BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ajaran Islam yang merupakan prinsip hidup ini, tidak dapat direlatifkan demikian saja sebagaimana yang dilakukan oleh pengarang pluralisme agama. Selain karena menghilangkan esensi beragam, juga bertentangan dengan fitrah manusia yang membutuhkan suatu pegangan hidup yang patut dipegangnya secara “fanatik”. Kalau manusia tidak terdidik sejak kecil “memfanatiki” suatu agama, dia akan menjadikan hal-hal lain untuk
difanatik karena itu yang diyakini benar dan diamalkan dalam kehidupan beragama tidak hanya yang diajarkan oleh wahyu secara qath’iy dan secara dzanni tetapi juga diyakini dan diamalkan, seperti iman kepada qadha dan qadar. Bacaan shalat, cara pembagian waris, zakat dan berbagai amalan sunnah lainnya. Justru karena ajaran tersebut didasarkan kepada dalil-dalil yang zhanni dia harus menjadi dalil-dalil yang harus diamalkan. Karena dzanni berarti lebih berat kepada kebenaran atau yang derajat kebenarannya bervariasi dari 51 sampai 99 derajat.
Oleh karena itu, didalam makalah ini penulis membahas masalah dalil-dalil yang qath’iy dan yang dzanni.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian qath’iy dan dzanni?
2. Dalil-dalil apa yang mempunyai hukum qath’iy dan dzanni?
3. Dalil-dalil yang dapat disebut sebagai dalil qath’iy dan dalil dzanni?
BAB II
PEMBAHASAN
QATH’IY DAN DZANNI
A. Pengertian
Dalam kajian tentang dalil-dalil yang akan dipakai sebagai alasan suatu pendapt, para ulama biasa membaginya kepada dalil-dalil yang qath’iy dan yang dzanni. Dalil yang qath’iy adalah ayat-ayat Al-Qur’an atau hadis mutawatir yang tidak punya pengertian lain dari yang tertulis, yang punya maksud yang jelas, tegas dan dari sumber yang kuat. Sedangkan dalil yang dzanni adalah yang mengandung pengertian lain dari yang tertulis dan tidak berasal dari sumber yang pasti dari Allah dan Rasul-Nya.
Dalam pengertian lain bahwa qath’iy adalah nash syara’ yang hanya mempunyai satu petunjuk dala bentuk yang tidak diragukan lagi. Dzanni adalah nash syara’ yang mempunyai lebih dari satu penunjukkan sehingga mungkin untuk mengambil penunjukkan lain dengan dasar tarjih (memilih yang terkuat) dari beberapa petunjuk lain .
B. Dalil-dalil yang Qath’iy dan yang Dzanni
1. Dalil Al-Qur’an
Seluruh ayat Al-Qur’an itu adalah qath’iy (pasti) dari pihak datangnya, tetapnya dan nufilanya itu dari Rasulullah kepada kita. Artiinya kita dapat memastikan dan memutuskan bahwa setiap nash Al-Qur’an yang dibacakan orang itu, nashnya itu sendiri yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. Oleh Rasul yang ma’shum itu disampaikan kepada umatnya. Tanpa da perubahan dan tidak pernah bertukar letak. Rasul itu adalah ma’shum (suci dari dosa). Apabila ada surat diturunkan kepadanya baik satu atau beberapa ayat lalu disampaikannya kepada sahabat-sahabatnya, dibacakannya kepada mereka, ditulis oleh penulis-penulis wahyu.
Sebagian sahabat mempelajari dan menghafal Al-Qur’an itu dan tulisan-tulisan Al-Qur’an itu dikumpulkan dan ditulis kembali disusun menurut susunan Nabi ketika membacakannya itu.
Tidak berbeda yang ditulis itu dengan yang dihafal. Tidak berbeda lafadz yang diucapkan oleh orang Cina dengan orang Maroko. Tidak berbeda antara orang Polen dengan orang Sudan. Berjuta-juta jumlah orang Islam menempati benua yang berbeda-beda selama empat belas abad, membaca Al-Qur’an itu bagus. Tidak berbeda pribadi dari pribadi, bangsa dari bangsa. Tidak menambah dan mengurangi. Tidak berubah dan bertukar-tukar atau susunannya diteliti kembali. Adapun nash-nash Al-Qur’an itu, bila ditinjau dari pihak menunjukkan apa yang dikandungnya itu merupakan hukum maka dapat dibagi atas dua bagian yaitu :
1) Nash Qath’iy
Nash qath’iy yaitu dalil yang menunjukkan arti yang dapat dipahami dengan jelas. Tidak mengandung ta’wil dan tidak ada pengertian lain selain dari pada apa yang telah dicantumkan. Umpamanya firman Allah yang berbunyi :
Artinya :
Dan bagimu para suami separuh dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu jika mereka tidak mempunyai anak. (An-Nisa: 12)
Ayat ini sudah qath’iy, tidak ada pengertian lain selain dari pada yang dikemukakan oleh ayat itu. Juga misalnya di dalam firman Allah yang lain dalam surat an-Nur : 2
Artinya :
Deralah tiap lelaki dan perempuan yang berzina itu seratus deraan. (an-Nisa : 2)
Jelas deraan itu seratus kali. Tidak ada pengertian yang lain. Jadi ayat ini qath’iy. Demikian pula yang menunjukkan harta pusaka, arti had dalam hukum atau nishab, sudah di pastikan sudah di batas.
2) Nash yang Dzanni
Nash dzanni yaitu yang menunjukkan atas yang mungkin dita’wilkan atau dipalingkan dari makna asalnya, kepada makna yang lain. Seperti dalam firman Allah :
Artinya :
Dan wanita-wanita yang diceri itu hendaklah menahan diri dari tiga quru’. (Al-Baqarah : 228)
Quru’ tersebut didalam bahasa Arab mempunyai dua arti, yaitu suci dan haid. Karena itu ada kemungkinan yang dimaksud disini tiga kali suci, tetapi juga mungkin tiga kali haid. Jadi disini bukan qath’i yang menunjukkan satu arti. Karena itu para mujtahidin berselisih pendapat tentang hal ini. Ada yang berpendirian tiga kali suci, ada pula yang berpendirian tiga kali haid. Contoh firman Allah :
Artinya :
Diharamkan kepadamu mayat dan darah
Lafadz mayat itu berbentuk umum. Nash ini menunjukkan haram memakan tiap-tiap mayat. Juga mengandung pengertian khusus, yaitu haram selain dari mayat binatang laut. Nash ini lafadznya berbentuk ’am, maka lafadz yang seperti ini adalah dzanni. Karena menunjukkan satu kali arti tapi mengandung dalil terhadap lainnya.
2. Dalil Sunnah
Bila ditinjau dari pihak datangnya, maka sunnah mutawatir itu qath’iy dari Rasul. Karena nukilannya itu berturut-turut mempergunakan hal-hal yang pasti dan beritanya itu shahih.
Sunnah masyhur qath’iy itu datangnya dari apra sahabat atau sahabat yang menerimanya dari Rasul. Perpindahannya itu berturut-turut, tapi tidak qath’iy datangnya dari Rasul. Karena yang mula-mula menerimanya itu bukan berbentuk jama’ berturut-turut. Dalam hal ini ahli-ahli fiqh mahzab Hanafi menjadikannya dalam hukum sunnah mutawatir. Dengannya itu orang yang mengkhususkan yang ‘am dan mengkaitkan yang mutlak. Karena datangnya itu terputus dari sahabat. Sahabat membuatnya menjadi hujjah dan membenarkan perpindahannya itu dari Rasul. Untuk itu dipisah antara mutawatir dan khabar uhud.
Sunnah uhud dzaniah itu datang Rasul, bila ditinjau dari pihak dalil. Maka tiap-tiap sunnah dari pembagiannya. Kadang-kadang dalilnya qath’iy dan kadang-kadang dzanni. Bila dibandingkan nash Al-Qur’an dengan nash sunnah dari pihak qath’iy dan dzanni, maka dapat disimpulkan bahwa dalil Al-Qur’an itu semuanya qath’iy dan dari nash inilah datangnya dalil qath’iy dan dalil dzanni. Sedangkan sunnah, dari pandanganlah datangnya qath’iy wujud.
Dengan demikian maka hujjah itu wajib mengikuti dan mengamalkannya. Mutawatir karena jelas dan tegas sumbernya datang dari Rasullullah Saw. Selain dari itu dzan itu dianggap kuat. Apabila perawinya itu cukup adil, betul dan kuat, maka wajib diamalkan. Yang diyakini benar dan diamalkan dalam kehidupan beragama tidak hanya yang diajarkan oleh dalil secara qath’iy saja tetapi dalil yang dzanni juga diyakini dan diamalkan.
Sebenarnya agama dan teori ilmiah sekalipun hanya berdebat untuk menentukan mana pendapat yang punya derajat kebenaran lebih tinggi. Karena itu, alasan suatu pendapat tentang ajaran agama, apalagi keyakinan kepada agama itu sendiri tidak bisa ditabrak dengan alasan dalilnya tidak qath’iy. Pendapat yang didasarkan pada dalil yang punya kekuatan dzanni, apabila kalau mencapai 80 sampai 90 persen derajat kebenarannya, maka harus diterima dan diamalkan. Mengamalkannya jauh lebih kuat dari meninggalkannya.
Hal ini penting untuk mempertebal rasa ketakwaannnya dan kedekatannya kepada Allah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan terdahulu dapat diambil kesimpulan bahwa wahyu yang mengandung makna yang jelas dan tegas (qath’iy) perlu diyakini secara eksklusif. Ajaran Allah dan ajaran Islam yang demikianlah yang mutlak benar.
Ajaran Allah dan ajaran Islam yang demikian seperti : Allah menciptakan alam dan manusia dengan hukumnya yang dinamakan “ayat-ayat Allah dan Sunnatullah”.
Hukum-hukum alam dan hukum kehidupan manusia adalah kebenaran yang terbuka, yang dapat ditemukan dimana saja, bagi siapa yang mau meneliti dan membacanya.
B. Saran
Dalam penyusunan dan penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa manusia ini masih jauh dari kesempurnaan. Mengingat terbatasnya kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki, maka penulis mengharakan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan makakah ini.
Akhir kata, penulis mohon maaf atas segala kesalahan dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Khallaf, Syech Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh. PT. Rineka Cipta. Jakarta
MAKALAH USHUL FIQH DATHYT DAN DZANNI
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ajaran Islam yang merupakan prinsip hidup ini, tidak dapat direlatifkan demikian saja sebagaimana yang dilakukan oleh pengarang pluralisme agama. Selain karena menghilangkan esensi beragam, juga bertentangan dengan fitrah manusia yang membutuhkan suatu pegangan hidup yang patut dipegangnya secara “fanatik”. Kalau manusia tidak terdidik sejak kecil “memfanatiki” suatu agama, dia akan menjadikan hal-hal lain untuk
difanatik karena itu yang diyakini benar dan diamalkan dalam kehidupan beragama tidak hanya yang diajarkan oleh wahyu secara qath’iy dan secara dzanni tetapi juga diyakini dan diamalkan, seperti iman kepada qadha dan qadar. Bacaan shalat, cara pembagian waris, zakat dan berbagai amalan sunnah lainnya. Justru karena ajaran tersebut didasarkan kepada dalil-dalil yang zhanni dia harus menjadi dalil-dalil yang harus diamalkan. Karena dzanni berarti lebih berat kepada kebenaran atau yang derajat kebenarannya bervariasi dari 51 sampai 99 derajat.
Oleh karena itu, didalam makalah ini penulis membahas masalah dalil-dalil yang qath’iy dan yang dzanni.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian qath’iy dan dzanni?
2. Dalil-dalil apa yang mempunyai hukum qath’iy dan dzanni?
3. Dalil-dalil yang dapat disebut sebagai dalil qath’iy dan dalil dzanni?
BAB II
PEMBAHASAN
QATH’IY DAN DZANNI
A. Pengertian
Dalam kajian tentang dalil-dalil yang akan dipakai sebagai alasan suatu pendapt, para ulama biasa membaginya kepada dalil-dalil yang qath’iy dan yang dzanni. Dalil yang qath’iy adalah ayat-ayat Al-Qur’an atau hadis mutawatir yang tidak punya pengertian lain dari yang tertulis, yang punya maksud yang jelas, tegas dan dari sumber yang kuat. Sedangkan dalil yang dzanni adalah yang mengandung pengertian lain dari yang tertulis dan tidak berasal dari sumber yang pasti dari Allah dan Rasul-Nya.
Dalam pengertian lain bahwa qath’iy adalah nash syara’ yang hanya mempunyai satu petunjuk dala bentuk yang tidak diragukan lagi. Dzanni adalah nash syara’ yang mempunyai lebih dari satu penunjukkan sehingga mungkin untuk mengambil penunjukkan lain dengan dasar tarjih (memilih yang terkuat) dari beberapa petunjuk lain .
B. Dalil-dalil yang Qath’iy dan yang Dzanni
1. Dalil Al-Qur’an
Seluruh ayat Al-Qur’an itu adalah qath’iy (pasti) dari pihak datangnya, tetapnya dan nufilanya itu dari Rasulullah kepada kita. Artiinya kita dapat memastikan dan memutuskan bahwa setiap nash Al-Qur’an yang dibacakan orang itu, nashnya itu sendiri yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. Oleh Rasul yang ma’shum itu disampaikan kepada umatnya. Tanpa da perubahan dan tidak pernah bertukar letak. Rasul itu adalah ma’shum (suci dari dosa). Apabila ada surat diturunkan kepadanya baik satu atau beberapa ayat lalu disampaikannya kepada sahabat-sahabatnya, dibacakannya kepada mereka, ditulis oleh penulis-penulis wahyu.
Sebagian sahabat mempelajari dan menghafal Al-Qur’an itu dan tulisan-tulisan Al-Qur’an itu dikumpulkan dan ditulis kembali disusun menurut susunan Nabi ketika membacakannya itu.
Tidak berbeda yang ditulis itu dengan yang dihafal. Tidak berbeda lafadz yang diucapkan oleh orang Cina dengan orang Maroko. Tidak berbeda antara orang Polen dengan orang Sudan. Berjuta-juta jumlah orang Islam menempati benua yang berbeda-beda selama empat belas abad, membaca Al-Qur’an itu bagus. Tidak berbeda pribadi dari pribadi, bangsa dari bangsa. Tidak menambah dan mengurangi. Tidak berubah dan bertukar-tukar atau susunannya diteliti kembali. Adapun nash-nash Al-Qur’an itu, bila ditinjau dari pihak menunjukkan apa yang dikandungnya itu merupakan hukum maka dapat dibagi atas dua bagian yaitu :
1) Nash Qath’iy
Nash qath’iy yaitu dalil yang menunjukkan arti yang dapat dipahami dengan jelas. Tidak mengandung ta’wil dan tidak ada pengertian lain selain dari pada apa yang telah dicantumkan. Umpamanya firman Allah yang berbunyi :
Artinya :
Dan bagimu para suami separuh dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu jika mereka tidak mempunyai anak. (An-Nisa: 12)
Ayat ini sudah qath’iy, tidak ada pengertian lain selain dari pada yang dikemukakan oleh ayat itu. Juga misalnya di dalam firman Allah yang lain dalam surat an-Nur : 2
Artinya :
Deralah tiap lelaki dan perempuan yang berzina itu seratus deraan. (an-Nisa : 2)
Jelas deraan itu seratus kali. Tidak ada pengertian yang lain. Jadi ayat ini qath’iy. Demikian pula yang menunjukkan harta pusaka, arti had dalam hukum atau nishab, sudah di pastikan sudah di batas.
2) Nash yang Dzanni
Nash dzanni yaitu yang menunjukkan atas yang mungkin dita’wilkan atau dipalingkan dari makna asalnya, kepada makna yang lain. Seperti dalam firman Allah :
Artinya :
Dan wanita-wanita yang diceri itu hendaklah menahan diri dari tiga quru’. (Al-Baqarah : 228)
Quru’ tersebut didalam bahasa Arab mempunyai dua arti, yaitu suci dan haid. Karena itu ada kemungkinan yang dimaksud disini tiga kali suci, tetapi juga mungkin tiga kali haid. Jadi disini bukan qath’i yang menunjukkan satu arti. Karena itu para mujtahidin berselisih pendapat tentang hal ini. Ada yang berpendirian tiga kali suci, ada pula yang berpendirian tiga kali haid. Contoh firman Allah :
Artinya :
Diharamkan kepadamu mayat dan darah
Lafadz mayat itu berbentuk umum. Nash ini menunjukkan haram memakan tiap-tiap mayat. Juga mengandung pengertian khusus, yaitu haram selain dari mayat binatang laut. Nash ini lafadznya berbentuk ’am, maka lafadz yang seperti ini adalah dzanni. Karena menunjukkan satu kali arti tapi mengandung dalil terhadap lainnya.
2. Dalil Sunnah
Bila ditinjau dari pihak datangnya, maka sunnah mutawatir itu qath’iy dari Rasul. Karena nukilannya itu berturut-turut mempergunakan hal-hal yang pasti dan beritanya itu shahih.
Sunnah masyhur qath’iy itu datangnya dari apra sahabat atau sahabat yang menerimanya dari Rasul. Perpindahannya itu berturut-turut, tapi tidak qath’iy datangnya dari Rasul. Karena yang mula-mula menerimanya itu bukan berbentuk jama’ berturut-turut. Dalam hal ini ahli-ahli fiqh mahzab Hanafi menjadikannya dalam hukum sunnah mutawatir. Dengannya itu orang yang mengkhususkan yang ‘am dan mengkaitkan yang mutlak. Karena datangnya itu terputus dari sahabat. Sahabat membuatnya menjadi hujjah dan membenarkan perpindahannya itu dari Rasul. Untuk itu dipisah antara mutawatir dan khabar uhud.
Sunnah uhud dzaniah itu datang Rasul, bila ditinjau dari pihak dalil. Maka tiap-tiap sunnah dari pembagiannya. Kadang-kadang dalilnya qath’iy dan kadang-kadang dzanni. Bila dibandingkan nash Al-Qur’an dengan nash sunnah dari pihak qath’iy dan dzanni, maka dapat disimpulkan bahwa dalil Al-Qur’an itu semuanya qath’iy dan dari nash inilah datangnya dalil qath’iy dan dalil dzanni. Sedangkan sunnah, dari pandanganlah datangnya qath’iy wujud.
Dengan demikian maka hujjah itu wajib mengikuti dan mengamalkannya. Mutawatir karena jelas dan tegas sumbernya datang dari Rasullullah Saw. Selain dari itu dzan itu dianggap kuat. Apabila perawinya itu cukup adil, betul dan kuat, maka wajib diamalkan. Yang diyakini benar dan diamalkan dalam kehidupan beragama tidak hanya yang diajarkan oleh dalil secara qath’iy saja tetapi dalil yang dzanni juga diyakini dan diamalkan.
Sebenarnya agama dan teori ilmiah sekalipun hanya berdebat untuk menentukan mana pendapat yang punya derajat kebenaran lebih tinggi. Karena itu, alasan suatu pendapat tentang ajaran agama, apalagi keyakinan kepada agama itu sendiri tidak bisa ditabrak dengan alasan dalilnya tidak qath’iy. Pendapat yang didasarkan pada dalil yang punya kekuatan dzanni, apabila kalau mencapai 80 sampai 90 persen derajat kebenarannya, maka harus diterima dan diamalkan. Mengamalkannya jauh lebih kuat dari meninggalkannya.
Hal ini penting untuk mempertebal rasa ketakwaannnya dan kedekatannya kepada Allah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan terdahulu dapat diambil kesimpulan bahwa wahyu yang mengandung makna yang jelas dan tegas (qath’iy) perlu diyakini secara eksklusif. Ajaran Allah dan ajaran Islam yang demikianlah yang mutlak benar.
Ajaran Allah dan ajaran Islam yang demikian seperti : Allah menciptakan alam dan manusia dengan hukumnya yang dinamakan “ayat-ayat Allah dan Sunnatullah”.
Hukum-hukum alam dan hukum kehidupan manusia adalah kebenaran yang terbuka, yang dapat ditemukan dimana saja, bagi siapa yang mau meneliti dan membacanya.
B. Saran
Dalam penyusunan dan penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa manusia ini masih jauh dari kesempurnaan. Mengingat terbatasnya kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki, maka penulis mengharakan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan makakah ini.
Akhir kata, penulis mohon maaf atas segala kesalahan dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Khallaf, Syech Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh. PT. Rineka Cipta. Jakarta
MAKALAH USHUL FIQH DATHYT DAN DZANNI
Labels:
Makalah
Thanks for reading MAKALAH USHUL FIQH DATHYT DAN DZANNI. Please share...!
0 Komentar untuk "MAKALAH USHUL FIQH DATHYT DAN DZANNI"
Yang sudah mampir wajib tinggalkan komentar