PEMBAHASAN
Secara tradisional, psikologi menghindari mempelajari sesuatu yang memiliki penilaian baik atau buruk (value judgments). Ada tingkat kesulitan tertentu untuk menghindari bias ketika berbicara dalam istilah “baik” atau “buruk”. Itulah sebabnya, aspek kehidupan manusia yang penting, yaitu moralitas, harus menunggu lama sebelum ada psikolog yang berani menelitinya. Namun, pada saat ini psikolog telah meneliti berbagai proses mendasar dari perkembangan moral, bagaimana orang menilai baik atau buruk, apakah terdapat tahapan dalam perkembangan moral, faktor-faktor apa yang memengaruhi perkembangan moral, dan lain-lain. Berbagai pertanyaan terus muncul dalam membahas perkembangan moral.
A. Pengertian Moralitas
Moralitas dapat didefenisikan dengan berbagai cara. Namun, secara umum moralitas dapat dikatakan sebagai kapasitas untuk membedakan yang benar dan yang salah, bertindak atas perbedaan tersebut, dan mendapatkan penghargaan diri ketika melakukan yang benar dan merada bersalah atau malu ketika melanggar standar tersebut.
Komponen kognitif merupakan pusat di mana seseorang melakukan konseptualisasi benar dan salah dan membuat keputusan tentang bagaimana seseorang berperilaku.
Islam mengajarkan pentingnya rasa malu untuk melakukan perbuatan yang tidak baik sebagai sesuatu yang penting. Islam mengajarkan bahwa Allah mengilhamkan ke dalam jiwa manusia dua jalan yaitu jalan kefasikan dan ketakwaan. Manusia memiliki akal untuk memilih jalan mana yang ia akan tempuh. Dalam Al-Qur’an dinyatakan:
....dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-Nya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasihan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan merugikan orang yang mengotorinya. (QS Al-Syams (91):7-10).
B. Perilaku-Perilaku Dasar Moral
Pada umumnya orang tua mengharapkan anak-anaknya untuk tumbuh menjadi seseorang yang memiliki moralitas yang kuat dalam berhubungan dengan orang lain.
1. Alturuisme: Perkembangan Perilaku Prososial
Islam juga memerintahkan umatnya untuk saling tolong menolong satu sama lainnya dalam kebajikan dan takwa.
Dan bertolong-tolonglah kamu atas kebajikan dan takwa dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu pada Allah. Sesungguhnya Allah amat berat siksanya (QS Al-Maidah (5):2).
DalamIslam, perilaku prososial dilakukan bukan untuk mendapatkan penghargaan manusia atau memperoleh kenikmatan duniawi. Saling membagi, saling membantu dan bentuk perilaku prososial lain menjadi lebih umum pada usia prasekolah dan seterusnya. Selain itu kemampuan penalaran moral prososial dan kemampuan memberikan reaksi empatik juga merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap alturuisme.
Menurut penelitian, anak prasekolah lebih menunjukkan sifat yang berpusat pada diri sendiri, sementara anak yang lebih menunjukkan sifat yang berpusat pada diri sendiri, sementara anak yang lebih tua lebih menunjukkan keinginannya menunjukkan perilaku rela mengorbankan kepentingan dirinya untuk mereka yang lebih membutuhkan.
Bayi dan anak-anak telah dapat mengenali dan sering kali bereaksi terhadap perasaan tidak nyaman dari seseorang. Orang tua dapat meningkatkan perilaku altuistik melalui dorongan verbal untuk membantu orang menenangkan, membagi atau bekerja sama dengan orang lain (altruistic exhortation). Orang tua yang mendisiplinkan anak tidak melalui kekerasan atau hukuman, mampu memberikan penjelasan afektif yang menunjukkan efek negatif yang terjadi pada korban ketidakasilan, akan dapat membesarkan anak yang lebih mampu memahami orang lain, mau mengorbankan diri, dan memperhatikan kesejahteraan orang lain.
2. Kontrol Perilaku Agresivitas
Namun, suatu perilaku merupakan agresivitas jika terdapat niat untuk menyakiti orang lain, misalnya tendangan keras yang meleset dan lain-lain. Islam menyuruh umatnya untuk berlaku lemah lembut dan tidak menyakiti orang lain, bahkan termasuk dalam menjaga kata-kata, seperti ayat berikut ini:
Perkataaan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan penerima) Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. (QS Al-Baqarah [2]: 263)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-ngolokkan kaum yang lain, boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-ngolokan), dan jangan pula wanita-wanita mengolok-olokkan wanita-wanita yang lain, boleh jadi wanita (yang diolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan), dan janganlah kamu mencela diri sendiri. Dan janganlah kamu memanggil dengan gelar-gelar yang buruk, seburuk-seburuknya panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim (QS Al-Hujurat [49]:11)
Orang yang mampu mengontrol diri tidak menyakiti orang lain, meskipun dalam keadaan marah merupakan orang yang perkasa dalam pandangan Islam. Dengan demikian, Islam melarang manusia untuk melakukan tindakan agresivitas yang tidak memiliki alasan yang dapat dibenarkan. Umat Islam diwajibkan untuk membela kebenaran dan mencegah kemungkaran.
Namun, ketika ia berumur 3-5 tahun, agresi fisik berkurang dan diganti dengan agresi yang lebih bersifat verbal. Anak prasekolah (4-7 tahun) juga lebih banyak memfokuskan agresivitasnya pada benda, terutama mainan atau kepemilikan lainnya. Namun, agresi instrumental ini kemudian berubah dengan agresi yang lebih bersifat permusuhan.
Sejaln dengan usia, agresi yang bersifat terbuka (overt) lebih menurunkan dan menjadi lebih bersifat tertutup (covert), agresivitas dapat menjadi karakter yang stabil, baik pada laki-laki maupun perempuan. Agresor proaktif (proactive aggressor) merupakan anak dengan agresivitas tinggi yang menemukan bahwa perilaku agresif mudah dilakukan dan menjadi tergantung pada agresivitas sebagai alat untuk menyelesaikan masalah sosial atau mencapai tujuan.
Agresor reaktif memiliki kecenderungan untuk melihat situasi ambigu sebagai menyakitkan atau memusuhi dirinya (hostile attribution bias).
3. Menerapkan Prinsip Keadilan Sosial
Wahai orang-orang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau Ibu Bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahu segala apa yang kamu kerjakan. (QS An-Nisa [4] :135)
C. Perkembangan Penalaran Moral
Sementara, jika orang yang lebih muda melakukan kesalahan, maka lebih dapat diterima daripada orang yang lebih tua yang melakukan kesalahan tersebut.
1. Tingkat Prakonvensional (Preconventional Stages)
2. Tingkat Moralitas Konvensional (Conventional Morality)
a. Tahap tiga: Konformitas Interpersonal (Interpersonal Conformity)
Tahap ini juga disebut orientasi anak baik-baik (the good boy/good girl stage).
b. Tahap empat: Moralitas Mempertahankan Aturan Sosial (Social-Order-Maintaining).
Pada tahap hukum dan aturan (law-and-order), seseorang dapat melihat sistem sosial secara keselurtuhan.
3. Tingkat Moralitas Pascakonvensional (Post-Conventional Morality)
D. Tindakan Moral: Menahan Godaan
Skala yang dikembangkan oleh Kohlber hanya menyusun pemikiran moral, bukan tindakan moral. Padahal, dari sudut kemasyarakatan salah satu ukuran moralitas adalah sejauh mana individu mampu untuk menahan godaan untuk melanggar norma moral, walaupun tidak ada kemungkinan untuk diketahui atau dihukum.
Perilaku moral dalam menahan godaan untuk melakukan hubungan seks di luar pernikahan ditunjukkan oleh Nabi Yusuf a.s ketika sebagai bujang dirumah Al-Aziz dia dirayu istri cantik bangsawan Mesir tersebut.
PERKEMBANGAN SPIRITUAL
Sejak awal penciptaan manusia sering mencari jawaban dari tiga pertanyaan fundamental, “siapa Tuhan?”, “siapa saya?”, dan “mengapa saya lahir?”, asal tujuan dan identitas manusia merupakan pertanyaan yang penting bagi kemanusiaan. Ilmu pengetahuan sekarang mulai meyelidiki gejala alamiah perkembangan spiritual manusia sebagai aspek esensial dari kehidupan manusia.
Namun karena manusia memiliki tubuh yang harus dipenuhi kebutuhan fisiknya dan hal inilah maka manusia seringkali melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan perintah Allah yang membuat dirinya berada pada tahap perkembangan spiritual yang paling bawah.
Dengan demikian, Islam mengajarkan adanya perbedaan tingkat spiritualitas seseorang. Tingkat spiritualitas seseorang dapat berubah dari satu waktu kewaktu yang lain. Jadi, manusia mengalami perkembangan spiritual dalam kehidupannya.
A. Pengertian Spiritulitas
Menurut kamus Webster (1963) kata “spirit” berasal dari kata benda bahasa latin “spiritus” yang berarti nafas dan kata kerja “spirare” yang berarti untuk bernafas.
1. Ruh dan Nafs dalam Islam
Ayat Al-Qur’an cukup banyak membuat pernyataan tentang “ruh”. Di dalam Al-Qur’an paling tidak terdapat 12 ayat yang menceritakan ruh. Ruh dibahas dalam berbagai makna yang mengandung pengertian yang suci dan luhur, anrtara lain:
• Ruh sebagai citra Allah
• Ruh sebagai kekuatan hidup dala penciptaan manusia
• Ruh sebagai kakuatan pengidraan dalam tubuh manusia
• Ruh sebagai pewahyuan
• Ruh sebagai inti kenabian
• Ruh sebagai perwujudan malaikat
• Ruh sebagai kekuatan spiritual buah keimanan kepada Allah
Al-Qur’an menyebutkan kata nafs, juga dalam bentuk plural seperti nufus, anfus, tanaffassa, yatanaffassu dan almutanaffasun, sebanyak 303 kali. Sedangkan dalam bentuk singular (mufrad), kata nafs disebut sebanyak 143 kali. Terdapat 28 ayat yang secara khusus menggambarkan kata nafs dalam pengertian psikis atau jiwa. Al-Qur’an menyebut nafs dalam berbagai makna, antara lain:
• Nafs sebagai diri atau seseorang
• Nafs sebagai diri Tuhan
• Nafs sebagai person
• Nafs sebagai roh
• Nafs sebagai jiwa
• Nafs sebagai totalitas manusia
• Nafs sebagai sisi dalam manusia
Pertanyaan yang sering timbul mengenai istilah “ruh” (sprit) dan “nafs” (soul) adalah apakah kedua istilah memiliki arti sama atau merupakan hal yang berbeda. Mayoritas ilmuwan Muslin menyatakan bahwa “ruh” dan “nafs” merupakan dua istilah untuk hal yang sama. Namun, beberapa lainnya menganggap kedua istilah ini merujuk pada entitas yang berbeda. Pendapat kelompok yang memidahkan dua istilah ini berada dalam posisi yang lebih lemah, karena tidak ada batasan yang jelas dari penggunaan istilah ini dalam teks Al-Qur’an dan Sunnah. Tampaknya, pemisahan istilah ini didasari kesalahan pemahaman memahami yang lebih disertai unsur pribadi. Penjelasan maslaah diungkap oleh Ibn al-Qayyim secara rinci.
2. Spiritual dan Religiusitas
Umat Islam mengasah spiritualitas keberagaman melalui shalat spiritualitas dalam keberagaman merupakan pengalaman yang suci. Spirit merupakan diri yang sesungguhnya di dalam diri manusia yang telah ada sebelum kelahiran. Agama memberikan keringanan hari demi hari, namun spiritualitas membebaskan seseorang untuk selamanya dari lingkaran hidup dan mati.
B. Perkembangan Spiritualitas
1. Tahap Perkembangan Kepercayaan Powler
2. Tahap Perjalanan Pertumbuhan Spritual Peck
a. Kekacauan/Antisosial (Chaotic/Antisocial)
b. Formal/Institusional (Formal/Institutional)
c. Skeptik/Individu (Skeptic/Individual)
d. Mistikal/Komunal (Mystical/Communal)
3. Tahap Transisi Spiritual Moody
a. Tahap Panggilan (The Call)
Tahap panggilan merupakan tahap tumbuhnya kesadaran terhadap kekosongan diri dan ketidakmampuan untuk memenuhi tujuan kehidupan.
b. Tahap Pencarian (The Search)
Tahap pencarian adalah titik di mana individu mulai mencari jalan spiritual dengan melihat ke dalam dan mempertanyakan diri mereka berbagai pertanyaan serius tentang prinsip integritas dan menguji kepercayaan inti mereka.
c. Tahap Pergolakan (The Struggle)
Begitu seseorang menemukan proses spiritual diri dalam memahami makna hidup, masing-masing orang mulai menyesuaikan diri terhadap pikiran dan perilaku yang membawa mereka keluar dari konflik.
d. Tahap Terobosan (The Breakthrough)
Tahap trobosan merupakan resolusi yang sangat besar dan kejernihan mental yang baru.
e. Tahap Kembali (The Return)
Tahap yang merupakan pertanggungjawaban pribadi ini melengkapi kebaikan dan makna yang diberikan dunia kepada semua orang.
4. Tahap Perkembangan Spiritual Sufistik
Menurut Islam, manusia yang lahir dengan jiwa yang suci (nafsi zakiya).
a. Nafs Ammarah (The Commanding Self)
Godaan untuk melakukan kejahatan merupakan hal umum yang terjadi pada setiap manusia. Pada tahap ini kesadaran dan akal manusia dikalahkan oleh keinginan dan nafsu hewani.
b. Nafs Lawwamah (he Regretful Self)
Pada tahap ini, manusia mulai memiliki kesadaran terhadap perilakunya, ia dapat membedakan yang baik dan yang benar, dan menyelesaikan kesalahan-kesalahannya.
c. Nafs Mulhimah (The Inspired Self)
Pada tahap ini, orang mulai merasakan ketulusan dari ibadahnya. Ia benar-benar termotivasi pada cinta kasih, pengabdian dan nilai-nilai moral.
d. Nafs Muthma’innah (The Contented Self)
Pada tahap ini orang merasakan kedamaian. Pergolakan pada tahap awal telah lewat. Dari segi perkembangan, tahap ini menandai periode transisi. Seseorang mulai dapat melepaskan semua belenggu diri sebelumnya dan mulai melakukan integrasi kembali semua aspek universal kehidupan dalam dirinya.
e. Nafs Radhiyah (The Pleased Self)
Pada tahap ini seseorang tidak hanya tenang dengan dirinya, namun juga tetap bahagia dalam keadaan sulit, musibah atau cobaan dalam kehidupannya.
f. Nafs Mardhiyah (The Self Pleasing to God)
Mereka yang telah mencapai tahap lanjut menyadari bahwa segala kekuatan berasal dari Allah, dan tidak dapat terjadi begitu saja. Dengan menyembuhkan keterpecahan dalam dirinya, seorang sufi mengalami dunia sebagai kesatuan yang utuh.
g. Nafs Safiyah (The Pure Self)
Mereka yang telah mencapai tahap akhir telah mengalami transendensi diri yang seutuhnya. Ia sekarang menyadari bahwa tidak ada apa-apa lagi kecuali Allah, dan hanya keilahian yang ada, dan setiap indra manusia atau keterpisahan adalah suatu ilusi.
Secara tradisional, psikologi menghindari mempelajari sesuatu yang memiliki penilaian baik atau buruk (value judgments). Ada tingkat kesulitan tertentu untuk menghindari bias ketika berbicara dalam istilah “baik” atau “buruk”. Itulah sebabnya, aspek kehidupan manusia yang penting, yaitu moralitas, harus menunggu lama sebelum ada psikolog yang berani menelitinya. Namun, pada saat ini psikolog telah meneliti berbagai proses mendasar dari perkembangan moral, bagaimana orang menilai baik atau buruk, apakah terdapat tahapan dalam perkembangan moral, faktor-faktor apa yang memengaruhi perkembangan moral, dan lain-lain. Berbagai pertanyaan terus muncul dalam membahas perkembangan moral.
A. Pengertian Moralitas
Moralitas dapat didefenisikan dengan berbagai cara. Namun, secara umum moralitas dapat dikatakan sebagai kapasitas untuk membedakan yang benar dan yang salah, bertindak atas perbedaan tersebut, dan mendapatkan penghargaan diri ketika melakukan yang benar dan merada bersalah atau malu ketika melanggar standar tersebut.
Komponen kognitif merupakan pusat di mana seseorang melakukan konseptualisasi benar dan salah dan membuat keputusan tentang bagaimana seseorang berperilaku.
Islam mengajarkan pentingnya rasa malu untuk melakukan perbuatan yang tidak baik sebagai sesuatu yang penting. Islam mengajarkan bahwa Allah mengilhamkan ke dalam jiwa manusia dua jalan yaitu jalan kefasikan dan ketakwaan. Manusia memiliki akal untuk memilih jalan mana yang ia akan tempuh. Dalam Al-Qur’an dinyatakan:
....dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-Nya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasihan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan merugikan orang yang mengotorinya. (QS Al-Syams (91):7-10).
B. Perilaku-Perilaku Dasar Moral
Pada umumnya orang tua mengharapkan anak-anaknya untuk tumbuh menjadi seseorang yang memiliki moralitas yang kuat dalam berhubungan dengan orang lain.
1. Alturuisme: Perkembangan Perilaku Prososial
Islam juga memerintahkan umatnya untuk saling tolong menolong satu sama lainnya dalam kebajikan dan takwa.
Dan bertolong-tolonglah kamu atas kebajikan dan takwa dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu pada Allah. Sesungguhnya Allah amat berat siksanya (QS Al-Maidah (5):2).
DalamIslam, perilaku prososial dilakukan bukan untuk mendapatkan penghargaan manusia atau memperoleh kenikmatan duniawi. Saling membagi, saling membantu dan bentuk perilaku prososial lain menjadi lebih umum pada usia prasekolah dan seterusnya. Selain itu kemampuan penalaran moral prososial dan kemampuan memberikan reaksi empatik juga merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap alturuisme.
Menurut penelitian, anak prasekolah lebih menunjukkan sifat yang berpusat pada diri sendiri, sementara anak yang lebih menunjukkan sifat yang berpusat pada diri sendiri, sementara anak yang lebih tua lebih menunjukkan keinginannya menunjukkan perilaku rela mengorbankan kepentingan dirinya untuk mereka yang lebih membutuhkan.
Bayi dan anak-anak telah dapat mengenali dan sering kali bereaksi terhadap perasaan tidak nyaman dari seseorang. Orang tua dapat meningkatkan perilaku altuistik melalui dorongan verbal untuk membantu orang menenangkan, membagi atau bekerja sama dengan orang lain (altruistic exhortation). Orang tua yang mendisiplinkan anak tidak melalui kekerasan atau hukuman, mampu memberikan penjelasan afektif yang menunjukkan efek negatif yang terjadi pada korban ketidakasilan, akan dapat membesarkan anak yang lebih mampu memahami orang lain, mau mengorbankan diri, dan memperhatikan kesejahteraan orang lain.
2. Kontrol Perilaku Agresivitas
Namun, suatu perilaku merupakan agresivitas jika terdapat niat untuk menyakiti orang lain, misalnya tendangan keras yang meleset dan lain-lain. Islam menyuruh umatnya untuk berlaku lemah lembut dan tidak menyakiti orang lain, bahkan termasuk dalam menjaga kata-kata, seperti ayat berikut ini:
Perkataaan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan penerima) Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. (QS Al-Baqarah [2]: 263)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-ngolokkan kaum yang lain, boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-ngolokan), dan jangan pula wanita-wanita mengolok-olokkan wanita-wanita yang lain, boleh jadi wanita (yang diolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan), dan janganlah kamu mencela diri sendiri. Dan janganlah kamu memanggil dengan gelar-gelar yang buruk, seburuk-seburuknya panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim (QS Al-Hujurat [49]:11)
Orang yang mampu mengontrol diri tidak menyakiti orang lain, meskipun dalam keadaan marah merupakan orang yang perkasa dalam pandangan Islam. Dengan demikian, Islam melarang manusia untuk melakukan tindakan agresivitas yang tidak memiliki alasan yang dapat dibenarkan. Umat Islam diwajibkan untuk membela kebenaran dan mencegah kemungkaran.
Namun, ketika ia berumur 3-5 tahun, agresi fisik berkurang dan diganti dengan agresi yang lebih bersifat verbal. Anak prasekolah (4-7 tahun) juga lebih banyak memfokuskan agresivitasnya pada benda, terutama mainan atau kepemilikan lainnya. Namun, agresi instrumental ini kemudian berubah dengan agresi yang lebih bersifat permusuhan.
Sejaln dengan usia, agresi yang bersifat terbuka (overt) lebih menurunkan dan menjadi lebih bersifat tertutup (covert), agresivitas dapat menjadi karakter yang stabil, baik pada laki-laki maupun perempuan. Agresor proaktif (proactive aggressor) merupakan anak dengan agresivitas tinggi yang menemukan bahwa perilaku agresif mudah dilakukan dan menjadi tergantung pada agresivitas sebagai alat untuk menyelesaikan masalah sosial atau mencapai tujuan.
Agresor reaktif memiliki kecenderungan untuk melihat situasi ambigu sebagai menyakitkan atau memusuhi dirinya (hostile attribution bias).
3. Menerapkan Prinsip Keadilan Sosial
Wahai orang-orang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau Ibu Bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahu segala apa yang kamu kerjakan. (QS An-Nisa [4] :135)
C. Perkembangan Penalaran Moral
Sementara, jika orang yang lebih muda melakukan kesalahan, maka lebih dapat diterima daripada orang yang lebih tua yang melakukan kesalahan tersebut.
1. Tingkat Prakonvensional (Preconventional Stages)
2. Tingkat Moralitas Konvensional (Conventional Morality)
a. Tahap tiga: Konformitas Interpersonal (Interpersonal Conformity)
Tahap ini juga disebut orientasi anak baik-baik (the good boy/good girl stage).
b. Tahap empat: Moralitas Mempertahankan Aturan Sosial (Social-Order-Maintaining).
Pada tahap hukum dan aturan (law-and-order), seseorang dapat melihat sistem sosial secara keselurtuhan.
3. Tingkat Moralitas Pascakonvensional (Post-Conventional Morality)
D. Tindakan Moral: Menahan Godaan
Skala yang dikembangkan oleh Kohlber hanya menyusun pemikiran moral, bukan tindakan moral. Padahal, dari sudut kemasyarakatan salah satu ukuran moralitas adalah sejauh mana individu mampu untuk menahan godaan untuk melanggar norma moral, walaupun tidak ada kemungkinan untuk diketahui atau dihukum.
Perilaku moral dalam menahan godaan untuk melakukan hubungan seks di luar pernikahan ditunjukkan oleh Nabi Yusuf a.s ketika sebagai bujang dirumah Al-Aziz dia dirayu istri cantik bangsawan Mesir tersebut.
PERKEMBANGAN SPIRITUAL
Sejak awal penciptaan manusia sering mencari jawaban dari tiga pertanyaan fundamental, “siapa Tuhan?”, “siapa saya?”, dan “mengapa saya lahir?”, asal tujuan dan identitas manusia merupakan pertanyaan yang penting bagi kemanusiaan. Ilmu pengetahuan sekarang mulai meyelidiki gejala alamiah perkembangan spiritual manusia sebagai aspek esensial dari kehidupan manusia.
Namun karena manusia memiliki tubuh yang harus dipenuhi kebutuhan fisiknya dan hal inilah maka manusia seringkali melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan perintah Allah yang membuat dirinya berada pada tahap perkembangan spiritual yang paling bawah.
Dengan demikian, Islam mengajarkan adanya perbedaan tingkat spiritualitas seseorang. Tingkat spiritualitas seseorang dapat berubah dari satu waktu kewaktu yang lain. Jadi, manusia mengalami perkembangan spiritual dalam kehidupannya.
A. Pengertian Spiritulitas
Menurut kamus Webster (1963) kata “spirit” berasal dari kata benda bahasa latin “spiritus” yang berarti nafas dan kata kerja “spirare” yang berarti untuk bernafas.
1. Ruh dan Nafs dalam Islam
Ayat Al-Qur’an cukup banyak membuat pernyataan tentang “ruh”. Di dalam Al-Qur’an paling tidak terdapat 12 ayat yang menceritakan ruh. Ruh dibahas dalam berbagai makna yang mengandung pengertian yang suci dan luhur, anrtara lain:
• Ruh sebagai citra Allah
• Ruh sebagai kekuatan hidup dala penciptaan manusia
• Ruh sebagai kakuatan pengidraan dalam tubuh manusia
• Ruh sebagai pewahyuan
• Ruh sebagai inti kenabian
• Ruh sebagai perwujudan malaikat
• Ruh sebagai kekuatan spiritual buah keimanan kepada Allah
Al-Qur’an menyebutkan kata nafs, juga dalam bentuk plural seperti nufus, anfus, tanaffassa, yatanaffassu dan almutanaffasun, sebanyak 303 kali. Sedangkan dalam bentuk singular (mufrad), kata nafs disebut sebanyak 143 kali. Terdapat 28 ayat yang secara khusus menggambarkan kata nafs dalam pengertian psikis atau jiwa. Al-Qur’an menyebut nafs dalam berbagai makna, antara lain:
• Nafs sebagai diri atau seseorang
• Nafs sebagai diri Tuhan
• Nafs sebagai person
• Nafs sebagai roh
• Nafs sebagai jiwa
• Nafs sebagai totalitas manusia
• Nafs sebagai sisi dalam manusia
Pertanyaan yang sering timbul mengenai istilah “ruh” (sprit) dan “nafs” (soul) adalah apakah kedua istilah memiliki arti sama atau merupakan hal yang berbeda. Mayoritas ilmuwan Muslin menyatakan bahwa “ruh” dan “nafs” merupakan dua istilah untuk hal yang sama. Namun, beberapa lainnya menganggap kedua istilah ini merujuk pada entitas yang berbeda. Pendapat kelompok yang memidahkan dua istilah ini berada dalam posisi yang lebih lemah, karena tidak ada batasan yang jelas dari penggunaan istilah ini dalam teks Al-Qur’an dan Sunnah. Tampaknya, pemisahan istilah ini didasari kesalahan pemahaman memahami yang lebih disertai unsur pribadi. Penjelasan maslaah diungkap oleh Ibn al-Qayyim secara rinci.
2. Spiritual dan Religiusitas
Umat Islam mengasah spiritualitas keberagaman melalui shalat spiritualitas dalam keberagaman merupakan pengalaman yang suci. Spirit merupakan diri yang sesungguhnya di dalam diri manusia yang telah ada sebelum kelahiran. Agama memberikan keringanan hari demi hari, namun spiritualitas membebaskan seseorang untuk selamanya dari lingkaran hidup dan mati.
B. Perkembangan Spiritualitas
1. Tahap Perkembangan Kepercayaan Powler
2. Tahap Perjalanan Pertumbuhan Spritual Peck
a. Kekacauan/Antisosial (Chaotic/Antisocial)
b. Formal/Institusional (Formal/Institutional)
c. Skeptik/Individu (Skeptic/Individual)
d. Mistikal/Komunal (Mystical/Communal)
3. Tahap Transisi Spiritual Moody
a. Tahap Panggilan (The Call)
Tahap panggilan merupakan tahap tumbuhnya kesadaran terhadap kekosongan diri dan ketidakmampuan untuk memenuhi tujuan kehidupan.
b. Tahap Pencarian (The Search)
Tahap pencarian adalah titik di mana individu mulai mencari jalan spiritual dengan melihat ke dalam dan mempertanyakan diri mereka berbagai pertanyaan serius tentang prinsip integritas dan menguji kepercayaan inti mereka.
c. Tahap Pergolakan (The Struggle)
Begitu seseorang menemukan proses spiritual diri dalam memahami makna hidup, masing-masing orang mulai menyesuaikan diri terhadap pikiran dan perilaku yang membawa mereka keluar dari konflik.
d. Tahap Terobosan (The Breakthrough)
Tahap trobosan merupakan resolusi yang sangat besar dan kejernihan mental yang baru.
e. Tahap Kembali (The Return)
Tahap yang merupakan pertanggungjawaban pribadi ini melengkapi kebaikan dan makna yang diberikan dunia kepada semua orang.
4. Tahap Perkembangan Spiritual Sufistik
Menurut Islam, manusia yang lahir dengan jiwa yang suci (nafsi zakiya).
a. Nafs Ammarah (The Commanding Self)
Godaan untuk melakukan kejahatan merupakan hal umum yang terjadi pada setiap manusia. Pada tahap ini kesadaran dan akal manusia dikalahkan oleh keinginan dan nafsu hewani.
b. Nafs Lawwamah (he Regretful Self)
Pada tahap ini, manusia mulai memiliki kesadaran terhadap perilakunya, ia dapat membedakan yang baik dan yang benar, dan menyelesaikan kesalahan-kesalahannya.
c. Nafs Mulhimah (The Inspired Self)
Pada tahap ini, orang mulai merasakan ketulusan dari ibadahnya. Ia benar-benar termotivasi pada cinta kasih, pengabdian dan nilai-nilai moral.
d. Nafs Muthma’innah (The Contented Self)
Pada tahap ini orang merasakan kedamaian. Pergolakan pada tahap awal telah lewat. Dari segi perkembangan, tahap ini menandai periode transisi. Seseorang mulai dapat melepaskan semua belenggu diri sebelumnya dan mulai melakukan integrasi kembali semua aspek universal kehidupan dalam dirinya.
e. Nafs Radhiyah (The Pleased Self)
Pada tahap ini seseorang tidak hanya tenang dengan dirinya, namun juga tetap bahagia dalam keadaan sulit, musibah atau cobaan dalam kehidupannya.
f. Nafs Mardhiyah (The Self Pleasing to God)
Mereka yang telah mencapai tahap lanjut menyadari bahwa segala kekuatan berasal dari Allah, dan tidak dapat terjadi begitu saja. Dengan menyembuhkan keterpecahan dalam dirinya, seorang sufi mengalami dunia sebagai kesatuan yang utuh.
g. Nafs Safiyah (The Pure Self)
Mereka yang telah mencapai tahap akhir telah mengalami transendensi diri yang seutuhnya. Ia sekarang menyadari bahwa tidak ada apa-apa lagi kecuali Allah, dan hanya keilahian yang ada, dan setiap indra manusia atau keterpisahan adalah suatu ilusi.
Labels:
Makalah
Thanks for reading Makalah Moralitas. Please share...!
0 Komentar untuk "Makalah Moralitas"
Yang sudah mampir wajib tinggalkan komentar