BAB I
PROSES PEMBELAJARAN
Proses pembelajaran adalah sebuah upaya bersama antara dosen dan mahasiswa untuk berbagi dan mengolah infornasi dengan tujuan agar pengetahuannya yang terbentuk "internalisasi” dalam diri peserta pembelajaran dan menjadi landasan belajar secara mandiri dan berkelanjutan. Maka kriteria keberhasilan proses pembelajaran adalah munculnya kemampuan belajar berkelanjutan secara mandiri.
Sebuah proses pembelajaran yang baik, paling tidak harus melibatkan 3 aspek, yaitu : aspek psikomotorik, aspek kognitif dan aspek afektif.
Aspek psikomotorik dapat difasilitasi lewat adanya pratikum-pratikum dengan tujuan terbentuknya keterampilan eksperimental. Aspek kognitif difasilitasi lewat berbagai aktifitas penalaran dengan tujuan adalah terbentuknya penguasaan intelektual. Sedangkan aspek afektif dilakukan lewat aktifitas pengenalan dan kepekaan lingkungan dengan tujuan terbentuknya kematangan emosional. Ketiga aspek tersebut bila dapat dijalankan dengan baik akan membentuk kemampuan berfikir kritis dan munculnya kreatifitas. Dua kemampuan inilah yang mendasari skill problem solving yang diharapkan wujud pada diri mahasiswa.
Untuk menghasilkan sebuah proses pembelajaran yang baik, maka paling tidak harus terdapat 4 tahapan, yaitu :
1. Tahap berbagi dan mengolah informasi, kegiatan di kelas, laboratorium, perpusatakaan adalah termasuk dalam aktifitas untuk berbagi dan mengolah informasi.
2. Tahap internalisasi, aktifitas dalam bentuk PR, tugas, paper, diskusi, turorial, adalah bagian dari tahap internalisasi.
3. Mekanisme balikan, kuis, ulangan/ujian serta komentar dan survey adalah bagian dari proses balikan.
4. Evaluasi, aktifitas assesment yang berdasar pada test ataupun tanpa test termasuk assesment diri adalah bagian dari proses evaluasi. Evaluasi dapat dilakukan peer review ataupun dengan survey terbatas.
Seharusnya implementasi proses pembelajaran di perguruan tinggi senantiasa dievaluasi untuk memenuhi aspek-aspek diatas.
PRINSIP-PRINSIP PENGEMBANGAN MATERI PEMBELAJARAN
A. Prinsip-Prinsip Pengembangan Materi
Prinsip-prinsip yang dijadikan dasar dalam menentukan materi pembelajaran adalah kesesuaian (relevansi), keajegan (konsistensi) dan kecukupan (adequacy).
1. Relevansi artinya kesesuaian.
Materi pembelajaran hendaknya relevan dengan pencapaian standar kompetensi dan pencapaian kompetensi dasar. Jika kemampuan yang diharapkan dikuasai peserta didik berupa menghafal fakta, maka materi pembelajaran yang diajarkan harus berupa fakta, bukan konsep atau prinsip ataupun jenis materi yang lain. Mislanya : kompetensi dasar yangharus dikuasai peserta didik adalah “Menjelaskan hukum permintaan dan hukum penawaran serta asumsi yang mendasarinya” (Ekonomi kelas X semester I) maka pemilihan materi pembelajaran yang disampaikan seharusnya “Referensi tentang hukum permintaan da penawaran” (materi konsep), bukan menggambar kurva permintaan dan penawaran dari satu daftar transaksi (materi prosedur).
2. Konsistensi artinya keajegan.
Jika kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik ada empat macam, maka materi yang harus diajarkan juga hrus meliputi empat macam. Misalnya kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik adalah Operasi Aljabar bilangan bentuk akar (Matematika Kelas X semester I) yang meliputi penambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian, maka materi yang diajarkan juga harus meliputi teknik penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan merasionalkan bentuk akar.
3. Adequacy artinya kecukupan.
Materi yang diajarkan hendaknya cukup memadai dalam membantu peserta didik menguasai dasar yang diajarkan. Materi tidak boleh teralu dikit, dan tidak boleh terlalu banyak. Jika terlalu sedikit maka kurang membantu tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar. Sebaliknya, jika terlalu banyak maka akan mengakibatkan keterlambatan dalam pencapaian target kurikulum (pencapaian keseluruhan SK dan KD).
Adapun dalam pengembangan materi pembelajaran guru harus mampu mengidentifikasi materi pembelajaran dengan mempertimbangkan hal-hal di bawah ini :
1. Potensi peserta didik;
2. Relevansi dengan karakteristik daerah;
3. Tingkat perkembangan fisik, intelektual, emosional, sosial dan spiritual peserta didik;
4. Kebermanfaatan bagi peserta didik;
5. Struktur keilmuan;
6. Aktualitas, kedalaman, dan keluasan materi pembelajaran;
7. Relevansi dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan lingkungan; dan
8. Alokasi waktu.
PERUMUSAN TUJUAN PENDIDIKAN
1. Klasifikasi Tujuan Pendidikan
Blog riwayat-Schubert (1986, 202-206) mengajukan empat tujuan pendidikan yaitu; (1) sosialisasi, (2) pencapaian, (3) pertumbuhan dan (4) perubahan sosial. Sosialisasi merupakan tujuan yang harus dicapai anak didik agar mereka dapat hidup dengan baik di masyarakat, dan dengan kebudayaan.
Tujuan pendidikan pertumbuhan personal memerlukan penyesuai kurikulum yang mengakomodir kebutuhan pribadi, bakat, minat, dan kemampuan anak yang berbeda-beda. Perubahan sosial, menurut aliran ini sekolah dapat dan harus mengusahakan perbaikan sosial (Muhammad Ansyar, 1989:102).
2. Klasifikasi Tujuan Pembelajaran
Oleh karena sukar menetapkan tingkat suatu tujuan yaitu, apakah itu pada tingkat tujuan pendidikan nasional (aims), atau pada tingkat sekolah, atau ruang kelas, maka Zais (1976: 308-309) mengajukan tiga kategori (fakta, keterampilan, dan sikap) biasa dipakai sebagai cara utama untuk menyusun tujuan kurikulum (goals) dan tujuan pembelajaran (objectives).
Klasifikasi tujuan yang lebih sistematis telah dikemukakan Bloom (1956) dan Kratwohl, Bloom dan Masia (1964) seperti tertera dalam Zais ( 1976: 304-310) Tanner dan Tanner (1975: 121-131). Tujuan pendidikan diklasifikasikan pada tiga ranah besar yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Proses kognitif fi klasifikasikan ke dalam suatu urutan hirarkis, dari tingkat berpikir yang sederhana ke tingkat intelekrual yang lebih kompleks :
1) Pengetahuan
2) Pemahaman
3) Aplikasi
4) Analisis
5) Sintesis
6) Evaluasi
Ranah afektif mencakup tujuan-tujuan yang berkaitan dengan dimensi perasaan, tingkah laku atau nilai, seperti apresiasi terhadap karya seni, berbudi pekerti luhur dan lain-lain.
Ranah afektif dibagi menjadi lima tingkatan yang bergerak dari kesadaran yang sederhana menuju dimana perasaan memegang peranan penting dalam mengontrol tingkah laku :
1) Menerima
2) Responsif
3) Menghargai
4) Organisasi
5) Karakteristik
Ranah psikomotor dibagi empat tingkatan, dari yang paling sederhana kepada tingkat yang paling kompleks, yaitu :
1) Observasi
2) Meniru
3) Praktek
4) Adaptasi
3. Kriteria Perumusan Tujuan Pendidikan
Dalam pendaluhuan telah dikemukakan betapa pentingnya tujuan pendidikan dalam perencanaan dan pengembangan kurikulum dan pengajaran. Tujuan merupakan dasar orientasi sekaligus sesuatu yang akan dicapai dalam semua program kegiatan pendidikan. Seperti dikatakan Hilda Taba dalam (Davies, 1976: 56).
Merumuskan tujuan seperti dijelaskan sebelumnya harus runtun yaitu tujuan umum dijabarkan pada tujuan khusus. Selanjutnya tujuan khusus diteliti jenis-jenisnya, dinilai kepentingannya dan dicek berdasarkan ktiteria, syarat-syarat tujuan lebih formal dan terinci, sehingga setiap komponen yang ada tidak terlampaui.
Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam perumusan tujuan yang merupakan kriteria tujuan yang baik seperti berikut ini:
1. Tujuan harus selalu kosisten dengan tujuan tingkat di atasnya (Pratt, 1980: 185). Tujuan-tujuan yang bersifat penjabaran dari suatu tujuan yang lebih tinggi jenjangnya harus sesuai atau tidak bertentangan dengan hal-hal yang diisyaratkan oleh tujuan tersebut. Misalnya tujuan instruksional yang dijabarkan langsung dari tujuang kurikuler harus mencerminkan tujuan kurikuler itu.
2. Tujuan harus tepat seksama dan teliti. Tujuannya hanya berguna jika ia dirumuskan secara teliti dan tepat sehingga memungkinkan orang mempunyai kesamaan pengertian terhadapnya. Perumusan tujuan yang cermat akan memungkinkan kita untuk melaksanakannya dengan penuh kepastian.
3. Tujuan harus diidentifikasikan secara spesifik yang menggambarkan keluaran belajar yang dimaksudkan. Tujuan yang dirumuskan harus menunjuk pada pengertian keluaran dari pada kegiatan. Tujuan yang menunjukkan tingkat kemampuan atau pengetahuan siswa merupakan maksud utama kurikulum. Akan tetapi jika ia tidak pernah mengidentifikasi keluarannya, ia bukanlah tujuan kurikulum yang kualitatif (Pratt, 1980: 184).
4. Tujuan bersifat relevan (Davies, 1976: 17) dan berfungsi (Pratt, 1980 : 186). Masalah kerelevansian berhubungan dengan persoalan personal dan sosial, atau msalah praktis yang diahdapi individu dan masyarakat. Memang harus diakui bahwa terdapat perbedaan pengertian tentang kerelevansian itu karena adanya perbedaan masalah dan kepentingan antara tiap individu dan masyarakat. Jadi kerelevansian itu berkaitan dengan pengertian untuk siapa dan kapan. Di samping relevan, tujuan pun harus berfungsi personal maupun sosial. Suatu tujuan dikatakan berfungsi personal jika ia memberi manfaat bagi individu yang belajar untuk masa kini dan masa akan datang, dan berfungsi sosial jika ia memberi manfaat bagi masyarakat di samping pelajar.
5. Tujuan harus mempunyai kemungkinan untuk dicapai. Tujuan yang dirumuskan harus memungkinkan orang, pelaksana kurikulum untuk mencapainya sesuai kemampuan yang ada. Masalah kemampuan itu berkaitan dengan masalah tenaga, tingkat sekolah, waktu, dana, skope materi, fasilitas yang tersedia, dan sebagainya. Perumusan tujuan yang terlalu muluk (karena terasa lebih ideal) dan melupakan faktor kemampuan atau realitas hanya akan berakibat tujuan itu tak tercapai. Suatu program kegiatan dikatakn efektif jika hasil yang dicaapai dapat sesuai atau paling tidak, tidak terlalu jauh berbeda dengan perencanaan.
6. Tujuan harus memenuhi kriteria kepantasan worthwhilness (Davies, 1976 : 18). Pengertian “pantas” mengarah pada kegiatan memilih tujuan yang dianggap lebih memiliki potensi, bersifat mendidik, dan lebih bernilai. Memang agak sulit menentukan tujuan yang lebih pantas karena dalam hal ini orang bisa mengalami perbedaan kesepakatan pengertian. Secara umum kita boleh mengatakan bahwa kriteria kepantasan harus didasarkan pada pertimbangan objektif, dengan argumentasi yang objektif. Dalam hal ini Profesor Peter dalam (Davies, 1976 : 1) menyarankan tiga kriteria (a) aktivitas harus berfungsi dari waktu ke waktu, (b) aktivitas harus bersifat selaras dan seimbang dari pada bersaing, mengarah ke keharmonisan secara keseluruhan, dan (c) aktivitas harus bernilai dan sungguh-sungguh khususnya yang menunjang dan memajukan keseluruhan kualitas hidup.
BAB II
PEMBAHASAN
Teori kognitif menerangkan bahwa pembelajaran adalah perubahan dalam pengetahuan yang disimpan di dalam memori. Teori kognitif ini bermaksud penambahan pengetahuan ke dalam ingatan jangka panjang atau perubahan pada skema atau struktur pengetahuan. Pengkajian terhadap teori belajar kognitif memerlukan penggambaran tentang perhatian, memori dan elaborasi reheashal, pelacakan kembali, dan pembuatan informasi yang bermakna. Manusia memilih, mengamal, memberi perhatian, menghindar, merenung kembali dan membuat keputusan tentang peristiwa-peristiwa yang berlaku dalam persekitaran untuk mencapai matlamat secara aktif. Pandangan kognitif yang lama utamakan perolehan pengetahuan. Pandangan yang baru mengutamakan pembinaan atau pembangunan ilmu pengetahuan dalam proses pembelajaran kognitif ini melibatkan dua proses mental yang penting yaitu persepsi dan pembentukan konsep (penganggapan).
Pengembangan moral kognitif
Perkembangan moral manusia berlangsung melalui restrukturalisasi atau reorganisasi kognitif, yang berlangsung secara berangsur melalui tahap pra-konvensi, konvensi dan pasca konvensi. Model ini bertujuan membantu siswa mengembangkan kemampuan mempertimbangkan nilai moral secara kognitif.
Langkah-langkah pembelajaran moral kognitif :
1) Menghadapkan siswa pada suatu situasi yang mengandung dilema moral atau pertentangan nilai,
2) Siswa diminta memilih salah satu tindakan yang mengandung nilai moral tertentu,
3) Siswa diminta mendiskusikan/menganalisis kebaikan dan kejelekannya,
4) Siswa didorong untuk mencari tindakan-tindakan yang lebih baik,
5) Siswa menerapkan tindakan dalam segi lain.
Sintaks pembelajaran
Garis besar perilaku guru digambarkan terlebih dahulu dalam sintaks berikut, meski dalam hal ini bersifat dinamik dan kondisional.
Sintaks Pembelajaran Model Pendekatan Konflik Kognitif Fase-Fase Kegiatan Guru
Fase 1
Orientasi siswa kepada konflik
Fase 2
Mengorganisasi siswa untuk belajar
Fase 3
Membimbing penyelidikan individu maupun kelompok
Fase 4
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Fase 5
Menganalisis dan mengevaluasi
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan sumber belajar yang dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat aktof dalam pemecahan konflik dan mencari kebenaran konsep.
Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasi tugas belajar yang berhubungan dengan konflik.
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang relevan, melaksanakan eksperimen, diskus internal untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah/konflik.
Guru membantu siswa merencanakan dan menyiapkan hasil karya, dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka lakukan.
Perlu diketahui, tidak hanya itu saja namun dalam proses belajar juga ada empat tema pendidikan yang perlu diperhatikan yaitu :
a) Mengemukakan pentingnya arti struktur pengetahuan
b) Kesiapan (readiness) siswa untuk belajar
c) Nilai intuisi dalam proses pendidikan dengan intuisi
d) Motivasi atau keinginan untuk belajar siswa dan guru untuk memotivasinya
Maka dalam pengajaran di Sekolah Brunner mengajukan bahwa dalam pembelajaran hendaknya mencakup :
a) Pengalaman-pengalaman optimal untuk mau dan dapat belajar. Pembelajaran dari segi siswa dalam membantu siswa dalam hal mencari alternative pemecahan masalah. Dalam mencari masalah melalui penyelidikan dan penemuan serta cara pemecahannya dibutuhkan adanya aktivitas, pemeliharan dan pengarahan. Artinya bahwa kegiatan belajar akan berjalan baik dan kreatif jika siswa dapat menemukan sendiri suatu aturan atau kesimpulan tertentu.
b) Penstrukturan pengetahuan untuk pemahaman optimal. Pembelajaran hendaknya dapat memberikan struktur yang jelas dari suatu pengetahuan yang dipelajari anak-anak. Dengan perkataan lain, anak dibimbing dalam memahami sesuatu dari yang paling khusus (deduktif) menuju yang paling kompleks (induktif), bukannya konsep yang lebih dahulu diajarkan, akan tetapi contoh-contoh kongkrit dari kejujuran itu sendiri.
Dapat disimpulkan bahwa dalam proses belajar terdapat tiga tahap, yaitu informasi, transformasi, dan evaluasi. Lama tidaknya masing-masing tahap dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain banyak informasi, motivasi, dan minat siswa. Dan cara mengatur kegiatan kognitif dengan menggunakan sistematika alur piket dan sistematik proses belajar itu sendiri. Orang yang menggunakan alur pikir dalam pemecahan masalah, ia akan berfikir sistematis dan dapat mengontrol kegiatan kognitifnya, sehingga pembelajaran akan lebih efisien.
BAB II
KSEIMPULAN
Pada dasarnya konsep pembelajaran kognitif disini menuntut adanya prinsip-prinsip utama sebagai berikut :
a. Pembelajaran yang katif, maksudnya adalah siswa sebaagi subyek belajar menjadi faktor yang paling utama. Siswa dituntut belajar dengan mandiri secara aktif.
b. Prinsip pembelajaran dengan interaksi sosial untuk menambah khasanah perkembangan kognitif siswa dan menghindari kognitif yang bersifat egosentris.
c. Belajar dengan menerapkan apa yang dipelajari agar siswa mempunyai pengalaman dalam mengeksploitasi kognitifnya lebih aman. Tidak melulu menggunakan bahasa verbal dalam komunikasi.
d. Adanya guru yang memberikan arahan agar siswa melakukan banyak kesalahan dalam menggunakan kesempatannya untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang positif.
e. Dalam memberikan matri kepada siswa diperlukan penstruktura baik dalam materi yang disampaikan maupun metode yang digunakan. Karena pengaturan juga sangat berpengaruh pada tngkat kemampuan pemahaman pada siswa.
f. Pemberian reinforcement yang berupa hadiah dan hukuman pada siswa. Saat melakukan hal yang tepat harus diberikan hadiah untuk menguatkan dia untuk terus berbuat dengan tepat, hadiah tersebut biasa berupa pujian, dan sebagainya. Dan sebaliknya memberikan hukuman atas kesalahan yang telah dilakukan agar dia menyadari dan tidak mengulangi lagi, hukuman tersebut biasa berupa : teguran, nasehat, dan sebagainya tetapi bukan salam hukuman yang berarti kekerasan.
g. Materi yang diberikan akan sangat bermakna jika saling berkaitan karena dengan begitu seseorang akan lebih terlatih untuk mengekspolarasi kemampuan kognitifnya.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Pengembangan MKDK. 1989. Psikologi Belajar. Semarang: IKIP Semarang
Sugandi, Achmad. 2004. Teori Pembelajaran. Semarang : UPT MKK UNNES
MAKALAH PSIKOLOGI BELAJAR
PROSES PEMBELAJARAN
Proses pembelajaran adalah sebuah upaya bersama antara dosen dan mahasiswa untuk berbagi dan mengolah infornasi dengan tujuan agar pengetahuannya yang terbentuk "internalisasi” dalam diri peserta pembelajaran dan menjadi landasan belajar secara mandiri dan berkelanjutan. Maka kriteria keberhasilan proses pembelajaran adalah munculnya kemampuan belajar berkelanjutan secara mandiri.
Sebuah proses pembelajaran yang baik, paling tidak harus melibatkan 3 aspek, yaitu : aspek psikomotorik, aspek kognitif dan aspek afektif.
Aspek psikomotorik dapat difasilitasi lewat adanya pratikum-pratikum dengan tujuan terbentuknya keterampilan eksperimental. Aspek kognitif difasilitasi lewat berbagai aktifitas penalaran dengan tujuan adalah terbentuknya penguasaan intelektual. Sedangkan aspek afektif dilakukan lewat aktifitas pengenalan dan kepekaan lingkungan dengan tujuan terbentuknya kematangan emosional. Ketiga aspek tersebut bila dapat dijalankan dengan baik akan membentuk kemampuan berfikir kritis dan munculnya kreatifitas. Dua kemampuan inilah yang mendasari skill problem solving yang diharapkan wujud pada diri mahasiswa.
Untuk menghasilkan sebuah proses pembelajaran yang baik, maka paling tidak harus terdapat 4 tahapan, yaitu :
1. Tahap berbagi dan mengolah informasi, kegiatan di kelas, laboratorium, perpusatakaan adalah termasuk dalam aktifitas untuk berbagi dan mengolah informasi.
2. Tahap internalisasi, aktifitas dalam bentuk PR, tugas, paper, diskusi, turorial, adalah bagian dari tahap internalisasi.
3. Mekanisme balikan, kuis, ulangan/ujian serta komentar dan survey adalah bagian dari proses balikan.
4. Evaluasi, aktifitas assesment yang berdasar pada test ataupun tanpa test termasuk assesment diri adalah bagian dari proses evaluasi. Evaluasi dapat dilakukan peer review ataupun dengan survey terbatas.
Seharusnya implementasi proses pembelajaran di perguruan tinggi senantiasa dievaluasi untuk memenuhi aspek-aspek diatas.
PRINSIP-PRINSIP PENGEMBANGAN MATERI PEMBELAJARAN
A. Prinsip-Prinsip Pengembangan Materi
Prinsip-prinsip yang dijadikan dasar dalam menentukan materi pembelajaran adalah kesesuaian (relevansi), keajegan (konsistensi) dan kecukupan (adequacy).
1. Relevansi artinya kesesuaian.
Materi pembelajaran hendaknya relevan dengan pencapaian standar kompetensi dan pencapaian kompetensi dasar. Jika kemampuan yang diharapkan dikuasai peserta didik berupa menghafal fakta, maka materi pembelajaran yang diajarkan harus berupa fakta, bukan konsep atau prinsip ataupun jenis materi yang lain. Mislanya : kompetensi dasar yangharus dikuasai peserta didik adalah “Menjelaskan hukum permintaan dan hukum penawaran serta asumsi yang mendasarinya” (Ekonomi kelas X semester I) maka pemilihan materi pembelajaran yang disampaikan seharusnya “Referensi tentang hukum permintaan da penawaran” (materi konsep), bukan menggambar kurva permintaan dan penawaran dari satu daftar transaksi (materi prosedur).
2. Konsistensi artinya keajegan.
Jika kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik ada empat macam, maka materi yang harus diajarkan juga hrus meliputi empat macam. Misalnya kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik adalah Operasi Aljabar bilangan bentuk akar (Matematika Kelas X semester I) yang meliputi penambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian, maka materi yang diajarkan juga harus meliputi teknik penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan merasionalkan bentuk akar.
3. Adequacy artinya kecukupan.
Materi yang diajarkan hendaknya cukup memadai dalam membantu peserta didik menguasai dasar yang diajarkan. Materi tidak boleh teralu dikit, dan tidak boleh terlalu banyak. Jika terlalu sedikit maka kurang membantu tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar. Sebaliknya, jika terlalu banyak maka akan mengakibatkan keterlambatan dalam pencapaian target kurikulum (pencapaian keseluruhan SK dan KD).
Adapun dalam pengembangan materi pembelajaran guru harus mampu mengidentifikasi materi pembelajaran dengan mempertimbangkan hal-hal di bawah ini :
1. Potensi peserta didik;
2. Relevansi dengan karakteristik daerah;
3. Tingkat perkembangan fisik, intelektual, emosional, sosial dan spiritual peserta didik;
4. Kebermanfaatan bagi peserta didik;
5. Struktur keilmuan;
6. Aktualitas, kedalaman, dan keluasan materi pembelajaran;
7. Relevansi dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan lingkungan; dan
8. Alokasi waktu.
PERUMUSAN TUJUAN PENDIDIKAN
1. Klasifikasi Tujuan Pendidikan
Blog riwayat-Schubert (1986, 202-206) mengajukan empat tujuan pendidikan yaitu; (1) sosialisasi, (2) pencapaian, (3) pertumbuhan dan (4) perubahan sosial. Sosialisasi merupakan tujuan yang harus dicapai anak didik agar mereka dapat hidup dengan baik di masyarakat, dan dengan kebudayaan.
Tujuan pendidikan pertumbuhan personal memerlukan penyesuai kurikulum yang mengakomodir kebutuhan pribadi, bakat, minat, dan kemampuan anak yang berbeda-beda. Perubahan sosial, menurut aliran ini sekolah dapat dan harus mengusahakan perbaikan sosial (Muhammad Ansyar, 1989:102).
2. Klasifikasi Tujuan Pembelajaran
Oleh karena sukar menetapkan tingkat suatu tujuan yaitu, apakah itu pada tingkat tujuan pendidikan nasional (aims), atau pada tingkat sekolah, atau ruang kelas, maka Zais (1976: 308-309) mengajukan tiga kategori (fakta, keterampilan, dan sikap) biasa dipakai sebagai cara utama untuk menyusun tujuan kurikulum (goals) dan tujuan pembelajaran (objectives).
Klasifikasi tujuan yang lebih sistematis telah dikemukakan Bloom (1956) dan Kratwohl, Bloom dan Masia (1964) seperti tertera dalam Zais ( 1976: 304-310) Tanner dan Tanner (1975: 121-131). Tujuan pendidikan diklasifikasikan pada tiga ranah besar yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Proses kognitif fi klasifikasikan ke dalam suatu urutan hirarkis, dari tingkat berpikir yang sederhana ke tingkat intelekrual yang lebih kompleks :
1) Pengetahuan
2) Pemahaman
3) Aplikasi
4) Analisis
5) Sintesis
6) Evaluasi
Ranah afektif mencakup tujuan-tujuan yang berkaitan dengan dimensi perasaan, tingkah laku atau nilai, seperti apresiasi terhadap karya seni, berbudi pekerti luhur dan lain-lain.
Ranah afektif dibagi menjadi lima tingkatan yang bergerak dari kesadaran yang sederhana menuju dimana perasaan memegang peranan penting dalam mengontrol tingkah laku :
1) Menerima
2) Responsif
3) Menghargai
4) Organisasi
5) Karakteristik
Ranah psikomotor dibagi empat tingkatan, dari yang paling sederhana kepada tingkat yang paling kompleks, yaitu :
1) Observasi
2) Meniru
3) Praktek
4) Adaptasi
3. Kriteria Perumusan Tujuan Pendidikan
Dalam pendaluhuan telah dikemukakan betapa pentingnya tujuan pendidikan dalam perencanaan dan pengembangan kurikulum dan pengajaran. Tujuan merupakan dasar orientasi sekaligus sesuatu yang akan dicapai dalam semua program kegiatan pendidikan. Seperti dikatakan Hilda Taba dalam (Davies, 1976: 56).
Merumuskan tujuan seperti dijelaskan sebelumnya harus runtun yaitu tujuan umum dijabarkan pada tujuan khusus. Selanjutnya tujuan khusus diteliti jenis-jenisnya, dinilai kepentingannya dan dicek berdasarkan ktiteria, syarat-syarat tujuan lebih formal dan terinci, sehingga setiap komponen yang ada tidak terlampaui.
Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam perumusan tujuan yang merupakan kriteria tujuan yang baik seperti berikut ini:
1. Tujuan harus selalu kosisten dengan tujuan tingkat di atasnya (Pratt, 1980: 185). Tujuan-tujuan yang bersifat penjabaran dari suatu tujuan yang lebih tinggi jenjangnya harus sesuai atau tidak bertentangan dengan hal-hal yang diisyaratkan oleh tujuan tersebut. Misalnya tujuan instruksional yang dijabarkan langsung dari tujuang kurikuler harus mencerminkan tujuan kurikuler itu.
2. Tujuan harus tepat seksama dan teliti. Tujuannya hanya berguna jika ia dirumuskan secara teliti dan tepat sehingga memungkinkan orang mempunyai kesamaan pengertian terhadapnya. Perumusan tujuan yang cermat akan memungkinkan kita untuk melaksanakannya dengan penuh kepastian.
3. Tujuan harus diidentifikasikan secara spesifik yang menggambarkan keluaran belajar yang dimaksudkan. Tujuan yang dirumuskan harus menunjuk pada pengertian keluaran dari pada kegiatan. Tujuan yang menunjukkan tingkat kemampuan atau pengetahuan siswa merupakan maksud utama kurikulum. Akan tetapi jika ia tidak pernah mengidentifikasi keluarannya, ia bukanlah tujuan kurikulum yang kualitatif (Pratt, 1980: 184).
4. Tujuan bersifat relevan (Davies, 1976: 17) dan berfungsi (Pratt, 1980 : 186). Masalah kerelevansian berhubungan dengan persoalan personal dan sosial, atau msalah praktis yang diahdapi individu dan masyarakat. Memang harus diakui bahwa terdapat perbedaan pengertian tentang kerelevansian itu karena adanya perbedaan masalah dan kepentingan antara tiap individu dan masyarakat. Jadi kerelevansian itu berkaitan dengan pengertian untuk siapa dan kapan. Di samping relevan, tujuan pun harus berfungsi personal maupun sosial. Suatu tujuan dikatakan berfungsi personal jika ia memberi manfaat bagi individu yang belajar untuk masa kini dan masa akan datang, dan berfungsi sosial jika ia memberi manfaat bagi masyarakat di samping pelajar.
5. Tujuan harus mempunyai kemungkinan untuk dicapai. Tujuan yang dirumuskan harus memungkinkan orang, pelaksana kurikulum untuk mencapainya sesuai kemampuan yang ada. Masalah kemampuan itu berkaitan dengan masalah tenaga, tingkat sekolah, waktu, dana, skope materi, fasilitas yang tersedia, dan sebagainya. Perumusan tujuan yang terlalu muluk (karena terasa lebih ideal) dan melupakan faktor kemampuan atau realitas hanya akan berakibat tujuan itu tak tercapai. Suatu program kegiatan dikatakn efektif jika hasil yang dicaapai dapat sesuai atau paling tidak, tidak terlalu jauh berbeda dengan perencanaan.
6. Tujuan harus memenuhi kriteria kepantasan worthwhilness (Davies, 1976 : 18). Pengertian “pantas” mengarah pada kegiatan memilih tujuan yang dianggap lebih memiliki potensi, bersifat mendidik, dan lebih bernilai. Memang agak sulit menentukan tujuan yang lebih pantas karena dalam hal ini orang bisa mengalami perbedaan kesepakatan pengertian. Secara umum kita boleh mengatakan bahwa kriteria kepantasan harus didasarkan pada pertimbangan objektif, dengan argumentasi yang objektif. Dalam hal ini Profesor Peter dalam (Davies, 1976 : 1) menyarankan tiga kriteria (a) aktivitas harus berfungsi dari waktu ke waktu, (b) aktivitas harus bersifat selaras dan seimbang dari pada bersaing, mengarah ke keharmonisan secara keseluruhan, dan (c) aktivitas harus bernilai dan sungguh-sungguh khususnya yang menunjang dan memajukan keseluruhan kualitas hidup.
BAB II
PEMBAHASAN
Teori kognitif menerangkan bahwa pembelajaran adalah perubahan dalam pengetahuan yang disimpan di dalam memori. Teori kognitif ini bermaksud penambahan pengetahuan ke dalam ingatan jangka panjang atau perubahan pada skema atau struktur pengetahuan. Pengkajian terhadap teori belajar kognitif memerlukan penggambaran tentang perhatian, memori dan elaborasi reheashal, pelacakan kembali, dan pembuatan informasi yang bermakna. Manusia memilih, mengamal, memberi perhatian, menghindar, merenung kembali dan membuat keputusan tentang peristiwa-peristiwa yang berlaku dalam persekitaran untuk mencapai matlamat secara aktif. Pandangan kognitif yang lama utamakan perolehan pengetahuan. Pandangan yang baru mengutamakan pembinaan atau pembangunan ilmu pengetahuan dalam proses pembelajaran kognitif ini melibatkan dua proses mental yang penting yaitu persepsi dan pembentukan konsep (penganggapan).
Pengembangan moral kognitif
Perkembangan moral manusia berlangsung melalui restrukturalisasi atau reorganisasi kognitif, yang berlangsung secara berangsur melalui tahap pra-konvensi, konvensi dan pasca konvensi. Model ini bertujuan membantu siswa mengembangkan kemampuan mempertimbangkan nilai moral secara kognitif.
Langkah-langkah pembelajaran moral kognitif :
1) Menghadapkan siswa pada suatu situasi yang mengandung dilema moral atau pertentangan nilai,
2) Siswa diminta memilih salah satu tindakan yang mengandung nilai moral tertentu,
3) Siswa diminta mendiskusikan/menganalisis kebaikan dan kejelekannya,
4) Siswa didorong untuk mencari tindakan-tindakan yang lebih baik,
5) Siswa menerapkan tindakan dalam segi lain.
Sintaks pembelajaran
Garis besar perilaku guru digambarkan terlebih dahulu dalam sintaks berikut, meski dalam hal ini bersifat dinamik dan kondisional.
Sintaks Pembelajaran Model Pendekatan Konflik Kognitif Fase-Fase Kegiatan Guru
Fase 1
Orientasi siswa kepada konflik
Fase 2
Mengorganisasi siswa untuk belajar
Fase 3
Membimbing penyelidikan individu maupun kelompok
Fase 4
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Fase 5
Menganalisis dan mengevaluasi
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan sumber belajar yang dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat aktof dalam pemecahan konflik dan mencari kebenaran konsep.
Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasi tugas belajar yang berhubungan dengan konflik.
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang relevan, melaksanakan eksperimen, diskus internal untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah/konflik.
Guru membantu siswa merencanakan dan menyiapkan hasil karya, dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka lakukan.
Perlu diketahui, tidak hanya itu saja namun dalam proses belajar juga ada empat tema pendidikan yang perlu diperhatikan yaitu :
a) Mengemukakan pentingnya arti struktur pengetahuan
b) Kesiapan (readiness) siswa untuk belajar
c) Nilai intuisi dalam proses pendidikan dengan intuisi
d) Motivasi atau keinginan untuk belajar siswa dan guru untuk memotivasinya
Maka dalam pengajaran di Sekolah Brunner mengajukan bahwa dalam pembelajaran hendaknya mencakup :
a) Pengalaman-pengalaman optimal untuk mau dan dapat belajar. Pembelajaran dari segi siswa dalam membantu siswa dalam hal mencari alternative pemecahan masalah. Dalam mencari masalah melalui penyelidikan dan penemuan serta cara pemecahannya dibutuhkan adanya aktivitas, pemeliharan dan pengarahan. Artinya bahwa kegiatan belajar akan berjalan baik dan kreatif jika siswa dapat menemukan sendiri suatu aturan atau kesimpulan tertentu.
b) Penstrukturan pengetahuan untuk pemahaman optimal. Pembelajaran hendaknya dapat memberikan struktur yang jelas dari suatu pengetahuan yang dipelajari anak-anak. Dengan perkataan lain, anak dibimbing dalam memahami sesuatu dari yang paling khusus (deduktif) menuju yang paling kompleks (induktif), bukannya konsep yang lebih dahulu diajarkan, akan tetapi contoh-contoh kongkrit dari kejujuran itu sendiri.
Dapat disimpulkan bahwa dalam proses belajar terdapat tiga tahap, yaitu informasi, transformasi, dan evaluasi. Lama tidaknya masing-masing tahap dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain banyak informasi, motivasi, dan minat siswa. Dan cara mengatur kegiatan kognitif dengan menggunakan sistematika alur piket dan sistematik proses belajar itu sendiri. Orang yang menggunakan alur pikir dalam pemecahan masalah, ia akan berfikir sistematis dan dapat mengontrol kegiatan kognitifnya, sehingga pembelajaran akan lebih efisien.
BAB II
KSEIMPULAN
Pada dasarnya konsep pembelajaran kognitif disini menuntut adanya prinsip-prinsip utama sebagai berikut :
a. Pembelajaran yang katif, maksudnya adalah siswa sebaagi subyek belajar menjadi faktor yang paling utama. Siswa dituntut belajar dengan mandiri secara aktif.
b. Prinsip pembelajaran dengan interaksi sosial untuk menambah khasanah perkembangan kognitif siswa dan menghindari kognitif yang bersifat egosentris.
c. Belajar dengan menerapkan apa yang dipelajari agar siswa mempunyai pengalaman dalam mengeksploitasi kognitifnya lebih aman. Tidak melulu menggunakan bahasa verbal dalam komunikasi.
d. Adanya guru yang memberikan arahan agar siswa melakukan banyak kesalahan dalam menggunakan kesempatannya untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang positif.
e. Dalam memberikan matri kepada siswa diperlukan penstruktura baik dalam materi yang disampaikan maupun metode yang digunakan. Karena pengaturan juga sangat berpengaruh pada tngkat kemampuan pemahaman pada siswa.
f. Pemberian reinforcement yang berupa hadiah dan hukuman pada siswa. Saat melakukan hal yang tepat harus diberikan hadiah untuk menguatkan dia untuk terus berbuat dengan tepat, hadiah tersebut biasa berupa pujian, dan sebagainya. Dan sebaliknya memberikan hukuman atas kesalahan yang telah dilakukan agar dia menyadari dan tidak mengulangi lagi, hukuman tersebut biasa berupa : teguran, nasehat, dan sebagainya tetapi bukan salam hukuman yang berarti kekerasan.
g. Materi yang diberikan akan sangat bermakna jika saling berkaitan karena dengan begitu seseorang akan lebih terlatih untuk mengekspolarasi kemampuan kognitifnya.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Pengembangan MKDK. 1989. Psikologi Belajar. Semarang: IKIP Semarang
Sugandi, Achmad. 2004. Teori Pembelajaran. Semarang : UPT MKK UNNES
MAKALAH PSIKOLOGI BELAJAR
Labels:
Makalah
Thanks for reading MAKALAH PSIKOLOGI BELAJAR. Please share...!