sederhana ingin menirukan kenyataan. Mereka lebih menginginkan yang spesifik daripada yang umum.
Kenyataan kata-kata menganalisa kenyataan dengan cara yang sangat spesifik. Hal ini membuthkan observasi yang sangat cermat untuk mengetahui dalma konteks linguistic apa, atau konteks bukan linguistic apa seseorang memakai kata-katanya itu dan bagaimana pengharapannya orang lain mengerti kata-katanya.
Sebagaian besar informasi mengenai perkembangan semantic didapatkan tidak dengan eksperimen-eksperimen yang dikontrol, melainkan dating dari observasi-observasi pada psikolog dan para ahli linguistic mengenai anak-anak mereka sendiri. Bahkan baru kata pertama saja yang diucapkan anak, kebanyakan papa atau mama, menunjukkan dengan jelas perbedaan arti bagi anak atau orang dewasa. Kalau kata papa bagi anak menunjukkan person yang ada, maka kata mama digunakan untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya atau untuk memanggil orang tuanya yang tidak ada (tidak nampak).
Juga dalam perkembangan bahasa yang kemudian terdapat perbedaan yang besar dalam arti kata-kata pada hakekatnya. Merupan maslah informasi pengertian. Dalam hubungan ini ada dua macam kesalahan yaitu: anak menggunakan kata-kata pada kaadaan yang tidak tepat, atau ia tidak mampu untuk menggukan kata tertentu pada suatu situasi yang sama.
3.4.10 Mulai Kri Buhler sampai sekarang
Sudah diketahui dimuka bahwa Kari Buhler dalam teori bahasanya memandang semantikmsebagai inti bahasa. Bahasa bukan suatu gejala yang terasing, bahasa merupakan suatu dwitunggal. Arti yang ada dalam suatu kata tergantung daripada konteksnya. Perkembangan bahasa tak dapat dilepaskan dari konteks sosial dan perkembangan kognitifnya.
Dalam stadium sensori-motorik anak juga sudah mempunyai pengertian akan objek-objek. Meskipun belum dapat bicara, tetapi ia sudah dapat mengadakan manipulasi, ia sudah mempunyai gambaran kenyataan dalam dirinya. Perkembangan kognitif mempunyai hubungan yang erat dengan perkembangan bahasa. Akar perkembangan bahasa ada pada stadium sensori motorik, yaitu pada usia 18 bulan pertama. Juga di sini terdapat persesuaian antara K. Bohler dan Piaget. Buhler mengemukakan mengenai kenikmatan berfungsi (Funktion lust) pada anak, yaitu kecendrungan untuk senantiasa mengulang suatu perbuatan atau tingkah laku. Seorang anak yang baru belajar membuka pintu atau kotak, akan dengan senang mengulang-ulang perbuatan itu kembali. Kenikmatan ini berfungsi ini yang mempunyai dasar pengulangan, mempunyai persamaan dengan apa yang disebut Piaget reaksi-reaksi sirkuler.
Menurut Piaget maka dalam stadium sensori motorik akan terlihat pada anak reaksi sirkuler yang primer, sekunder dan tersier. Reaki-reaksi tadi dinamakan sirkuler karena tingkah laku tadi mengandung pengulangannya sendiri. Reaksi sirkuler yang primer (1-4 bulan) tertuju pada badan sendiri (anak bermain-main dengan jari-jarinya dan menemukan bahwa ia dapat membuka kotak atau tas yang diulang-ulang terus). Reaksi sirkuler yang tercier (mulai + kurang 11-18 bulan) berhubung denga tingkah laku mencari dan menemukan secara aktif dan terarah; dalam pengalaman baru dan pengulangan, melainkan suatu dorongan untuk mengeksplorasi dan memanipulasi objek-objek baru dalam lingkungan. Karena di sini pengulangan merupakan aspek yang pokok, maka reaksi sirkuler dan kenikmatan berfungsi mempunyai banyak persamaan (lihat Tabel 6, hal. 213-214).
Suatu hal yang penting yaitu bahwa Buhler menandaskan bahwa semantic selalu tertanam dalam sistem sosial. Hal ini sekarang merupakan objek permasalahan para ahli sosio-linguistik. Para ahli sosio-longuistik beranggapan bahwa setiap bahasa mempunyai suatu konteks sosial dan tidak dapat diteliti lepas daripada konteks sosial (bandingkan Labov, 1970).
3.5 Anak dalam keluarga
Pada waktu sekarang maka hubungan keluarga merupakan suatu gejala yang normal; suatu keluarga dengan dua orang tua dan anak (anak). Dalam masyarakat Indonesia masih ada kemungkinan jumlah keluarga ditambah dengan nenek, adik, atau bibi, paman atau keponakan-keponakan menurut situasinya, namun inti keluarga tetap terdiri daripada orang tua dan anak. Gejala semacam ini yaitu gejala adanya kelompok dengan ikatan yang erat ini, yang disebut kelompok primer, tidak merupakan hal yang sejak dulu sudah ada. Di muka telah dikemukakan bahwa sebelum abad ke 17 , anak dipandang sebagai orang dewasa dalam bentuk kecil. Akibatnya ialah bahwa anak dalam banyak hal diperlakukan seperti orang dewasa. Anak ikut aktif dalam kehidupan orang dewasa. Lugo dan Hershey (1974), h. 25) menunjukkan bahwa bagi anak merupakan suatu hal yang semestinya bahwa mereka ikut dalam tanggung jawab sehari-hari orang dewasa. Merupakan hal yang biasa bahwa anak ikut dalam aktivitas-aktivitas dagang, kehidupan sosial dan dan kerajinan. Anak betul-betul merupakan orang dewasa dalam bentuk kecil. Karean anak terlalu awal dan terlalu intensif ikut dalam kehidupan sosial, kehidupan dagang maupun mencari nafkah hidup, maka hampir tidak ada waktu untuk membuat hubungan seperti yang dikenal sekarang.
Aries (1962) mengemukakan suatu tinjauan historis mengenai relasi antara anak-anak dan keluarga yang lebih berhubungan dengan lingkungan sosial yang lebih “rendah”. Relasi tersebut disbanding dengan keadaan sekarang dapat dipandang sebagai birikut:
Abad ke 17: anak dipercayakan pada orang lain, mereka dimasukkan ke asrama-asrama yang biasanya mempunyai sekolah-sekolahnya sendiri.
Sekarang anak mempunyai kedudukan yang penting dalam keluarga dan pergi belajar kesekolah biasa.
Abad ke 18: anak laki-laki tertua sangat dinomor satukan. Dia merupan jaminanwarisan keluarga.
Sekarang semua anak mempunyai hak yang sama mereka semua mendapatkan kasih saying dan berhak mendapatkan pendidikan yang sama.
Belum lama juga anak laki-laki, terutama yang tertua , paling tidak di jawa juga memperoleh prioritas pendidikan yang lebih dari pada saudara-saudara wanitanya. Hal ini disebabkan oleh pendapat bahwa laki-lakilah yang harus mencari nafkah, sedangkan wanita sesudah kawin akan ikut suami.
Pepatah jawa : “ anak lanang mikir dhuwur, mendmem jero” ( anak laki-laki akan mengusung tinggi dan menanam dalam) serta “ wanita suwarga nunut, neraka katut” ( kesurga ikut , keneraka terikut) merupakan ucapan- ucapan yang terkenal dalam masyarakat jawa yang juga untuk sebagai ikut mengambil peranan sebagai pendorong emansipasi wanita. Pepatah-pepatah tersebut, terutama yank kedua, sekarang sering diucapkan senda gurau saja.
Abad ke 18: kehidupan keluarga serta aktivitas-aktivitasnya dipusatkan pada kehidupan bersama dalam masyarakat.
Sekarang dimasyarakat eropa terutama kepentingan keluarga yang paling menonjol. Titik berat diletakkan pada kesejahteraan anak. Di Indonesia meskipun kepentingan anak sebagai individu dipentingkan tetapi juga kegunaan mereka dalam membangun masyarakat diperhatikan.
Abad ke 18 dan ke 19 : pendidikan formal bagi anak wanita sangat langka.
Sekarang pendidikan formal bagi anak wanita merupakan suatu hal yang biasa dan umum, meskipun masih ada sedikit keterbelakangan terhadap anak laki-laki, tetapi hal itu segara dapat dikejar lagi.
Apa yang dikemukakan diatas merupakan suatu gambaran tipologis mengenai kehidupan keluarga. Sudah barang tentu ada bentuk-bentuk kehidupan yang lain sesuai dengan sifat kultur yang ada. Tetapi apa yang dapat dilihat dengan jelas yaitu adanya pergeseran total dalam pandangan terhadap anak. Dahulu anak merupakan orang dewasa dalam banyak hal; sekarang kehidupan anak dilihat sebagai suatu fase tersendiri, suatu fase hidup yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya. Kekhususan ini tentu juga membawa masalah-masalahnya sendiri. Masalah-masalah yang menyebabkan timbulnya “generation gap” dan pandangan bahwa anak sebagai orang yang “belum dewasa” belum pantas untuk di “sejajarkan” dengan orang dewasa. Bagaimana juga hal yang penting yang perlu ditandaskan ialah bahwa anak sekarang merupakan bagian dari keluarga yang memberikan pendidikan padanya, memberikan norma-norma padanya,yang memberikan kesempatan pad anak untuk belajar tingkah laku dan motif-motif yang perlu untuk berkembang dan berfungsi baik dalam kehidupan bersama.
Shorter (1975) dalam analisis kultur-historis menunjukkan bahwa fungsi sosialisasai keluarga masih dibutuhkan oleh anak kecil dan anak pada masa sekolah: mulai masa remaja maka sosialisasi makin banyak dilakukan oleh “ peer group” atau teman sebay. Pengaruh peer group ini mungkin lebih nampak pada waktu sekarang dari pada waktu dulu, meskipun hal ini tidak berlaku bagi semua aspek tingkah laku. Hartup (1977) mengemukakan bahwa pada orang tua masih mempunyai lebih banyak pengaruh dalam hal-hal politik dan pekerjaan dari pada teman-teman sebaya (lihat juga Monks, 1981).
Keadaan di Indonesia menunjukkan gambaran yang tidak sama. Pada para orang tua yang berpendidikan misalnya di kota-kota wibawa orang tua dalam mengarahkan anak remaja masih dapat berlaku. Hal semacam itu mungkin tidak dijumpai pada para orang tua yang tidak berpendidikan. Misalnya di desa-desa dapat terjadi apa yang disebut “ transfer of authority” artinya bahwa sekarang justru anak remajalah yang menjadi otoritas orang tua dalam arti merekalah yang memberikan pengertian dan nasehat pada orang tuanya karena mereka sekarang lebih pandai dari pada orng tuanya. Mereka telah memperoleh pendidikan formal yang memungkinkan mereka dapat mengerti keadaan lebih baik, mengerti peraturan-peraturan yang berlaku, dan para orang tua sering kali dengan bangga dan senang menyerahkan dirinya untuk di”bimbing” oleh anak-anak merekayang telah menjadi “pandai” tadi. Hal ini sama sekali tidak berarti bahwa anak (remaja atau dewasa awal) tidak menaruh hormat pada orang tuanya , hanya mereka sekarang ada dalam pihak yang lebih “pandai” dan diharapkan dapat memberikan pengertian pada orang tuanya.
Jelas dapat dilihat dibandung dengan dulu, sekarang pada umumnya anak lebih mempunyai kesempatan untuk mengembangkan sifat-sifatnya dan individualitasnya sendiri. Anak mempunyai hak untuk mewujudkan dirinya. Tetapi keadan yang ada sekarang menimbulkan pertanyaan apakah anak betul-betul dapat berkembang seluas-luasnya. Cara pendidikan yang refresif misalnya, yaitu cara mendidik anak dengan banyak memberikan tugas-tugas dan tuntutan-tuntutan yang dianggap perlu bagi anak (yang belum dewasa) tadi, tidak menguntungkan karena tidak bertitik tolak pada individualitas anak hingga lalu bersifat regresif (menekan).
Bagaimana kita akan meninjau cara pendidikan yang demokratis dan berintegrasi social (Tausch & Tausch, 1967); 1980) yang jelas yaitu bahwa anak sekarang mempunyai lebih banyak kemungkinan untuk mewujudkan dirinya, untuk melalui proses emansipasi, menemukan tempatnya yang sesuai, dengan pengetahuan dan kemampuan-kemampuannya. Bahwa dalam keadaan tersebut masih ada pertentangan-pertentangan ataupun hambatan-hambatan memang tidak dapat sama sekali dihindarkan dari suatu kehidupan bersama yang serba bahagia, serba baik dan serba positif, namun dalam kenyataannya kepentingan individu tidak selalu sesuai dengan kepentingan masyarakat. Berhubung dengan itulah maka disamping memberikan kesempatan bagi berkembangnya individualitas, penting pula untuk mengembangkan sikap dan sifat sosialnya sehingga anak tidak berkembang menjadi orang yang individualitas saja. Perpaduan antara sifat individu dan sifat social dapat menjamin hidup yang bahagia sebagai individu yang hidup dalam kehidupan bersama. Keluarga dengan keterbatasan dan kemungkinannya dapat merupakan tantangan dari kesempatan realisasi bagi anak. Diharapkan bahwa dua hal ini dapat saling mengisi dan bermanfaat bagi perkembangan anak yang optimal.
3.6 Rangkuman
Dalam periode akhir tahun pertama sampai dengan tahun keempat banyak sekali kemajuan yang dicapai anak dalam perkembangan motorik. Social dan kognitif. Bertambahnya kemampuan motorik membuat lingkup gerak anak semakin luas dan dengan demikian menambah luas lingkup hidupnya. Belajar tingkah laku anak bertambah melalui peniruan model keluarga maupun teman sebaya dan memperoleh dimensi-dimensi baru melalui dunia permainan. Begitu juga kemampuan bertambah dalam ambil alih peran, yaitu dapat menempatkan diri dalam perasaan , motif, dan pikiran orang lain. Stimulasi yang senilai dalam hal ini dapat lebih menambah lagi kemampuan tersebut. Di samping permainan, maka bahasa serta ganbaran sebagai bentuk pernyataan dan bentuk komunikasi menduduki tempat yang sentral dalam periode ini. Pada usia empat tahun anak sudah dapat menjadi pasangan yang aktif dan sudah dapat mengerti dan memberikan pengaruh terhadap aturan hidup sehari-hari.
Sedangkan didalam buku psikologi perkembangan, disini di sebutkan bahwa :
• Perkembangan bahasa anak dibedakan atas empat masa yaitu :
Masa pertama
Kata-kata pertama yang diucapkan oleh anak, adalah anak kelanjutan dari meraba. Ini dapat kita lihat dengan jelas, jika kita perhatikan bahwa diantara kata-kata itu terdapat beberapa kata y6ang diucapkan juga oleh anak dari bahasa apapun di dunia ini.misalnya kata- kata yang diucapkan oleh anak terhadap ibu dan ayahnya.
Masa kedua
Pada masa ini dengan kecakapannya berjalan ia makin banyak melihat sesuatu dan ingin mengetahui namanya. Oleh karena itu selalu menanyakan nama benda-benda itu, oleh karena itu masa ini kita sebut dengan masa apa itu.
Pada masa ini, terjadi kesukaran berkata, disebabkan oleh karena perkembangan kemauan dan keinginannya lebih cepat dari pada kekayaan bahasanya, sehingga sebenarnya ia akan bercerita tetapi karena perbendaharaan kata-katanya belum mencukupi, maka ia melengkapinya dengan gerakan-gerakan tangan dan kakinya.
Masa ketiga
Pada masa ini anak telah mulai tampak makin sempurna dalam menyusun kata-katanya. Ia sudah menggunakan awalan dan akhiran, sekalipun belum sempurna seperti yang dikatakan orang dewasa.
Masa keempat (2 ;6- seterusnya)
Pada masa ini keinginan anak untuk mengatahui segala sesuatu mulai bertambah-tambah. Karena itu pertayaan pun mulai berkepanjangan.
Sedangkan didalam buku psikologi perkembangan , perkembangan anak dibagi atas :
1. Perkembangan motorik
Ciri –ciri perkembangan motorik yaitu :
Geraakan-gerakanya tidak disadari, tidak sengaja dan dan tanpaa arah.
Gerakan anak-ank itu tidak khas.
Gerakan-gerakan anak itu dilakukan dengan masal.
Gerakan gerakan anak itu disertai gerakan-gerakan lain, yang sebenarnya tidak diperlukan.
2. Perkembangan bahasa
3. Perkembangan permainan
4. Perkembangan menggambar
Dan dibuku yang kedua psikologi perkembangan dikatakan bahwa fase-fase perkembangan anak dibagi atas:
Dalam hal ini, J. Byl mengetengahkan pendapatnya sebagai berikut :
1. fase orok
2. fase menyusuai
3. fase pencoba
4. fase penentang
5. fase bermain
6. fase anak sekolah
7. fase pueral
8. fase pubertas
didalam buku yang berjudul ilmu jiwa anak dan masa perkembangan, membagi masa 9 tahun ini menjadi stdium sebagai berikut :
Stadium : 1- 8 tahun
Stadium pertama disebut realisme fantastic. Setelah anak selesai dengan sifat serba menentang yang I, ia mulai melepaskan diri dari lingkungan keluarga. Ia mulai mengenal perbedaan dirinya dengan orang lain diantra dirinya dengan benda- benda disekitarnya.
Stadium kedua ( Realisme naif )
Ciri stadium ini ialah keserasian bersekolah yang lebih besar seperti tampak pada murid kelas dua. Ia lebih mudah dan lebih giat mengikuti pelajaran. Dengan sendirinya ia mencurahkan perhatiannya kepada hal-hal yang membutuhkan akalnya.
Stadium ketiga, disebut realisme Refleksif
Pada saat ini anak lebih senang berada dialam bebas daripada disebuah gedung yang dibatasi oleh pagar-pagar. Anak- anak sekitar kelas 4 dan 5 senang sekali berdamawisata atau bermain-main dihalaman sekolah.
Tugas dan pertanyan
1. Permanensi objek merupakan tanda kemajuan yang besar dalam perkembangan anak. Pada usia berapa terjadinya itu dan tanda-tanda apa hal tersebut nampak dalam tingkah laku anak?
2. Uraikan secara singkat mengenai perkembangan psikomotorik anak dan apa yang dimaksudkan dengan “Gestaltwan del”? (Zeller, 1936).
3. Apa yang dimaksudkan dengan egosentrisme dan apakah hal itu hanya dijumpai pada anak kecil ataukah juga diketemukan pada tahap usia yang lain?.
4. Ambil alih peran mempunyai peranan yang penting dalam perkembangan anak antara satu dan empat tahun. Apakah yang disebut ambil alih peran dan dapatkah hal itu distimulasi?
5. Periode pembangkangan pernah dipandang sebagai ha sesuatu yang mutlak harus ada dalam perkembangan anak untuk melatih fungsi kehendak. Hasil penelitian yang lebih kemudian tidak mendukung pandangan tersebut. Jelaskan hasil penelitian Kemmler.
6. Bermain dipandang sebagai aktivitas anak yang wajar. Jelaskan mengenai kegunaan dan bentuk-bentuk permainan.
7. Perkembangan gambaran anak berjalan dari pembuatan coret-coret ke arah gambar-gambar figurative. Ceritakan proses ini.
8. Dalam proses perkembagan bahasa tersebut dua pendekatan: pendekatan nativistis dan teori belajar. Perbedaan apa yang ada antara dua pendekatan itu?
9. Antara tahun pertama dan keempat kekayaan bahasa anak mencapai 1.500 kata. Jelaskan proses pengembangannya.
10. Apa yang dimaksudkan dengan perkembangan semantik?
Bab 4
ANAK PRA-SEKOLAH DAN ANAK SEKOLAH
4.1 Perkembangan jasmani dan psiko-motorik
Sampai dengan Gestaltwandel pertama (Zeller, 1952; Hetzer, 1961) sekitar 6 tahun terlihat bahwa badan anak bagian atas lebih lamban berkembangannya daripada badan bagian bawah. Anggota-anggota badan masih relative pendek, kepalarelatif besar, perutnya makin besar dan ada gigi susu.
Sesudah Gestalwandel pertama bila anak sudah mencapai bentuk anak sekolah maka ia lebih menyerupai bentuk orang dewasa daripada misalnya anak umur 2 tahun. Bertambahnya berat badan sebagian besar merupakan akibat bertambahnya jaringan urat daging. Dalam keseluruhannya maka keadaan anak menjadi lebih stabil dan lebih kuat.
Sebagai akibat bertambahnya diferensiasi dan myelinisasi (myeline= suatu zat seperti lemak dalam sumsum tulang belakang dan urat syaraf) dalam susunan urat syaraf maka kecakapan-kecakapan motorik bertambah banyak. Pada umur 5 tahun keseimbangan badan anak sudah berkembang cukup baik, anak sudah pandai berjalan, dapat naik tangga, meloncat dari tanah dengan kuda kakinya bersama-sama dan sering juga sudah dapat bersepeda.
Sesudah Gestaltwandel pertama, jadi sesudah usia 6 tahun, pertumbuhan badan menjadi agak lambat, daripada waktu-waktu sebelumnya. Sampai umur 12 tahunanak bertambah panjang 5-6 cm tiap tahunnya. Sampai umur 10 tahun dapat di lihat sesudah itumaka wanita lebih unggul dalam panjang badan, tetapi sesudah + kurang 15 tahun anak laki-laki mengejarnya dan tetap unggul daripada anak wanita.
Berat badan anak wanita bertambah lebih banyak daripada panjang badannya. Pada akhir periode ini diketemukan lebih banyak perbedaan individual diantara anak-anak: sekarang Nampak lebih banyak perbedaan fisik yang khas daripada dulu.
Seperti telah diketemukan di muka maka pada permulaan masa sekolah, jadi sekitar 6 tahun, kaki dan tangan menjadi lebih panjang, dada dan panggul makin besar. Dalam hal ini hamper tidak ada perbedaan-perbedaan karena jenis seks. Pada umunya ada relasi yang tetap dalam perkembangan tulang dan jaringan. Dengan terus bertambahnya berat dan kekuatan badan dapat diharapkan bahwa kemapuan seperti lari, meloncat dan melempar akan bertambah dalam masa ini. Dari itu juga dapat nampak anak makin bertambah cepat larinya. Juga mereka makin pandai meloncat dengan bertambah usia. Dalam hal ini sekali lagi ada perbedaan pada masing-masing anak.
Pada umur 6 tahun keseimbangan badannya relative berkembang baik, anak makin dapat menjaga keseimbangan badannya (paling senang berjalan di atas dinding, pagar dan sebagainya). Penguasaan badan seperti membongkok, melakukan macam-macam latihan senam serta aktivitas olah raga berkembang dalam masa anak sekolah. Juga berkembang koordinasi antara mata dan tangan (visio-motorik) yang dibutuhkan untuk membidik, menyepak, melempar dan menagkap.
Kekuatan badan dan kekuatan tangan pada anak laki-laki bertambah dengan pesat antara usia 6 dan 12 tahun. Dalam masa ini juga ada perubahan dalam sifat dan frekuensi motorik kasar dan halus. Ternyata bahwa kecakapan motorik ini makin disesuaikan dengan “kelulusan” lingkungan. Gerakan motoriksekarang makin tergantung daripada aturan formal dan aturan yang telah ditentukandan bersifat kurang spontan. Gerakan yang sangat banyakdilakukan oleh anak makin berkurang pada akhir masa ini.
Ha yang perlu dibicarakan adalah gejala untuk badan yang mempunyai hubungan yang langsung dengan beberapa sifat kepribadian tertentu. Sheldon mempunyai pembagian kedalam 3 macam tipe, yaitu tipe endomorph (pendek dan gemuk), ektomorf (panjang dan kurus) dan mesomorf (urat-urat daging kuat dengan proporsi yang baik). Verdonck (1972) berusaha untuk membenarkan tipologi konstitusi tubuh Sheildon tersebut dengan penelitian yang mendalam terhadap anak-anak yang ada dalam yayasan-yayasan.
Verdonck menemukan adanya hubungan antara tipe konstitusi tubuh tadi dengan tingkah laku tertentu. Ia menunjukkan adanya hubungan sebab akibat langsung antara bentuk tubuh dan tingkah laku tangan. Dia dapat menunjukkan bahwa tipe-tipe tersebut mempunyai pre-disposisi untuk belajar tingkah laku-tingkah laku tertentu. Jadi dapat disimpulkan di sini bahwa suatu tipe tertentu tadi tidak langsung berhubungan dengan suatu tingkah laku, melainkan mempunyai lebih banyak kemungkinan untuk mengembangkan beberapa bentuk tingkah lakutertentu. Hal tersebut dianggap tidak hanya dapat terjadi pada orang dewasa, melainkan sudah memegang peranan penting dalam masa kanak-kanak.
4.2 Emansipasi karena pendidikan formal
Sejak lama criteria bagi anak untuk dapat diterima di sekolah dasar adalah “kemasakan”. Bagi Indonesia criteria umur memegang peranan penting. Anak baru bisa diterima bila ia sudah mencapai umur 7 tahun. Criteria umur ini sebetulnya mencakup criteria lain yang juga berhubungan dengan kemasakan, yaitu:
1. Anak harus dapat kerjasama dalam kelompok dengan anak-anak lain, yaitu anak tidak boleh masih tergantung pada ibunya, melainkan harus dapat menyesuaikan diri dengan kelompok teman-teman sebaya.
2. Anak harusa dapat mengamati secara analitis. Ia harus sudah dapat mengenal bagian-bagian dari keseluruhan dan dapat menyatukan kembali bagian-bagian tersebut. Jadi di sini anak harus sudah mempunyai kemampuan memisah-misahkan (lihat Kern, 1954).
3. Anak secara jasmaniah harus sudah mencapai bentuk anak sekolah. Petunjuk untuk ini adalah kalau sudah dapat memegang telinga kirinya dengan tangan kanan melaui atas kepala, atau anak kidal maka tangan kiri harus dapat mencapai telinga kanan melalui kepala. Inilah yang disebut ukuran Filipino (di Nederland hal ini sampai sekarang masih merupakan ukuran apakah anak sudah “masak sekolah” atau belum).
Kriteria apapun yang akan dipilih namun selalu ada sesuatu yang bersifat “sembarangan”. Kalau dilihat kepandaian saja, sebetulnya sangat mungkin kalau anak-anak umur 3 tahun masuk sekolah asal kriterianya diubah dan didaktiknya disesuaikan. Misalnya teknik membaca sudah dapat diajarkan pada anak-anak umur 3 tahun asal dipakai cara-cara yang tepat. Moore (lihat Pines. 1969) menciptakan mesintulis yang dapat bicara dan mempelajari anak membaca pada umur 3 tahun. Di Nederland juga diusahakan pelajaran membaca untuk anak-anak pra-sekolah. Namun mempelajarianak membaca dan menulis sebelum waktunya juga mempunyai segi-segi negatifnya. Di samping belum berkembangnya motorik halus dengan baik (lihat pasal 3.3.9. mengenai “Gmanbaran Anak”) mempelajari sesuatu pada anak sebelum waktunya, menandung kelemahan karena:
1. Seringkali anak diberi pelajaran membaca pada waktu sangat muda melulu untuk memuaskan kebanggan orang tuanya, jadi tidak demi keprntingan anaknya.
2. Kalau anak mengerti bahwa ia sudah menguasai apa yang akan dipelajari di kelas satu hal itu akan bisa menurunkan motivasi belajarnya dan menyebabkan sikap yang negative terhadap tugas-tugas yang harus dilakukan.
Suatu masalah yang khusus dalam hubungan ini adalah mengenai anak-anak yang sangat pandai. Keinginan belajar mereka pada usia yang sangat muda menyebabkan mereka “secara main-main” sudah belajar membaca sebelum mereka pergi ke sekolah. Sangat disayangkan bahwa penampungan yang sesuai bagi mereka baik di Indonesia maupun dikebanyakan Negara eropa masih belum ada. Mengenai anak-anak yang sangat pandai ini akan dibicarakan pada pasal 4. 7.
Dalam memberikan bimbingan yang lebih baik pada anak dapat dianjurkan untuk memilih istilah “kemampuan sekolah” daripada “kemasakn sekolah”. Kemasakan menunjukkan pada proses yang terjadi dari dalam secara spontan, sedangkan mampu sekolah ditentukan oleh factor-faktor dari luar seperti lingkungan dan keluarga (lihat Kemmler & Heckhausen, 1962).
Kriteria “kemasakan sekolah” tersebut ternyata belum dapat menjamin keberhasilan anak dikelas, karena “masak sekolah” belum menjamin mampu bersekolah.
Tes yang dikembangkan di Nijmegen yaitu NST (Nijmeegse Schoolbekwaamheids Test) yang merupakan pengolahan tes Gopinger dari jerman mengungkap kemampuan sekolah anak (lihat Monks, Rost dan Coffle, 1972). Tes ini dilengkapi dengan sebuah daftar pertanyaanuntuk orang tua dan daftar pertanyaan untuk guru TK. Daftar pertanyaan ini berhubungan dengan 3 aspek tingkah laku, yaitu penyesuaian social (S), kemampuan kerja (W) dan sikap mandiri (Z). masing-masing aspek diungkap dengan 7 buah pertanyaan.
Darihasil tes yang dapat diberikan dalam kelompok-kelompok kecil dan dari hasil daftar pertanyaan, diusahakan untuk, dengan pembicaraan dengan guru taman kanak-kanak dan guru kelas 1 sekolah dasar, menilai setepat-tepatnya tiap anak sendiri-sendiri. Dengan begitu dapat dimungkinkan untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan, kekurangan-kekurangan maupun kemampuan-kemampuannya dan dapat memberikan start yang seoptimal mungkin. Jadi penting disini bukan menseleksi, melainkan menetukan (diagnosis) akan kemungkinan-kemungkinan yang ada pada setiap anak.
Dalam publikasi baru NST (Monks, dkk.. 1978) sekali lagi ditandaskan akan fungsisignalemen NST.. dalam waktu-waktu sebelumnya maka tes selalu dipakai sebagai alat yang menentukan (mampu sekolah versus tidak mampu sekolah). Dalam edisi yang baru juga ditinjau lebih mendalam mengenai proses-proses psikologis perkembangan dalam bidang kognitif, social dan motivasional. Motif kompetensi yang dikemukakan White (1959) menjadi intinya. Bila pelajaran dalam sekolah dasar dapat memenuhi kebutuhan anak akan manipulasi dan eksplorasi, maka peralihan dari Taman Kanak-kanak ke Sekolah Dasar akan berjalan dengan mudah dan lancer.
Arti signelemen yang ada pad NST telah dikaji secara empirisdan dibandingkan dengan beberapa tes yang serupa (Van Alphen de Veer, dkk.. 1978). Ternyata bahwa NST dalam kombinasi dengan daftar pertanyaan dan pendapat dari pihak guru memiliki nilai signalemen yang tinggi. Karena penggunaanya yang mudah dan menyenagkan bagi anak, maka NST sangat cocok untuk mengukur nivo tingkah laku serta nivo kognitif anak secara global. Untuk penganalisiaan lebih cermat mengenai fungsi kognitif dan tingkah laku NST dirasa kurang memenuhi persyaratan.
Di Indonesia telah ada laporan mengenai penggunaan NST dibandung dan menghasilkan sebagai berikut: bahwa pada tiga criteria yang pokok, yaitu (1) penyesuaian social, (2) kemampuan kerja, (3) sikap mandiri, diketemukan bahwa sikap mandiri memperoleh skor yang paling rendah.
Akhirnya hal yang perlu diperhatikan di sini ialah bahwa pendidikan harus berusaha untuk menolong anak sesuai dengan kemampuan masing-masing supaya akhirnya ia berhasil dalam pelajarannya. Bila ini dipakai sebagai patokan, maka sekaligus ada jaminan bahwa tiap anak dapat melanjutkan emansipasinya. Emansipasi sebagai penemuan identitas membutuhkan system pelajaran yang memperhatikan anak-anak secara individual, yang berusaha untuk tidak merugikan perkembangan anak masing-masing. Bila “individualisasi” ini tidak ada, maka akan sukar bagi anak untuk menemukan identitas diri, untuk mendaptakn konsep diri. Hal ini dibutuhkan untuk mengembangkan kemungkinan-kemungkinan dalam hubungan dengan lingkungannya.
4.3. Perkembangan sosial dan kepribadian
Perkembangan social dan kepribadian mulai dari usia pra sekolah sampai akhir masa sekolah ditandai oleh meluasnya lingkungan social.anak-anak melepaskan diri dari keluarga, ia makin mendekatkan diri pada orang-orang lain disamping anggota keluarga. Meluasnya lingkungan social bagi anak menyebabkan anak menjumpai pengaruh-pengaruh yang ada diluar pengawasan orang tua. Ia bergaul dengan teman-teman, ia mempunyai guru-guru yang mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam proses emansipasi. Dalam proses emansipasi dan individu maka teman-teman sebaya mempunyai pengaruh yang sangat besar. Di samping itu maka perkembangan motif prestasi dan identitas kelamin sangat penting, tetapi juga perkembangan pengertian norma atau seperti apa yang disebut Piaget moralitas, justru dalam periode ini mendapatkan kemajuan yang essensial. Aspek-aspek tersebut akan dibicarakan berikut ini.
4.3.1 nteraksi dengan anak-anak sebaya
Dalam TK dan SD mempunyai kontak yang intensif dengan teman-teman sebaya. Di muka telah dikemukakan bahwa anak-anak saling mempengaruhi satu sama lain (3.3. Tingkah laku lekat). Mengenai pertanyaan apa yang sampai sekarang telah diketahui mengenai pengaruh timbal balik tadi, maka Hartup (1970) telah mengumpulkan hasil-hasil penelitian mengenai hal tersebut. Sesudah itu datanglah beberapa studi yang lain yang dalam garis besarnya menyokong apa yang telah diketemukan Hartup tadi. Misalnya Younis dan Smollar (1985) dan Mueller & Cooper (1986) menunjukkan betapa perlunya hubungan dengan Peerdan teman-teman bagi perkembangan anak (Peer = teman setingkat dalam perkembangan, tetapi tidak perlu sama usianya).
Anak biasanya berusah untuk menjadi anggota suatu kelompok, kelompok semacam ini terdapat dalam Taman Kanak-Kanan dan Sekolag Dasar.
Pada mulanya anak tidak mengerti tingkah laku apa yang dipuji atau dihargai dan tingkah laku apa yang tidak dipuji atau dihargai, dia belum tahu apa yang harus dilakukan untuk dapat diterma dalam kelompok sering dapat dilihat bahwa anak menirukan anggota kelompok yang paling aktif dan paling berkuasa. Kelompok-kelompok anak dalam Taman Kanak-Kanak dan kelas-kelas permulaan Sekolah Dasar belum mempunyai aturan-aturan, kelompok-kelompok tadi baru merupakan kelompok informal tanpa struktur dan tanpa aturan. Baru di anatara usia 10 dan 14 tahun timbullah kelompok yang ada organisasinya dengan aturan-aturan dan perjanjian-perjanjian.
Hartup menemukan bahwa kebanyakan penelitian mengenai pengaruh timbal balik dilakukan pada anak Taman Kanak-Kanak, misalnya mengenai tingkah laku agresif dan altruistik ternyata bahwa belajar model menempati tempat yang penting. Nampak bahwa melihat suatu model yang altruistic menimbulkan reaksi pada anak Taman Kanak-Kanak yang mirip dengan model yang dilihat tadi. Juga nampak bahwa anak laki-laki lebih mempengaruhi anak laki-laki yang lain dari pada anak wanita dan sebaliknya. Juga dapat dilihat bahwa anak yang lebih tua lebih cepat dipengaruhi oleh teman mereka anak yang lebih tua lebih cepat dipengaruhi oleh teman mereka sebaya daripada oleh anak yang lebih muda.
Penelitian mengenai konformidme juga merupakan studi yang penting. Secara teoritis dapat sebagian dihubungkan dengan pendapat Piaget yang mengemukakan mengenai beberapa stadiumdalam keasadran peraturan. Piaget menemukan adanya permulaan kerjasama serta konformisme sosial yang bertambah pada usia antara 7 dan 10 tahun dan sehubungan dengan itu adanya suatu perhatian yang lebih besar pada interaksi yang mengandung peraturan-peraturan. Masa usia yang sebelumnya yaitu kurang lebih antara usia 2 dan 6 tahun disebutnya fase pra-sosial egosentris. Piaget mengemukakan adanya hubungan yang kurvelinier antara konformisme dan umur, artinya konformisme makin bertambah dengan bertambahnya usia sampai permulaan masa remaja, sesudah itu menurun. Puncak kurve ada di antara 9 dan 15 tahun. Penyebaran 6 tahun menunjukkan bahwa sukar untuk menentukan batas umur yang tepat. Beberapa penelitian menyokong pendapat Piaget akan adanya hubungan yang kurvelinier antara konformisme dan umur meski dengan penyebaran yang cukup lebar. Dapat diduga bahwa sebetulnya bukan faktr umur yang penting, melainkan lebih penting adalah keadaan keliling, jenis kelamin dan sifat tingkah laku yang dilihat hubungannya dengan konformisme itu.\hubungan lain yang diduga ada adalah antara urutan kelahiran dalam keluarga dan besar kecilnya kepekaan pengaruh oleh teman-teman sebaya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa anak yang tertua lebih mudah terpengaruh oleh norma-norma kelompok dan oleh orang-orang lain dibanding dengan adik-adiknya. Hal ini dapat diterangkan sebagai berikut:
5. Anak sulung diduga menerima pendidikan yang lebih berubah-ubah dibanding dengan adik-adiknya.
6. Anak sulung lebih menerima perlindungan, disampping itu maka tingkah laku yang konformistis dan tergantung mendapat pujian.
7. Anak yang lahir kemudian banyak mendapat pengarahan dari kakak-kakaknya yang diduga mengurangi hubungan dengan teman-teman. Hal ini diduga meningkatkan tingkah laku yang non-konformistis.
Namun begitu, sukar untuk menemukan hubungan yang berarti antara urutan kelahiran dengan tingkah laku yang konformistis. Memang dapat ditarik kesimpulan bahwa pada umumnya anak-anak sulung lebih mudah kena pengaruh teman-teman sebaya; tetapi hal ini tergantung pula pada jenis kelamin anak serta situasinya. Juga pendapat bahwa anak wanita lebih peka terhadap tekanan kelompok daripada anak laki-laki tidak dapat begitu saja diberikan. Juga diketemukan dalam penelitian bahwa anak yang ekstrovet lebih konformistis daripada anak yang introvet. Mengenai hal ini belum banyak diadakan peneltiian di Indonesia yang mempunyai sifat hubungan sosial yang berbeda.
Sebagai ringkasan dapat dikemukakan bahwa konformisme pada TK dari permulaan SD tadi lebih ditentukan oleh faktor-faktor situasional daripada oleh sifat-sifat kepribadian anak. Pertama kali yang di cari anak adalah kontak yang menyenangkan. Bila konformisme merubahkan syarat untuk memperoleh kontak, maka anak akan mudah untuk menyesuaikan dirinya. Pada masa-masa berikutnya nampak bahwa pribadi dan faktor-faktor situasi memgang peran penting dalam persoalan tingkah laku konformistis ini.
Suatu hubungan lain yang telah diteliti adalah antara besar kelompok dan pengaruh kelompok terhadap individu. Juga di sini nampak adanya hubungan yang kurvelinier, dalam arti bahwa pengaruh kelompok menjadi makin besar bila besar kelompok bertambah dari 1 sampai 5 atau 7 orang; pengaruhnya kemudian berkurang jika kelompok mencari ±12 orang.
Suatu tinjauan yang penting mengenai tingkah laku agresif telah dilakukan oleh Patterson (1967). Dalam penelitian ini dilihat sampai berapa jauh anak-anak pra-sekolah saling mempengaruhi tingkah laku agresif. Ternyata bahwa beberapa tingkah laku berikut ini dapat memperkuat tingkah laku agresif dan dominan pada anak.
Seorang anak merebut alat permainan anak lain. Bila anak yang direbut permainannya tadi diam saja hal itu dianggap sebagai hadiah bagi anak yang merebut tadi. Pada kesempatan berikutnya ia akan merebut lagi, dan dengan begitu makin lama makin terbentuk tingkah laku agresif. Karena tingkah laku tadi mendapat hadiah. Tingkah laku agresif tadi menurut penelitian ini huga dapat berkembang dari arah yang berlawanan, yaitu bila anak yang direbut permainannya tadi lalu membalas. Anak ini lalu mengerti bahwa membalas tadi merupakan efek dan hal ini dirasanya sebagai hadiah sebagai rainforsemen. Dengan beberapa kali membalas, anak merasa bahwa bersifat agresif itu dapat membawa sukses. Hal yang sama diteliti oleh Hartup (1974) dalam hubungan dan tingkah alturistik atau yang seperti disebutkan tingkah laku pro-sosial.
Jelaslah disini bahwa sejumlah besar tingkah laku timbul dengan cara menirukan, belajar-model, dan oleh reinforsemen dari pihak teman-teman sebaya. Disisni sudah awal dapak nampak pemilihan (preferences) yang khas menurut jenis kelamin serta cara memberi pengaruh. Sampai dengan umur 5 atau 6 tahun masih sedikit ada pengaruh dari anak wanita terhadap anak laki-laki dan sebaliknya tetapi makin lama anak laki-laki makin dipengaruhi oleh anak laki-laki dan anal wanita oleh anak wanita.
Faktor sosialisasi yang memajukan tingkah laku sesuai jenis kelaminmemegang peranan penting disini. Hal ini akan diuraikan lebih lanjut pada pasal 4.3. 3.
Interaksi dengan teman sebaya merupakan permulaan hubungan dengan peer. Sudah sejak awal berkembanglah preferensi tertentu dalam hubungan dengan anak-anak lain. Persahabatan pada anak sekolah pada umumnya terjadi atas dasar interes dan aktivitas bersama. Hubungan persahabatan dan hubungan peer bersifat timbal balik dan memiliki sifat-sifat sebagai berikut : (a) ada saling pengertian, (b) saling membantu, (c) saling percaya, dan (d) saling menghargai dan menerima.
Menurut La Galpa (1979) maka ketiga sifat berikut ini merupakan inti persahabatan, yaitu: (a) loyalitas (jujur dan setia), (b) rasa simpati (tidak ada distansi), dan (c) tulus (tidak ada rasa segan, malu atau kompetensi). Sifat inti persahabatan ini diketemukan pada masa remaja, namun juga sudah tampak pada masa kanak-kanak.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Lutte dkk. (1969) di eropa terhadap remaja laki-laki dan wanita usia 10-18 tahun mengenai sifat ideal pertemanan dikemukakn jawaban-jawaban sebagai berikut: 1) aktivitas dan interes bersama, 2) saling terbuka (segalanya dibicarakan bersama), 3) saling percaya (dapat menyimpan rahasia), 4) empati (ikut merasakan) serta jujur, 5) mengisi kekurangan yang lain (sahabat mempunyai sifat yang di inginkan) dan akhirnya 6) relasi yang dekat: kelekatan yang satu dengan yang lain berdasarkan keterbukaan, kehalusan rasa dan saling membantu.
Hubungan sosial dengan peer adalah sangat penting bagi perkembangan anak. Persahabatan yang semula terjadi karena “melakukan sesuatu bersama” beralih menjadi persahabatan yang mendalam dalam masa remaja dan berpengaruh besar pada perkembangan pribadi individu yang sedang berkembang.
4.3.1.1 Spontanitas versus sikap terkontrol
Suatu penelitian yang telah dilakukan oleh Haditono (1974) menemukan bahwa sikap spontan atau tidak spontan anak-anak pra-sekolah mungkin dipengaruhi oleh sifat suatu kebudayaan tertentu. Pada penelitian terhadap anak-anak Taman Kanak-kanak di jawa diketemukan bahwa kelompok anak-anak tersebut mempunyai sikap yang cukup terkontrol pada usia yang mereka seharusnya masih spontan. Peninjauan yang dangkal mengenai sikap yang tidak wajar pada anak-anak pra-sekolah tersebut adalah adanya hambatan-hambatan yang psikis yang menganggu penyesuaian yang cukup baik. Ditinjau dari kultur jawa hal tersebut bukan merupakan sesuatu yang dirasa umum dan meraka, namun karena hal itu merupakan sesuatu yang dirasa umum dan mereka melihat semua anak juga harus melakukan begitu, maka batasan yang diberikan dalam tingkah laku tadi sama sekali tidak menimbulkan tekanan batin apapun hingga tidak menganggu penyesuaian sosial anak-anak tersebut. Di sini sebetulnya persepsi anak terhadap perintah dan larangan itu yang mungkin lebih penting daripada perintah atau larangannya sendiri.
4.3.2 Perkembangan motivasi prestasi
Setiap tingkah laku tentu mempunyai motif. Setiap perbuatan dan tindakan mempunyai dasar, mempunyai motif. Salah satu aspek kepribadian seseorang yang paling banyak diteliti adalah mengenai motivasi prestasi (lihat McClelland, 1953; Heckhausen, 1962, 1980; Hermans. 1971, dan Haditono, 1979). Harus dibedakan antara kebutuhan dan motif. Kebutahan merupakan dasar timbulnya motif. Misalnya seorang anak yang lapar mencari makanan. Akan mempunyai motif banyak untuk mendapatkan makanan yang diinginkan tadi. Atau anak yang suka jajan akan timbul motif untuk dapat memenuhi kesukaannya itu. Kebutuhan dasar manusia adalah makan, minum dan tidur.
Dalam psikologi banyak disiskusikan mengenai pertanyaan apkah tingkah laku manusia dapat dikembalikan pada beberapa motif dasar. Misalnya Freud berpendapat bahwa tingkah laku akhirnya harus dijabarkan dari nafsu seksual beserta motif-motifnya yang timbul dari nafsu seksual tersebut. Kemudian ia menambahkan nafsu mati serta motif-moyifnya yang timbul dari nafsu tersebut yaitu agresi dan destruksi. Adler berpendapat bahwa semua tingkah laku manusia timbul dari nafsu ingin menguasai. Keinginan untuk menguasai menurut Adler menetukan segala tingkah laku dan perbuatan seseorang. Sedangkan Allport (1966) menunjukkan bahwa banyaknya motif itu sama dengan banyaknya usaha yang ada. Ia mempunyai keyakinan bahwa tingkah laku manusia itu dapat dikembalikan pada beberapa motif dasar saja. Memang ada kebutuhan dasar tetapi motif yang timbul selama hidup ada sangat banyak.
Pada umunya dibedakan antara motivasi yang intrinsik dan yang ekstrinsik. Motivasi yang intrinsik berarti bahwa sesuatu perbuatan memang diinginkan karena sesorang senang melakukannya. Di sini motivasi datang dari dalam diri orang itu sendiri. Orang tersebut senang melakukan perbuatan itu demi perbuatan itu sendiri. Sebaliknya motivasi ekstrensik berarti bahwa sesuatu perbuatan dilakukan atas dasr dorongan atau paksaan dari luar. Orang melakukan perbuatan itu karena ia didorong atau dipaksa dari luar. Misalnya seorang pemuda belajar psikologi karena orang tuanya menginginkan itu atau karena pacarnya ingin kawin dengan seorang psikolog. Pemuda tersebut kemudian masuk fakultas psikologi dan sesudah belajar beberapa lama ia menyenagi pelajaran psikologi. Maka sekarang ia belajar psikologi tidak atas dasar permintaan orang lain, melainkan karena ia sendirimenyenaginya. Motivasi yang ekstrinsik berubah menjadi motivasi yang intrinsik. Bila motivasi sudah menjadi begitu bermotivasi sehingga tiada rintangan yang akan menghambatnya untuk melakukan perbuatan tersebut.
Suatu motif mempunyai 3 macam unsur:
1. Motif mendorong terus, memberikan energi pada suatu tingkah laku (merupakan dasar energetik).
2. Motif menyelaksi tingkah laku, menetukan arah apa yang akan dan tidak akan dilakukan.
3. Motif mengatur tingkah laku artinya bila sudah memilih salah satu arah perbuatan maka arah itu akan tetap dipertahankan.
Dalam setiap motif dapat diketemukankembali dua struktur dasar. Pada satu pihak pengharapan akan sukses dan pada lain pihak ketakutan akan gagl.
Pengharapan akan sukses berarti bahwa bila ada sesuatu yang baik, yang menyenagkan atau bernialai maka orang tua ingin mendapatkan atau mencapainya. Ketakutan akan gagal berarti bahwa bila ada sesuatu yang tidak enak, tidak menyenagkan akan sukar, maka orang akan berusaha untuk menghindarinya. Dua kecendrungan dasar ini, ingin mencapai yang menyenagkan dan ingin menghindari yang tidak enak, diketemukan dalam sema tingkah laku orang, artinya dalam semua tingkah lakun manusia ada dua kecendrungan pokok ini.
Suatu pertanyyaan yang penting ialah, bagaimana timbulnya motif prestasi yang nampaknya sudah ada pada anak pada usia yang sangat awal dan sudah nampak pada bebrapa tingkah laku dan perbuatan-perbuatan tertentu. Tinjauan yang mendalam mengenai timbulnya motif prestasi telah dilakukan oleh Heckhausen dkk, (1962). Dalam filmnya “Anfange der Leistungsmotivation im Wetteifer des Kleinkindes” Heckhausen dapat menunjukkan dengan jelas adanya komponen-komponen tertentu dalam timbulnya motivasi prestasi. Misalnya nampak pada anak yang masih muda adanya keinginan untu dapat berdiri sendiri, ia ingin makan sendiri, ia ingin membuka bajunya sendiri, ingin naik kursi sendiri dan sebagainya. Dorongan untuk melakukan hal-hal sendiri ini harus dipandang sebagai pelopor motif prestasi yang sesungguhnya.
Diantara 3 dan 4 tahun nampak jelas adanya tingkah laku yang mengarah pretasi. Penelitian Heckhausen dan Roelofsen (1962) menemukan bahwa anak-anak yang sehat pada usia 31/2 tahun menunjukkan semua ciri-ciri tingkah laku kompetensi. Mereka meneliti hal ini dengan menyuruh anak-anak membantu sebuah menara. Anak dimasukkan dalam suatu situasi bertanding dengan peneliti. Menara harus dibuat tiap kali, memasukkan suatu gelangan melalui suatu tongkat dan anak harus berusaha untuk secepatnya menyelesaikan tugasnya ini. Ternyata bahwa anak-anak mulai 31/2 tahun sudah mampu untuk membandingkan prestasi mereka dengan prestasi penelitiannya. Penafsiran mengenai prestasi orang lain ini menyebabkan anak mencoba untuk melakukannya lebih cepat dan lebih baik, dibanding dengan standar keunggulan.
Standar keunggulan tadi dapat berhubungan dengan (a) prestasi orang lain, (b) prestasi diri sendiri yang lampau dan dengan (c) tugas yang harus dilakukannya.
(a) Dalam hubungan dengan prestasi orang lain artinya bahwa anak ingin berbuat lebih baik daripada apa yang telah diperbuat oleh orang lain.
(b) Dalam hubungan dengan prestasi sendiri yang lampau, berarti bahwa anak ingin berbuat melebihi prestasinya yang lalu, ingin menghasilkan lebih baik daripada apa yang telah dihasilkannya semula.
(c) Dan dalam hubungan dengan tugas berarti bahwa ia ingin menyelesaikan tugas sebaik mungkin. Jadi tugasnya sendiri merupakan tantangan bagi anak.
Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Haditono di indonesia diketemukan bahwa cara orang tua mendidik anak menyumbang pembentukan motif prestasi anak dalam hubungan denga tiga standar keunggulan tersebut. Ia menemukan bahwa stimulasi dari ibulah (kurang dari pihak ayah) yang diduga lebih berperan dalam pembentukan motif prestasi ini (lihat selanjutnya Haditono, 1979).
Anak-anak sekolah dari usia 31/2 tahun juga lebih mampu untuk menghubungkan berhasi atau tidaknya sesuatu perbuatan dengan dirinya sendiri. Sebelumnya anak belum mampu untuk melihat kegagalan sebagai akibat tingkah lakunya sendiri, dengan lain perkataan mereka belum mengerti akan kemampuan diri sendiri ( uraian yang lengkap mengenai motif prestasi ini diketemukan dalam buku pegangan Heckhausen, Motivation and Handeln (1980) yang menonjol dalam lengkapnya, aksentuasi kritis dan terutama juga oleh rangkumannya yang baik mengenai berbagai macam arah penelitian serta pendapat yang berbeda-beda ) (lihat juga Bergen, 1981).
Uraian singkat mengenai hasil-hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan akan pentingnya memberikan kesempatan pada anak untuk mengembangkan sikap dapat berdiri sendiri. Bila anak tidak pernah diberi kesempatan untuk melakukan sesuatu yang ia sebetulnya sudah mampu melakukannya, maka hal itu akan merugikan perkembangan yang sehat. Anak membutuhkan keyakinan terutama dalam hal apa yang dilakukan, apa yang dihasilkan. Apakah disini ada masalah mendorong usaha prestasi (ambisi) yang sering dipandang kurang baik dalam masyarakat kita, tidaklah jelas. Kenyataannya ialah bahwa anak ingin manipulasi, ingin bergaul dengan benda-benda, ingin menyelidiki lingkungan; dari keinginan dan usaha dalam hal-hal ini lambat laun timbullah keinginan untuk menghasilkan sesuatu untuk dapat berpretasi.
Dipandang dari segi psikologi perkembangan dapat ditentukan bahwa kecenderungan berprestasi ini harus diberi stimulasi bila kita akan menyambut dorongan manipulasi dan eksplorasi anak.
4.3.3 Perkembangan identitas jenis kelamin atau tingkah laku sesuai jenis kelamin
Mengenal perkembangan tingkah laku sesuai dengan jenis kelin ada cukup banyak literatur. Jans (1973) membicarakan mengenai arti seksualitas dan tingkah laku tersebut, yaitu (1) faktor biologis, (2) faktor sosial, dan (3) faktor kognitif.
Jans menunjukkan bahwa ada beberapa studi mengenai tingkah laku yang sdapat menerima adanya pendapat, yaitu “bahwa sejak permulaan ada perbedaan pada dua jenis kelamin mengenai apa yang mungkin dapat disebut sebagai matriks kondisioning yang permulaan” (h. 31 ). Mengenai hal ini mugkin dapat di anggap adanya suatu dasar biologis yang memungkinkan dua jenis kelamin tadi mengembangkan tingkah laku yang berbeda-beda. Dari sudut pandangan biologis. nampaknya dapat diterima bahwa ada perbedaan disposisional yang menyebabkan pelajaran tingkah laku yang berbeda antara anak laki-laki dan anak wanita.
Kohlberg dalam tahun 1966 sudah membicarakan mengenai tiga kemungkinan cara menerangkan mengenai tingkah laku spesifik jenis kelamin menurut tinjauan tiga teori yang berbeda: (1) teori psikoanalisis, (2) teori belajar sosial, dan (3) teori perkembangan yang kognitif.
Pendapat psikoanalisa mengatakan bahwa identitas jenis kelamin timbul karena proses-proses yang terjadi selama periode oedipus antara 2 ½ - 6 tahun; antara 3 dan 4 tahun anak laki-laki ada dalam situasi ini (menurut Freud hal ini merupakan suatu gejala universal). Anak laki-laki mempunyai keinginan seksual terhadap ibu tetapi ia juga mempunyai ketakutan terhadap ayah. Untuk menghindari kesukaran dengan ayahnya, anak sekarang mengadakan identifikasi dengan perintah dan larangan ayah. Sebagai akibatnya timbullah tingkah laku yang spesifik jenis kelamin. Pada anak wanita akan juga terjadi proses yang semacam, yaitu anak wanita yang mempunyai keinginan seksual terhadap ayah akan mengadakan identifikasi dengan ibu untuk menghindari kesukaran-kesukaran.
Menurut pendapat teori belajar maka tingkah laku yang spesifik jenis kelamin timbul karena pengaruh lingkungan sosial. Misalnya dalam setiap masyarakat ada pendapat-pendapat mengenai norma tingkah laku yang sesuai dengan jenis kelamin anak (Belotti, 1973). Anak laki-laki misalnya boleh berbuat kasar, boleh lebih aktif, lebih ribut daripada anak wanita, sedangkan anak wanita diharapkan lebih berperasaan halus, bersikap tidak kasar dan sebagainya. Tingkah laku yang diharapkan dari anak laki-laki atau anak wanita tadi dapat dipuji atau tidak dipuji oleh lingkungannya.
Pujian (memberi hadiah) terhadap sesuatu tingkah laku menambah kemungkinan tingkah laku tersebut dilakukan lagi di kemudian hari. Bila suatu tingkah laku tidak dipuji, jadi tidak mendapat reinforsemen, tingkah laku tersebut akan makin kurang dilakukan dan kemungkinan akan hilang sama sekali. Bila misalnya seorang anak laki-laki umur 8 tahun menangis, kebanyakan orang tua mengatakan : “Jangan menangis seperti anak perempuan saja. Laki-laki kan tidak nangis!". Tingkah laku menangis di sini dianggap tidak pantas bagi anak laki-laki umur 8 tahun. Begitulah kejadian-kejadian tiap hari dalam kehidupan biasa menentukan tingkah laku apa yang akan selalu dilakukan dan tingkah laku apa yang ditinggalkan (lihat lebih lanjut Hendrik dan Monks, 1981)
Teori perkembangan yang kognitif dengan Kohlberg (1966) sebagai tokohnya mengemukakan, bahwa dalam timbulnya tingkah laku spesifik jenis kelamin maka proses kognitif sebagai faktor perantara mempunyai tempat yang penting, artinya seseorang lebih dulu menjalani kategorisasi diri sendiri yang kognitif, yaitu mengenai diri sendiri sebagai laki-laki atau wanita. Baru sesudahnya pengaruh lingkungan mulai berpengaruh. Permulaan identitas jenis kelamin menurut pendapat ini datang dari individu sendiri. Anak mengadakan identifikasi diri dulu baru kemudian datang proses belajar sosial sebagai faktor yang ikut mempengaruhi.
Sesuatu gambaran yang menyeluruh mengenai proses per¬kembangan tingkah laku spesifik jenis kelamin yang telah dikemukakan teori-teori tersebut di muka dapat dilihat pada Gambar 23, pada halaman 193.
Sebagai kesimpulan dapat dikemukakan bahwa menurut pandangan para penulis, faktor-faktor biologis merupakan dasar bagi perkembangan tingkah laku spesifik jenis kelamin; proses belajar sosial sejak awal telah menyumbang pada kenyataan bahwa identitas kelamin terjadi melalui norma-norma sosial yaitu melalui penilaian apa yang baik atau tidak baik bagi anak laki-laki atau anak wanita.
Meskipun adanya keterbatasan dalam mengadakan generalisasi, tidak dapatnya menginterpretasi secara merata mengenai hasil-hasil yang didapat serta adanya faktor situasi yang menentukan tingkah laku spesifik jenis kelamin, namun dapat ditentukan atas dasar beberapa penelitian pada tahun-tahun terakhir, bahwa:
- agresi (mulai tahun ke-2) lebih banyak terdapat pada anak laki-laki.
- aktivitas (mulai tahun ke-3) lebih banyak terdapat pada anak laki-laki,
- dominasi (mulai tahun ke-4) lebih banyak dijumpai pada anak laki- laki.
- impulsivitas (mulai usia pra sekolah) lebih banyak dijumpai pada anak laki-laki.
- kecemasan (mulai 8 atau 9 tahun) lebih banyak terdapat pada anak wanita.
- kecakapan verbal (pada suatu kelompok kecil anak wanita mulai 4 tahun, tetapi pada umunya 11 atau 12 tahun) terdapat pada anak wanita lebih banyak daripada anak laki-laki.
- kecakapan pengamatan ruang (mulai 11 atau 12 tahun) lebih kuat pada anak laki-laki.
- kecakapan kuantitatif (mulai 10 tahun) lebih baik pada anak laki-laki.
(lihat untuk yang terakhir ini juga tulisan yang kontroversial Benbow & Stanley Sex differences in mathematical ability; fact or artifact, 1980).
Mengenai batasan-batasan umur yang dikemukakan di atas perlu dikemukakan bahwa di Indonesia penelitian mengenai hal-hal tersebut masih perlu dilakukan. Tetapi perlu ditunjukkan di sini bahwa dengan bertambahnya usia sampai pada masa remaja ada perbedaan yang makin nampak antara anak wanita dan anak laki-laki (lihat Monks, 1981). Untuk bacaan lebih lanjut harap baca Degenhardt dkk. (1979) dan Merz (1979).
4.3.4 Perkembangan Pengertian Norma
Juga perkembangan pengertian norma atau moralitas merupakan hal yang sangat penting bagi perkembangan kepribadian dan sosial anak. Tinjauan mengenai perkembangan moralitas secara sistematik dapat dikatakan masih baru dalam psikologi. Lama orang mengira bahwa moralitas termasuk bidang etika, tetapi dalam permulaan abad ini, sekitar 1930, maka di Amerika dan di Eropa
diadakan penelitian mengenai fenomena moralitas. Perhatian bertambah lagi pada sekitar tahun 1950. Sesudah itu maka terutama pengertian-pengertian teoretis Piaget yang mendorong diadakannya sejumlah bahwa penelitian dalam hal ini.
Seperti halnya pada tingkah laku spesifik jenis kelamin dapatlah di sini disebutkan pendapat beberapa teori mengenai moralitas yaitu teori psikoanalisa, teori kognitif dan teori belajar. Masih dapat ditambahkan di sini teori yang personalistis, tetapi teori ini akan diterangkan lebih banyak pada bagian yang lain (lihat Monks, 1971).
Meninjau kembali pada bab 1 dapat diadakan ringkasan di sini bahwa menurut pendapat psikoanalisa ada 3 bagian dalam diri seseorang yang akan berkembang menurut urutan sebagai berikut: das Es, das Ich dan das Ueber Ich. Pada permulaan hanya ada das Es, yaitu impuls nafsu. Das Ich lalu menjaga supaya hubungan dengan realitas dapat dikoordinasi dan akhirnya das Ueber Ich merupakan bagian yang membawakan norma-norma, perintah-perintah dan larangan-larangan yang diberikan oleh dunia keliling.
Juga pada timbulnya Ueber-Ich maka situasi oedipus mempunyai arti yang pokok Dl muka telah dikatakan bahwa situasi ini terdapat pada anak antara 3 dan 4 tahun. Menurut pendapat Freud maka anak akan mempunyai keinginan seksual terhadap ibu, tetapi anak tidak dapat merealisasi hal tersebut sebab ayahnya tidak akan memperbolehkannya. Dalam hal itu anak lalu terpaksa untuk mengambil alih norma-norma ayah untuk tidak mengalami konflik dengan ayahnya tadi.
Dengan demikian maka anak lalu mengadakan identifikasi dengan ayah dan bersedia untuk mengadakan introyeksi dengan norma keliling yaitu norma ayah. Kesediaan anak ini datangnya juga dari perasaan berdosa, yaitu anak merasa berdosa akan perasaannya dalam hubungan dengan ibu, ia merasa berdosa terhadap ayah dan karena perasaan berdosa ini ia bersedia untuk mengadakan Identifikasi dengan ayah.
Ueber-lch harus dipandang sebagai suatu instansi dengan norma-norma yang telah diinternalisasi atau diintroyeksi. Ncrma-norma yang add pada Ueber-Ich bukan hanya norma-norma yang berasal dari ayah saja, melainkan Juga norma-norma yang datang dari orang-orang lain. Freud menganggap kesediaan anak untuk merasa berdosa sebagai faktor pokok bagi tumbuhnya kata hati, karena kesediaan tersebut menimbulkan keinginan untuk menyesuaikan diri dan memenuhi tuntutan yang diletakkan padanya.
Brown (1973) masih menunjukkan bahwa karena anak laki-laki lebih langsung mengalami periode oedipus dengan konfrontasi yang lebih keras dengan ayah, maka anak laki-laki pada umumnya mempunyai moralitas lebih keras daripada anak wanita.
Masalah besar yang timbul dari dugaan ini ialah adanya kesukaran untuk membuktikan secara empiris. Mungkin perasaan-perasaan sebagai dilukiskan oleh teori psikoanalisa tadi juga ada, tetapi diragukan apakah keadaan itu bersifat universal dan apakah pada semua orang timbul dalam bentuk yang sama dan pada umur yang sama. Tidak ada bukti-bukti empiris yang dapat membenarkan hipotesis ini. Teori mengenai tingkah laku lekat bahkan membantah pendapat oedipus ini.
Pendekatan yang kognitif menitikberatkan akan faktor pengertian dan pemahaman. Sudah dalam tahun tiga puluhan Piaget mengadakan penelitian yang sistematis mengenai fenomena kata hati. Berturut-turut diselidikinya kesadaran akan aturan realisme moral serta pengertian akan keadilan. Menurut Piaget harus dimulai dengan aturan-aturan, misalnya aturan permainan. karena aturan mengandung arti manghormat, normal terhadap orang lain.
Penemuan Piaget yang penting di sini ialah bahwa anak mempunyai pendapat yang absolut dan penilaian yang absolut. Anak kecil tidak bersedia untuk mengalah dalam ia menilai sesuatu. Hal sesuatu adalah benar atau salah tidak ada pertimbangan faktor situasional. Setelah umur 8 tahun anak menjadi Jebih fleksibel dalam pernilaiannya dan lebih mampu untuk memperhatikan faktor situasional dalam menilai sesuatu. Perkembangan dari yang disebut tanggung jawab objektif ke arah tanggung jawab subjektif, maju pesat sesudah umur 8 tahun. Apa yang disebut tanggung jawab objektif dan tanggung Jawab subjektif dapat diterangkan dengan contoh berikut.
Piaget mempunyai metode apa yang disebut cerita-cerita fiktif. Dalam cerita-cerita ini selalu nampak suatu akibat sesuatu maksud yang baik dan maksud yang tidak baik. Dalam hal yang pertama maka terjadi kerugian besar, dalam hal yang kedua kerugiannya kecil.
Contoh : Seorang anak laki-laki datang dengan rapor yang baik dan dengan tergopoh-gopoh masuk dalam dapur untuk menunjukkan rapor yang baik itu kepada ibunya. Dia tidak tahu bahwa di belakang. pintu dapur ada kursi dengan baki dan gelas-gelas di atasnya. Dia buka pintu dengan kelas, pintu menumbuk kursi dan dengan suara gemuruh baki tumpah dan gelas-gelas jatuh hingga pecah semua. Anak yang kedua pada waktu mengerti kalau ibunya tidak ada di rumah ingin mempergunakan kesempatan itu untuk mengambil kue di atas almari dapur yang diperuntukkan tamu. Dia ambil kursi, naik dan karena tangannya belum sampai, dia raba-raba menyentuh satu gelas hingga jatuh dan pecah. Piaget bertanya sekarang: Mana yang lebih jelek, yang pertama atau yang kedua? Selanjutnya dari dua anak tadi mana yang lebih nakal, yang pertama yang dengan tergopoh-gopoh ingin masuk dapur atau yang kedua yang secara diam-diam ingin mengambil kue. Ditanyakan juga: Siapa yang harus mendapatkan hukuman yang paling banyak
Ternyata bahwa anak sampai umur + 8 tahun terutama melihat akibat-akibat materiilnya, jadi kerugiannya yang ditimbulkan, hal-hal itu yang paling menentukan. Motif atau iktikatnya tidak diperhatikan. Sesudah usia ini nampak bahwa motif dan maksud orang ikut diperhitungkan.
Teori yang dikembangkan Piaget ini dikembangkan dan diberikan dasar teoretis yang lebih baik oleh Kohlberg (1963). Menurut Kohlberg perkembangan insan kamil melalui 6 stadium dan stadium ini akan selalu dilalui oleh setiap anak, jadi merupakan hal yang universal, yang ada di mana-mana; mungkin tidak pada urutan usia yang sama namun perkembangannya selalu melalui urutan itu.
Kohlberg (dalam Lerner dan Spanier, 1980) membagi per¬kembangan moralitas ke dalam 3 tingkatan yang masing-masing dibagi menjadi 2 stadium hingga keseluruhannya menjadi 6 stadium sebagai berikut:
Tingkatan I. Penalaran moral yang pra-konuensional
Mendasarkan pada objek di luar diri individu sebagai ukuran 'benar atau salah.
Stadium 1. Orientasi patuh dan takut hukuman
Suatu tingkah laku dinilai benar bila tidak dihukum dan salah bila perlu dihukum. Seseorang harus patuh pada otoritas karena otoritas tersebut berkuasa.
Stadium 2. Orientasi naif egoistis/hedonisme instrumental
Masih mendasarkan pada orang atau kejadian di luar diri individu, namun sudah memperhatikan alasan perbuatannya, misalnya mencuri dinilai salah, tetapi masih bisa dimaafkan bila alasannya adalah untuk memenuhi kebutuhan dirinya atau orang lain yang disenangi. Ada yang menamakan stadium ini sebagai stadium hedonistik instrumental.
Tingkatan II. Penalaran moral yang konuensionci
Mendasarkan pada pengharapan sosial, yaitu suatu perbuatan dinilai benar bila sesuai dengan peraturan yang ada dalam masyarakat.
Stadium 3. Orientasi anak atau person yang baik.
Anak menilai suatu perbuatan itu baik bila ia dapat menyenangkan orang lain, bila ia dapat dipandang sebagai anak wanita atau anak laki-laki yang baik, yaitu bila ia dapat berbuat seperti apa yang diharapkan oleh orang lain atau oleh masyarakat.
Stadium 4. Crientasi pelestarian otoritas dan aturan sosial.
Anak melihat aturan sosial yang ada sebagai sesuatu yang harus dijaga dan dilestarikan. Seorang dipandang bermoral bila ia "melakukan tugasnya" dan dengan demikian dapat melestarikan aturan dan sistem sosial.
Tingkatan III. Penalaran moral yang post-konuensional
Memandang aturan-aturan yang ada dalam masyarakat tidak absolut, tetapi relatif; dapat diganti oleh yang lain.
Stadium 5. Orientasi kontrol legalistis.
Memahami bahwa peraturan yang ada dalam masyarakat merupakan kontrol (perjanjian) antara diri orang dan masyarakat. Individu harus mamenuhi kewajiban-kewajibannya, tetapi sebaliknya masyarakat, juga harus menjamin kesejahteraan individu. Peraturan dalam masyarakat adalah subjektif.
Stadium 6. Orientasi yang mendasarkan atas prinsip dan konsiensia sendiri.
Peraturan dan norma adalah subjektif, begitu pula batasan-batasannya adalah subjektif dan tidak pasti. Dengan demikian maka ukuran penilaian tingkah laku moral adalah konsiensia orang sendiri, prinsipnya sendiri lepas daripada segala norma yang ada. Kohlberg menyebut prinsip ini sebagai prinsip moral yang universal, suatu norma moral yang dasarnya ada dalam konsiensia orangnya sendiri.
Dalam hal tingkah laku konformistis stadium tersebut adalah sebagai berikut:
Stadium 1. Anak menurut untuk menghindari hukuman.
Stadium 2. Anak bersikap konformistis untuk memperoleh hadiah. untuk dipandang baik.
Stadium 3. Anak bersikap konformistis untuk menghindari celaan dan untuk disenangi orang lain.
Stadium 4. Anak bersikap konformistis untuk mempertahankan sistem peraturan sosial yang ada dalam kehidupan bersama.
Stadium 5. Konformitas sekarang dilakukan karena memenuhi perjanjian bersama yang ada dalam peraturan sosial.
Sfadium 6. Melakukan konformitas tidak karena perintah atau norma dari luar, melainkan karena keyakinan sendiri ingin melakukannya.
Suatu ikhtisar yang diberikan Kohlberg (Gambar 24) menun¬jukkan bagaimana kira-kira pembagian umumya. Kohlberg menemukan pembagian ini berdasarkan penelitian mengenai apa yang disebut dilema moral. Dilema moral berhubungan dengan nilai-nilai pokok dalam kehidupan bersama, misalnya keadilan dan hak untuk hidup. Contoh di bawah menunjukkan cara pengujian Kohlberg:
"Di Berlin ada seorang wanita yang hampir mati disebabkan oleh suatu bentuk kanker yang jarang dijumpai. Para dokter mengatakan bahwa hanya ada satu macam obat untuk menyembuhkannya, yaitu semacam radium yang diketemukan oleh seorang apoteker yang berumah di kota itu. Tetapi harganya sangat mahal. Si apoteker sendiri membayarnya sebanyak Rp2.000,00 tetapi menjualnya dengan harga Rp20.000,00 untuk satu dos kecil. Suami wanita yang sakit tadi telah berusaha untuk memperoleh pinjaman uang kepada siapa saja, tetapi hanya memperoleh Rp10.000,00. Dia datang lagi pada apotekernya untuk mengatakan kalau isterinya hampir mati dan memohon untuk mau menjual obatnya tadi dengan harga yang lebih murah atau untuk membayar sisanya kemudian. Namun apoteker tadi tidak mau memberikan obatnya dengah harga yang lebih murah karena memang sukar memperolehnya. Laki-laki tersebut menjadi penasaran dan akhirnya mencuri obat tadi".
Gambar 24. Enam stadium perkembangan moral (pernilaian moral) dihubungkan dengan empat tingkatan umur (lihat Kohlberg, 1963).
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan berkisar pada': bolehkah laki-laki tadi melakukan hal itu atau: haruskah laki-laki tadi melakukan hal itu, atau: haruskah ia membiarkan isterinya mati?. Pada cerita di atas masih ada sambungannya yaitu obat tadi ternyata tidak manjur dan wanita yang sakit itu menderita sakit yang tak tertahankan. Berhubung dengan ini datang pertanyaan: apakah dokter boleh menolongnya untuk lebih lekas mati? Wanita tadi meminta pada dokternya untuk memberinya suatu obat pemati syaraf supaya lebih ringan menghadapi kematian.
Dapat dimengerti bahwa cerita-cerita semacam ini tidak dapat diberikan kepada siapa saja karena membutuhkan suatu kemampuan refleksi yang besar.
Kohlberg memasalahkan apakah suatu stadium yang telah dicapai akan dapat dipertahankan. Ia menemukan suatu penemuan yang tak terduga, yaitu para mahasiswa yang sebelum masuk Perguruan Tinggi telah mencapai stadium ke 4 atau ke 5, segera kembali lagi pada stadium 2. Hal ini diterangkannya sebagai berikut: karena para mahasiswa ini ada dalam situasi baru, maka. secara fungsional mereka jatuh kembali pada tingkat yang lebih rendah, meskipun secara struktural tingkat yang lebih tinggi tetap ada. Hal ini diterangkan dari kenyataan bahwa sesudah para mahasiswa tadi meninggalkan (lulus dari) Perguruan Tinggi atau juga sudah sebelumnya, kembali lagi dapat berfungsi dengan baik pada tingkat stadium yang telah dicapainya dulu. Masih ada satu faktor lagi yang ditunjukkannya, yaitu mengenai hubungan antara perkembangan tingkah laku moral dan pola peranan yang diharapkan dari seseorang. Kohlbern menemukan bahwa para ibu rumah tangga pada umumnya ada pada stadium 3; menurut Kohlberg hal itu disebabkan karena mereka tidak banyak dituntut untuk mengambil keputusan-keputusan yang berhubungan dengan moral dan insan kamil. Mereka nampaknya ditempatkan pada peranan sosial yang membutuhkan berfungsi pada stadium 3 atau 4 saja.
Kritik yang dapat diajukan di sini adalah terhadap kemutlakan perkiraan itu. Pertanyaan yang telah diajukan terhadap psikoanalisa dapat diulangi di sini. Apakah gejala ini universal dan apakah tingkatan-tingkatan itu harus dilalui menurut urutan yang sudah ditentukan tersebut. Suatu tinjauan kritis mengenai teori Kohlberg dan pendekatan yang mendasarkan pada teorinya itu dapat dibaca dalam penelitian Heymans (1979).
Akhirnya pendapat teori belajar mengemukakan bahwa semua tingkah laku adalah tingkah laku yang dipelajari. Teori ini menolak dengan tegas bahwa manusia mempunyai suatu sifat bawaan, baik itu sifat yang baik maupun yang tidak baik. Alasan yang dikemukakan adalah apa yang baik untuk suatu masyarakat tertentu, dianggap tidak baik oleh masyarakat lain, apa yang dianggap penyesuaian baik oleh masyarakat yang satu, bahkan dianggap tingkah laku menyimpang oleh masyarakat yang lain.
Menurut pendapat ini maka kata hati merupakan suatu sistem norma yang telah diintemalisasi (merasuk menjadi milik pribadi seseorang). Hal ini berarti bahwa seseorang akan tetap melakukan norma-norma tadi meskipun tidak ada kontrol dari luar. Apa yang dulu dilakukan atas dasar hadiah, reinforsemen atau hukuman dari luar, sekarang dialihkan ke dalam. Norrna-norma yang sudah diinternalisasi tadi membuat anak makin dapat bertingkah laku sesuai dengan apa yang seharusnya ia lakukan.
Peneliti yang menganut pendapat ini berusaha untuk menyelidiki fenomena kata hati melalui pertanyaan-pertanyaan mengenai:
a. reaksi terhadap pelanggaran
b. pertahanan terhadap godaan
Dalam hal ini ternyata bahwa cara orang tua mengasuh anak merupakan hal yang pokok. Mempunyai ayah dan ibu yang kasih sayang, yang menerima anak dalam keadaan apa pun merupakan syarat yang paling utama untuk perkembangan kata hati yang baik. Selanjutnya diketemukan bahwa kata hati tergantung pada situasi. Hoffman (1970) mengemukakan mengenai konsistensi yang dinamis. Tingkah laku moral sebagian tergantung daripada situasinya, tetapi orang makin bersikap konsisten, artinya tidak tergantung situasi. Dari studi perbandingan ternyata bahwa moralitas merupakan pernyataan daripada kebutuhan akan keteraturan dan keseimbangan, juga suatu usaha ke arah pemberian arti, meskipun adanya perubahan historis, sosial, dan individual (Monks, 1986).
Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa proses belajar dalam tingkah laku moral memegang peranan yang penting; tetapi Juga proses perkembangan kognitif memberikan pengaruh yang besar akan sifat perkembangan tingkah laku moral. Dalam pasal 6.5 akan ditinjau kembali perkembangan tingkah laku moral. Di situ akan nampak bagaimana pentingnya sifat kepribadian seseorang dalam aspek tersebut bagi perkembangan kepribadiannya.
4.4 Perkembangan Kognitif
Beberapa pertanyaan yang pokok dalam teori perkembangan kognitif adalah: dengan alat dan cara apa orang memperoleh pengertian, menyimpan dan menggunakannya? Pada prinsipnya hal ini berhubungan dengan alat-alat pengenalan dan bentuk-benluk pengenalan. Kognisi adalah pengertian yang luas mengenai berpikir dan mengamati, jadi tingkah laku yang mengakibatkan orang memperoleh pengertian atau yang dibutuhkan untuk menggunakan pengertian.
Psikolog Swiss yang sering disebut dalam buku ini yaitu Piaget telah banyak mempengaruhi psikologi perkembangan dalam hal perkembangan kognisi. Dia telah memberikan banyak pendapat serta dorongan dalam hal ini (bandingkan untuk berikutnya Ginsburg dan Opper, 1969).
4.4.1 Pengertian-pengertian Pokok dalam Teori Perkem¬bangan Piaget
Teori Piaget banyak dipengaruhi oleh biologi dan episfemologi ajaran mengenai pengenalan. Biologi dalam teorinya Piaget banyak menggunakan pengertian yang langsung diambil dari biologi. Misalnya dalam definisi mengenai inteligensi dipakainya pengertian-pengertian seperti adaptasi, organisasi, stadium, pertumbuhan dan sebagainya. Banyak dari pengertian-pengertian ini akan diterangkan lebih lanjut nanti.
Epistemologi: perhatian terhadap cabang ilmu pengetahuan ini antara lain nampak dalam penelitian empiris terhadap timbulnya pengertian atau konsep mengenai waktu, ruang, kausalitas, dan kasadaran akan aturan.
Piaget beranggapan bahwa setiap organisme hidup dilahirkan dengan dua kecenderungan fundamental, yaitu kecenderungan untuk :
a) adaptasi dan kecenderungan untuk (b) organisasi.
b) Adaptasi dapat dilukiskan sebagai kecenderungan bawaan setiap-organisme untuk rnenyesuaikan diri dengan lingkungan. Kecen¬derungan adaptasi ini mempunyai dua komponen atau dua proses yang komplementer, yaitu (a.l) asimilasi dan (a.2) akomodasi.
(a.1) Asimilasi, yaitu kecenderungan organisme untuk mengubah ling¬kungan guna menyesuaikan dengan dirinya sendiri. Suatu contoh yang sederhana dalam bidang biologis adalah maka. Bila orang makan sesuatu maka pencernaan makanannya tidak perlu berubah. Apa yang berubah adalah makanannya yaitu faktor lingkungannya.
Jaga dalam lapangan psikologi maka prinsip asimilasi meme¬gang. peranan besar. Pada suatu saat seorang bayi memperoleh suatu kebiasaan pola tingkah laku terhadap lingkungannya apa yang dijumpai oleh bayi itu dipegangnya. Dunia bagi anak merupakan "dunia raih". Nilai fungsional objek dari sudut pandangan orang dewasa diturunkan menjadi "kemungkinan dapat diraih".
Juga bagi situasi pelajaran maka prinsip asimilasi meru¬pakan hal yang sangat penting. Menurut Piaget maka setiap anak selalu ada dalam salah satu stadium perkembangan. Stadium ini sebagian besar menentukan untuk sebagian besar cara ariak menginterpretasi suatu tugas verbal misalnya: Anak umur 4 tahun dan umur 10 tahun dapat diberikan suatu tugas verbal yang identik, tetapi harus disadari bahwa anak hanya akan mengerti tugas tadi sepanjang struktur kognitif, yaitu Radium perkembangan kognitifnya memungkinkan untuk hal itu. Anak mengasimilasi tugas tadi dengan struktur kognitifnya: Ia mengerti tugasnya sepanjang ia mampu untuk mengertinya.
Akomodasi, yaitu kecenderungan organisme untuk merubah dirinya sendiri guna menyesuaikan diri dengan keliling.
Suatu contoh dalam bidang Biologi dapat dikemukakan jadi mengenai makanan. Bila organisme terpaksa untuk makan makanan yang asing, maka sistem fisiologisnya seringkali ha¬rus menyesuaikan diri dengan faktor lingkungan yang berubah itu.
Dalam lapangan psikologi dapat diambil contoh yaitu bila anak bayi hendak meraih sesuatu, bayi tadi harus menyesuaikan pengamatannya dengan objek tersebut untuk dapat melihatnya dengan baik. Dia harus menyesuaikan pola gerakannya sedemikian rupa, hingga ia dapat mencapai objek tadi dengan tangannya. Dan akhirnya ia harus menyesuaikan raihannya pada misalnya bentuk dan bakat objeknya.
Juga dalam situasi sekolah akomodasi memegang peranan penting; anak harus bersedia untuk selalu memperoleh pengetehuan baru guna dapat mengatasi masalah-masalah yang baru.
Hubungan antara asimilasi dan akomodasi. Kedua proses tersebut seperti telah dikemukakan, adalah komplementer. Dalam setiap tingkah laku organisme dapat diketemukan aspek asimilasi dan akomodasi. Hal ini dapat dilihat pada tingkah laku meraih pada anak bayi
(b) Kecenderungan organisasi. Hal ini dapat dilukiskan sebagai kecenderungan bawaan setiap organisme untuk mengintegrasi proses-proses sendiri menjadi sistem-sistem yang koheren.
Juga kecenderungan ini dapat ditemukan dalam bidang biologis dan psikologis. Contoh yang paling mudah dalam bidang biologis adalah berfungsinya sistem fislologis sendiri sebagai kesatuan yang terintegrasi. Bila ada gangguan dalam integrasinya hal itu berarti "penyakit".
Dalam bidang psikologis dapat dilihat bahwa bayi pada mulanya mempunyai dua struktur tingkah laku yang terpisah: Ia dapat meraih dan ia dapat mengamati sesuatu. Semula anak tidak mampu untuk mengintegrasi dua struktur tingkah laku ini. Baru kemudian maka dua struktur ini dikoordinasi menjadi satu struktur dalam tingkatan yang lebih tinggi, yaitu dalam apa yang disebut koordinasi mata dan tangan atau koordinasi visio-motorik.
Hubungan antara adaptasi dan organisasi. Juga dua proses ini bersifat komplementer. Bila suatu organisme mengadakan organisasi aktivitasnya, maka ia mengasimilasi kejadian baru pada Struktur yang sudah ada dan mengakomodasi struktur yang sudah ada pada situasi baru. Piaget menamakan kedua proses tadi sebagai faktor biologis. Alasannya ialah bahwa dua kecenderungan tadi selalu ada pada semua organisme hidup, Kedua kecenderungan ini merupakan sifat ketuhanan. Bagaimana bekerjanya kedua proses ini dalam diri suatu organisme tertentu, tergantung pada keliling serta pengalaman belajar organisme tersebut.
Ekuilibrium. Pengertian "ekuilibrium" atau "keseimbangan" Juga menduduki tempat yang penting dalam teori Piaget. Prinsip ekuilibrium yang bersifat bilogis ini menjaga agar perkembangan tidak merupakan hal yang tidak keruan, melainkan suatu proses yang teratur. Proses asimilasi dan akomodasi yang komplementer menyebabkan seseorang selalu berusaha mencapai keadaan yang seimbang lagi. Di sini ada kesamaan dengan pendapat seorang teoretikus terkenal lain dalam psikologi perkembangan, yaitu Wemer (1959). Werner bertolak dari prinsip orrogenetis. Dia ingin menunjukkan bahwa perkembangan, genesa suatu individu, berlangsung melalui proses yang teratur. Perkembangan akhirnya mencapai suatu diferensiasi yang semakin tinggi motorik yang semula kasar menjadi makin halus; hal ini juga berlaku bagi bahasa. Di samping itu perkembangan juga akhirnya mencapai suatu aturan yang hierarkis (fungsi yang berbeda-beda makin sesuai satu sama lain dan makin baik integrasinya). Baik Werner maupun Piaget berpandangan bahwa perkembangan itu berlangsung melalui rencana yang sudah ada sejak lahir yang akhirnya mencapai suatu bentuk akhir yang baik. Prinsip ini pada Werner dan Piaget merupakan suatu fakta fundamental dalam perkembangan yang merupakan ciri pokok dalam
kehidupan manusia.
Proses adaptasi tidak lepas dari proses organisasi. Juga di sini terdapat proses interaksi yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan. Pengertian. "keseimbangan" menunjuk. pada relasi antara individu dan keliling dan terutama sekali pada relasi antara struktur kognitif individu dan struktur keliling. Di sini ada keadaan seimbang bila individu tidak lagi perlu mengubah hal-hal dalam keliling untuk mengadakan. asimilasi dan juga tidak lagi harus mengubah dirinya sendiri untuk mengadakan akom'odasi dengan hal-hal yang baru. Sudah barang tentu keadaan ini adalah suatu keadaan ideal. Piaget memang hanya ingin menunjukkan bahwa menurut pendapatnya dalam perkembangan berpikir manusia ada suatu arah menuju ke harmoni dan keteraturan.
Struktur psikologis atau skema: Telah dibicarakan adanya dua macam proses, yaitu adantasi dan organisasi. Pertanyaan timbul sekarang hal-hal apa yang dikenai proses adaptasi dan organisasi itu. Pertanyaan ini dapat dijawab dengan mengemukakan apa yang disebut Piaget dengan struktur psikologis atau skema.
Dalam biologi ada dibicarakan mengenai struktur-struktur yang berubah. Piaget mencoba untuk menemukan suatu analogi dalam bidang tingkah laku. Analogi ini ditunjukkannya dengan pengertian "struktur psikologis" atau "skema". Ia membedakan antara skema-skema sensori motoris atau disebut juga skema-skema tingkah laku dan skema-skama operasional atau disebut juga skema-skema kognitif.
Suatu skema adalah ciptaan seorang psikolog (Piaget), skema adalah suatu abstraksi dari aktivitas manusia; bukan sesuatu yang dapat ditunjukkan secara konkrit dengan salah satu cara pada salah satu tempat tertentu. Bila seseorang melakukan suatu aktivitas tertentu, maka dia tidak akan melakukan hal ini dua kali berturut-turut dengan dua cara yang persis sama. Tetapi meskipun begitu adalah mungkin untuk menemukan suatu struktur dasar, suatu esensi yang stima dalam variasi tingkah laku yang serupa. Struktur dasar inilah yang dimaksudkan oleh Piaget dengan pengertian skema.
Menurut Piaget skema-skema ini pada mulanya bersifat sensori motoris dan merupakan struktur psikologis anak umur sampai + 2 tahun, belum nampak adanya mediasi dalam arti "aktivitas pikir yang intern". Semua tingkah laku anak masih harus dipandang sebagai hal yang diterima secara sensorik dan suatu reaksi yang motorik saja. Contoh-contoh skema sensori motorik adalah skema raih, skema hisap dan skema merangkak.
Mulai umur + 2 tahun di samping skema sensori motorik anak juga memiliki skema kognitif atau operasional. Skema ini dapat dilukiskan sebagai struktur dasar proses berpikir. Suatu contoh skema tersebut adalah apa yang disebut skema klasifikasi. Bila anak umur 7-11 tahun dihadapkan dengan sekumpulan gambar bunga merah dan bunga putih, maka dapat nampak dengan jelas bahwa anak mengerti adanya klasifikasi kelompck bunga merah dan kelompok bunga putih. Jadi anak ternyata sudah memiliki sejumlah struktur dasar dengan integrasi yang baik seperti misalnya mengumpulkan berbagai objek dalam klasifikasi tertentu serta mengatur secara hierargik berbagai kelompok dalam klasifikasi tersebut. Atas dasar tingkah laku ini dapat ditarik kesimpulan bahwa anak telah memiliki skema kiasifikasi.
Jadi pengertian skema atau struktur psikologis adalah sedikit banyak kompleks. Hal ini tidak hanya berhubungan dengan pola tingkah laku yang teratur, melainkan juga berhubungan dengan pola berpikir yang telah diintemalisasi. Piaget menamakan kedua hal tadi skema karena menurut konsep teoretisnya maka skema operasional Itu datang dari skema sensori motorik melalui proses intemalisasi (bandingkan pendapat bahwa anak memperoleh pengertian melalui berbuat aktif dengan dunia luar). Jadi ada kontinuitas di antara kedua skema.
Hal ini berhubungan dengan suatu postulat lain yang penting dalam teori Piaget, yaitu adanya beberapa stadium yang berbeda-beda dalam perkembangan kognisi anak. Hal ini mengandung. arti bahwa struktur kognitif anak pada tingkatan umur yang berbeda dapat mempunyai bentuk yang berlain-lainan.
Suatu skema memungkinkan anak untuk mempelajari respons-respons baru. Hal ini disebabkan oleh proses akomodasi.
Suatu contoh : Bayi memegang bola atas dasar refleks raihnya. Kemudian mau dihisapnya sesuai dengan skema dalam bergaul dengan benda-benda: dunia terdiri dari benda raih dan benda. hisap, jadi ia menghisapnya. Pada waktu ini terjadilah asimilasi, yaitu penyesuaian atas dasar pengertian yang telah ada. Pada waktu ini anak mengerti bahwa bola tidak sesuai untuk dihisap. Mungkin enakkan menjatuhkan bolanya (misalnya anak ada dalam boks) dan mengerti sifat khas bola tadi, kemudian anak mengambil kembali bola tersebut dan menjatuhkannya lagi. Pada waktu ini terjadilah suatu skema baru karena anak menyesuaikan dirinya dengan sifat-sifat bola tadi. Hal ini adalah akomodasi (sebagai ilustrasi lihat Gambar 25).
Dari contoh-contoh di atas dapat dilihat bahwa skema-skema tertentu yang ada serta bergaul dengan lingkungan memberikan sumbangan yang besar dalam menambah luasnya pengertian anak. Di sini menjadi jelaslah bahwa anak lebih banyak mengerti daripada yang dapat dinyatakan dan dikatakan. Di sini juga letaknya salah satu titik tolak Furth yang pokok, yaitu bahwa jelas sampai usia 7 atau 8 tahun berpikir anak harus dipandang lepas dari bahasanya (Furth, 1966).
4.4.2 Representasi dunia dan stadium-stadium dalam per¬kembangan kognitif
Dunia orang dewasa adalah teratur. Hal-hal yang ada dalam diri manusia seperti perasaan, pikiran, impian, keinginan dan hal-hal yang ada di luar diri manusia seperti rumah, pohon, objek-objek tertentu, serta dunia sosial manusia dapat diatur. Hal-hal itu dapat diperlakukan oleh orang dewasa secara objektif karena mereka dapat dipandang sebagai hal sesuatu yang lepas dari diri kita sendiri. Hubungan satu sama lain (kategori, relasi, hubungan-hubungan kausal), yang sudah wajar bagi kita belum merupakan hal yang wajar bagi anak. Anak belum mengalami distansi yang jelas dengan dunia luar. Baru sesudah kurang lebih 12 bulan maka anak, menurut Piaget, baru mampu untuk mengerti bahwa suatu benda tetap ada meskipun tidak lagi nampak (lihat tabel 4). Permanensi objek atau formasi objek ini merupakan suatu langkah yang penting dalam pengertian dunia luar. Hal ini juga merupakan persyaratan yang mutlak untuk dapat memperlakukan objek dalam keliling secara simbolis. Formasi simbol ini mulai berkembang pada umur kurang lebih 18 bulan memungkinkan anak untuk melihat benda sebagai penunjuk hal sesuatu yang lain, sebagai sesuatu yang lain daripada yang sesungguhnya. Scherik-Danziger (1972) dalam hubungan ini mengemukakan bahwa pengertian akan simbol serta timbulnya tanggapan-tanggapan terjadi bersama-sama dengan perkembangan bahasa serta permainan peranan. Ia juga mengemukakan bahwa permainan peranan mempunyai ciri-ciri yang juga harus ada pada pemakaian bahasa dan bekerja dengan simbol, yaitu :
• sikap memperlakukan hal-hal dengan "pura-pura"
• adanya formasi simbol atau pembentukan pengertian yang sembarang (metamorfosa benda)
• mengenakan sifat manusia pada benda atau hewan (antro-pomorfisme);
• merubah peranan manusia secara fiktif
• imitasi tingkah laku atau rangkaian tingkah laku.
Berbagai kemampuan baru anak ini memungkinkan anak untuk mengalami dunia keliling secara "lain" dan mengenalinya dengan cara yang lain.
Kognisi, perkembangan pikir dan pengenalan, membuat setiap orang mengatur dunia keliling dengan caranya sendiri-sendiri. Seorang Eskimo akan mengatur dunianya dengan cara yang lain daripada orang Indonesia atau orang Jepang. Kognisi mengandung proses berpikir dan proses mengamati yang menghasilkan, memperoleh, menyimpan dan memproduksi pengetahuan.
Representasi dunia luar di dalam diri sendiri dan dengan demikian berpikir mengenai dunia luar berjalan sebagai berikut:
1. Bayangan (image): hal ini dijumpai pada anak-anak umur 4 tahun. Ini merupakan representasi pertama suatu kejadian tertentu dan tidak merupakan pencerminan fotografis yang eksak. Hanya me¬rupakan kesan-kesan tertentu yang lepas yang kebetulan melekat pada ingatan. Misalnya setiap orang mempunyai Ingatan akan pengalaman-pengalaman tertentu waktu masih kecil: pada satu saat kita diingatkan nenek. Hal ini juga bisa terjadi dengan melihat sesuatu atau mendengar sesuatu. Apa yang kita ingat tadi adalah kesan-kesan tertentu yang melekat pada ingatan kita.
2. Simbol : Simbol adalah suatu bentuk representasi lain. Di sini tidak hanya berkisar pada bunyi yang khas atau bau yang khas dengan artinya yang khas. Simbol justru melebihi kejadian yang khas dan menunjuk pada sesuatu yang lain daripada hal yang sesungguhnya (Knoers, 1976). Misalnya seorang anak kecil bermain dengan dos korek api seakan itu sebuah mobil. Kelak anak akan mengerti bahwa simbol, seperti halnya tanda lalu lintas, merupakan penunjuk bagi hal sesuatu yang lain.
3. Konsep (pengertian): Mulai usia prasekolah timbullah pada anak suatu kebutuhan untuk mengatur kesan-kesan dan kejadian-kejadian, menemukan hubungan-hubungan dan relasi-relasi kausal. Hal ini merupakan langkah (pertama) yang penting ke arah kesadaran akan aturan. Bertambah banyaknya cara berpikir dalam pengertian nampak misalnya dalam anak menemukan bahwa ciri suatu kendaraan roda dua adalah selalu adanya dua roda, bahwa bila di sini hari Minggu di mana-manapun hari Minggu. Anak makin mengerti bahwa pengertian merupakan suatu kumpulan sifat yang umum.
4. Aturan: Suatu aturan adalah suatu hubungan antara dimensi dua pengertian atau lebih. Ada aturan yang formal dan yang tidak formal, yang formal misalnya "air adalah basah", "api adalah panas", aturan tidak formal misalnya "kue-kue adalah manis". Aturan formal berdasarkan hukum alam, sedangkan aturan tidak formal berdasarkan perjanjian atau pengalaman.
Perkembangan representasi dunia keliling berjalan melalui urutan tersebut di atas. Penting dikemukakan di sini bahwa Piaget tidak menghubungkan fase-fase tadi pada umur-umur tertentu. Ia hanya mengatakan bahwa representasi menunjukkan urutan tersebut dan bahwa makin lama makin tercapai bentuk representasi yang lebih tinggi. Menurut Piaget perkembangan kognisi dapat dibagi menjadi beberapa stadium, artinya fungsi kognitif pada umur yang berlain-lainan dapat jelas dibedakan satu sama lain. Jadi stadium yang berurutan tadi menunjukkan kemungkinan kognitif baru yang sebelumnya belum ada.
Dalam keseluruhan Piaget membedakan adanya 10 stadium sebagai titik mula yang jelas mengenal timbulnya kemungkinan-kemungkinan baru. Pembagian yang paling banyak ada pada stadium pokok yang pertama, yaitu stadium sensori motorik. Stadium ini mencakup 6 buah sub stadium (lihat tabel 4). Stadium pra-operasional, stadium pokok yang kedua biasanya dibagi menjadi dua stadium: dari 2-5 tahun dan dari 5-7 tahun. Dalam sub stadium yang pertama lebih banyak menonjol perkembangan fungsi-fungsi simbolis serta berpikir intuitif. Pada sub stadium yang kedua lebih menonjol perkembangan konservasi. Dalam periode ini tumbuhlah pengertian akan invariansi, sifat kelanggengan benda, artinya banyaknya atau beratnya barang sesuatu akan tetap sama, tetap tidak berubah dengan berubahnya bentuk barang itu. Stadium operasional konkrit (kurang lebih 7-11 tahun) dan stadium operasional formal (mulai kurang lebih 12 tahun) masing-masing merupakan stadium pokok ketiga dan keempat.
4.4.2.1 Stadium sensori-motorik (0-18 atau 24 bulan)
Anak yang masih kecil, si bayi menunjukkan tindakan-tindakan yang inteligen. Dalam tindakan-tindakan nampak inteligensinya. Gerakan-gerakan refleks yang pertama membawa ke arah penguasaan pengetahuan mengenal dunia luar.
Anak sejak lahir, seperti yang telah kita ketahui, mempunyai sejumlah skema tingkah laku seperti menghisap, meraih (memegang), menggoyang-goyangkan badan dan memukul sesuatu.
Piaget berpendapat bahwa dalam perkembangan kognitif selama stadium sensori motorik ini, Inteligensi anak baru nampak dalam bentuk aktivitas motorik sebagai reaksi stimulasi sensorik. Dalam stadium ini yang penting adalah tindakan konkrit dan bukan tindakan imaginer atau hanya dibayangkan saja. Piaget masih membagi periode ini ke dalam sejumlah sub stadium (lihat Tabel 6 dan selanjutnya Dumont, 1966). Dalam stadium ini nampak perkembangan anak sebagai berikut:
Tabel 6. Gambaran mengenai enam sub stadium sensori motorik (0-18, atau 24 bulan) dalam hubungan dengan perkembangan permanensi objek; di samping itu dilukiskan unsur-unsur yang penting yang ada dalam stadium yang berlainan (bandingkan Flavell, 1977, hal 36 dan 58).
Perkembangan kognitif Permanensi Objek
Stadium 1 (+ 0 - 1 bulan)
Skema refleks bawaan (berujud tingkah , laku refleks)
Stadium 2 (1 - 4 bulan)
Modifikasi skema stadium 1 atas dasar pengaruh pengalaman; mengakibatkan koordinasi, antara lain koordinasi mata-tangan (reaksi sirkuler yang primer) tertuju pada badan sendiri, misal mulai 3 bulan: monolong meraban, bemain-main dengan jari-jari kakinya sendiri). Stadium 1 dan 2 (+ 0—4 bulan)
Bayi mengikuti objek yang bergerak dengan mata sampai objek menghilang, perhatian segera hilang dan memandang sebentar pada tempat objek menghilang.
Stadium 3 (± 4 — 8 bulan)
Perkembangan skema yang menyebabkan akibat yang menarik dalam lingkungan. orientasi ekstern, (reaksi sirkuler yang sekunder ditujukan pada lingkungan. misal membuka pintu atau tas).
• Reaksi sirkuler yang sekunder (Piaget, 1936)
• Functionlust (K. Buhler, 1919)
• Motivasi efektif (effectance: motivati¬on) = bergaul secara efektif dengan lingkungan (White, 1959).
Tiga macam nama untuk satu gejala yang sama: tingkah laku yang satu mengundang tingkah laku yang berikutnya = sirkuler.
Stadium 3 (+.4 - 8 bulan)
Mengikuti objek dengan mata, fiksasi bila gerakan objek berhenti, tahu sebelumnya posisi yang akan datang berdasarkan proses gerakan. Mengikuti secara visual sampai melampaui tempat menghilangnya objek (misal, membungkuk dari kursi untuk melihat objek yang jatuh). Dapat mengenal objek yang hanya nampak sebagian. Tidak mencoba untuk memegang bila menghilang meskipun mampu. Tidak heran bila objek menghilang.
Stadium 4 (+ 8 -12 bulan)
Koordinasi respons stadium 3 mengakibatkan tingkah laku intensional, nampak seperti "inteligen" (koordinosi reaksi-reaksi sekunder) Stadium (+ 8 – 12 bulan)
Mencoba memegang dengan tangan objek yang menghilang dari pandangan mata. Mencari terus ditempat menemukan sebelumnya meskipun melihat kalau dipindah. Kebiasaan motorik: "Carilah di tempat yang sebelumnya kau menemukannya"; penting di sini pola aksi sensoris.
Perkembangan kognitif Permanensi Objek
Stadium 5 (+ 12 - 18 bulan)
Stadium 5 (+ 12 - 18 bulan)
Mencari objek di tempat yang untuk terakhir dilihatnya menghilang, misal di tangan, bukan di bawah lap atau layar tempat objek ditinggalkan
Stadium 6 (±. 18 — 24 bulan)
Penemuan, skema alat tujuan yang baru melalui kombinasi mental internal dari skema-skema yang direpresentasi secara simbolis. Perpindahan dari fungsi sensori metoris ke fungsi simbolis lognitif (permulaan berpikir) Stadium 6 (±. 18 — 24 bulan)
Anak menggunakan kecakapan simbolis yang baru berkembang untuk membayangkan kemungkinan berbagai perpindahan yang tidak nampak dari-pada objek yang tersembunyi; tidak khusus terikat pada perpindahan yang nampak.
pada mulanya anak bergerak melului atas dasar tingkah laku refleksi murni. Sama sekali belum ada differensiasi antara anak dan keliling. Baru pada akhir periode ini nampak differensiasi yang jelas antara subjek dan objek. Contoh yang paling jelas mengenai arah perkembangan ini adalah gejala permanensi objek (untuk maksud ini lihat juga pasal 3.1.1.).
Pada mulanya maka suatu objek hanya merupakan suatu perpanjangan tindakan tersendiri. Bagi anak umur ±. 8 bulan objek tidak ada eksistensinya lagi bila misalnya disembunyikan di belakang layar. Baru sekitar 9—12 bulan anak mampu untuk menemukan kembali objek-objek yang disembunyikan. Anak pada usia ini hanya mencarinya di tempat objek tadi disembunyikan pertama kali, Dengan lain perkataan bila suatu objek untuk pertama kalinya disembunyikan di bawah bantal A dan kemudian di bawah bantal B, maka anak umur 12 bulan pertama-tama mencarinya di bawah bantal A.
Baru pada bagian kedua tahun kedua, anak mencari objek tadi di tempat yang terakhir kali ia melihatnya menghilang atau disembunyikan (di bawah bantal B). Tetapi pada usia ini anak masih harus melihat juga apa yang terjadi. Bila kita mengambil suatu objek dan memasukkannya ke dalam dos, kemudian meletakkan dos itu di belakang layar lalu objek dikeluarkan. maka baru pada akhir periode ini-jadi sekitar 18 bulan timbul pengertian pada anak untuk juga melihatnya di belakang layar waktu itulah anak baru mampu untuk membayangkan hal-hal baru.
Dari observasi-observasi ini ternyata bahwa selama stadium sensori motoris ini anak berkembang kearah suatu proses. Piaget menanamkan proses ini proses desentrasi, artinya anak dapat memandang dirinya sendiri dan lingkungan sebagai dua entitas yang berbeda.
4.4.2.2 Stadium pra-operasional (± 18 bulan —7 tahun)
Stadium pra-operasional dimulai dengan penguasaan bahasa yang sistematis, permainan simbolis. imitasi (tidak langsung) serta bayangan dalam mental. Semua proses ini menunjukkan bahwa anak sudah mampu untuk melakukan tingkah laku simbolis. Anak sekarang tidak lagi mereaksi begitu saja terhadap stimulus-stimulus melainkan nampak ada suatu aktivitas internal.
Anak mampu untuk berbuat pura-pura, artinya dapat menimbulkan situasi-situasi yang tidak langsung ada. Ia mampu untuk menirukan tingkah laku yang dilihatnya (irnitasi/dan apa yang dilihatnya sehari sebelumnya (imitasi tertunda). Anak dapat mengadakan antisipasi, misalnya ia sekarang dapat mengatakan bahwa menaranya belum selesai, karena ia tahu menara yang bagaimana yang akan dibuatnya. Ia sekarang mampu untuk mengadakan representasi dunia pada tingkatan yang konkrit. Tetapi meskipun adanya banyak aspek-aspek yang positif dalam cara berpikir pra-operasional ini, namun masih banyak kekurangan juga.
Berpikir pra-uperasional masih sangat egosentris. Anak belum mampu (secara persepsual, emosional-motivational, dan konsepsual) untuk mengambil perspektif orang lain).
Contoh: anak diajak ke lapangan balap mobil. Di lapangan tadi ada 3 buah mobil, merah, putih dan biru berjajaran. Bila anak diminta untuk menyebutkan uratan mobil tadi dari sudut pandangan orang lain yang berdiri di seberang sebaliknya, maka ia akan menjawab dari sudut perspektifnya sendiri.
Cara berpikir praoperasional sangat memusat (centralized). Bila anak dikonfrontasi dengan situasi yang multi-dimensional, maka 2 akan memusatkan perhatiannya hanya pada satu dimensi saja dan mengabaikan dimensi-dimensi yang lain dan akhirnya juga mengabaikan hubungannya antara dimensi-dimensi ini.
Contoh : sebuah gelas tinggi ramping dan sebuah gelas pendek dan lebar diisi dengan ait yang sama banyaknya. Anak ditanya apakah air dalam dua buah gelas tadi sama banyaknya. Anak kebanyakan akan menjawab bahwa ada lebih banyak air dalam gelas yang tinggi ramping tadi karena gelas ini lebih tinggi daripada yang satunya. Anak belum melihat dimensi-dimensi yang lain.
Berpikir pra-operasional adalah tidak dapat dibalik (ir-reversable). Anak belum mampu untuk meniadakan suatu tindakan dengan memikirkan tindakan tersebut dalam arah yang sebaliknya. Sangat khas bagi anak dalam pariode ini adalah, percakapan antara orang dewasa dan anak sebagai berikut:
Totok, kau punya saudara Ya!
Siapa nama saudaramu Mita
Apa Mita punya saudara Tidak
Hubungan "Totok punya saudara Mita' dibalik. Berpikir pra-operasional adalah terarah dibalik. Bila situasi A beralih ke situasi B, maka anak hanya memperhatikan situasi A, kemudian B. Ia tidak memperhatikan transformasi perpindahannya A ke B.
Contoh: bila anak diminta untuk menggambarkan suatu tingkat yang sedang jatuh, maka anak mula-mula menggambar tongkat yang berdiri tegak dan kemudian tongkat yang berbaring. Aspek dinamiknya tongkat sedang jatuh- diabaikan oleh anak.
4.4.2.3 Stadium operasional konkrit (7—11 tahun)
Stadium operasional konkrit dapat digambarkan sebagai menjadinya positif ciri-ciri yang negatif pada stadium berpikir pra-operasional. Cara berpikir anak yang operasional konkrit kurang egosentris. Ditandai oleh desentrasi yang besar, artinya anak sekarang misalnya sudah mampu untuk memperhatikan lebih dari satu ! dimensi sekaligus dan juga untuk menghubungkan dimensi-dimensi ini satu sama lain (hal ini dapat dilihat dari kemampuan anak dalam stadium ini juga mengadakan konservasi; lihat 4.4.2.5. c). Anak sekarang juga memperhatikan aspek dinamisnya dalam perubahan situasi. Akhirnya ia juga sudah mampu untuk mengerti operasi logisnya reversibilitas.
Namun ada juga "kekurangannya" dalam cara berpikir yang operasional konkrit. Hal ini sebelumnya sudah secara implislt ditunjukkan oleh istilah operasional konkrit. Anak mampu untuk melakukan aktivitas logis tertentu (operasi) tetapi hanya dalam situasi yang konkrit. Dengan lain perkataan, bila anak dihadapkan dengan suatu masalah (misalnya masalah klasifikasi) secara verbal, yaitu tanpa adanya bahan yang konkiit, maka ia belum mampu untuk menyelesaikan masalah ini dengan baik.
Dalam uraian labih lanjut akan ditinjau mengenai tugas-tugas tertentu yang dapat menggambarkan perpindahan dari cara berpikir yang pra-operasional ke berpikir yang operasional.
4.4.2.4 Stadium operosional formal (mulai 11 tahun)
Seperti yang sudah dikatakan maka anak dalam stadium opera¬sional konkrit dapat berpikir operasional dengan catatan bahwa materi berpikirnya ada secara konkrit.
Anak dalam stadium operasional konkrit sangat terikat pada masa kini. Ia belum mampu untuk memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa ada. Hal ini berubah dengan datangnya stadium operasional formal.
Berpikir operasional formal mempunyai dua sifat yang penting:
1. Sifat deduktif-hipotetis: bila anak yang berpikir operasional konkrit harus menyelesaikan suatu masalah maka ia langsung memasuki masalahnya. Ia mencoba beberapa penyelesaian secara konkrit dan hanya melihat akibat langsung usaha-usahanya untuk menyelesaikan masalah itu.
Anak yang berpikir operasional formal, akan bekerja dengan cara lain. Ia akan memikirkan dulu secara teoretis. Ia menganalisis masalahnya dengan penyelesaian berbagai hipotesis yang mungkin ada. Atas dasar analisisnya ini, ia lalu membuat suatu strategi penyelesaian. Analisis teoretis ini dapat dilakukan secara verbal. Anak lalu mengadakan pendapat-pendapat tertentu, juga disebut proposisi-proposisi. kemudian mencari hubungan antara proposisi yang berbeda-beda tadi. Berhubung dengan itu maka berpikir operasional formal juga disebut berpikir proporsional.
2. Berpikir operasional formal juga berpikir kombinatoris.
Sifat ini merupakan kelengkapan sifat yang pertama dan berhubungan dengan cara bagaimana dilakukan analisisnya. Hal ini dapat digambarkan dengan contoh berikut: pencoba memberikan lima buah gelas berisi cairan tertentu kepada anak. Suatu kombinasi cairan ini membuat cairan tadi berubah warna. Anak diminta untuk mencari kombinasi ini.
Anak yang berpikir operasional konkrit mencoba untuk mencari kemungkinan-kemungkinan kombinasi tadi secara tidak sistematis, secara trial and error sampai secara kebetulan ia menemukan kombinasi tersebut. Tetapi sesudahnya ia tidak mampu untuk memproduksinya lagi. Kalau anak tidak dapat menemukan kombinasi yang betul tadi, hal itu berarti bahwa kombinasi yang secara kebetulan ditemukan itu, tidak dicarinya secara empiris. Anak yang berpikir operasional formal lebih dahulu secara teoretis membuat matriks mengenai segala macam kombinasi yang mungkin; kemudian secara sistematis mencoba setiap sei matriks tersebut secara empiris. Bila ia menemukan penyelesaiannya yang betul, maka ia juga akan segera dapat memproduksinya lagi. Dari contoh ini nampak bahwa. berpikir operasional formal memungkinkan orang untuk mempunyai tingkah laku "problem solving" yang betul-betul ilmiah, serta memungkinkan untuk mengadakan pengujian hipotesis dengan variabel-variabel tergantung.
4.4.2.5 Perpindahan dari berpikir pro-operesional ke operasional konkrit
Piaget menciptakan sejumlah tugas yang dapat menggambarkan perpindahan dari berpikir pra-operasional ke operasional konkrit. Tugas-tugas ini dapat dipandang sebagai tugas-tugas kriterium, artinya bila anak dapat menyelesaikan tugasnya maka ia ada dalam stadium operasional konkrit. Beberapa dari tugas-tugas ini akan diterangkan secara singkat sebagai berikut:
a. Mengatur secara serial: Bila anak dalam stadium pra-operasional diberi tugas. untuk mengatur beberapa tongkat kecil yang berlain-lainan panjangnya, maka ia tidak mampu untuk mengaturnya menurut panjang pendeknya tongkat-tongkat tadi. Anak yang berpikir operasional konkrit dapat melakukan hal itu.
b. Klasifikasi. Bila anak umur 2—5 tahun diberi sejumlah balok yang mempunyai warna dan bentuk yang berbeda-beda dan bila ia ditanya 'balok-balok mana yang sama, maka ia tidak dapat menjawabnya. Anak hanya membuat apa yang disebut "conceptual chains" artinya ia meletakkan balok-balok tadi dalam suatu "seri". berdasarkan dasar konsepsi yang senantiasa berbeda. Suatu contoh rangkaian konsepsi adalah: sebuah segi empat putih, sebuah segi empat merah (dasar bentuk). sebuah lingkaran merah, sebuah persegi merah (dasar warna). Anak selalu mengubah-ubah dasar konsepsinya dalam meletakkan urutan balok yang berikutnya.
Berikut ini akan diterangkan dulu mengenai pengertian "kelas". Dalam melukiskan kelas dapatlah dibuat suatu daftar mengenai semua objek yang ada dalam kelas tersebut. Bila disebutkan mengenai segi empat putih yang kecil, segi empat merah yang kecil, segi empat putih yang besar dan segi empat merah yang besar, maka penyebutan ini dinamakan ekstensi kelas (luasnya kelas). Aspek yang lain ialah bahwa semua objek yang tercakup dalam kelas ini mempunyai ciri segi empat. Ciri yang sama yang dimiliki oleh semua objek dalam kelas tadi disebut intensi kelas. Ciri yang khas dari kelas tadi menentukan objek mana dari suatu kumpulan objek yang dapat digolongkan dalam suatu kelas tertentu. Jadi dapat pula dikatakan intensi kelas menentukan ekstensinya.
Bila ada suatu kumpulan balok yang terdiri dari beberapa persegi merah dan putih serta beberapa bulatan biru dan hijau, maka klasifikasinya dapat dilukiskan seperti nampak pada Gambar 26.
Gambar 26. Skema klasifikasi mengenai sekumpulan balok yang berbeda-reda menurut bentuk dan warnanya.
Anak umur 5—7 tahun mampu untuk mengadakan klasifikasi sebagai berikut :
- Ia akan menggolong-golongkan semua balok-balok (anak-anak yang lebih muda akan sering menyisakan beberapa yang tidak diklasifikasi)
- Semua balok diklasifikasi menurut atau bentuk perseginya atau bentuk bulatnya. Jadi intensi menentukan ekstensinya.
- Ia juga akan membuat klasifikasi yang tepat menurut warnanya, jadi tidak membuat "conceptual chains".
- Ia juga akan menentukan tingkat hirargisnya; di sini tingkat yang paling rendah adalah warna dan tingkat yang paling tinggi adalah bentuk.
Namun pada usia ini anak belum mempunyai pengertian akan operasi logis dalam Inklusi-kelas, artinya Ia belum mengerti bagaimana relasi di antara tingkatan yang berbeda-beda itu dalam hirargi tadi:
Mengenai kumpulan balok-balok tadi dapat dipikirkan antara lain: (1) semua segi empat adalah merah atau putih, (2) ada lebih banyak segi empat daripada yang merah, (3) ada lebih banyak segi empat daripada yang putih, (4) bila segi empat yang merah diambil, tinggal yang putih, (5) bila segi empat putih yang diambil tinggallah yang merah dan sebagainya. Nampaknya hal ini semuanya masuk akal. Tetapi bila anak ditanya apakah ada lebih banyak segi empat daripada yang merah, atau apakah masih ada segi empat yang sisa bila yang merah semua diambil, maka anak belum dapat menjawabnya. Operasi mengenai inklusi-kelas terletak pada pengertian yang benar mengenai hubungan antara bagian dan keseluruhan, antara keseluruhan dan bagian, dan antara bagian dan bagian.
Ketidakmampuan anak pada umur 5—7 tahun untuk mengerti hal ini diterangkan oleh Piaget dengan hipotesis bahwa anak belum dapat menilai dua macam dimensi yang berbeda (di sini keseluruhan dan bagian) dalam satu situasi pengamatan yang sama.
Mulai 7 tahun anak nampak makin dapat mengadakan klasifikasi secara hirargis dan memperoleh pengertian dalam inklusi-kelas. Namun hal itu hanya dapat dilakukan bila bahan-bahannya adalah konkrit. Biasanya baru mulai usia 11 tahun anak mampu untuk mengadakan klasifikasi secara tepat, juga mengenai hal-hal yang tidak konkrit. Hal ini berhubungan dengan mulainya stadium operasional formal.
c. Konservasi. Hal ini berhubungan dengan pertanyaan bagaimana anak memperoleh pengettian bahwa sifat-sifat tertentu sesuatu objek akan tetap sama meskipun ada transformasi pada objek tadi. Bagi orang dewasa adalah jelas dan semestinya bahwa misalnya suatu bola dari tanah liat yang dirubah bentuknya akan tetap mempunyai berat yang sama. Anak dalam stadium pra-operasional akan mengira bahwa dalam contoh ini perubahan dalam bentuk juga menyebabkan perubahan dalam berat. Dapat dikatakan bahwa anak belum mampu untuk mengerti mengenai konservasi berat. Masalah konservasi ini mengambil tempat yang penting dalam teori Piaget. Mampu untuk konservasi menurut Piaget merupakan persyaratan yang mutlak bagi segala aktivitas intelektual, jelasnya untuk berpikir kuantitatif dan matematis. Prosedur eksperimentalnya yang digunakan Piaget untuk menentukan apakah anak mampu untuk konservasi atau belum dapat dilukiskan dengan contoh sebagai berikut:
Pencoba menunjukkan dua buah gelas yang identik, suatu gelas standard (S) dan suatu gelas variabel (V). Dengan dilihat oleh anak (coba) ia mengisi dua gelas tadi dengan jumlah air yang sama. Ia baru melanjutkan dengan prosedurnya sesudah anak menentukan dengan nyata bahwa dalam dua gelas tadi banyaknya air sama. Kemudian air dalam gelas V dituangkan dalam suatu gelas lain (V1) yang misalnya lebih tinggi dan lebih ramping daripada gelas V.
Pertanyaan konservasinya adalah:
"Apakah banyaknya air sama dalam gelas ini (menunjuk pada VI) dan dalam gelas itu (menunjuk pada S) ataukah airnya lebih banyak dalam gelas ini (menunjuk pada VI) atau gelas itu (menunjuk pada S)?"
Dengan prosedur tersebut dicoba untuk mengetahui kemampuan anak dalam konservasi kuontitas kontinyu. Selanjutnya penelitian konservasi juga tertuju pada konservasi berat (pertanyaah: apakah berat suatu bola' tanah liat berubah bila bentuknya berubah?), konservasi jumlah (pertanyaan bila ada dua deret tangkai korek api yang jumlahnya sama kemudian pada deret yang satu saya jarangkan letaknya, apakah jumlahnya masih sama) dan pada korservasi substansi (pertanyaan: apakah banyaknya tanah liat berubah bila suatu bola tanah liat diubah bentuknya?).
Penelitian Piaget dan lain-lain lagi menjelaskan bahwa anak mula-mula (± 4 tahun) tidak mampu untuk menyelesaikan masalah konservasi. Usia 5 tahun harus dianggap sebagai situasi peralihan artinya anak kadang-kadang bisa dan kadang-kadang tidak bisa menyelesaikan masalahnya. Mulal ± 6 tahun pertanyaan konservasi tidak merupakan masalah lagi bagi anak.
4.4.3 Kekuatan (motor) perkembangan
Sesudah tinjauan singkat mengenai stadium-stadium perkem¬bangan kognitif menurut Piaget ini. masih akan dibicarakan mengenal dua buah pertanyaan. Pertanyaan yang pertama adalah bagaimana anda dapat beralih dari stadium yang satu ke stadium yang lain dan bagaimana hubungannya dengan perkembangan dan belajar? Pertanyaan yang kedua berhubungan dengan kemungkinan sifat universalitas stadium-stadium tadi.
Pertanyaan yang pertama dapat dijawab dalam hubungan dengan faktor-faktor yang menurut Piaget akan memegang peranan yang penting dalam perkembangan inteligensi. Seperti telah diketahui maka dalam psikologi perkembangan ada dua pendapat yang ekstrim mengenai faktor-faktor yang penting dalam perkembangan ini. Pendapat organismis berpendapat bahwa inteligensi hanya ditentukan oleh mekanisme pemasakan yang biologis saja; perbedaan perseorangan disebabkan oleh perbedaan dalam kemampuan bawaan; faktor keliling tidak berpengaruh terhadap perkembangan.
Pendapat yang mekanistis sebaliknya mengatakan bahwa inteligen hanya ditentukan oleh faktor lingkungan saja; pemasakan biologis tidak ada pengaruhnya; perbedaan perseorangan disebabkan oleh perbedaan dalam kondisi lingkungan (bandingkan teori-teori belajar). Piaget memilih pendapat yang interaksionistis yang meletakkan titik berat yang sama pada faktor pemasakan maupun lingkungan.
Menurut Piaget maka pertumbuhan mental mengandung dua macam proses, perkembangan dan belajar. Perkembangan adalah perubahan struktural dan belajar adalah perubahan isi. Proses perkembangan dipengaruhi oleh 4 macam faktor. (Lihat juga Kncers; 1973).
a. Pemasakan: Tumbuhinya struktur-struktur fisik secara berangsur-angsur mempunyai akibat pada perkembangan kognitif anak. Contoh yang mudah dalam hal ini adalah pertumbuhan pusat susunan otak
b. Pengalaman atau kantak dengan lingkungan: Menurut Piaget maka kontak dengan lingkungan mengakibatkan dua macam ciri pengalaman mental. Pertama adalah pengalaman fisik yaitu aktivitas yang dapat mengabstraksi sifat fisik objek-objek tertentu. Pengalaman fisik ini memberikan pengertian mengenai sifat yang langsung berhubungan dengan objeknya sendiri, misalnya pengertian bahwa objek yang satu lebih berat daripada yang lain, bahwa bunga mawar mempunyai bau harum. Pengalaman yang satunya disebut Piaget pengalaman logiko-matematik. Pengalaman ini berhubungan dengan pengertian yang tidak datang dari pengaliaman fisik, melainkan diperoleh dari koordinasi internal perilaku individu. Misalnya anak bermain dengan sejumlah balok, dihitungnya dan berkali-kali dihitungnya lagi, diaturnya begini, lalu begitu. Dengan demikian anak akan memperoleh pelajaran tidak mengenai balok-baloknya sendiri, melainkan mengenai perilaku menghitung dan mengatur sendiri, melainkan ia akan mengerti bahwa perilakunya itu tidak mempunyai akibat apa-apa terhadap jumlah balok-balok tadi.
c. Transmist sosia/:'anak hidup dalam dunia sosial; maka melalui
sekolah, media massa dan lain-lain yang semacam anak mem¬
peroleh informasi yang berpengaruh terhadap perkembangan
kogr.itifnya. Dalam hubungan ini penting untuk disebutkan bahwa
Piaget menganggap bchasa tidak mernpunyai pengaruh langsung
terhadap perkembangan kognisi.
Berpikir adalah tingkah laku yang diinternalisasi. Jadi suatu keterbelakangan perkembangan kognitif tidak dapat dikejar oleh suatu program kompensasi bahasa. Pendapat Piaget mengenai hubungan antara bahasa dan berpikir ditinjau lebih lanjut oleh Furth. Furth telah berulang kali menerapkan percobaan-percobaan Piaget pada anak-anak yang tuli dan setengah tuli dan menemukan bahwa pada anak-anak ini tidak ada keterbelakangan apa-apa dibanding dengan anak-anak "normal". Dia lalu juga menyimpulkan bahwa tidak adanya bahasa ekstern tidak perlu merupakan hambatan untuk dapat secara normal mencapai stadium per-kembangan kognitif yang dikemukakan oleh Piaget.
d. Elcuilibrasi: faktor ini mengintegrasi efek ketiga faktor sebelumnya yang masing-masing kurang cukup memberikan keterangan mengenai proses perkembangan. Proses ekuilibrasi menunjuk pada proses yang mengatur dirinya sendiri dalam diri anak. Proses ini menyebabkan anak berpindah dari stadium yang satu ke stadium yang lain. Dalam perjalanan perkembangan dan
dalam pergaulan yang berulang-ulang dan bermacam-macam dengan lingkungan anak sering berhadapan dengan situasi-situasi konflik. Dalam situasi konflik ini maka keseimbangan yang telah dicapai anak sebelumnya menjadi terganggu. Anak sekarang berusaha untuk mengatasi situasi konflik tadi dengan menemukan keadaan seimbang kembali yang biasanya juga. mernpunyai nilai yang lebih tinggi.
Pertanyaan yang kedua berhubungan dengan sifat universalitas stadium-stadium. Piaget beranggapan bahwa semua orang dalam konteks kebudayaan apapun atan menjalani keempat macam stadium tadi dengan urutan seperti yang dikemukakannya, hanya kecepatannya dapat berbeda-beda Jadi misalnya anak berasal dari apa yang disebut lingkungan sosial ekonomi yang lebih tinggi akan lebih cepat berpindah dari berpikir pra-operasional ke operasional konkrit dibanding dengan anak berasal dari apa yang disebut lingkungan
sosial-ekonomi yang lebih rendah. Begitu pula seorang anak yang dapat mendengar normal lebih cepat mencapainya daripada anak yang setengah tuli. Pendapat Piaget ini diragukan oleh adanya dua macam penelitian.
Penelitian lintas budaya menunjukkan bahwa teori Piaget mungkin sangat berorientasi pada populasi yang khas barat; penelitian-penelitian ulangan dalam kultur yang berbeda tidak selalu memberikan hasil yang diharapkan.
Juga penelitian ulangan dalam kultur barat sendiri yaitu dalam apa yang disebut lingkungan sosial yang lebih rendah menunjukkan bahwa teori Piaget mungkin sangat berorientasi pada sekelompok anak yang baik dan terpilih dari apa yang disebut lingkungan yang lebih tinggi.
Meskipun adanya kritik ini Piaget tetap berkeyakinan akan sifat universalnya pembagian stadium-stadium ini. Titik tolaknya yang prinsip adalah bahwa semua orang pada suatu saat tertentu dalam perkembangannya akan mencapai stadium operasional formal sesudah melalui ketiga stadium sebelumnya. Memang dalam tahun 1972 Piaget mengemukakan perubahan-perubahan kecil dalam artikelnya: in tellectual evolution from adolescence to adulthood" akibat adanya kritik-kritik tersebut. Kalau sebelumnya Piaget beranggapan bahwa stadium operasional formal akan dicapai pada usia antara 11 dan 14 tahun, maka sekarang ia luaskan batas urnur tadi menjadi 15—20 tahun.
Di samping itu Piaget masih memperhatikan bahwa tiap manusia pada umumnya hanya akan mengkhususkan dirinya pada satu bidang pekerjaan tertentu. Dia kemukakan bahwa setiap orang bagaimanapun juga pada suatu tingkat umur tertentu akan mampu untuk berpikir operasional formal justru mengenai hal yang menyangkut lapangannya sendiri. Secara konkrit hal ini berarti bahwa seorang ahli hukum akan mampu untuk mengatasi masalah hukum secara operasional formal, tetapi hal ini tidak akan dapat dilakukan pada masalah yang murni fisika. Hal ini lalu tidak boleh diterangkan bahwa orang tersebut dalam prinsip tidak dapat berpikir secara operasional formal, sebaliknya orang tadi memiliki secara prinsip struktur-struktur berpikir operasional formal, namun dalam hal-hal fisika ia tidak mempunyai pengetahuan yang khusus yang dibutuhkan untuk mengatasi masalahnya.
Labels:
Reference
Thanks for reading Objek Dan Metode Psikologi Perkembangan 1. Please share...!
0 Komentar untuk "Objek Dan Metode Psikologi Perkembangan 1"
Yang sudah mampir wajib tinggalkan komentar