MANFAAT DAN CARA MEMPELAJARI FILSAFAT
A. Manfaat Mempelajari Filsafat
Menjadi fullsuf, sebagai ikhtiar membeningkan cara pandang, dimulai dengan pengakuan akan kekebalan, seperti dikemukakan Socrates saya tahu bahwa saya tak tahu apa-apa. Pengakuan akan kekebalan secara otomatis akan mengiring kita pada kesadaran cinta pada kearifan, pada kebenaran. Suatu kecintaan yang akan mengarahkan kita untuk tidak sekedar menjadi kanak-kanak yang terus bertanya dengan sedikit rasa tanggung jawab.
Kaitan antara keempat sikap dan tujuan berfilsafat ini (takjub berkeheningan, penembahan kata-kata, pengakuan kekebalan, dan cinta kealiman) berhubungan dengan empat unsur pertama dalam filsafat. Dua unsur pertama bersifat teoritis, yaitu metafisika dan logika. Sedang dua unsur lainnya bersifat praktis, yaitu ontology dan ilmu. Berfilsafat adalah mengajukan pertanyaan, dan pertanyaan menjadi dasar dari keempat unsur filsafat ini.
Wilayah metafisika merupakan cara untuk menghasilkan pengakuan, kekebalan, Ilmu untuk cinta kealiman, Ontologi untuk takjub kebeningan, dan Logika untuk pemahaman kata-kata.
Dari manakah pertanyaan-pertanyaan dapat muncul? Dari rasa heran. Siapapun yang dengan perhatian secara terbuka tanpa prasangka dalam melihat segala sesuatunya, akan mengalami kemunculan rasa heran. Belajar berfilsafat pada taraf tertinggi adalah: belajar merasa heran. Rasa heran menyebabkan orang tersentak bangun dan mulai memeriksa kembali apa yang sebelumnya dianggap biasa-biasa saja. Rasa heran berarti keterbukaan ketika menemukan bahwa apa yang sebelumnya dianggap lumrah ternyata menunjukkan hal-hal di luar dugaan. Pada saat ini, muncullah pertanyaan-pertanyaan terhadap keyakinan lama.
Rasa heran adalah lama untuk perhatian yang menakjubkan, yang menyebabkan seseorang melihat sesuatu di dunia sebagai suatu pertanyaan yang mengasyikkan. Pada rasa heran ini dapat dibedakan unsur-unsur berikut ini : (1) Objek yang menyebabkan keheranan saya itu berhadapan dengan saya sebagai sesuatu yang sama sekali tidak dapat saya pahami; sesuatu yang asing; sesuatu yang secara menabjukkan atau menakutkan memaksa saya untuk bertanya-tanya. Sesuatu yang semula biasa-biasa saja menjadi tampak misterius, sehingga pengetahuan sebelumnya mejadi tidak bisa digunakan lagi. (2) Perbedaan antara rasa tahu dan dan rasa aneh merupakan suatu keasyika tersendiri. Realitas yang tiba-tiba saja tidak lagi bisa dikenali, menghidupkan semangat untuk dapat mengetahuinya dengan cara berfikir serius.
Rasa heran kemudian melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan kehidupan menusia, si penanya. Apakah setelah itu rasa heran menjadi punah. Dalam kegiatan bertanya-tanya, rasa heran terus memuncak-muncak. Setiap dapat satu jawaban itu harus menjadi objek dari perhatian yang mendalam dan terkonsentrasi. Jadi dalam rasa heran dan dunia pertanyaan, setiap jawaban memberi peluang untuk ditanyakan lagi.
Apakah rasa heran muncul begitu saja? Tidak, rasa heran akan muncul begitu kita mau memberikan perhatian terkonsentrasi pada segala hal.
Demikian Aldous Huxley, dalam novel Pada Island menyindir kebiasaan kita yang sering melupakan apa yang seharusnya diingat: disini dan sekarang. Manusia memang sering merasa betah pada satu hal, walaupun hal itu semula ia benci dengan kesumat. Misalnya, ada sebagian yang mengangankan masa lalu yang begitu gemilang untuk kembali mewujud pada hari ini. Ada juga orang yang menggap masa depan sebagai segalanya, saat ini hanyalah bangkainya bangkai. Padahal hidup adalah hari ini, manusia sebenarnya tidak pernah mengalami hidup pada hari esok atau hari kemarin.
Filsafat adalah ikhtiar untuk mengembalikan manusia pada situasi di sini dan sekarang. Filsafat mengajak manusia untuk keluar dari rutinitas yang membosankan menuju kebenran yang mengasyikkan. Rutinitas itu, kalaupun kita lakukan hari ini, sebenarnya berasal dari masa lalu atau untuk masa depan. Rutinitas adalah jebakan dan seterusnya. Di tengah rutinitas itu, tentu saja, kita jadi begian dari kehendak bukan kita.
Kesadaran akan pentingnya memperhatikan secara rekomendasi pada kenyataan yang sedang dialami akan menerbitkan rasa heran. Tanpa perhatian yang akan terkonsentrasi, segala yang lewat dianggap biasa-biasa saja, tidak ada yang aneh. Namun begitu kita mau berhenti sejenak untuk memperhatikan gejala-gejala (benda-benda, dari orang lain) kita akan menemukan sesuatu yang aneh, pada saat itulah muncul rasa heran dan sejenak pula terbit pertanyaan.
Filsafat konon harus dimulai dari diri, seperti dikemukakan Heraclitos, aku mencari dariku sendiri. Pastikan dulu dari dapat dikenali, baru melangkah ke wilayah lain. Jikapun ada, rumusan itu berasal dari pemberian kerumunan itu. Derek Walcott, penyair dari Trinidad, pernah membuat sajak yang menceritakan situasi tenggelam dalam kerumunan itu.
Kerumunan itu memberikan banyak kata-kata yang menyihir kita menjadi penurut terhadap segala apa yang mereka katakan. Dalam kondisi seperti ini, filsafat dibutuhkan, “Filsafat adalah perang sabil terhadap pesona dengan apa bahasa mengikat pemikiran kita”, demikian ujar Wittgenstein. Bahasa dari kerumunan itu memasang pemikiran kita, dan pada saat itu dibutuhkan penjernihan konsep, suatu fungsi dari filsafat analitik (salah satu tipe filsafat). Penjernihan konsep ini pentin agar jerat-jerat bahasa kerumunan terungkap, yang dengan cara ini kita bisa melepaskan diri dan menjadi diri sendiri.
Dua tipe filsafat itu menunjukkan bahwa filsafat bukan perkara yang jauh dari kehidupan kita. Filsafat adalah menjernihkan konsep, menjernihkan bahasa agar kita bisa mengerti; filsafat adalah menemukan jalan hidup agar kita lebih manusiawi.
“Berfilsafat adalah suatu cara berpikir yang tidak berdasarkan atas apapun juga selain daripada pengalaman dan cara berpikir sendiri. Yang dimaksud dengan cara berpikir adalah berpikir sendiri mengenai pengalam yang dialaminya sendiri atau sekurang-kurangnya pengalaman yang disebabkan oleh inspirasi atau khayalannya. Oleh karena itu, berfilsafat tidak mengizinkan masuknya setiap kekuasaan (pengaruh) dari orang lain, yang untuk saya, mengalami dan berpikir atas nama saya, lalu mengatakan kepada saya apa yang harus saya terima saja.”
B. Cara Mempelajari Filsafat
Pada prinsipnya subsatnasi filsafat adalah pemikiran pada filosuf. Sebagaimana diketahui bahwa isi filsafat itu sangat luas, disebabkan l;uasnya objek penelitian (objek material), yaitu segala yang ada, disamping juga filsafat merupakan cabang pengetahuan yang tertua.
Menurut Ahmad Tafsir ada metode yang dapat digunakan untuk mempelajari filsafat, yaitu:
a. Metode Sistimatis
Penggunaan metode ini diawali dengan menghadapi karya dilsafat yang telah ditulis oleh para filosuf dengan mempelajari teori pengetahuan yang terdir dari beberapa cabang filsafat. Kemudian dilenjutkan dengan mempelajari hakekat filsafat dan teori nilai atau filsafat nilai dan mempelajari sistimatikanya serta aliran-aliran yang ada didalamnya. Dengan cara yang demikian, maka perhatian akan terfokus pada isi filsafat, bukan pada tokoh dan periode filsafat.
b. Penggunaan metode historis merupakan langkah untuk mempelajari filsafat berdasarkan pendekatan sejarah pemikiran filsafat melalui penelaahan terhadap tokoh demi tokoh yang dimulai dari pada filosuf alam dan seterusnya. Pembicaraannya dimulai dari riwayat hidup, pokok pikiran, karya dan sebagainya.
c. Metode kritis digunakan dalam rangka mempelajari filsafat secara intensif. Pada tingkat ini sedikit benyaknya orang yang mempelajari filsafat telah memiliki pengetahuan di idang filsafat.
BAB II
METODE FILSAFAT ILMU
A. Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu sebagamana halnya dengan bidang-bidang ilmu yang lain, juga memilki material dan formal tersendiri.
a. Material Filsafat Ilmu
Material adalah yang dijadikan sasaran penyelidikan oleh suatu ilmu atau yang dipelajari oleh suatu ilmu itu. Material filsafatilmu adalah ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara umum.
b. Formal Filsafat Ilmu
Formal adalah sudut pandang dari mana sang subjek menelaah materialnya. Setiap ilmu pasti berbeda dalam formalnya. Formal filsafat ilmu adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan, artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem mendasar ilmu pengetahuan seperti apa hakikat ilmu itu sesungguhnya? Bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmiah? Apa fungsi pengetahuan itu bagi manusia? Problem inilah yang dibicarakan dalam landasan pengembangan ilmu pengetahuan, yakni landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
Landasan aksiologis pengembangan ilmu merupakan sikap etis yang harus dikembangkan oleh seorang ilmuwan, terutama dalam kaitannya dengan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya.
Timbulnya filsafat karena manusia merasa kegum (heran, takjub), merasa tidak puas, merasa ingin tahu, dan merasa ragu-ragu. Pada tahap awalnya kekaguman atau keheranan itu terarah kepada gejala-gejala alam. Misalnya: gempa bumi, hujan, banjir, melihat laut yang sangat luas. Orang yang heran berarti dia merasa tidak tahu, atau dia mengahadapi persoalan. Persoalan inilah yang ingin diperoleh jawabnya oleh para filsuf. Dari mana jawaban itu dapat diperoleh? Jawaban diperoleh dengan melakukan komtemplasi,yakni berpikir dan merenung yang sedalam-dalamnya, melakukan refleksi, yaitu berpikir tentang pikirannya sendiri atau intropeksi (mawas diri). Dalam hal ini tidak semua persoalan itu mesti persoalan filsafat. Persoalan filsafat berbeda dengan persoalan nonfilsafat. Perbedaannya terletak pada materi dan ruang lingkupnya. Ciri-ciri persoalan filsafat adalah sebagai beikut:
a. Bersifat umum, artinya persoalan kefilsafatan tidak bersangkutan dengan objek-objek khusus dengan kata lain sebagian besar masalah kefilsafatan berkaitan dengan ide-ide besar.
b. Tidak menyangkut fakta. Dengan kata lain persoalan filsafat lebih bersifat spekulatif. Persoalan-persoalan yang dihadapi melampaui batas-batas pengetahuan ilmiah. Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang menyangkut fakta.
c. Bersangkutan dengan nilai-nilai (values), artinya persoalan-persoalan kefilsafatan bertalian dengan penilaian baik nilai moral-etika, estetika, agama, dan sosial. Nilai dalam pengertian ini adalah suatu kualitas abstrak yang ada pada sesuatu hal.
d. Bersifat kritis, filsafat merupakan analisis secara kritis terhadap konsep-konsep dan arti-arti yang biasanya diterima begitu saja.
e. Oleh karena ilmu tanpa pemriksaan secara kritis.
f. Bersifat sinoptis, artinya persoalan filsafat mencakup struktur kenyataan secara keseluruhan. Filsafat merupakan ilmu yang membuat susunan kenyataan sebagai keseluruhan.
g. Bersifat implikatif, artinya kalau sesuatu pesoalan kefilsafatan sudah dijawab, maka dari jawaban tersebut akan memunculkan persoalan baru yang saling berhubungan.
Berpikir kefilsafatan memiliki karakteristik tersendiri yang dapat dibedakan dari ilmu lain. Beberapa ciri berpikir kefilsafatan dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Radikal, artinya berpikir sampai ke akar-akarnya, hingga sampai hakikat atau substansi yang dipikirkan.
b. Universal, artinya pemikiran filsafat menyangkut pengalaman umum manusia. Kekhususan berpikir kefilsafatan menurut Jaspers terletak pada aspek keumumannya.
c. Konseptual, artinya merupakan hasil generalisasi dan abstraksi pengalaman manusia.
d. Koheren dan konsisten (runtut). Koheren artinya sesuai kaidah-kaidah berpikir logis. Konsisten artinya taat asas, tidak mengandung kontradiksi.
e. Sistematis, artinya pendapat yang merupakan uraian kefilsafatan itu harus saling berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu.
f. Komprehensif, artinya mencakup atau menyeluruh. Berpikir secara kefilsafatan merupakan usaha untuk menjelaskan alam semesta secara keseluruhan.
g. Bebas, artinya sampai batas-batas yang luas, pemikiran filsafati boleh dikatakan merupakan hasil pemikiran yang bebas, yakni bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural, bahkan religius.
h. Bertanggung jawab, artinya seseorang yang berfilsafat adalah orang yang berpikir sekaligus bertanggung jawab terhadap hasil pemikirannya, paling tidak terhadap hati nuraninya sendiri (Mustansyir dan Munir, 2001 : 5)
B. Metode Filsafat Ilmu
Untuk dapat memperoleh ilmu salah satu yang harus dipahami oleh seorang ilmuwan adalah mengetahui cara apa yang harus digunakan? Ilmu dapat digali atau dicari menggunakan prosedur yang disebut dengan metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan dapat disebut sebagai ilmu, karena ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tertentu dalam mendapatkan ilmu yang dimaksudkan adalah ilmiah. Metode dapat diartikan sebagai suatu proses atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang sistematik.
Seperti telah kita ketahui bahwa berpikir adalah kegiatan mental yang menghasilkan suatu pengetahuan. Metode ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara bekerja pikiran tersebut. Dengan cara bekerja ini pengetahuan yang dihasilkan diharapkan mempunyai karakteristik-karakteristik tertentu yang diminta oleh pengetahuan ilmiah, yaitu sifat rasional dan teruji yang memungkinkan tubuh pengetahuan yang disusunnya merupakan pengetahuan yang benar dan kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, metode ilmiah dalam pelaksanaannya menggunakan langkah-langkah yang melibatkan dua cara berpikir yaitu cara berpikir deduktif dan cara berpikir induktif dalam menbagun tubuh pengetahuannya.
Manusia memiliki masalah dan berusaha mencari pemecahannya bukanlah sesuatu barang yang baru, karena sejak manusia berada di muka bumi masalah tersebut sudah ada. Namun dalam menghadapi masalah ini manusia memberikan reaksi yang berbeda-beda sesuai dengan cara perkembangan berpikir mereka. Karena masalah yang dihadapinya adalah nyata maka ilmu mencari jawabannya juga pada dunia nyata. Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta pula.
A. Manfaat Mempelajari Filsafat
Menjadi fullsuf, sebagai ikhtiar membeningkan cara pandang, dimulai dengan pengakuan akan kekebalan, seperti dikemukakan Socrates saya tahu bahwa saya tak tahu apa-apa. Pengakuan akan kekebalan secara otomatis akan mengiring kita pada kesadaran cinta pada kearifan, pada kebenaran. Suatu kecintaan yang akan mengarahkan kita untuk tidak sekedar menjadi kanak-kanak yang terus bertanya dengan sedikit rasa tanggung jawab.
Kaitan antara keempat sikap dan tujuan berfilsafat ini (takjub berkeheningan, penembahan kata-kata, pengakuan kekebalan, dan cinta kealiman) berhubungan dengan empat unsur pertama dalam filsafat. Dua unsur pertama bersifat teoritis, yaitu metafisika dan logika. Sedang dua unsur lainnya bersifat praktis, yaitu ontology dan ilmu. Berfilsafat adalah mengajukan pertanyaan, dan pertanyaan menjadi dasar dari keempat unsur filsafat ini.
Wilayah metafisika merupakan cara untuk menghasilkan pengakuan, kekebalan, Ilmu untuk cinta kealiman, Ontologi untuk takjub kebeningan, dan Logika untuk pemahaman kata-kata.
Dari manakah pertanyaan-pertanyaan dapat muncul? Dari rasa heran. Siapapun yang dengan perhatian secara terbuka tanpa prasangka dalam melihat segala sesuatunya, akan mengalami kemunculan rasa heran. Belajar berfilsafat pada taraf tertinggi adalah: belajar merasa heran. Rasa heran menyebabkan orang tersentak bangun dan mulai memeriksa kembali apa yang sebelumnya dianggap biasa-biasa saja. Rasa heran berarti keterbukaan ketika menemukan bahwa apa yang sebelumnya dianggap lumrah ternyata menunjukkan hal-hal di luar dugaan. Pada saat ini, muncullah pertanyaan-pertanyaan terhadap keyakinan lama.
Rasa heran adalah lama untuk perhatian yang menakjubkan, yang menyebabkan seseorang melihat sesuatu di dunia sebagai suatu pertanyaan yang mengasyikkan. Pada rasa heran ini dapat dibedakan unsur-unsur berikut ini : (1) Objek yang menyebabkan keheranan saya itu berhadapan dengan saya sebagai sesuatu yang sama sekali tidak dapat saya pahami; sesuatu yang asing; sesuatu yang secara menabjukkan atau menakutkan memaksa saya untuk bertanya-tanya. Sesuatu yang semula biasa-biasa saja menjadi tampak misterius, sehingga pengetahuan sebelumnya mejadi tidak bisa digunakan lagi. (2) Perbedaan antara rasa tahu dan dan rasa aneh merupakan suatu keasyika tersendiri. Realitas yang tiba-tiba saja tidak lagi bisa dikenali, menghidupkan semangat untuk dapat mengetahuinya dengan cara berfikir serius.
Rasa heran kemudian melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan kehidupan menusia, si penanya. Apakah setelah itu rasa heran menjadi punah. Dalam kegiatan bertanya-tanya, rasa heran terus memuncak-muncak. Setiap dapat satu jawaban itu harus menjadi objek dari perhatian yang mendalam dan terkonsentrasi. Jadi dalam rasa heran dan dunia pertanyaan, setiap jawaban memberi peluang untuk ditanyakan lagi.
Apakah rasa heran muncul begitu saja? Tidak, rasa heran akan muncul begitu kita mau memberikan perhatian terkonsentrasi pada segala hal.
Demikian Aldous Huxley, dalam novel Pada Island menyindir kebiasaan kita yang sering melupakan apa yang seharusnya diingat: disini dan sekarang. Manusia memang sering merasa betah pada satu hal, walaupun hal itu semula ia benci dengan kesumat. Misalnya, ada sebagian yang mengangankan masa lalu yang begitu gemilang untuk kembali mewujud pada hari ini. Ada juga orang yang menggap masa depan sebagai segalanya, saat ini hanyalah bangkainya bangkai. Padahal hidup adalah hari ini, manusia sebenarnya tidak pernah mengalami hidup pada hari esok atau hari kemarin.
Filsafat adalah ikhtiar untuk mengembalikan manusia pada situasi di sini dan sekarang. Filsafat mengajak manusia untuk keluar dari rutinitas yang membosankan menuju kebenran yang mengasyikkan. Rutinitas itu, kalaupun kita lakukan hari ini, sebenarnya berasal dari masa lalu atau untuk masa depan. Rutinitas adalah jebakan dan seterusnya. Di tengah rutinitas itu, tentu saja, kita jadi begian dari kehendak bukan kita.
Kesadaran akan pentingnya memperhatikan secara rekomendasi pada kenyataan yang sedang dialami akan menerbitkan rasa heran. Tanpa perhatian yang akan terkonsentrasi, segala yang lewat dianggap biasa-biasa saja, tidak ada yang aneh. Namun begitu kita mau berhenti sejenak untuk memperhatikan gejala-gejala (benda-benda, dari orang lain) kita akan menemukan sesuatu yang aneh, pada saat itulah muncul rasa heran dan sejenak pula terbit pertanyaan.
Filsafat konon harus dimulai dari diri, seperti dikemukakan Heraclitos, aku mencari dariku sendiri. Pastikan dulu dari dapat dikenali, baru melangkah ke wilayah lain. Jikapun ada, rumusan itu berasal dari pemberian kerumunan itu. Derek Walcott, penyair dari Trinidad, pernah membuat sajak yang menceritakan situasi tenggelam dalam kerumunan itu.
Kerumunan itu memberikan banyak kata-kata yang menyihir kita menjadi penurut terhadap segala apa yang mereka katakan. Dalam kondisi seperti ini, filsafat dibutuhkan, “Filsafat adalah perang sabil terhadap pesona dengan apa bahasa mengikat pemikiran kita”, demikian ujar Wittgenstein. Bahasa dari kerumunan itu memasang pemikiran kita, dan pada saat itu dibutuhkan penjernihan konsep, suatu fungsi dari filsafat analitik (salah satu tipe filsafat). Penjernihan konsep ini pentin agar jerat-jerat bahasa kerumunan terungkap, yang dengan cara ini kita bisa melepaskan diri dan menjadi diri sendiri.
Dua tipe filsafat itu menunjukkan bahwa filsafat bukan perkara yang jauh dari kehidupan kita. Filsafat adalah menjernihkan konsep, menjernihkan bahasa agar kita bisa mengerti; filsafat adalah menemukan jalan hidup agar kita lebih manusiawi.
“Berfilsafat adalah suatu cara berpikir yang tidak berdasarkan atas apapun juga selain daripada pengalaman dan cara berpikir sendiri. Yang dimaksud dengan cara berpikir adalah berpikir sendiri mengenai pengalam yang dialaminya sendiri atau sekurang-kurangnya pengalaman yang disebabkan oleh inspirasi atau khayalannya. Oleh karena itu, berfilsafat tidak mengizinkan masuknya setiap kekuasaan (pengaruh) dari orang lain, yang untuk saya, mengalami dan berpikir atas nama saya, lalu mengatakan kepada saya apa yang harus saya terima saja.”
B. Cara Mempelajari Filsafat
Pada prinsipnya subsatnasi filsafat adalah pemikiran pada filosuf. Sebagaimana diketahui bahwa isi filsafat itu sangat luas, disebabkan l;uasnya objek penelitian (objek material), yaitu segala yang ada, disamping juga filsafat merupakan cabang pengetahuan yang tertua.
Menurut Ahmad Tafsir ada metode yang dapat digunakan untuk mempelajari filsafat, yaitu:
a. Metode Sistimatis
Penggunaan metode ini diawali dengan menghadapi karya dilsafat yang telah ditulis oleh para filosuf dengan mempelajari teori pengetahuan yang terdir dari beberapa cabang filsafat. Kemudian dilenjutkan dengan mempelajari hakekat filsafat dan teori nilai atau filsafat nilai dan mempelajari sistimatikanya serta aliran-aliran yang ada didalamnya. Dengan cara yang demikian, maka perhatian akan terfokus pada isi filsafat, bukan pada tokoh dan periode filsafat.
b. Penggunaan metode historis merupakan langkah untuk mempelajari filsafat berdasarkan pendekatan sejarah pemikiran filsafat melalui penelaahan terhadap tokoh demi tokoh yang dimulai dari pada filosuf alam dan seterusnya. Pembicaraannya dimulai dari riwayat hidup, pokok pikiran, karya dan sebagainya.
c. Metode kritis digunakan dalam rangka mempelajari filsafat secara intensif. Pada tingkat ini sedikit benyaknya orang yang mempelajari filsafat telah memiliki pengetahuan di idang filsafat.
BAB II
METODE FILSAFAT ILMU
A. Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu sebagamana halnya dengan bidang-bidang ilmu yang lain, juga memilki material dan formal tersendiri.
a. Material Filsafat Ilmu
Material adalah yang dijadikan sasaran penyelidikan oleh suatu ilmu atau yang dipelajari oleh suatu ilmu itu. Material filsafatilmu adalah ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara umum.
b. Formal Filsafat Ilmu
Formal adalah sudut pandang dari mana sang subjek menelaah materialnya. Setiap ilmu pasti berbeda dalam formalnya. Formal filsafat ilmu adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan, artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem mendasar ilmu pengetahuan seperti apa hakikat ilmu itu sesungguhnya? Bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmiah? Apa fungsi pengetahuan itu bagi manusia? Problem inilah yang dibicarakan dalam landasan pengembangan ilmu pengetahuan, yakni landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
Landasan aksiologis pengembangan ilmu merupakan sikap etis yang harus dikembangkan oleh seorang ilmuwan, terutama dalam kaitannya dengan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya.
Timbulnya filsafat karena manusia merasa kegum (heran, takjub), merasa tidak puas, merasa ingin tahu, dan merasa ragu-ragu. Pada tahap awalnya kekaguman atau keheranan itu terarah kepada gejala-gejala alam. Misalnya: gempa bumi, hujan, banjir, melihat laut yang sangat luas. Orang yang heran berarti dia merasa tidak tahu, atau dia mengahadapi persoalan. Persoalan inilah yang ingin diperoleh jawabnya oleh para filsuf. Dari mana jawaban itu dapat diperoleh? Jawaban diperoleh dengan melakukan komtemplasi,yakni berpikir dan merenung yang sedalam-dalamnya, melakukan refleksi, yaitu berpikir tentang pikirannya sendiri atau intropeksi (mawas diri). Dalam hal ini tidak semua persoalan itu mesti persoalan filsafat. Persoalan filsafat berbeda dengan persoalan nonfilsafat. Perbedaannya terletak pada materi dan ruang lingkupnya. Ciri-ciri persoalan filsafat adalah sebagai beikut:
a. Bersifat umum, artinya persoalan kefilsafatan tidak bersangkutan dengan objek-objek khusus dengan kata lain sebagian besar masalah kefilsafatan berkaitan dengan ide-ide besar.
b. Tidak menyangkut fakta. Dengan kata lain persoalan filsafat lebih bersifat spekulatif. Persoalan-persoalan yang dihadapi melampaui batas-batas pengetahuan ilmiah. Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang menyangkut fakta.
c. Bersangkutan dengan nilai-nilai (values), artinya persoalan-persoalan kefilsafatan bertalian dengan penilaian baik nilai moral-etika, estetika, agama, dan sosial. Nilai dalam pengertian ini adalah suatu kualitas abstrak yang ada pada sesuatu hal.
d. Bersifat kritis, filsafat merupakan analisis secara kritis terhadap konsep-konsep dan arti-arti yang biasanya diterima begitu saja.
e. Oleh karena ilmu tanpa pemriksaan secara kritis.
f. Bersifat sinoptis, artinya persoalan filsafat mencakup struktur kenyataan secara keseluruhan. Filsafat merupakan ilmu yang membuat susunan kenyataan sebagai keseluruhan.
g. Bersifat implikatif, artinya kalau sesuatu pesoalan kefilsafatan sudah dijawab, maka dari jawaban tersebut akan memunculkan persoalan baru yang saling berhubungan.
Berpikir kefilsafatan memiliki karakteristik tersendiri yang dapat dibedakan dari ilmu lain. Beberapa ciri berpikir kefilsafatan dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Radikal, artinya berpikir sampai ke akar-akarnya, hingga sampai hakikat atau substansi yang dipikirkan.
b. Universal, artinya pemikiran filsafat menyangkut pengalaman umum manusia. Kekhususan berpikir kefilsafatan menurut Jaspers terletak pada aspek keumumannya.
c. Konseptual, artinya merupakan hasil generalisasi dan abstraksi pengalaman manusia.
d. Koheren dan konsisten (runtut). Koheren artinya sesuai kaidah-kaidah berpikir logis. Konsisten artinya taat asas, tidak mengandung kontradiksi.
e. Sistematis, artinya pendapat yang merupakan uraian kefilsafatan itu harus saling berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu.
f. Komprehensif, artinya mencakup atau menyeluruh. Berpikir secara kefilsafatan merupakan usaha untuk menjelaskan alam semesta secara keseluruhan.
g. Bebas, artinya sampai batas-batas yang luas, pemikiran filsafati boleh dikatakan merupakan hasil pemikiran yang bebas, yakni bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural, bahkan religius.
h. Bertanggung jawab, artinya seseorang yang berfilsafat adalah orang yang berpikir sekaligus bertanggung jawab terhadap hasil pemikirannya, paling tidak terhadap hati nuraninya sendiri (Mustansyir dan Munir, 2001 : 5)
B. Metode Filsafat Ilmu
Untuk dapat memperoleh ilmu salah satu yang harus dipahami oleh seorang ilmuwan adalah mengetahui cara apa yang harus digunakan? Ilmu dapat digali atau dicari menggunakan prosedur yang disebut dengan metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan dapat disebut sebagai ilmu, karena ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tertentu dalam mendapatkan ilmu yang dimaksudkan adalah ilmiah. Metode dapat diartikan sebagai suatu proses atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang sistematik.
Seperti telah kita ketahui bahwa berpikir adalah kegiatan mental yang menghasilkan suatu pengetahuan. Metode ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara bekerja pikiran tersebut. Dengan cara bekerja ini pengetahuan yang dihasilkan diharapkan mempunyai karakteristik-karakteristik tertentu yang diminta oleh pengetahuan ilmiah, yaitu sifat rasional dan teruji yang memungkinkan tubuh pengetahuan yang disusunnya merupakan pengetahuan yang benar dan kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, metode ilmiah dalam pelaksanaannya menggunakan langkah-langkah yang melibatkan dua cara berpikir yaitu cara berpikir deduktif dan cara berpikir induktif dalam menbagun tubuh pengetahuannya.
Manusia memiliki masalah dan berusaha mencari pemecahannya bukanlah sesuatu barang yang baru, karena sejak manusia berada di muka bumi masalah tersebut sudah ada. Namun dalam menghadapi masalah ini manusia memberikan reaksi yang berbeda-beda sesuai dengan cara perkembangan berpikir mereka. Karena masalah yang dihadapinya adalah nyata maka ilmu mencari jawabannya juga pada dunia nyata. Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta pula.
Labels:
Makalah
Thanks for reading Contoh Makalah Tentang Filsafat. Please share...!
0 Komentar untuk "Contoh Makalah Tentang Filsafat"
Yang sudah mampir wajib tinggalkan komentar