Dalam bab ini kita akan membicarakan salah satu aspek perkembangan kognitif yang sangat penting bagi proses belajar peserta didik di sekolah, yakni keterampilan kognitif, yang meliputi kemampuan metakognitif, strategi kognitif, gaya kognitif, dan pemikiran kritis.
Metakognitif
Seiring dengan perkembangan kognitifnya, anak-anak usia sekolah mulai berusaha mengetahui tentang pikirannya sendiri, tentang bagaimana ia belajar dan mengingat situasi-situasi yang dialami setiap hari, mulai menyadari proses-proses kognitifnya dan bagaimana seseorang dapat meningkatkan penilaian kognitif mereka, serta memilih strategi-strategi yang cocok untuk meningkatkan kinerja kognitif mereka. Para ahli psikologi menyebut tipe pengetahuan ini dengan metakognitif (metacognitive) yaitu pengetahuan tentang kognisi (Wellman, 1988).
Pengertian Metakognisi
Dalam beberapa decade belakangan ini, metakognisi telah mendapat perhatian yang besar bagi sejumlah ahli psikologi. Bahkan dalam literatur-literatur pendidikan di Negara-negara maju, istilah metakognisi telah menjadi sebuah kata yang membuzer, tanpa adanya consensus tentang apa metakognisi, bagaimana mengukurnya, dan bagaimana hubungannya dengan faktor-faktor lain (Garner & Alexander, 1989).
Metakognisi (metacognition) merupakan sebuah konstruks psikologi yang kompleks. Untuk lebih memahamai pengertian dari istilah metakognisi ini, berikut akan dikutip rumusan yang diajukan oleh para ahli psikologi.
John Flavell (1976), pencetus istilah metakognitif, secara sederhana mengartikan metakognitif sebagai “knowing about knowing” pengetahuan tentang pengetahuan.
Menurut McDeviit dan Ormrod (2002) “the term metacognition refers both to the knowledge that people have about their own cognitive processes and to the intentional use of certain cognitive processes to improve learning and memory.”
Sementara itu, Bouffard, dkk., (2002) “metacognition refers both to the explicit knowledge individuals have about their cognitive resources and to the deliberate self-regulation they can exercise when applying this knowledge.”
Menurut Margaret W. Matlin (1994), metakognitif adalah “knowledge and awareness about cognitive processes-or our thoughts about thinking.” Lebih jauh Matlin menulis:
Metacognition is an intriguing process because we use our cognitive processes to contemplate our cognitive processes. Metacognition is important because our knowledge about our cognitive processes can improve future cognitive performance.
Dari beberapa defenisi di atas dapat dipahami bahwa metakognitif pengetahuan dan kesadaran tentang proses kognisi, atau pengetahuan tentang pikiran dan cara kerjanya. Metakognitif merupakan suatu proses menggugah rasa ingin tahu karena kita menggunakan proses kognitif kita untuk merenungkan proses kognitif kita sendiri. Metakognitif ini memiliki arti yang sangat penting, karena pengetahuan kita tentang proses kognitif kita sendiri dapat memadu kita dalam menata suasana dan menyeleksi strategi untuk meningkatkan kemampuan kognitif kita di masa mendatang.
Pandangan-pandangan kontemporer tentang kognisi meyakini bahwa metakognitif sangat menentukan efisiensi sistem intelektual secara keseluruhan (Flavell, Green & Flavell, 1995). “Metacognitive abilities stand over and above the abilities required to be successful at ficiency of performances,” demikian kata Nelsn (dalam Damon, et all, 1997). Ini menunjukkan bahwa metakognitif merupakan fungsi eksekutif yang membentuk dna membimbing bagaimana seseorang menggunakan pikirannya dan merupakan proses kognitif yang paling tinggi dan canggih. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Purpura, 1997 (dalam Brown, 2000).
Metacognitive is a term used in information-processing theory to indicate an “executive” function, strategies that involve planning for learning, thinking about the learning process as it is taking place, monitoring of one’s production or comprehension, and evaluating learning after an activity is completed.
Metakognitif tidak sama dengan kognitif atau proses berpikir (seperti membuat perbandingan, ramalan, menilai, membuat sintesis atau menganalisis). Sebaliknya, metakognitif merupakan suatu kemampuan di mana individu berdiri di luar kepalanya dan mencoba untuk memahami cara ia berpikir atau memahami proses kognitif yang dilakukannya dengan melibatkan komponen-komponen perencanaan (functional planning), pengontrolan (self-monitoring), dan evaluasi (self-evaluation).
Komponen Metakognitif
Pada umumnya, teori-teori tentang kemampuan metakognitif mendapat inspirasi dari penelitian J.H. Flavel mengenai pengetahuan metakognitif dan penelitian A.L Brown mengenai metakognitif atau pengontrolan pengaturan diri (self-regulatory) selama pemecahan masalah. Akan tetapi, kalau dilihat lebih jauh ke belakang, ternyata riset-riset tentang metakognisi memiliki akar sejarah yang panjang dalam bidang psikologi, terutama yang memfokuskan perhatiannya pada perkembangan kognitif, memori, pemrosesan eksekutif, dan strategi belajar (Brown, et al., 1983). Model-model yang muncul belakangan ini lebih merupakan sintesis dari kedua penelitian awal tersebut. Model-model sintesis dari metakognisi ini mencoba untuk mengoordinasikan pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge) dan aktivitas metakognitif (metacognitive activity) (Ferrari & Sternberg, 1998).
Pengetahuan Metakognisi. Pengetahuan metakognisi meliputi usaha monitoring dan refleksi atas pikiran-pikiran saat ini, refleksi ini membutuhkan pengetahuan factual (factual knowledge) tentang tugas tujuan-tujuan atau diri sendiri dan pengetahuan strategis (strategic knowledge) tentang bagaimana dan kapan menggunakan prosedur-prosedur tertentu untuk memecahkan masalah. Sedangkan aktivitas metakognitif meliputi penggunaan self-awareness dalam menata dan menyesuaikan strategi yang digunakan selama berpikir dan memecahkan masalah.
Menurut John Flavell (1976), pengetahuan metakognitif secara umum dapat dibedakan menjadi 3 variabel, yaitu:
1. Variabel Individu. Variable individu mencakup pengetahuan tentang persons, manusia (diri sendiri dan juga orang lain), yang mengandung wawasan bahwa manusia, termasuk saya sendiri memiliki keterbatasan dalam jumlah informasi yang dapat diproses. Tidak mungkin semua informasi yang masuk ke pikiran dapat diproses. Dalam variable individu ini tercakup pula pengetahuan bahwa kita lebih paham tentang suatu bidang dan lemah di bidang lain (saya lebih menguasai mata pelajaran matematika dibandingkan dengan mata pelajaran sejarah). Demikian juga pengetahuan tentang perbedaan kemampuan Anda dengan orang lain (mengetahui bahwa guru lebih terampil dalam bahasa Inggris dibandingkan dengan saya).
2. Variabel Tugas. Variabel tugas mencakup pengetahuan tentang tugas-tugas (taks), yang mengandung wawasan bahwa beberapa kondisi sering menyebabkan kita lebih sulit atau lebih mudah memecahkan suatu masalah atau menyelesaikan suatu tugas. Misalnya, semakin banyak waktu yang aku luangkan untuk memecahkan masalah, semakin baik aku mengerjakannya; sekiranya materi pembelajaran yang disampaikan guru sukar dan tidak akan diulangi lagi, maka saya tentu harus lebih konsentrasi dan mendengarkan keterangan guru dengan saksama.
3. Variabel Strategi. Variable strategi mencakup pengetahuan tentang strategi, pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu atau bagaimana mengatasi kesulitan. Variabel strategi ini mengandung wawasan seperti: beberapa langkah kognitif akan menolong saya menyelesaikan sejumlah besar tugas kognitif (mengingat, mengomunikasikan, membaca). Akan tetapi, beberapa strategi akan menolong saya menyelesaikan beberapa tugas lebih daripada tugas-tugas lain.
Aktivitas Kognisi. Aktivitas kognisi disebut juga pengaturan kognisi (regulation of cognition) mencakup usaha-usaha siswa memonitor, mengontrol atau menyesuaikan proses kognitifnya dan merespons tuntutan tugas atau perubahan kondisi (Baker, 1994), aktivitas kognisi secara tipikal juga dipandang sebagai upaya untuk meregulasi atau menata kognisi yang mencakup perencanaan (planning) tentang bagaimana menyelesaikan suatu tugas, menyeleksi strategi kognitif yang akan digunakan, memonitor keefektifan strategi yang telah dipilih, dan memodifikasi atau mengubah strategi yang digunakan ketika menemui maslah (Pintrich et al., 2000).
Perkembangan Metakognitif
Kemampuan metakognitif untuk memonitor kemajuan sendiri dan menggunakan strategi yang berbeda untuk belajar dan mengingat, mengalami perkembangan sesuai dengan pertambahan usia. Secara umum, pengetahuan metakognitif mulai berkembang pada usia 5-7 tahun, dan terus berkembang selama usia sekolah, masa remaja, bahkan sampai masa dewasa. Meskipun demikian, hasil penelitian menemukan adanya perbedaan invividual di antara para peserta didik dalam usia yang sama.
Penelitian Flavel tentang metakognitif lebih difokuskan pada anak-anak. Flavel menunjukkan bahwa anak-anak yang masih kecil telah menyadari adanya pikiran, memiliki keterkaitan atau terpisah dengan dunia fisik, dapat menggambarkan objek-objek dan peristiwa-peristiwa secara akurat atau tidak akurat, dan secara aktif menengahi interpretasi tentang realiutas dan emosi yang dialami. Anak-anak usia 3 tahun telah mampu memahami bahwa pikiran adalah peristiwa mental internal yang menyenangkan, yang referensial (merunjuk pada peristiwa-peristiwa nyata atau khayalan), dan yang unik bagi manusia, mereka juga dapat membedakan pikiran dengan pengetahuan.
Sejumlah peneliti lain lebih tertarik untuk mempelajari kemampuan metakognitif anak-anak, apakah anak-anak yang masih kecil telah mampu memahami pikiran-pikiran mereka sendiri dan pikiran-pikiran orang lain. Hala, Chandler dan Fritz (1991) misalnya, menemukan bahwa anak-anak yang masih kecil usia 2 atau 2,5 tahun telah mengerti bahwa untuk menyembunyikan sebuah objek dari orang lain mereka harus menggunakan taktik penipuan, seperti berbohong atau menghilangkan jejak mereka sendiri.
Wellman dan Gelman (1997) juga menunjukkan bahwa pemahaman anak tentang pikiran manusia tumbuh secara ekstensif sejak tahun-tahun pertama kehidupannya. Kemudian pad ausia 3 tahun anak menunjukkan suatu pemahaman bahwa kepercayaan dan keinginan-keinginan internal dari seseorang berkaitan dengan tindakan-tindakan orang tersebut. Secara lebih terperinci Wellman menunjukkan kemajuan pikiran anak usia 3 tahun dalam empat tipe pemahaman yang menjadi dasar bagi pikiran teoritis mereka, yaitu: a) memahami bahwa pikiran terpisah dari objek-objek lain; b) memahami bahwa pikiran menghasilkan keinginan dan kepercayaan; c) memahami tentang bagaimana tipe-tipe keadaan mental yang berbeda-beda saling berhubungan; dan d) memahami bahwa pikiran digunakan untuk menggambarkan realitas eksternal.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa kesadaran metakognitif telah berkembang jauh sebelum anak masuk sekolah. Kemudian, melalui interaksinya dengan dunia sekolah, kesadaran metakognitif anak akan terus mengalami perkembangan hingga remaja, bahkan sampai dewasa. Pada usia 7 atau 8 tahun kemampuan metakognitif anak meningkat secara mencolok. Pada masa ini, penilaian anak terhadap isyarat kognitif meningkat tajam. Hal ini mungkin disebabkan anak semakin menyadari kehendak sadar (stream of consciousness) dari pikirannya sendiri dan orang lain (Flavell, at al., 1995). Sejumlah ahli teori belakangan juga percaya bahwa konsep tentang proses berpikir dan kesadaran tentang pikiran dan belajar berkembang dengan baik selama masa pertengahan anak-anak dan remaja (Ferrari & Sternberg, 1998; Wellman & Hickling, 1994).
Pemahaman anak-anak tentang pentingnya pikiran berdampak terhadap kesadaran metakognitif mereka tentang factor-faktor yang mempengaruhi prestasi mereka ketika menghadapi tugas-tugas tertentu. Sejumlah ahli perkembangan percaya bahwa pengetahuan metakognitif menguntungkan pembelajaran di sekolah, dan apabila peserta didik kurang menguasai pengetahuan metakognitif ini, guru dapat mengajarkannya kepada mereka.
Strategi Kognitif
Strategi kognitif merupakan salah satu kecakapan aspek kognitif yang penting dikuasai oleh seorang peserta didik dalam belajar atau memecahkan masalah. Strategi kognitif merupakan kemampuan tertinggi dari domain kognitif, setelah analisis, sintesis, dan evaluasi. Strategi kognitif ini dapat dipelajari oleh peserta didik. Proses pembelajaran bukan semata-mata proses penyampaian materi bidang ilmu tertentu saja, sebaliknya yang lebih penting adalah proses pengembangan kemampuan strategi kognitif peserta didik. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Pressley (dalam Santrock, 2006), kunci pendidikan adalah membantu siswa mempelajari serangkaian strategi yang dapat menghasilkan solusi problem. Pemikir yang baik menggunakan strategi secara rutin untuk memecahkan masalah. Pemikir yang baik juga tahu kapan dan di mana mesti menggunakan strategi (pengetahuan metakognitif tentang strategi). Memahami kapan dan dimana mesti menggunakan strategi sering muncul dari aktivitas monitoring yang dilakukan siswa terhadap situasi pembelajaran.
Pengertian Strategi Kognitif
Strategi secara sederhana dapat didefenisikan sebagai: “specific methods of approaching a problem or task, modes of operation for achieving a particular end, planned designs for controlling and manipulating certain information (Brown, 2000). McDevitt dan Ormrod (2002), mendefinisikan strategi kognitif sebagai “specific mental process that people use to acquire or manipulation information.” Jadi, yang dimaksud dengan strategi kognitif adalah proses mental atau kognitif tertentu yang digunakan orang untuk memperoleh atau memanipulasi informasi.
Menurut Gagne (dalam Paulina Pannen, dkk, 2001) strategi kognitif adalah kemampuan internal yang terorganisasi yang dapat membantu siswa dalam proses belajar, proses berpikir, memecahkan masalah, dan mengambil keputusan.
Menurut Bell-Gredler (dalam Paulina Pannen, 2001), strategi kognitif merupakan proses berpikir induksi, dimana siswa belajar untuk membangun pengetahuan berdasarkan fakta atau prinsip yang diketahuinya. Strategi kognitif tidak berhubungan dengan materi bidang ilmu tertentu, karena merupakan keterampilan berpikir siswa yang internal dan dapat diterapkan dalam berbagai bidang ilmu. Ini terlihat ketika siswa mempelajari materi suatu bidang ilmu, mereka juga terlibat dalam proses untuk mengembangkan strategi kognitif.
Strategi kognitif didasarkan pada paradigm konstruktivisme, teori metakognisi, dan pengalaman-pengalaman praktis di lapangan. Hakikat dari paradigm konstruktivisme adalah ide bahwa siswa harus menjadikan informasi.
Siswa ideal menurut paradigma ini adalah seorang pelajar yang memiliki kemampuan mengatur dirinya sendiri (self-regulated learner). Self-regulated learner adalah seseorang yang memiliki pengetahuan tentang strategi belajar yang efektif, atau biasa disebut academic learning skill, yang dipadu dengan control diri dan motivasi yang tetap terpelihara. Self-regulated learners have a combination of academic learning skills and self-control that makes learning easier, so they are more motivated to learn; in other words, they have the skill and the will to learn, demikian ungkapan Woolfolk (1995).
Jadi, self-regulated learners secara sederhana dapat dipahami sebagai seseorang yang mampu (skill) dan mau (will) belajar. Bagi self-regulated learners, motivasi belajar adalah untuk belajar itu sendiri, bukan hanya karena ingin mendapatkan nilai, atau motivator eksternal lainnya, dan mereka mampu bertahan menekuni tugas jangka panjang hingga tugas itu selesai.
Menurut Paulina Pannen, (2001), proporsi paradigma konstruktivisme dapat diterjemahkan menjadi pernyataan-pernyataan yang lebih operasiaonal sebagai berikut:
1. Kepercayaan, nilai dan norma, motivasi, pengetahuan dan keterampilan, serta intuisi setiap orang akan sangat berpengaruh terhadap strategi dan kemampuan dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
2. Permasalahan yang dihadapi setiap orang tidak pernah dapat dipisahkan dari konteks situasinya. Strategi dan kemampuan seseorang dalam menghadapi maslaah-masalah tersebut adalah unik.
3. Jika dikumpulkan strategi-strategi yang digunakan orang per orang dalam menghadapi masalah tertentu, maka akan terlihat adanya pola dasar yang sama (generalizable) dari strategi-strategi tersebut. Pola dasar tersebut perlu dan dapat dipelajari oleh orang lain guna menjadi bekal dasar dalam memecahkan masalah.
Jenis-Jenis Strategi Kognitif
Istilah strategi kognitif telah digunakan dalam berbagai bidang, seperti konseling dan terapi, dengan maksud sebagai strategi untuk membantu klien keluar dari permasalahan yang dihadapinya. Dalam bidang pembelajaran, strategi kognitif sering juga disebut sebagai strategi belajar dan memecahkan masalah.
Strategi belajar di sini dapat diartikan sebagai: “general methods or techniques that help in solving a variety of problems” (Seifer & Hoffnung, 1994), atau “specific methods of learning information” (McDevitt dan Ormrod, 2002). Strategi belajar, dengan demikian adalah metode-metode atau teknik-teknik tertentu yang digunakan untuk dapat membantu siswa mempelajari informasi baru dan memecahkan berbagai masalah belajar secara lebih efektif.
Terdapat berbagai jenis strategi kognitif yang digunakan oleh peserta didik dalam belajar dan memecagjan masalah. West, Farmer & Wolff (1991) mengidentifikasi tiga jenis strategi kognitif, yaitu:
1. Chunking. Strategi chunking dilakukan dengan cara mengorganisasikan materi secara sistematis melalui proses mengurutkan, mengklasifikasi, dan menyusun. Strategi ini dipandang dapat membantu peserta didik dalam mengelola informasi yang sangat banyak atau proses yang sangat kompleks. Dengan chunking peserta didik dapat memilah-milah suatu materi pembelajaran atau suatu maslaah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan kemudian menyusun bagian-bagian tersebut secara berurutan.
2. Spatial. Strategi spatial merupakan strategi untuk menunjukkan hubungan antara satu hal dengan hal lain. Strategi ini meliputi strategi pembingkaian (framing), dan pemetaan kognitif (cognitive mapping).
3. Multipurpose. Multipurpose merupakan strategi kognitif yang dapat digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain rehearsal, imagery dan mnemonics.
Metakognitif
Seiring dengan perkembangan kognitifnya, anak-anak usia sekolah mulai berusaha mengetahui tentang pikirannya sendiri, tentang bagaimana ia belajar dan mengingat situasi-situasi yang dialami setiap hari, mulai menyadari proses-proses kognitifnya dan bagaimana seseorang dapat meningkatkan penilaian kognitif mereka, serta memilih strategi-strategi yang cocok untuk meningkatkan kinerja kognitif mereka. Para ahli psikologi menyebut tipe pengetahuan ini dengan metakognitif (metacognitive) yaitu pengetahuan tentang kognisi (Wellman, 1988).
Pengertian Metakognisi
Dalam beberapa decade belakangan ini, metakognisi telah mendapat perhatian yang besar bagi sejumlah ahli psikologi. Bahkan dalam literatur-literatur pendidikan di Negara-negara maju, istilah metakognisi telah menjadi sebuah kata yang membuzer, tanpa adanya consensus tentang apa metakognisi, bagaimana mengukurnya, dan bagaimana hubungannya dengan faktor-faktor lain (Garner & Alexander, 1989).
Metakognisi (metacognition) merupakan sebuah konstruks psikologi yang kompleks. Untuk lebih memahamai pengertian dari istilah metakognisi ini, berikut akan dikutip rumusan yang diajukan oleh para ahli psikologi.
John Flavell (1976), pencetus istilah metakognitif, secara sederhana mengartikan metakognitif sebagai “knowing about knowing” pengetahuan tentang pengetahuan.
Menurut McDeviit dan Ormrod (2002) “the term metacognition refers both to the knowledge that people have about their own cognitive processes and to the intentional use of certain cognitive processes to improve learning and memory.”
Sementara itu, Bouffard, dkk., (2002) “metacognition refers both to the explicit knowledge individuals have about their cognitive resources and to the deliberate self-regulation they can exercise when applying this knowledge.”
Menurut Margaret W. Matlin (1994), metakognitif adalah “knowledge and awareness about cognitive processes-or our thoughts about thinking.” Lebih jauh Matlin menulis:
Metacognition is an intriguing process because we use our cognitive processes to contemplate our cognitive processes. Metacognition is important because our knowledge about our cognitive processes can improve future cognitive performance.
Dari beberapa defenisi di atas dapat dipahami bahwa metakognitif pengetahuan dan kesadaran tentang proses kognisi, atau pengetahuan tentang pikiran dan cara kerjanya. Metakognitif merupakan suatu proses menggugah rasa ingin tahu karena kita menggunakan proses kognitif kita untuk merenungkan proses kognitif kita sendiri. Metakognitif ini memiliki arti yang sangat penting, karena pengetahuan kita tentang proses kognitif kita sendiri dapat memadu kita dalam menata suasana dan menyeleksi strategi untuk meningkatkan kemampuan kognitif kita di masa mendatang.
Pandangan-pandangan kontemporer tentang kognisi meyakini bahwa metakognitif sangat menentukan efisiensi sistem intelektual secara keseluruhan (Flavell, Green & Flavell, 1995). “Metacognitive abilities stand over and above the abilities required to be successful at ficiency of performances,” demikian kata Nelsn (dalam Damon, et all, 1997). Ini menunjukkan bahwa metakognitif merupakan fungsi eksekutif yang membentuk dna membimbing bagaimana seseorang menggunakan pikirannya dan merupakan proses kognitif yang paling tinggi dan canggih. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Purpura, 1997 (dalam Brown, 2000).
Metacognitive is a term used in information-processing theory to indicate an “executive” function, strategies that involve planning for learning, thinking about the learning process as it is taking place, monitoring of one’s production or comprehension, and evaluating learning after an activity is completed.
Metakognitif tidak sama dengan kognitif atau proses berpikir (seperti membuat perbandingan, ramalan, menilai, membuat sintesis atau menganalisis). Sebaliknya, metakognitif merupakan suatu kemampuan di mana individu berdiri di luar kepalanya dan mencoba untuk memahami cara ia berpikir atau memahami proses kognitif yang dilakukannya dengan melibatkan komponen-komponen perencanaan (functional planning), pengontrolan (self-monitoring), dan evaluasi (self-evaluation).
Komponen Metakognitif
Pada umumnya, teori-teori tentang kemampuan metakognitif mendapat inspirasi dari penelitian J.H. Flavel mengenai pengetahuan metakognitif dan penelitian A.L Brown mengenai metakognitif atau pengontrolan pengaturan diri (self-regulatory) selama pemecahan masalah. Akan tetapi, kalau dilihat lebih jauh ke belakang, ternyata riset-riset tentang metakognisi memiliki akar sejarah yang panjang dalam bidang psikologi, terutama yang memfokuskan perhatiannya pada perkembangan kognitif, memori, pemrosesan eksekutif, dan strategi belajar (Brown, et al., 1983). Model-model yang muncul belakangan ini lebih merupakan sintesis dari kedua penelitian awal tersebut. Model-model sintesis dari metakognisi ini mencoba untuk mengoordinasikan pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge) dan aktivitas metakognitif (metacognitive activity) (Ferrari & Sternberg, 1998).
Pengetahuan Metakognisi. Pengetahuan metakognisi meliputi usaha monitoring dan refleksi atas pikiran-pikiran saat ini, refleksi ini membutuhkan pengetahuan factual (factual knowledge) tentang tugas tujuan-tujuan atau diri sendiri dan pengetahuan strategis (strategic knowledge) tentang bagaimana dan kapan menggunakan prosedur-prosedur tertentu untuk memecahkan masalah. Sedangkan aktivitas metakognitif meliputi penggunaan self-awareness dalam menata dan menyesuaikan strategi yang digunakan selama berpikir dan memecahkan masalah.
Menurut John Flavell (1976), pengetahuan metakognitif secara umum dapat dibedakan menjadi 3 variabel, yaitu:
1. Variabel Individu. Variable individu mencakup pengetahuan tentang persons, manusia (diri sendiri dan juga orang lain), yang mengandung wawasan bahwa manusia, termasuk saya sendiri memiliki keterbatasan dalam jumlah informasi yang dapat diproses. Tidak mungkin semua informasi yang masuk ke pikiran dapat diproses. Dalam variable individu ini tercakup pula pengetahuan bahwa kita lebih paham tentang suatu bidang dan lemah di bidang lain (saya lebih menguasai mata pelajaran matematika dibandingkan dengan mata pelajaran sejarah). Demikian juga pengetahuan tentang perbedaan kemampuan Anda dengan orang lain (mengetahui bahwa guru lebih terampil dalam bahasa Inggris dibandingkan dengan saya).
2. Variabel Tugas. Variabel tugas mencakup pengetahuan tentang tugas-tugas (taks), yang mengandung wawasan bahwa beberapa kondisi sering menyebabkan kita lebih sulit atau lebih mudah memecahkan suatu masalah atau menyelesaikan suatu tugas. Misalnya, semakin banyak waktu yang aku luangkan untuk memecahkan masalah, semakin baik aku mengerjakannya; sekiranya materi pembelajaran yang disampaikan guru sukar dan tidak akan diulangi lagi, maka saya tentu harus lebih konsentrasi dan mendengarkan keterangan guru dengan saksama.
3. Variabel Strategi. Variable strategi mencakup pengetahuan tentang strategi, pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu atau bagaimana mengatasi kesulitan. Variabel strategi ini mengandung wawasan seperti: beberapa langkah kognitif akan menolong saya menyelesaikan sejumlah besar tugas kognitif (mengingat, mengomunikasikan, membaca). Akan tetapi, beberapa strategi akan menolong saya menyelesaikan beberapa tugas lebih daripada tugas-tugas lain.
Aktivitas Kognisi. Aktivitas kognisi disebut juga pengaturan kognisi (regulation of cognition) mencakup usaha-usaha siswa memonitor, mengontrol atau menyesuaikan proses kognitifnya dan merespons tuntutan tugas atau perubahan kondisi (Baker, 1994), aktivitas kognisi secara tipikal juga dipandang sebagai upaya untuk meregulasi atau menata kognisi yang mencakup perencanaan (planning) tentang bagaimana menyelesaikan suatu tugas, menyeleksi strategi kognitif yang akan digunakan, memonitor keefektifan strategi yang telah dipilih, dan memodifikasi atau mengubah strategi yang digunakan ketika menemui maslah (Pintrich et al., 2000).
Perkembangan Metakognitif
Kemampuan metakognitif untuk memonitor kemajuan sendiri dan menggunakan strategi yang berbeda untuk belajar dan mengingat, mengalami perkembangan sesuai dengan pertambahan usia. Secara umum, pengetahuan metakognitif mulai berkembang pada usia 5-7 tahun, dan terus berkembang selama usia sekolah, masa remaja, bahkan sampai masa dewasa. Meskipun demikian, hasil penelitian menemukan adanya perbedaan invividual di antara para peserta didik dalam usia yang sama.
Penelitian Flavel tentang metakognitif lebih difokuskan pada anak-anak. Flavel menunjukkan bahwa anak-anak yang masih kecil telah menyadari adanya pikiran, memiliki keterkaitan atau terpisah dengan dunia fisik, dapat menggambarkan objek-objek dan peristiwa-peristiwa secara akurat atau tidak akurat, dan secara aktif menengahi interpretasi tentang realiutas dan emosi yang dialami. Anak-anak usia 3 tahun telah mampu memahami bahwa pikiran adalah peristiwa mental internal yang menyenangkan, yang referensial (merunjuk pada peristiwa-peristiwa nyata atau khayalan), dan yang unik bagi manusia, mereka juga dapat membedakan pikiran dengan pengetahuan.
Sejumlah peneliti lain lebih tertarik untuk mempelajari kemampuan metakognitif anak-anak, apakah anak-anak yang masih kecil telah mampu memahami pikiran-pikiran mereka sendiri dan pikiran-pikiran orang lain. Hala, Chandler dan Fritz (1991) misalnya, menemukan bahwa anak-anak yang masih kecil usia 2 atau 2,5 tahun telah mengerti bahwa untuk menyembunyikan sebuah objek dari orang lain mereka harus menggunakan taktik penipuan, seperti berbohong atau menghilangkan jejak mereka sendiri.
Wellman dan Gelman (1997) juga menunjukkan bahwa pemahaman anak tentang pikiran manusia tumbuh secara ekstensif sejak tahun-tahun pertama kehidupannya. Kemudian pad ausia 3 tahun anak menunjukkan suatu pemahaman bahwa kepercayaan dan keinginan-keinginan internal dari seseorang berkaitan dengan tindakan-tindakan orang tersebut. Secara lebih terperinci Wellman menunjukkan kemajuan pikiran anak usia 3 tahun dalam empat tipe pemahaman yang menjadi dasar bagi pikiran teoritis mereka, yaitu: a) memahami bahwa pikiran terpisah dari objek-objek lain; b) memahami bahwa pikiran menghasilkan keinginan dan kepercayaan; c) memahami tentang bagaimana tipe-tipe keadaan mental yang berbeda-beda saling berhubungan; dan d) memahami bahwa pikiran digunakan untuk menggambarkan realitas eksternal.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa kesadaran metakognitif telah berkembang jauh sebelum anak masuk sekolah. Kemudian, melalui interaksinya dengan dunia sekolah, kesadaran metakognitif anak akan terus mengalami perkembangan hingga remaja, bahkan sampai dewasa. Pada usia 7 atau 8 tahun kemampuan metakognitif anak meningkat secara mencolok. Pada masa ini, penilaian anak terhadap isyarat kognitif meningkat tajam. Hal ini mungkin disebabkan anak semakin menyadari kehendak sadar (stream of consciousness) dari pikirannya sendiri dan orang lain (Flavell, at al., 1995). Sejumlah ahli teori belakangan juga percaya bahwa konsep tentang proses berpikir dan kesadaran tentang pikiran dan belajar berkembang dengan baik selama masa pertengahan anak-anak dan remaja (Ferrari & Sternberg, 1998; Wellman & Hickling, 1994).
Pemahaman anak-anak tentang pentingnya pikiran berdampak terhadap kesadaran metakognitif mereka tentang factor-faktor yang mempengaruhi prestasi mereka ketika menghadapi tugas-tugas tertentu. Sejumlah ahli perkembangan percaya bahwa pengetahuan metakognitif menguntungkan pembelajaran di sekolah, dan apabila peserta didik kurang menguasai pengetahuan metakognitif ini, guru dapat mengajarkannya kepada mereka.
Strategi Kognitif
Strategi kognitif merupakan salah satu kecakapan aspek kognitif yang penting dikuasai oleh seorang peserta didik dalam belajar atau memecahkan masalah. Strategi kognitif merupakan kemampuan tertinggi dari domain kognitif, setelah analisis, sintesis, dan evaluasi. Strategi kognitif ini dapat dipelajari oleh peserta didik. Proses pembelajaran bukan semata-mata proses penyampaian materi bidang ilmu tertentu saja, sebaliknya yang lebih penting adalah proses pengembangan kemampuan strategi kognitif peserta didik. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Pressley (dalam Santrock, 2006), kunci pendidikan adalah membantu siswa mempelajari serangkaian strategi yang dapat menghasilkan solusi problem. Pemikir yang baik menggunakan strategi secara rutin untuk memecahkan masalah. Pemikir yang baik juga tahu kapan dan di mana mesti menggunakan strategi (pengetahuan metakognitif tentang strategi). Memahami kapan dan dimana mesti menggunakan strategi sering muncul dari aktivitas monitoring yang dilakukan siswa terhadap situasi pembelajaran.
Pengertian Strategi Kognitif
Strategi secara sederhana dapat didefenisikan sebagai: “specific methods of approaching a problem or task, modes of operation for achieving a particular end, planned designs for controlling and manipulating certain information (Brown, 2000). McDevitt dan Ormrod (2002), mendefinisikan strategi kognitif sebagai “specific mental process that people use to acquire or manipulation information.” Jadi, yang dimaksud dengan strategi kognitif adalah proses mental atau kognitif tertentu yang digunakan orang untuk memperoleh atau memanipulasi informasi.
Menurut Gagne (dalam Paulina Pannen, dkk, 2001) strategi kognitif adalah kemampuan internal yang terorganisasi yang dapat membantu siswa dalam proses belajar, proses berpikir, memecahkan masalah, dan mengambil keputusan.
Menurut Bell-Gredler (dalam Paulina Pannen, 2001), strategi kognitif merupakan proses berpikir induksi, dimana siswa belajar untuk membangun pengetahuan berdasarkan fakta atau prinsip yang diketahuinya. Strategi kognitif tidak berhubungan dengan materi bidang ilmu tertentu, karena merupakan keterampilan berpikir siswa yang internal dan dapat diterapkan dalam berbagai bidang ilmu. Ini terlihat ketika siswa mempelajari materi suatu bidang ilmu, mereka juga terlibat dalam proses untuk mengembangkan strategi kognitif.
Strategi kognitif didasarkan pada paradigm konstruktivisme, teori metakognisi, dan pengalaman-pengalaman praktis di lapangan. Hakikat dari paradigm konstruktivisme adalah ide bahwa siswa harus menjadikan informasi.
Siswa ideal menurut paradigma ini adalah seorang pelajar yang memiliki kemampuan mengatur dirinya sendiri (self-regulated learner). Self-regulated learner adalah seseorang yang memiliki pengetahuan tentang strategi belajar yang efektif, atau biasa disebut academic learning skill, yang dipadu dengan control diri dan motivasi yang tetap terpelihara. Self-regulated learners have a combination of academic learning skills and self-control that makes learning easier, so they are more motivated to learn; in other words, they have the skill and the will to learn, demikian ungkapan Woolfolk (1995).
Jadi, self-regulated learners secara sederhana dapat dipahami sebagai seseorang yang mampu (skill) dan mau (will) belajar. Bagi self-regulated learners, motivasi belajar adalah untuk belajar itu sendiri, bukan hanya karena ingin mendapatkan nilai, atau motivator eksternal lainnya, dan mereka mampu bertahan menekuni tugas jangka panjang hingga tugas itu selesai.
Menurut Paulina Pannen, (2001), proporsi paradigma konstruktivisme dapat diterjemahkan menjadi pernyataan-pernyataan yang lebih operasiaonal sebagai berikut:
1. Kepercayaan, nilai dan norma, motivasi, pengetahuan dan keterampilan, serta intuisi setiap orang akan sangat berpengaruh terhadap strategi dan kemampuan dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
2. Permasalahan yang dihadapi setiap orang tidak pernah dapat dipisahkan dari konteks situasinya. Strategi dan kemampuan seseorang dalam menghadapi maslaah-masalah tersebut adalah unik.
3. Jika dikumpulkan strategi-strategi yang digunakan orang per orang dalam menghadapi masalah tertentu, maka akan terlihat adanya pola dasar yang sama (generalizable) dari strategi-strategi tersebut. Pola dasar tersebut perlu dan dapat dipelajari oleh orang lain guna menjadi bekal dasar dalam memecahkan masalah.
Jenis-Jenis Strategi Kognitif
Istilah strategi kognitif telah digunakan dalam berbagai bidang, seperti konseling dan terapi, dengan maksud sebagai strategi untuk membantu klien keluar dari permasalahan yang dihadapinya. Dalam bidang pembelajaran, strategi kognitif sering juga disebut sebagai strategi belajar dan memecahkan masalah.
Strategi belajar di sini dapat diartikan sebagai: “general methods or techniques that help in solving a variety of problems” (Seifer & Hoffnung, 1994), atau “specific methods of learning information” (McDevitt dan Ormrod, 2002). Strategi belajar, dengan demikian adalah metode-metode atau teknik-teknik tertentu yang digunakan untuk dapat membantu siswa mempelajari informasi baru dan memecahkan berbagai masalah belajar secara lebih efektif.
Terdapat berbagai jenis strategi kognitif yang digunakan oleh peserta didik dalam belajar dan memecagjan masalah. West, Farmer & Wolff (1991) mengidentifikasi tiga jenis strategi kognitif, yaitu:
1. Chunking. Strategi chunking dilakukan dengan cara mengorganisasikan materi secara sistematis melalui proses mengurutkan, mengklasifikasi, dan menyusun. Strategi ini dipandang dapat membantu peserta didik dalam mengelola informasi yang sangat banyak atau proses yang sangat kompleks. Dengan chunking peserta didik dapat memilah-milah suatu materi pembelajaran atau suatu maslaah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan kemudian menyusun bagian-bagian tersebut secara berurutan.
2. Spatial. Strategi spatial merupakan strategi untuk menunjukkan hubungan antara satu hal dengan hal lain. Strategi ini meliputi strategi pembingkaian (framing), dan pemetaan kognitif (cognitive mapping).
3. Multipurpose. Multipurpose merupakan strategi kognitif yang dapat digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain rehearsal, imagery dan mnemonics.
Labels:
Makalah
Thanks for reading PERKEMBANGAN KETERAMPILAN KOGNITIF. Please share...!
0 Komentar untuk "PERKEMBANGAN KETERAMPILAN KOGNITIF"
Yang sudah mampir wajib tinggalkan komentar