KATA PENGANTAR
Ketika perencanaan pendidikan dikerjakan dan struktur organisasi persekolahannyapun disusun guna memfasilitasi perwujudan tujuan pendidikan, serta para anggota organisasi, pegawai atau karyawan dipimpin dan dimotivasi untuk mensukseskan pencapaian tujuan, tidak dijamin selamanya bahwa semua kegiatan akan berlangsung sebagaimana yang direncanakan. Pengawasan sekolah itu penting karena merupakan mata rantai terakhir dan kunci dari proses
Ketika perencanaan pendidikan dikerjakan dan struktur organisasi persekolahannyapun disusun guna memfasilitasi perwujudan tujuan pendidikan, serta para anggota organisasi, pegawai atau karyawan dipimpin dan dimotivasi untuk mensukseskan pencapaian tujuan, tidak dijamin selamanya bahwa semua kegiatan akan berlangsung sebagaimana yang direncanakan. Pengawasan sekolah itu penting karena merupakan mata rantai terakhir dan kunci dari proses
manajemen. Kunci penting dari proses manajemen sekolah yaitu nilai fungsi pengawasan sekolah terletak terutama pada hubungannya terhadap perencanaan dan kegiatan-kegiatan yang didelegasikan (Robbins 1997). Holmes (t. th.) menyatakan bahwa "School Inspection is an extremely useful guide for all teachers facing an Ofsted inspection. It answers many important questions about preparation for inspection, the logistics of inspection itself and what is expected of schools and teachers after the event".
Pengawasan dapat diartikan sebagai proses kegiatan monitoring untuk meyakinkan bahwa semua kegiatan organisasi terlaksana seperti yang direncanakan dan sekaligus juga merupakan kegiatan untuk mengoreksi dan memperbaiki bila ditemukan adanya penyimpangan yang akan mengganggu pencapaian tujuan (Robbins 1997). Pengawasan juga merupakan fungsi manajemen yang diperlukan untuk mengevaluasi kinerja organisasi atau unit-unit dalam suatu organisasi guna menetapkan kemajuan sesuai dengan arah yang dikehendaki (Wagner dan Hollenbeck dalam Mantja 2001).
Oleh karena itu mudah dipahami bahwa pengawasan pendidikan adalah fungsi manajemen pendidikan yang harus diaktualisasikan, seperti halnya fungsi manajemen lainnya (Mantja 2001). Berdasarkan konsep tersebut, maka proses perencanaan yang mendahului kegiatan pengawasan harus dikerjakan terlebih dahulu. Perencanaan yang dimaksudkan mencakup perencanaan: pengorganisasian, wadah, struktur, fungsi dan mekanisme, sehingga perencanaan dan pengawasan memiliki standard dan tujuan yang jelas. Strategi pembangunan pendidikan dasar dan menengah di lingkungan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah mengalami pergeseran mendasar dari sistem terpusat kesistem pengelolaan pendidikan berbasis sekolah (School Base Education). Pergeseran ini dilakukan untuk memacu prakarsa sekolah dalam melakukan inovasi melalui penciptaan iklim yang kondusif bagi upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah.
Pendidikan berbasis sekolah bertujuan antara lain membantu pemerintah dan memobilisasi Sumber Daya Manusia (SDM) setempat dan dari luar serta meningkatkan peranan masyarakat untuk mengambil bagian lebih besar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan di semua jenjang, jenis dan jalur pendidikan.
Sejalan dengan itu pada awal Tahun 2000 Direktorat Jenderal Pendidikan dasar dan Menengah telah memperkenalkan dan mensosialisasikan Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai konsekuensi logis terhadap diperlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom.
Agar pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah khususnya pada sekolah dapat dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan, maka disusunlah pedoman pelaksanaan yang dapat digunakan sebagai acuan di lapangan.
Semoga Makalah ini bermanfaat bagi semua pihak yang terkait dalam pembinaan sekolah dan sekaligus sebagai rujukan dalam pengelolaan dan penyelengaraan pendidikan.
Jambi, Mei 2008
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan 3
BAB II PEMBINAAN DAN PENGELOLAAN PENDIDIKAN 5
A. Pembinaan dan Pengelolaan di Pusat 6
B. Pembinaan dan Pengelolaan di Provinsi 7
C. Penyelenggara Pendidikan 9
BAB III IMPLEMENTASI PENDIDIKAN DI SEKOLAH 10
A. Organisasi dan Manajemen 11
B. Pembinaan Ketenagaan 13
C. Pengembangan Kurikulum dan Sistem Penilaian 14
D. Pembinaan Kesiswaan 14
E. Pengelolaan Sumber Dana 16
F. Pengelolaan Sarana dan Fasilitas 19
G. Pengelolaan Lingkungan 20
H. Kerjasama dan Partisipasi Masyarakat Dalam Wadah Komite Sekolah/ Dewan Sekolah 21
BAB IV PENUTUP 23
DAFTAR PUSTAKA 24
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di era desentralisasi ini seluruh sektor termasuk sektor pendidikan dituntut untuk ber “otonomi”, antara lain Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dalam mengelola pendidikan sudah saatnya menyerahkan sebagian kewenangan pengelelolaannya kepada daerah dan masyarakat lingkungan sekolah. Salah satu kebijakan yang menyangkut otonomi pendidikan dan menengah pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah adalah konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Pada awal tahun 2000 Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah telah memperkenalkan dan mensosialisasikan konsep manajemen berbasis sekolah, sebagai konsekuensi logis terhadap diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 tahun 2000, tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom.
Pelaksanaan otonomi dibidang pendidikan mendorong meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pendidikan serta meningkatkan pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan. Kondisi geografis Indonesia yang tidak sama satu sama lain antar daerah baik Provinsi maupun Kab/Kota dan penyebaran penduduk yang tidak merata maka otonomi sekolah akan memerlukan biaya tinggi bagi daerah yang memiliki sumber daya alam dan pendapatan asli daerah yang rendah. Pada kondisi ini akan beresiko terjadinya peningkatan angka putus sekolah (drop out) karena pada daerah minus orang tua/masyarakat tidak mampu membiayai pendidikan. Hal ini memunculkan konsep subsidi silang antar daerah berdasarkan komitmen bersama dan intervensi pemerintah pusat antara lain melalui bantuan pendidikan bagi daerah yang kurang beruntung. Strategi pembangunan pendidikan dasar dan menengah di lingkungan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, saat ini telah mengalami pergeseran mendasar dari sistem pengelolaan terpusat kesistem pengelolaan pendidikan berbasis sekolah (School Based Education). Pergeseran ini dilakukan karena sistem terpusat kurang relevan dengan konsep desentralisasi bagi upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah yang sampai saat ini belum dapat memberikan hasil yang memuaskan.
Otonomi pengelolaan pendidikan berada di lingkungan sekolah, maka peran lembaga pemerintah adalah memberi pelayanan dan dukungan kepada sekolah agar proses pendidikan berjalan secara efektif dan efisien. Peran pemerintah bergeser dari ‘regulator’ menjadi ‘fasilitator’. Keterlibatan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan ini hanya mencakup dua aspek, yaitu mutu dan pemerataan. Pemerintah menetapkan standar mutu pendidikan, dan berupaya agar semua siswa dapat berprestasi setinggi mungkin. Juga berupaya agar semua sekolah dapat mencapai standar minimal mutu pendidikan, dengan keragaman prestasi antara sekolah dalam suatu lokasi sekecil mungkin. Pemeritah juga menjamin pemerataan kesempatan bagi seluruh siswa dari semua lapisan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan. Peran ini dilakukan melalui perumusan kebijaksanaan umum, pelayanan teknis, dan monitoring program secara reguler. Praktek diskriminasi terhadap siswa perempuan, siswa normal, anak berkelainan dan sekolah swasta baik dilakukan secara langsung maupun tidak, baik terjadi pada level kebijaksanaan maupun implementasi harus dihapuskan. Demikian juga alokasi dan distribusi anggaran pendidikan harus menjujung tinggi asas keadilan dan transparansi.
Salah satu platform penting lain yang juga diadopsi dalam rangka reformasi pendidikan nasional adalah pengembangan pendidikan berbasiskan masyarakat ( Community Based Education). Tujuan pengembangan platform pendidikan berbasis masyarakat ini, adalah sebagai berikut:
Pertama: membantu pemerintah dalam mobilisasi SDM setempat dan dari luar serta meningkatkan peranan masyarakat untuk mengambil bagian lebih besar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan disemua jenjang, jenis dan jalur pendidikan.
Kedua: Mendorong perubahan sikap dan persepsi masyarakat terhadap rasa kepemilikan sekolah, tanggung jawab kemitraan, toleransi dan kesediaan menerima sosial budaya.
Ketiga : Mendukung inisiatif pemerintah dalam meningkatkan dukungan masyarakat terhadap sekolah, khususnya orang tua dan anggota masyarakat lainnya melalui kebijakan desentralisasi.
Keempat: Mendukung peranan masyarakat mengembangkan inovasi kelembagaan untuk melengkapi, meningkatkan, dan mensinergikan dengan peran sekolah, dan untuk meningkatkan mutu dan relevansi, membuka kesempatan lebih besar dalam memperoleh pendidikan, peningkatan efesiensi manajemen pendidikan.
Manajemen berbasis sekolah adalah model pengelolaan penyelenggaraan sekolah yang kewenangannya diberikan seluas-luasnya kepada pihak sekolah untuk mengelola berbagai sumber daya pendidikan dengan melibatkan peran serta masyarakat sebagai lingkungan pendukung.
Melalui MBS diharapkan dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam peningkatan mutu pendidikan. Kebijakan ini sebagai solusi alternatif dari system manajemen terpusat yang dianggap kurang kondusif dalam melibatkan peran serta masayarakat. Selain itu Manajemen Berbasis Sekolah merupakan upaya demokratisasi dan penghormatan terhadap budaya local.
B. Tujuan
Manajemen Berbasis Sekolah bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif. Lebih rincinya MBS bertujuan untuk:
Meningkatkan peranserta warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama;
Meningkatkan tanggungjawab sekolah terhadap orangtua, mayarakat, dan pemerintah dan mutu sekolahnya;
Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai;
Memberikan pertanggungjawaban tentang mutu pendidikan kepada pemerintah, orangtua peserta didik, dan masyarakat;
Memberikan kesempatan kepada sekolah untuk menyusun kurikulum muatan lokal, sedangkan kurikulum inti dan evaluasi berada pada kewenangan pusat dan pengembangannya disesuaikan dengan daerah dan sekolah masing-masing.
Memberikan kesempatan untuk menjalin hubungan kerjasama kepada sekolah baik dengan perorangan, masyarakat, lembaga dan dunia usaha yang tidak mengikat.
BAB II
PEMBINAAN DAN PENGELOLAAN PENDIDIKAN
Pembinaan merupakan kegiatan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan tenaga kesehatan yang dilakukan secara terencana, terus menerus, berkesinambungan dan bersifat terbuka yang mencakup aspek administrasi dan teknis pendidikan. Hal tersebut merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah, institusi diknakes dan masyarakat. Pemerintah melakukan pembinaan dalam arti mengeluarkan peraturan dan pedoman penyelenggaraan pendidikan termasuk bagaimana pengelolaan, penilaian, bimbingan, pengawasan dan pengembangan pendidikan tersebut dilaksanakan. Sedangkan institusi bertanggungjawab atas penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan wajib melakukan pembinaan dalam arti berusaha agar pengelolaan, penilaian, bimbingan, pengawasan dan pengembangan pendidikan dapat dilaksanakan dengan baik. Pembinaan dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan, antara lain melalui supervisi, akreditasi, penilaianlevaluasi, pelaporan maupun kegiatan lain seperti konsultasi secara langsung/tidak langsung atau secara terstruktur/tidak terstruktur.
Dalam aktivitas institusi pendidikan, pengelolaan merupakan suatu proses upaya pengadaan, pendayagunaan/pemanfaatan dan pengembangan sumber daya meliputi tenaga pendidik, tenaga kependidikan, tanah, gedung dan peralatan serta kepemilikannya dan dana. Penilaian yang dilakukan bukan hanya diarahkan kepada tujuan pendidikan yang telah ditetapkan guna mengetahui tercapai tidaknya tujuan tersebut, akan tetapi juga untuk mengetahui komponenkomponen pendidikan baik faktor masukan, proses maupun keluaran serta lingkungan yang ikut mempengaruhi. Semua penilaian pada akhirnya bermuara pada penilaian terhadap program pendidikan (kurikulumltujuan pendidikan, isi program, strategi pelaksanaan program, sumber daya pendidikan), proses belajar mengajar (kegiatan dosen, kegiatan mahasiswa, pola interaksi dosen dan mahasiswa serta keterlaksanaan program belajar mengajar) dan hasil belajar (UTS, UAS, akhir pendidikan)
Bimbingan merupakan upaya perbantuan yang diberikan oleh dosen kepada mahasiswa, dosen senior kepada dosen yunior, direktur kepada tenaga pendidik dan tenaga kependidikan dalam rangka pengendalian dan peningkatan mutu pendidikan. Pengawasan dilaksaaakan dalam rangka pembfnaan pengembangan, pelayanan dan peningkatan mutu dalam segi teknis pendidikan dan administrasi institusi diknakes yang bersangkutan. Pengembarngan dalam aktivitas institusi meliputi upaya perbaikan, perluasan, pendalaman dan penyesuaian pendidikan seiring perkembangan IPTEK dan pasar kerja nasional, regional, global melalui peningkatan mutu penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan ketersediaan tenaga kerja.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonomi, maka kewenangan pemerintah pusat dibatasi, dan kewenangan pemerintah provinsi dan Kab/Kota semakin luas dalam mengelola berbagai sumber daya yang ada di daerah. Dalam penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah pemerintah pusat masih memiliki kewenangan yang menyangkut penetapan standar, kurikulum yang bersifat nasional, dan kebijakan penilaian pendidikan yang berstandar nasional. Program penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan aturan hukum tersebut, kewenangan pengelolaannya berada pada pemerintah Provinsi secara substansial pemisahan kewenangan pusat dan daerah sebagai berikut:
A. Pembinaan dan Pengelolaan di Pusat
Penetapan standar kompetensi siswa, pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional serta pedoman pelaksanaannya.
Penetapan standar materi pelajaran pokok dan silabusnya.
Penetapan pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan.
Penetapan persyaratan penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga belajar.
Penetapan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi pendidikan.
Pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia.
B. Pembinaan dan Pengelolaan di Provinsi
Berdasarkan PP No. 25 Tahun 2000 pasal 3 angka 5, bidang pendidikan dan kebudayaan menyatakan bahwa provinsi berwenang dalam penyelenggaraan Sekolah, dengan demikian provinsi dalam era otonomi daerah berwenang langsung atas penyelenggaraan Pendidikan.
Dengan demikian unsur birokrasi di Provinsi diharapkan benar-benar memberikan perhatian yang cukup dan memadai terutama dalam memfasilitasi kelangsungan penyelenggaraan pendidikan baik negeri maupun swasta.
Kewenangan provinsi dibidang pendidikan antara lain:
Penyediaan bantuan pengadaan buku pelajaran pokok/modul.
Penyelenggaraan sekolah dan balai pelatihan dan/atau penataran guru.
Otonomi dibidang pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan arah kewenangan dan arah sistem penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan sistem lainnya. Bahkan sistem pendidikan merupakan sub sistem dari sistem yang lebih luas karena arah sistem pemerintahan yang memberikan otonomi pada kabupaten/ kota termasuk wewenang dalam pengelolaan pendidikan harus diserahkan kepada kabupaten/kota bahkan sampai ke sekolah.
Prinsip otonomisasi dan desentralisasi itu kembali ditegaskan GBHN 1999- 2004 tentang pendidikan yang mencakup beberapa hal:
Pertama :
Perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu,
Kedua :
Peningkatan kemampuan akademik, profesional dan kesejahteraan tenaga kependidikan,
Ketiga :
Pembahasan sistem pendidikan sebagai pusat nilai sikap, kemampuan dan partisipasi masyarakat,
Keempat :
pembahasan dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi dan manajemen,
Kelima :
Peningkatan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan pemerintah dan masyarakat
Keenam :
Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu dan menyeluruh.
Reformasi dalam pengelolaan pendidikan mengarah kepada terciptanya kondisi yang desentralistis baik pada tatanan birokrasi maupun pengelolaan sekolah. Reformasi ini, terwujudkan dalam bentuk kewenangan luas di tingkat Kab/Kota sekolah dalam mengelola berbagai sumber, yang meliputi ketenagaan, keuangan, kurikulum, sarana dan prasarana.
Pronsip ini juga disebut sebagai School Based Manajemen, pengelolaan yang berbasiskan sekolah. Dalam kerangka ini, Departemen Pendidikan Nasional berfungsi koordinatif, menetapkan standarisasi minimal dan menetapkan kompetensi, dasar” (Basic Competency). Selebihnya, kurikulum dirancang dan dilaksanakan sesuai kebutuhan dan relefansinya dengan masyarakat, sehingga konsep manajemen berbasis sekolah adalah : pengelolaan sekolah dengan otonomi luas, partisipasi masyarakat yang tinggi, tetapi tetap dalam kerangka kebijakan nasional.
Dalam kaitan ini, desentralisasi pendidikan tidak berarti penciutan substansi pendidikan menjadi substansi yang sangat bersifat lokal dan sempit. Dengan orientasi pendidikan yang bersifat sempit dapat merangsang sentimen ke daerahan.
C. Penyelenggara Pendidikan
Tujuan Pendidikan adalah membantu peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan atau mental dan atau perilaku agar mampu mengembangkan sikap pengetahuan, dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan.
Manajemen berbasis sekolah sudah mulai dirintis lebih awal. Wujud nyata dari ide School Base Management itu dapat kita lihat mulai dari enrolment-assessment awal, penempatan siswa pada kelas-kelas yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, pembuatan Individual Educational Program (IEP) oleh guru dalam mengajar yang selalu melibatkan orang tua murid, guru, tenaga ahli, dan para spesialis yang membidangi, sehingga anak betul-betul dapat dilayani secara profesional. Hubungan guru dengan orang tua dan masyarakat selalu dijaga kelangsungannya sehingga permasalahan yang timbul dapat diatasi bersama secara holistik.
Pendidikan di Indonesia disamping diselenggarakan oleh pemerintah juga diselenggarakan oleh masyarakat/yayasan terkait.
Sebagai upaya pemberdayaan penyelenggara/stake holder Pendidikan agar dapat berfungsi secara optimal maka perlu :
Standarisasi dan evaluasi terhadap yayasan penyelenggara oleh instansi yang berwenang.
Pelatihan manajemen dalam hal pengembangan program.
Adanya pemisahan wewenang dan tugas antara yayasan dengan UPT-UPTnya.
Pembentukan forum komunikasi dan jaringan kerja antara yayasan dan organisasi yang terkait.
Dukungan dan fasilitas dari pemerintah.
Koordinasi terus menerus dan baik antara pemerintah dan masyarakat penyelenggara.
BAB III
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN DI SEKOLAH
Pengelolaan Pendidikan melalui penyelenggara Sekolah di era otonomi ini, para stake holdernya dituntut untuk dapat menguasai berbagai aspek yang menyangkut organisasi dan manajemen sekolah. Pelayanan pendidikan anak yang dilakukan oleh organisasi setingkat sekolah harus mampu menunjukkan, mengukur dan meningkatkan kinerja sekolah tersebut. Organisasi sekolah yang dikepalai oleh seorang kepala sekolah dalam wawasan manajemen berbasis sekolah diharapkan mampu berkolaborasi dengan masyarakat lingkungan sekolah dalam hal ini komite sekolah/dewan sekolah. Disamping itu organisasi sekolah ini diupayakan dapat atau mampu menunjukan resposibilitasnya terhadap tuntutan masyarakat lingkungan sekolah dan mampu pula menunjukan akuntabilitasnya kepada masyarakat pengguna jasa pendidikan dalam hal orang tua/ masyarakat. Adapun langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah :
1. Mengukur kemampuan organisasi menganalisis faktor internal dan eksternal untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan sebuah organisasi sekolah dalam melayani kebutuhan pengguna jasa pendidikan anak.
2. Merumuskan visi, misi dan tujuan sekolah berdasarkan hasil analisis kekuatan dan kelemahan oganisasi tersebut bersama dengan masyarakat lingkungan sekolah.
3. Menentukan strategi baik grand strategi dan strategi implementasi guna pencapaian visi, misi dan tujuan tersebut.
4. Menentukan rencana program jangka pendek dan jangka panjang.
5. Mensosialisasikan rencana program jangka pendek dan jangka panjang.
6. Melaksanakan jejaring kerja dalam berbagai pelaksanaan program.
7. Melaksanakan evaluasi proses dan hasil dalam rangka continued improvement.
Metode untuk menganalisis organisasi tersebut dapat menggunakan analisis lingkungan internal dan analisis lingkungan eksternal, atau menggunakan metode SWOT (Strenght, Weaknes, Opportunitis and Threat), sehingga dapat menentukan atau memilih strategi yang harus dilakukan berdasarkan hasil analisis tersebut.
Upaya peningkatan mutu Pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi dan masyarakat lingkungan sekolah melalui :
1. Peningkatan mutu dan kualifikasi guru Sekolah melalui pelatihan dan penyetaraan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya, serta usaha peningkatan pendidikan akademik baik di dalam maupun luar negeri.
2. Penyediaan buku-bulu teks baik dalam tulisan huruf awas maupun braille yang mengacu kepada kurikulum, penyediaan sarana dan prasarana pendidikan , dan pelaksanaan ujian akhir Sekolah Khusus secara nasional.
3. Pembinaan dan pengembangan Sheltered Workshoop bagi siswa dan guru dengan mengupayakan perluasan kesempatan untuk mempekerjakan para lulusan.
4. Menjalin kerjasama masyarakat dunia usaha dan dunia industri untuk dapat memanfaatkan para lulusan.
Untuk mencapai mutu lulusan tersebut perlu disusun visi dan misi serta strategi yang akan mendukung program kegiatan dengan komponen-komponen sebagai berikut :
A. Organisasi dan Manajemen
Di era otonomi ini sekolah beserta masyarakat dalam hal ini dewan sekolah/ komite sekolah diharapkan ikut memberikan kontribusi mulai dari perencanaan, penyusunan dan pelaksanaan program serta evaluasi pengelolaan pendidikan. Akan tetapi dalam pelaksanaan KBM Kepala Sekolah dan guru mempunyai otoritas sendiri yang mengacu pada kurikulum yang bersifat nasional. Penyusunan program suatu sekolah juga menuntut peranserta masyarakat lingkungan sekolah. Dalam hal ini dewan sekolah/komite sekolah. Di samping itu perumusan visi dan misi sekolah dapat dilakukan bersama kepala sekolah dan komite sekolah, guru, dewan sekolah/komite sekolah secara simultan, sehingga pelaksanaan pembelajaran di sekolah merujuk pada visi dan misi yang hendak dicapai.
Bentuk satuan pendidikan terdiri atas :
a. Taman Kanak-Kanak (TK)
b. Sekolah Dasar (SD)
c. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)
d. Sekolah Menengah Umum (SMU)
Memperhatikan hal-hal di atas dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan, pemerintah dan masyarakat telah menempuh berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas belajar mengajar terutama dalam mengatasi ketidakmerataan mutu Pendidikan. Dalam hal ini perhatian terhadap kinerja dan kualitas guru merupakan upaya prioritas, karena guru merupakan ujung tombak dalam ikut serta meningkatkan mutu pendidikan. Di sisi lain, teknologi telah membantu manusia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya secara cepat dan antisipatif. Sebagaimana kita ketahui bahwa teknologi bukan hanya berupa peralatan atau perangkat keras, melainkan pula meliputi orang (human ware = the man behind the gun), proses atau prosedur penggunaanya (software dan hardware), serta struktur atau organisasi penyelenggaraannya. Dengan demikian dalam proses belajar mengajar yang menggunakan teknologi alat bantu pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus perlu dimasyarakatkan dikalangan guru dengan cara mengadakan sosialisasi baik yang mengkhususkan pada peningkatan kemampuan materi pelajaran maupun peningkatan kemampuan yang menyangkut strategi pembelajaran. Di samping itu lingkungan fisik yang dapat mengakses anak dalam bersosialisasi dengan sesamanya juga perlu diperhatikan dalam artian minimal harus disediakan oleh penyelenggara pendidikan baik pemerintah maupun swasta. Di samping itu efisiensi pengelolaan dan pendayagunaan sarana pendidikan yang mendukung proses belajar mengajar pada Pendidikan, merupakan tantangan yang dihadapi, sehingga diperlukan satu strategi bagaimana melakukan efisiensi dan efektifitas dalam penanganannya. Langkah yang ditempuh antara lain melalui pengadaan sarana pendidikan baik oleh pemerintah maupun swasta dengan mengikuti standar pelayanan minimal yang telah ditetapkan.
Perencanaan, pengorganisasian dan pelaksanaan pengelolaan program penyelenggaraan dapat dilakukan bersama-sama dengan masyarakat dalam wadah dewan sekolah/komite sekolah.
B. Pembinaan Ketenagaan
Keterlibatan masyarakat dalam hal ini dewan sekolah/komite sekolah diperlukan ketika sekolah tersebut sudah melaksananakan otonomi antara lain yang menyangkut pengelolaan sumber daya manusia dalam hal ini ketenagaan. Tenaga kependidikan yang berkualifikasi dan berkompetensi untuk memimpin suatu lembaga sekolah adalah kepala sekolah, yang pada dasarnya seorang kepala sekolah adalah seorang guru dengan tugas tambahan sebagai kepala sekolah. Prinsip dasar seorang kepala sekolah adalah orang yang telah memenuhi persyaratan administratif dan edukatif serta memiliki jiwa dan kompetensi sebagai berikut :
a. Educator, yaitu seorang kepala sekolah adalah sebagai pendidik yang tangguh, cakap, cerdas, dan berwawasan keilmuan serta memiliki pengalaman lapangan yang cukup.
b. Motivator, seorang kepala sekolah merupakan orang yang bisa memotivasi bawahannya dalam hal ini guru, yaitu dalam melaksanakan proses pembelajaran, peningkatan disiplin dan melalukan pembinaan karier baik kepada guru maupun tenaga administrasi.
c. Administrator, yaitu kemampuan seorang kepala sekolah dalam mengelola proses administrasi penyelenggaraan suatu sekolah yang cukup luas cakupannya antara lain meliputi administrasi personal, KBM maupun sarana pendidikan.
d. Supervisor, yaitu kemampuan seorang kepala sekolah dalam mengawasi/mengendalikan pelaksanaan proses belajar mengajar, mengawasi berbagai aktifitas dan disiplin guru, serta kemampuan menganalisis dan mengevaluasi input, proses dan output penyelenggaraan pembelajaran di sekolah.
Memperhatikan beberapa kriteria tersebut, maka diperlukan seorang kepala sekolah yang mampu merumuskan visi dan misi suatu sekolah dalam mencapai tujuan pembelajaran. Dalam prinsip MBS proses pengangkatan dan pengusulan calon Kepala Sekolah dapat dilakukan oleh masyarakat lingkungan sekolah yang terbentuk dalam wadah komite sekolah dan atau dewan sekolah. Mekanismenya mengikuti aturan prosedur pengangkatan yang ditetapkan oleh propinsi.
C. Pengembangan Kurikulum dan Sistem Penilaian
Kurikulum yang berlaku di masih menggunakan Kurikulum 1994, sedangkan wacana yang berkembang sekarang ini kurikulum yang berbasisi kompetensi sehingga mengarah pada skill dan keterampilan masing-masing peserta didik sesuai dengan kekhususannya. Secara proporsional kurikulum pada SLT menitikberatkan pada program keterampilan 42 % dan menitikberatkan pada program keterampilan 62%. Pelaksanaannya di lapangan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan di mana sekolah tersebut berada dan hal ini pun masih harus disesuaikan dengan keberadaan situasi dan kondisi lingkungan daerah masing-masing. Sebagai contoh :
Sekolah yang berada di lingkungan pantai, maka kurikulum muatan lokalnya antara lain pengolahan hasil laut, atau keterampilan yang menunjang perangkat nelayan, misalnya merajut jaring, jala dan sebagainya :
Sedangkan untuk sekolah yang berada pada daerah pegunungan atau dataran rendah dapat menerapkan keterampilan pertanian, perikanan darat, keterampilan menganyam dan sebagainya.
Sekolah yang berada di perkotaan dapat menerapkan keterampilan otomotif, percetakan, sablon, mengukir atau membatik.
D. Pembinaan Kesiswaan
Pembinaan kesiswaan pada Sekolah, pada dasarnya sama polanya dengan pembinaan pada sekolah umum, akan tetapi lebih menitik beratkan pada pembinaann khusus sesuai dengan kebutuhan anak didik, antara lain pembinaan mental, pembinaan sensor motorik, pembinaan.
UNESCO membahas dan mengusulkan paradigma baru pendidikan di Indonesia antara lain yang pertama mengubah paradigma teaching menjadi learning sehingga dengan perubahan ini proses pendidikan menjadi “proses bagaimana belajar bersama antara guru dan murid” dimana guru juga mengalami proses, dalam istilah Ivan Illich, lingkungan sekolah menjadi learning society (masyarakat belajar). Kedua learning to do (belajar berbuat/hidup), sistem ini aspek yang ingin dicapai adalah keterampilan anak didik dalam menyelesaikan problem keseharian. Ketiga learning to live together (belajar hidup bersama), disini pendidikan diarahkan kepada pembentukan seorang anak didik bahwa hidup dalam sebuah dunia yang global mengalami berbagai tantangan. Keempat learning to be (belajar menjadi diri sendiri), sistem ini menjadi sangat penting sebab masyarakat modern saat ini sedang dilanda krisis kepribadian. Keempat gagasan atau pemikiran tersebut merupakan kata kunci berupa learning how to learn (belajar bagaimana belajar), sehingga pendidikan tidak hanya berorientasi pada lingkungan, pengalaman, kekayaan alam tetapi dapat juga mengembangkan sikap kreatif dan imaginatif.
Pola ini juga dapat dilakukan pada "proses pembelajaran siswa" sebab dengan menerapkan pola tersebut maka proses pembelajaran akan lebih meningkat dan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan. Disamping itu wawasan Wiyatamandala juga perlu dilaksanakan mengingat lingkungan sekolah pada dasarnya sama dengan sekolah umum. Program bimbingan bagi siswa di lingkungan Ditjen Dikdasmen mengacu pada konsep Wiyatamandala, yaitu suatu lingkungan tempat pendidikan yang mempunyai makna sebagai berikut:
a. Sekolah harus benar-benar menjadi tempat diselenggarakannya proses belajar mengajar, tempat di mana ditanamkan nilai-nilai pandangan hidup dan keperibadian, agama, berbagai macam ilmu pengetahuan dan teknologi serta keterampilan;
b. Sekolah sebagai tempat dilaksanakannya proses belajar-mengajar harus diamankan dan dilindungi dari segala macam pengaruh yang bersifat negatif, yang dapat mengganggu pelaksanaan proses belajar mengajar;
c. Sekolah sebagai masyarakat belajar, tempat diselenggarakannya proses belajar mengajar, yaitu interaksi antara siswa, guru dan lingkungan sekolah. Dalam kehidupan sekolah terdapat peran berbagai unsur utama, yaitu: Kepala Sekolah, Guru, Orangtua dan Siswa serta fungsi lembaga sosial itu sendiri dalam lingkungan kehidupan masyarakat di mana sekolah itu berada.
E. Pengelolaan Sumber Dana
Sekolah bersama-sama dengan tokoh masyarakat dalam hal ini komite sekolah/ dewan sekolah dapat mencari, menggali, merencanakan dan memonitor penggunaan dana dalam rangka melaksanakan program yang telah disusun bersama. School Based Management adalah merupakan gagasan yang menempatkan kewenangan pengelolaan sekolah sebagai satu entitas sistem, dalam format ini kepala sekolah dan guru-guru sebagai kelompok profesional, bermitra dengan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya, dianggap memiliki kapasitas untuk memahami kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan yang dihadapi sekolah dalam upaya mengembangkan program-program sekolah yang diinginkan sesuai dengan visi dan misi sekolah.
Prinsip perencanaan anggaran sampai dengan penggunaan dan pertanggungjawaban dapat dilakukan bersama antara stake holders sekolah dengan masyarakat dalam hal ini dewan sekolah/komite sekolah.
Fungsi dasar suatu anggaran adalah sebagai suatu bentuk perencanaan, alat pengendalian, dan alat analisis. Penyusunan anggaran berangkat dari rencana kegiatan atau program yang telah disusun dan kemudian diperhitungkan berapa biaya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan tersebut, bukan dari jumlah dana yang tersedia dan bagaimana dana tersebut dihabiskan. Dengan rancangan yang demikian fungsi anggran sebagai alat pengendalian kegiatan akan dapat diefektifkan.
Langkah-langkah penyusunan anggaran yang dilakukan dan direncanakan bersama masyarakat meliputi:
a. Menginventarisasi rencana kegiatan yang akan dilaksanakan.
b. Menyusun rencana berdasar skala prioritas pelaksanaannya.
c. Menentukan program kerja dan rincian program.
d. Menetapkan kebutuhan untuk pelaksanaan rincian program.
e. Menghitung dana yang dibutuhkan.
f. Menentukan sumber dana untuk membiayai rencana.
Berbagai rencana yang dituangkan ke dalam Rencana dan Program Tahunan sekolah pada dasarnya untuk merealisasikan program sekolah, oleh karena itu anggaran yang diperlukan juga tercakup dalam Rencana Anggaran dan Pendapatan Belanja Sekolah (APBS). Anggaran untuk rencana program MBS dapat berasal dari berbagai sumber dana. Prinsip efisiensi harus diterapkan dalam penyusunan rencana anggaran setiap program sekolah. Pada anggaran yang disusun perlu dijelaskan, apakan rencana program yang akan dilaksanakan merupakan hal yang baru atau merupakan kelanjutan atas kegiatan yang telah dilaksanakan dalam periode sebelumnya, dengan menyebutkan sumber dana sebelumnya.
Di dalam anggaran yang disusun harus memuat informasi/data minimal tentang:
a. Informasi rencana kegiatan : sasaran, uraian rencana kegiatan, penanggungjawab, rencana baru atau lanjutan.
b. Uraian kegiatan program : program kerja, rincian program.
c. Informasi kebutuhan : barang/jasa yang dibutuhkan, volume kebutuhan.
d. Data kebutuhan : harga satuan, jumlah biaya yang diperlukan untuk sekolah volume kebutuhan
e. Jumlah anggaran : jumlah anggaran untuk masing-masing rincian program, program, rencana program, dan total anggaran untuk seluruh rencana kegiatan periode terkait.
f. Sumber dana : total sumber dana, masing-masing sumber dana yang mendukung pembiayaan program.
Dalam pelaksanaan kegiatannya, jumlah yang direalisasikan bisa terjadi tidak sama dengan anggarannya (karena sesuai dengan kondisi pada saat transaksi), bisa kurang atau lebih dari jumlah yang telah dianggarkan. Realisasi keuangan yang tidak sama dengan anggaran, terutama yang cukup besar perbedaannya (jumlah material), harus dianalisis sebab-sebabnya dan apabila diperlukan dapat dilakukan revisi anggaran agar fungsi anggaran dapat tetap berjalan. Perbedaan antara realisasi pengeluaran dengan anggarannya bisa terjadi karena:
a. Adanya efisiensi atau inefisiensi pengeluaran;
b. Terjadi penghematan atau pemborosan;
c. Pelaksanaan kegiatan yang tidak sesuai dengan yang telah diprogramkan;
d. Adanya perubahan harga yang tidak terantisipasi, atau
e. Penyusunan anggaran yang kurang tepat.
Sifat anggaran yang lain adalah bahwa anggaran bersifat luwes, artinya apabila dalam perjalanan pelaksanaan kegiatan ternyata harus dilakukan penyesuaian kegiatan, maka anggaran dapat direvisi dengan menempuh prosedur tertentu. Perubahan-perubahan yang mungkin terjadi adalah:
a. Adanya suatu kegiatan program yang sebelumnya tidak dicantumkan di dalam proposal, sedangkan dilain pihak terdapat rencana kegiatan yang telah dicantumkan dalam proposal namun tidak jadi dilaksanakan karena suatu sebab. Apabila terjadi perubahan yang demikian, sekolah harus melaporkannya secara tertulis ke komite sekolah/dewan sekolah untuk mendatkan persetujuan tanpa melihat besarnya perubahan jumlah anggaran yang terjadi dan selanjutnya menginformasikan kepada Dinas Pendidikan Propinsi/Kabupaten/Kota.
b. Perubahan yang tidak berkaitan dengan rencana kegiatan, hanya dalam komponen program atau aktivitas. Apabila terjadi perubahan komponen program atau aktivitas dan mengakibatkan perubahan alokasi biaya di atas 10% dari total anggaran program yang bersangkutan maka perubahan tersebut harus segera dilaporkan secara tertulis ke Komite Sekolah.
c. Perubahan berkaitan dengan perubahan komponen program atau aktivitas namun pergeseran/perubahan dana yang terjadi secara komulatif masih di bawah 10% dari total anggaran rencana kegiatan. Perubahan yang demikian tidak perlu dilaporkan segera tetapi cukup diberikan penjelasan dalam laporan pelaksanaan kegiatan dan keuangan program MBS yang disampaikan pada setiap semester.
Untuk lebih tertib dalam hal administrasi keuangan, apabila sekolah mengajukan beberapa rencana, maka setiap rencana hendaknya memiliki RAPBS sendiri (format Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja BS) dan selanjutnya dibuat dalam satu anggaran keseluruhan (Rencana Anggaran Pembiayaan BS Total) yang merupakan kompilasi dari seluruh anggaran yang dibuat oleh sekolah dalam satu tahun pelajaran.
F. Pengelolaan Sarana dan Fasilitas
Pengelolaan sarana dan fasilitas pendidikan mengacu pada prinsip pelayanan kepada masing-masing jenis kelainan anak dan memiliko spesifikasi tersendiri perjenis kelainan. Di samping itu lingkungan fisik yang dapat mengakses anak dalam bersosialisasi dengan sesamanya juga perlu diperhatikan dalam artian minimal harus disediakan oleh penyelenggara pendidikan baik pemerintah maupun swasta.
Pengelolaan dan pendayagunaan sarana pendidikan untuk penyelenggaraan pendidikan baik yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat yang menunjukkan adanya keterbatasan bahkan mungkin dapat disebut sangat minim keberadaannya. Di sisi lain masih terdapat dikotomi antara sekolah swasta dan negeri, mengingat bahwa sebagian besar sekolah yang ada adalah milik swasta. Pengelolaan dan pendayagunaan sarana pedidikan yang menunjang proses belajar mengajar masih kurang efektif dan efisien.
a. Pengelolaan dan pendayagunaan sarana pendidikan yang mendukung proses belajar mengajar pada Pendidikan , yang berprinsip efisiensi diperlukan satu strategi bagaimana melakukan efektifitas dalam penangannya. Pengadaan sarana pendidikan dan fasilitas pendukung baik oleh pemerintah maupun swasta dilakukan dengan mengikuti standar pelayanan minimal yang telah ditetapkan. Penggunaan dan pendayagunaan sarana pendidikan dapat dilakukan secara simultan antar sekolah, demikian juga koordinasi antar pengelola sekolah dalam hal pendayagunaan sarana pendidikan dalam proses belajar mengajar.
b. Penyediaan sarana pendidikan yang mendukung proses belajar mengajar pendidikan adalah bagaimana memberikan layanan pendidikan bukan hanya kepada mereka yang memiliki kelainanan namun juga kepada mereka yang memiliki kecerdasan (gifted), korban narkoba dan autis.
c. Sarana pendidikan yang digunakan dalam proses pembelajaran di Sekolah di samping menggunakan alat pendidikan khusus juga menggunakan sarana lingkungan fisik berupa aksesibilitas fisik, sehingga siswa dapat berlatih mandiri dalam kehidupan masyarakat. Pendayagunaan aksesisibilitas fisik dan alat pendidikan khusus diharapkan akan mendorong dan mempercepat upaya peningkatan mutu pendidikan sesuai dengan harapan.
G. Pengelolaan Lingkungan
Untuk mewujudkan kondisi yang kondusif di sekolah-sekolah , perlu diciptakan lingkungan yang harmonis dan menyenangkan, sehingga semua warga belajar merasa betah berada di sekolah. Sisi lain yang perlu mendapat perhatian adalah terbinanya wawasan wiyatamandala yang melibatkan semua warga sekolah turut bertanggungjawab untuk mewujudkan lingkungan yang kondusif dalam proses pembelajaran, antara lain pemeliharaan halaman/lingkungan sekolah, sarana/prasarana sanitasi dan keamanan sekolah. Selanjutnya pengelolaan lingkungan belajar siswa meliputi sebagai berikut:
- Pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang dapat melaksanakan fungsinya, yaitu mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat menusia seutuhnya melalui pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar.
- Keberhasilan mutu pendidikan sangat tergantung dari proses belajar mengajar yang merupakan sinergi dari komponen-komponen pendidikan baik dari kurikulum, tenaga pendidikan, sarana prasarana, lingkungan yang aksesibel, sistem pengelolaan maupun berupa faktor lingkungan alamiah dan lingkungan sosial dengan peserta didik sebagai subyeknya.
- Alat pendidikan khusus dan lingkungan yang aksesibel merupakan komponen yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan kegiatan belajar mengajar dan merupakan sumber belajar yang cukup signifikan dalam mencapai tujuan pembelajaran. Namun pada kenyataan di lapangan sumber belajar belum dimanfaatkan oleh guru secara optimal. Kondisi demikian tentu kurang menguntungkan bagi peningkatan kualitas proses dan hasil belajar mengajar di sekolah.
Dengan demikian salah satu isu utama yang perlu diangkat ke permukaan dan dijawab dengan sungguh-sungguh adalah bagaimana mengoptimalkan pendayagunaan lingkungan sekolah sebagai sumber belajar auntuk menuju pendidikan yang lebih berkualitas.
H. Kerjasama dan Partisipasi Masyarakat Dalam Wadah Komite Sekolah/ Dewan Sekolah
Kehadiran suatu lembaga khusus dalam konteks pengelolaan pendidikan sekolah dengan pendekatan manajemen berbasis sekolah sangat diperlukan. Sebagai wadah keterlibatan masyarakat lingkungan sekolah sesuai Kepmendiknas No. 044/U/2002 tgl 2 April 2002 telah dibentuk lembaga Komite Sekolah atau Dewan Sekolah.
Komite sekolah adalah lembaga/badan khusus yang dibentuk berdasarkan musyawarah yang demokratis oleh para stakeholder pendidikan di tingkat sekolah sebagai representasi dari berbagai unsur yang bertanggung jawab terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Komite ini bertempat di sekolah masing-masing dan dikelola oleh ketua komite yang dibantu oleh para stekeholder yang berkolobarasi dengan solid untuk meningkatkan penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas tinggi guna mewujudkan tujuan penyelenggaraan pendidikan dan salah satu kontribusi dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat.
Komite sekolah secara khusus memiliki peran dalam pengguliran model pendekatan MPMBS (Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah) dalam rangka otonomi pendidikan dan menjadi patner kemitraan kepemimpinan kepala sekolah. Pola pengelolaan pendidikan semacam ini nantinya tugas-tugas birokrat dibidang pendidikan.
Komite sekolah bertugas sebagai bentuk kontrol msyarakat yang peduli terhadap penyelenggaraan pendidikan antara lain dalam hal pengadaan sarana prasarana, penggalangan dana operasional, aktif dan mengetahui alur penerimaan dan penyaluaran berbagai bantuan dan dana dari pemerintah pusat maupun provinsi.
BAB IV
PENUTUP
Mewujudkan Sekolah Efektif dalam Kerangka Manajemen Berbasis Sekolah, merupakan buku referensi yang terdiri dari dua bagian. Bagian pertama memuat beberapa hal yang merupakan filosofi dan pertimbangan mendasar mendasar perlunya supervisi pendidikan, paradigma baru sistem pembinaan dan pengembangan pendidikan, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Sedangkan bagian kedua, membahas hal - hal yang bersifat teknis mengenai supervisi pendidikan sesuai dengan kondisi nyata di lapangan. Buku ini sangat penting bagi pejabat Dinas Pendidikan, pengawas, kepala sekolah, guru dan siapa saja yang pekerjaannya terkait dengan supervisi pendidikan, untuk mengetahui filosofi, konsep dasar dan teknik serta aspek – aspek supervisi di bidang pendidikan sejalan dengan paradigma baru sistem pengelolaan dan pembinaan pendidikan. .
Sebagai sebuah konsep dan pemikiran tentang Manajemen Berbasis Sekolah pada merupakan hal baru dan tidak secara otomatis berjalan sempurna, oleh karena itu perlu masukkan yang berharga.
DAFTAR PUSTAKA
Juliandi, Azuar. 2002. “Pemanfaatan Internet dalam Proses Belajar dan Penulisan Karya Ilmiah Bidang Manajemen dan Bisnis”. Jurnal Ilmiah Manajemen dan Bisnis Vol. 02 No. 02 Oktober.
Kerlinger, Fred N. 2000. Asas-Asas Penelitian Behavioural. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Miles, M.B. dan Huberman, A.M. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. UIPress. Jakarta.
Sarwono, J. 2003. “Perbedaan Dasar antara Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif“.
Anoraga Pandji, 2006, Psikologi Kerja, Rineka Cipta, Jakarta.
As’ad, Moh. 2001. Psikologi Industri. Yogyakarta : Liberty.
Balfour, D.L. dan Bartos W, 1991. Commitment, Performance, and Productivity in Public Organization. Public Productivity & Management Review, Vol. 14, Iss 14, Summer, p.355-367
Burton W.H. dan Lee J. Bruckner, 1955, Supervision, Appleton Century_Craff, Inc, New York.
Durham, R. B., Grube, J. A., & Castaneda, M. B., 1994, Organizational Commitment : the utility of an integrative definition, Jurnal of Applied Psychology, 79 (3) : 3750-380
Greenberg, Jerald, Robert A. Baron, 1993, Behavior in Organizations, Fourth Edition, Allyn and Bacon, USA
Harris Chester, 1959, Encyclopedia of Educational Researsh, Mc. Graw Hill Company Inc, New York.
Haryono Agung, 2005, Tantangan Profesionalisme Guru Ekonomi Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, Jurnal Ekofeum, Ekonomi Pembangunan FE, UM, Malang
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara RI Nomor 25/KEP/M.PAN/04/2002 tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara, Jakarta
Ko. J. W.. Price. J. 1.. & Mudler, C. W. 1997. Assessment of Meyer and Alien's three-component model of organizational commitment in South Korea. Journal of Applied Psychology: 82 (6): 961-973
Lee, Chris, 1987. The New Employment Contract. Training, Vol. 24, Iss. 2, December, p.45-46
Mangkunegara, A.A. Anwar Prabu. 2000. Manajemen Sumberdaya Manusia Perusahaan. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Meyer, J. P., Irving, P. G.. & Alien, N. J. 1998. Examination of the combined effects of work values and early work experiences on organizational commitment. Journal of Organizational Behmior, 19: 29-52.
Meyer., J. P., Alien, N. J., &-Gellatly, i. R. 1993. Affective and continuance commitment: evaluation of measures and analysis of concurrent and time-lagged relations. Journal of Applied Psychology, 75 (6); 710
Meyer, J, P., Alien, N. J., & Smith, C. A. 1990. Commitment to organizations and occupations: extensions and tests of a three-component conceptualization. Journal of Applied Psychology: 78 (4): 538-551
Miner, John B, 1992, Industrial-Organizational Psychology, McGraw-Hill, Inc, Singapore
Mulyasa E, 2007, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Nasution, 2006, Budaya Organisasi, Kepuasan Kerja, Komitemen Organisasi dan Keinginan Berpindah : investigasi Empiris Pada Berbagai Unit Kerja di universitas Bengkulu, Jurnal Bisnis dan Ekonomi, Vol 13 No. 2 September 2006.
__________2004, Hubungan antara keadilan. kepuasan dan keinginan berpindah peran komitmen organisasional sebagai variabel pemediasi. Jurnal Siasat Risnis. Volume 2. no. 9. halaman: 157-177.
__________, 2002, Persepsi keadilan organisasional dalam penilaian kinerja: sebuah penelitian empiris. Jurnal Bisnis dan Ekonomi 9 (2) 183-199
Robbinson, David, Linda S dan Frank P., 1999. Research On Staff Commitment : A Discussion Paper. Correctional Service of Canada
Sahertian Piet A, 2000, Konsep Dasar dan Teknik : Supervisi Pendidikan Dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia, Rineka Cipta, Jakarta.
Saifuddin, Azwar. 1997. Reliabilitas dan Validitas. Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Satria R Yudi, 2005, Hubungan antara Komitmen Organisasi dan Iklim Organisasi dengan Kepuasan Kerja Karyawan Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jurnal Manajemen dan Bisnis, Volume 9, No. 2, Desember 2005, Jakarta
Shadur, M.A., R. Kinzle dan J.J. Rodwell, 1999. The Relations Between Organization Climate and Employee Perceptions of Involvement. Group Organization Management, Vol. 24, Iss. 4, December, p 479-504
Soetjipto dkk, 2004, Profesi Keguruan, Rineka Cipta, Jakarta
Sugiyono, 2006, Statistika Untuk Penelitian. Alfabeta, Bandung
Undang-Undang no 14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen sebagai Tenaga Profesi
Pengawasan dapat diartikan sebagai proses kegiatan monitoring untuk meyakinkan bahwa semua kegiatan organisasi terlaksana seperti yang direncanakan dan sekaligus juga merupakan kegiatan untuk mengoreksi dan memperbaiki bila ditemukan adanya penyimpangan yang akan mengganggu pencapaian tujuan (Robbins 1997). Pengawasan juga merupakan fungsi manajemen yang diperlukan untuk mengevaluasi kinerja organisasi atau unit-unit dalam suatu organisasi guna menetapkan kemajuan sesuai dengan arah yang dikehendaki (Wagner dan Hollenbeck dalam Mantja 2001).
Oleh karena itu mudah dipahami bahwa pengawasan pendidikan adalah fungsi manajemen pendidikan yang harus diaktualisasikan, seperti halnya fungsi manajemen lainnya (Mantja 2001). Berdasarkan konsep tersebut, maka proses perencanaan yang mendahului kegiatan pengawasan harus dikerjakan terlebih dahulu. Perencanaan yang dimaksudkan mencakup perencanaan: pengorganisasian, wadah, struktur, fungsi dan mekanisme, sehingga perencanaan dan pengawasan memiliki standard dan tujuan yang jelas. Strategi pembangunan pendidikan dasar dan menengah di lingkungan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah mengalami pergeseran mendasar dari sistem terpusat kesistem pengelolaan pendidikan berbasis sekolah (School Base Education). Pergeseran ini dilakukan untuk memacu prakarsa sekolah dalam melakukan inovasi melalui penciptaan iklim yang kondusif bagi upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah.
Pendidikan berbasis sekolah bertujuan antara lain membantu pemerintah dan memobilisasi Sumber Daya Manusia (SDM) setempat dan dari luar serta meningkatkan peranan masyarakat untuk mengambil bagian lebih besar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan di semua jenjang, jenis dan jalur pendidikan.
Sejalan dengan itu pada awal Tahun 2000 Direktorat Jenderal Pendidikan dasar dan Menengah telah memperkenalkan dan mensosialisasikan Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai konsekuensi logis terhadap diperlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom.
Agar pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah khususnya pada sekolah dapat dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan, maka disusunlah pedoman pelaksanaan yang dapat digunakan sebagai acuan di lapangan.
Semoga Makalah ini bermanfaat bagi semua pihak yang terkait dalam pembinaan sekolah dan sekaligus sebagai rujukan dalam pengelolaan dan penyelengaraan pendidikan.
Jambi, Mei 2008
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan 3
BAB II PEMBINAAN DAN PENGELOLAAN PENDIDIKAN 5
A. Pembinaan dan Pengelolaan di Pusat 6
B. Pembinaan dan Pengelolaan di Provinsi 7
C. Penyelenggara Pendidikan 9
BAB III IMPLEMENTASI PENDIDIKAN DI SEKOLAH 10
A. Organisasi dan Manajemen 11
B. Pembinaan Ketenagaan 13
C. Pengembangan Kurikulum dan Sistem Penilaian 14
D. Pembinaan Kesiswaan 14
E. Pengelolaan Sumber Dana 16
F. Pengelolaan Sarana dan Fasilitas 19
G. Pengelolaan Lingkungan 20
H. Kerjasama dan Partisipasi Masyarakat Dalam Wadah Komite Sekolah/ Dewan Sekolah 21
BAB IV PENUTUP 23
DAFTAR PUSTAKA 24
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di era desentralisasi ini seluruh sektor termasuk sektor pendidikan dituntut untuk ber “otonomi”, antara lain Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dalam mengelola pendidikan sudah saatnya menyerahkan sebagian kewenangan pengelelolaannya kepada daerah dan masyarakat lingkungan sekolah. Salah satu kebijakan yang menyangkut otonomi pendidikan dan menengah pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah adalah konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Pada awal tahun 2000 Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah telah memperkenalkan dan mensosialisasikan konsep manajemen berbasis sekolah, sebagai konsekuensi logis terhadap diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 tahun 2000, tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom.
Pelaksanaan otonomi dibidang pendidikan mendorong meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pendidikan serta meningkatkan pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan. Kondisi geografis Indonesia yang tidak sama satu sama lain antar daerah baik Provinsi maupun Kab/Kota dan penyebaran penduduk yang tidak merata maka otonomi sekolah akan memerlukan biaya tinggi bagi daerah yang memiliki sumber daya alam dan pendapatan asli daerah yang rendah. Pada kondisi ini akan beresiko terjadinya peningkatan angka putus sekolah (drop out) karena pada daerah minus orang tua/masyarakat tidak mampu membiayai pendidikan. Hal ini memunculkan konsep subsidi silang antar daerah berdasarkan komitmen bersama dan intervensi pemerintah pusat antara lain melalui bantuan pendidikan bagi daerah yang kurang beruntung. Strategi pembangunan pendidikan dasar dan menengah di lingkungan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, saat ini telah mengalami pergeseran mendasar dari sistem pengelolaan terpusat kesistem pengelolaan pendidikan berbasis sekolah (School Based Education). Pergeseran ini dilakukan karena sistem terpusat kurang relevan dengan konsep desentralisasi bagi upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah yang sampai saat ini belum dapat memberikan hasil yang memuaskan.
Otonomi pengelolaan pendidikan berada di lingkungan sekolah, maka peran lembaga pemerintah adalah memberi pelayanan dan dukungan kepada sekolah agar proses pendidikan berjalan secara efektif dan efisien. Peran pemerintah bergeser dari ‘regulator’ menjadi ‘fasilitator’. Keterlibatan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan ini hanya mencakup dua aspek, yaitu mutu dan pemerataan. Pemerintah menetapkan standar mutu pendidikan, dan berupaya agar semua siswa dapat berprestasi setinggi mungkin. Juga berupaya agar semua sekolah dapat mencapai standar minimal mutu pendidikan, dengan keragaman prestasi antara sekolah dalam suatu lokasi sekecil mungkin. Pemeritah juga menjamin pemerataan kesempatan bagi seluruh siswa dari semua lapisan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan. Peran ini dilakukan melalui perumusan kebijaksanaan umum, pelayanan teknis, dan monitoring program secara reguler. Praktek diskriminasi terhadap siswa perempuan, siswa normal, anak berkelainan dan sekolah swasta baik dilakukan secara langsung maupun tidak, baik terjadi pada level kebijaksanaan maupun implementasi harus dihapuskan. Demikian juga alokasi dan distribusi anggaran pendidikan harus menjujung tinggi asas keadilan dan transparansi.
Salah satu platform penting lain yang juga diadopsi dalam rangka reformasi pendidikan nasional adalah pengembangan pendidikan berbasiskan masyarakat ( Community Based Education). Tujuan pengembangan platform pendidikan berbasis masyarakat ini, adalah sebagai berikut:
Pertama: membantu pemerintah dalam mobilisasi SDM setempat dan dari luar serta meningkatkan peranan masyarakat untuk mengambil bagian lebih besar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan disemua jenjang, jenis dan jalur pendidikan.
Kedua: Mendorong perubahan sikap dan persepsi masyarakat terhadap rasa kepemilikan sekolah, tanggung jawab kemitraan, toleransi dan kesediaan menerima sosial budaya.
Ketiga : Mendukung inisiatif pemerintah dalam meningkatkan dukungan masyarakat terhadap sekolah, khususnya orang tua dan anggota masyarakat lainnya melalui kebijakan desentralisasi.
Keempat: Mendukung peranan masyarakat mengembangkan inovasi kelembagaan untuk melengkapi, meningkatkan, dan mensinergikan dengan peran sekolah, dan untuk meningkatkan mutu dan relevansi, membuka kesempatan lebih besar dalam memperoleh pendidikan, peningkatan efesiensi manajemen pendidikan.
Manajemen berbasis sekolah adalah model pengelolaan penyelenggaraan sekolah yang kewenangannya diberikan seluas-luasnya kepada pihak sekolah untuk mengelola berbagai sumber daya pendidikan dengan melibatkan peran serta masyarakat sebagai lingkungan pendukung.
Melalui MBS diharapkan dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam peningkatan mutu pendidikan. Kebijakan ini sebagai solusi alternatif dari system manajemen terpusat yang dianggap kurang kondusif dalam melibatkan peran serta masayarakat. Selain itu Manajemen Berbasis Sekolah merupakan upaya demokratisasi dan penghormatan terhadap budaya local.
B. Tujuan
Manajemen Berbasis Sekolah bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif. Lebih rincinya MBS bertujuan untuk:
Meningkatkan peranserta warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama;
Meningkatkan tanggungjawab sekolah terhadap orangtua, mayarakat, dan pemerintah dan mutu sekolahnya;
Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai;
Memberikan pertanggungjawaban tentang mutu pendidikan kepada pemerintah, orangtua peserta didik, dan masyarakat;
Memberikan kesempatan kepada sekolah untuk menyusun kurikulum muatan lokal, sedangkan kurikulum inti dan evaluasi berada pada kewenangan pusat dan pengembangannya disesuaikan dengan daerah dan sekolah masing-masing.
Memberikan kesempatan untuk menjalin hubungan kerjasama kepada sekolah baik dengan perorangan, masyarakat, lembaga dan dunia usaha yang tidak mengikat.
BAB II
PEMBINAAN DAN PENGELOLAAN PENDIDIKAN
Pembinaan merupakan kegiatan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan tenaga kesehatan yang dilakukan secara terencana, terus menerus, berkesinambungan dan bersifat terbuka yang mencakup aspek administrasi dan teknis pendidikan. Hal tersebut merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah, institusi diknakes dan masyarakat. Pemerintah melakukan pembinaan dalam arti mengeluarkan peraturan dan pedoman penyelenggaraan pendidikan termasuk bagaimana pengelolaan, penilaian, bimbingan, pengawasan dan pengembangan pendidikan tersebut dilaksanakan. Sedangkan institusi bertanggungjawab atas penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan wajib melakukan pembinaan dalam arti berusaha agar pengelolaan, penilaian, bimbingan, pengawasan dan pengembangan pendidikan dapat dilaksanakan dengan baik. Pembinaan dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan, antara lain melalui supervisi, akreditasi, penilaianlevaluasi, pelaporan maupun kegiatan lain seperti konsultasi secara langsung/tidak langsung atau secara terstruktur/tidak terstruktur.
Dalam aktivitas institusi pendidikan, pengelolaan merupakan suatu proses upaya pengadaan, pendayagunaan/pemanfaatan dan pengembangan sumber daya meliputi tenaga pendidik, tenaga kependidikan, tanah, gedung dan peralatan serta kepemilikannya dan dana. Penilaian yang dilakukan bukan hanya diarahkan kepada tujuan pendidikan yang telah ditetapkan guna mengetahui tercapai tidaknya tujuan tersebut, akan tetapi juga untuk mengetahui komponenkomponen pendidikan baik faktor masukan, proses maupun keluaran serta lingkungan yang ikut mempengaruhi. Semua penilaian pada akhirnya bermuara pada penilaian terhadap program pendidikan (kurikulumltujuan pendidikan, isi program, strategi pelaksanaan program, sumber daya pendidikan), proses belajar mengajar (kegiatan dosen, kegiatan mahasiswa, pola interaksi dosen dan mahasiswa serta keterlaksanaan program belajar mengajar) dan hasil belajar (UTS, UAS, akhir pendidikan)
Bimbingan merupakan upaya perbantuan yang diberikan oleh dosen kepada mahasiswa, dosen senior kepada dosen yunior, direktur kepada tenaga pendidik dan tenaga kependidikan dalam rangka pengendalian dan peningkatan mutu pendidikan. Pengawasan dilaksaaakan dalam rangka pembfnaan pengembangan, pelayanan dan peningkatan mutu dalam segi teknis pendidikan dan administrasi institusi diknakes yang bersangkutan. Pengembarngan dalam aktivitas institusi meliputi upaya perbaikan, perluasan, pendalaman dan penyesuaian pendidikan seiring perkembangan IPTEK dan pasar kerja nasional, regional, global melalui peningkatan mutu penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan ketersediaan tenaga kerja.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonomi, maka kewenangan pemerintah pusat dibatasi, dan kewenangan pemerintah provinsi dan Kab/Kota semakin luas dalam mengelola berbagai sumber daya yang ada di daerah. Dalam penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah pemerintah pusat masih memiliki kewenangan yang menyangkut penetapan standar, kurikulum yang bersifat nasional, dan kebijakan penilaian pendidikan yang berstandar nasional. Program penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan aturan hukum tersebut, kewenangan pengelolaannya berada pada pemerintah Provinsi secara substansial pemisahan kewenangan pusat dan daerah sebagai berikut:
A. Pembinaan dan Pengelolaan di Pusat
Penetapan standar kompetensi siswa, pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional serta pedoman pelaksanaannya.
Penetapan standar materi pelajaran pokok dan silabusnya.
Penetapan pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan.
Penetapan persyaratan penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga belajar.
Penetapan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi pendidikan.
Pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia.
B. Pembinaan dan Pengelolaan di Provinsi
Berdasarkan PP No. 25 Tahun 2000 pasal 3 angka 5, bidang pendidikan dan kebudayaan menyatakan bahwa provinsi berwenang dalam penyelenggaraan Sekolah, dengan demikian provinsi dalam era otonomi daerah berwenang langsung atas penyelenggaraan Pendidikan.
Dengan demikian unsur birokrasi di Provinsi diharapkan benar-benar memberikan perhatian yang cukup dan memadai terutama dalam memfasilitasi kelangsungan penyelenggaraan pendidikan baik negeri maupun swasta.
Kewenangan provinsi dibidang pendidikan antara lain:
Penyediaan bantuan pengadaan buku pelajaran pokok/modul.
Penyelenggaraan sekolah dan balai pelatihan dan/atau penataran guru.
Otonomi dibidang pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan arah kewenangan dan arah sistem penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan sistem lainnya. Bahkan sistem pendidikan merupakan sub sistem dari sistem yang lebih luas karena arah sistem pemerintahan yang memberikan otonomi pada kabupaten/ kota termasuk wewenang dalam pengelolaan pendidikan harus diserahkan kepada kabupaten/kota bahkan sampai ke sekolah.
Prinsip otonomisasi dan desentralisasi itu kembali ditegaskan GBHN 1999- 2004 tentang pendidikan yang mencakup beberapa hal:
Pertama :
Perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu,
Kedua :
Peningkatan kemampuan akademik, profesional dan kesejahteraan tenaga kependidikan,
Ketiga :
Pembahasan sistem pendidikan sebagai pusat nilai sikap, kemampuan dan partisipasi masyarakat,
Keempat :
pembahasan dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi dan manajemen,
Kelima :
Peningkatan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan pemerintah dan masyarakat
Keenam :
Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu dan menyeluruh.
Reformasi dalam pengelolaan pendidikan mengarah kepada terciptanya kondisi yang desentralistis baik pada tatanan birokrasi maupun pengelolaan sekolah. Reformasi ini, terwujudkan dalam bentuk kewenangan luas di tingkat Kab/Kota sekolah dalam mengelola berbagai sumber, yang meliputi ketenagaan, keuangan, kurikulum, sarana dan prasarana.
Pronsip ini juga disebut sebagai School Based Manajemen, pengelolaan yang berbasiskan sekolah. Dalam kerangka ini, Departemen Pendidikan Nasional berfungsi koordinatif, menetapkan standarisasi minimal dan menetapkan kompetensi, dasar” (Basic Competency). Selebihnya, kurikulum dirancang dan dilaksanakan sesuai kebutuhan dan relefansinya dengan masyarakat, sehingga konsep manajemen berbasis sekolah adalah : pengelolaan sekolah dengan otonomi luas, partisipasi masyarakat yang tinggi, tetapi tetap dalam kerangka kebijakan nasional.
Dalam kaitan ini, desentralisasi pendidikan tidak berarti penciutan substansi pendidikan menjadi substansi yang sangat bersifat lokal dan sempit. Dengan orientasi pendidikan yang bersifat sempit dapat merangsang sentimen ke daerahan.
C. Penyelenggara Pendidikan
Tujuan Pendidikan adalah membantu peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan atau mental dan atau perilaku agar mampu mengembangkan sikap pengetahuan, dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan.
Manajemen berbasis sekolah sudah mulai dirintis lebih awal. Wujud nyata dari ide School Base Management itu dapat kita lihat mulai dari enrolment-assessment awal, penempatan siswa pada kelas-kelas yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, pembuatan Individual Educational Program (IEP) oleh guru dalam mengajar yang selalu melibatkan orang tua murid, guru, tenaga ahli, dan para spesialis yang membidangi, sehingga anak betul-betul dapat dilayani secara profesional. Hubungan guru dengan orang tua dan masyarakat selalu dijaga kelangsungannya sehingga permasalahan yang timbul dapat diatasi bersama secara holistik.
Pendidikan di Indonesia disamping diselenggarakan oleh pemerintah juga diselenggarakan oleh masyarakat/yayasan terkait.
Sebagai upaya pemberdayaan penyelenggara/stake holder Pendidikan agar dapat berfungsi secara optimal maka perlu :
Standarisasi dan evaluasi terhadap yayasan penyelenggara oleh instansi yang berwenang.
Pelatihan manajemen dalam hal pengembangan program.
Adanya pemisahan wewenang dan tugas antara yayasan dengan UPT-UPTnya.
Pembentukan forum komunikasi dan jaringan kerja antara yayasan dan organisasi yang terkait.
Dukungan dan fasilitas dari pemerintah.
Koordinasi terus menerus dan baik antara pemerintah dan masyarakat penyelenggara.
BAB III
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN DI SEKOLAH
Pengelolaan Pendidikan melalui penyelenggara Sekolah di era otonomi ini, para stake holdernya dituntut untuk dapat menguasai berbagai aspek yang menyangkut organisasi dan manajemen sekolah. Pelayanan pendidikan anak yang dilakukan oleh organisasi setingkat sekolah harus mampu menunjukkan, mengukur dan meningkatkan kinerja sekolah tersebut. Organisasi sekolah yang dikepalai oleh seorang kepala sekolah dalam wawasan manajemen berbasis sekolah diharapkan mampu berkolaborasi dengan masyarakat lingkungan sekolah dalam hal ini komite sekolah/dewan sekolah. Disamping itu organisasi sekolah ini diupayakan dapat atau mampu menunjukan resposibilitasnya terhadap tuntutan masyarakat lingkungan sekolah dan mampu pula menunjukan akuntabilitasnya kepada masyarakat pengguna jasa pendidikan dalam hal orang tua/ masyarakat. Adapun langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah :
1. Mengukur kemampuan organisasi menganalisis faktor internal dan eksternal untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan sebuah organisasi sekolah dalam melayani kebutuhan pengguna jasa pendidikan anak.
2. Merumuskan visi, misi dan tujuan sekolah berdasarkan hasil analisis kekuatan dan kelemahan oganisasi tersebut bersama dengan masyarakat lingkungan sekolah.
3. Menentukan strategi baik grand strategi dan strategi implementasi guna pencapaian visi, misi dan tujuan tersebut.
4. Menentukan rencana program jangka pendek dan jangka panjang.
5. Mensosialisasikan rencana program jangka pendek dan jangka panjang.
6. Melaksanakan jejaring kerja dalam berbagai pelaksanaan program.
7. Melaksanakan evaluasi proses dan hasil dalam rangka continued improvement.
Metode untuk menganalisis organisasi tersebut dapat menggunakan analisis lingkungan internal dan analisis lingkungan eksternal, atau menggunakan metode SWOT (Strenght, Weaknes, Opportunitis and Threat), sehingga dapat menentukan atau memilih strategi yang harus dilakukan berdasarkan hasil analisis tersebut.
Upaya peningkatan mutu Pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi dan masyarakat lingkungan sekolah melalui :
1. Peningkatan mutu dan kualifikasi guru Sekolah melalui pelatihan dan penyetaraan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya, serta usaha peningkatan pendidikan akademik baik di dalam maupun luar negeri.
2. Penyediaan buku-bulu teks baik dalam tulisan huruf awas maupun braille yang mengacu kepada kurikulum, penyediaan sarana dan prasarana pendidikan , dan pelaksanaan ujian akhir Sekolah Khusus secara nasional.
3. Pembinaan dan pengembangan Sheltered Workshoop bagi siswa dan guru dengan mengupayakan perluasan kesempatan untuk mempekerjakan para lulusan.
4. Menjalin kerjasama masyarakat dunia usaha dan dunia industri untuk dapat memanfaatkan para lulusan.
Untuk mencapai mutu lulusan tersebut perlu disusun visi dan misi serta strategi yang akan mendukung program kegiatan dengan komponen-komponen sebagai berikut :
A. Organisasi dan Manajemen
Di era otonomi ini sekolah beserta masyarakat dalam hal ini dewan sekolah/ komite sekolah diharapkan ikut memberikan kontribusi mulai dari perencanaan, penyusunan dan pelaksanaan program serta evaluasi pengelolaan pendidikan. Akan tetapi dalam pelaksanaan KBM Kepala Sekolah dan guru mempunyai otoritas sendiri yang mengacu pada kurikulum yang bersifat nasional. Penyusunan program suatu sekolah juga menuntut peranserta masyarakat lingkungan sekolah. Dalam hal ini dewan sekolah/komite sekolah. Di samping itu perumusan visi dan misi sekolah dapat dilakukan bersama kepala sekolah dan komite sekolah, guru, dewan sekolah/komite sekolah secara simultan, sehingga pelaksanaan pembelajaran di sekolah merujuk pada visi dan misi yang hendak dicapai.
Bentuk satuan pendidikan terdiri atas :
a. Taman Kanak-Kanak (TK)
b. Sekolah Dasar (SD)
c. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)
d. Sekolah Menengah Umum (SMU)
Memperhatikan hal-hal di atas dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan, pemerintah dan masyarakat telah menempuh berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas belajar mengajar terutama dalam mengatasi ketidakmerataan mutu Pendidikan. Dalam hal ini perhatian terhadap kinerja dan kualitas guru merupakan upaya prioritas, karena guru merupakan ujung tombak dalam ikut serta meningkatkan mutu pendidikan. Di sisi lain, teknologi telah membantu manusia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya secara cepat dan antisipatif. Sebagaimana kita ketahui bahwa teknologi bukan hanya berupa peralatan atau perangkat keras, melainkan pula meliputi orang (human ware = the man behind the gun), proses atau prosedur penggunaanya (software dan hardware), serta struktur atau organisasi penyelenggaraannya. Dengan demikian dalam proses belajar mengajar yang menggunakan teknologi alat bantu pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus perlu dimasyarakatkan dikalangan guru dengan cara mengadakan sosialisasi baik yang mengkhususkan pada peningkatan kemampuan materi pelajaran maupun peningkatan kemampuan yang menyangkut strategi pembelajaran. Di samping itu lingkungan fisik yang dapat mengakses anak dalam bersosialisasi dengan sesamanya juga perlu diperhatikan dalam artian minimal harus disediakan oleh penyelenggara pendidikan baik pemerintah maupun swasta. Di samping itu efisiensi pengelolaan dan pendayagunaan sarana pendidikan yang mendukung proses belajar mengajar pada Pendidikan, merupakan tantangan yang dihadapi, sehingga diperlukan satu strategi bagaimana melakukan efisiensi dan efektifitas dalam penanganannya. Langkah yang ditempuh antara lain melalui pengadaan sarana pendidikan baik oleh pemerintah maupun swasta dengan mengikuti standar pelayanan minimal yang telah ditetapkan.
Perencanaan, pengorganisasian dan pelaksanaan pengelolaan program penyelenggaraan dapat dilakukan bersama-sama dengan masyarakat dalam wadah dewan sekolah/komite sekolah.
B. Pembinaan Ketenagaan
Keterlibatan masyarakat dalam hal ini dewan sekolah/komite sekolah diperlukan ketika sekolah tersebut sudah melaksananakan otonomi antara lain yang menyangkut pengelolaan sumber daya manusia dalam hal ini ketenagaan. Tenaga kependidikan yang berkualifikasi dan berkompetensi untuk memimpin suatu lembaga sekolah adalah kepala sekolah, yang pada dasarnya seorang kepala sekolah adalah seorang guru dengan tugas tambahan sebagai kepala sekolah. Prinsip dasar seorang kepala sekolah adalah orang yang telah memenuhi persyaratan administratif dan edukatif serta memiliki jiwa dan kompetensi sebagai berikut :
a. Educator, yaitu seorang kepala sekolah adalah sebagai pendidik yang tangguh, cakap, cerdas, dan berwawasan keilmuan serta memiliki pengalaman lapangan yang cukup.
b. Motivator, seorang kepala sekolah merupakan orang yang bisa memotivasi bawahannya dalam hal ini guru, yaitu dalam melaksanakan proses pembelajaran, peningkatan disiplin dan melalukan pembinaan karier baik kepada guru maupun tenaga administrasi.
c. Administrator, yaitu kemampuan seorang kepala sekolah dalam mengelola proses administrasi penyelenggaraan suatu sekolah yang cukup luas cakupannya antara lain meliputi administrasi personal, KBM maupun sarana pendidikan.
d. Supervisor, yaitu kemampuan seorang kepala sekolah dalam mengawasi/mengendalikan pelaksanaan proses belajar mengajar, mengawasi berbagai aktifitas dan disiplin guru, serta kemampuan menganalisis dan mengevaluasi input, proses dan output penyelenggaraan pembelajaran di sekolah.
Memperhatikan beberapa kriteria tersebut, maka diperlukan seorang kepala sekolah yang mampu merumuskan visi dan misi suatu sekolah dalam mencapai tujuan pembelajaran. Dalam prinsip MBS proses pengangkatan dan pengusulan calon Kepala Sekolah dapat dilakukan oleh masyarakat lingkungan sekolah yang terbentuk dalam wadah komite sekolah dan atau dewan sekolah. Mekanismenya mengikuti aturan prosedur pengangkatan yang ditetapkan oleh propinsi.
C. Pengembangan Kurikulum dan Sistem Penilaian
Kurikulum yang berlaku di masih menggunakan Kurikulum 1994, sedangkan wacana yang berkembang sekarang ini kurikulum yang berbasisi kompetensi sehingga mengarah pada skill dan keterampilan masing-masing peserta didik sesuai dengan kekhususannya. Secara proporsional kurikulum pada SLT menitikberatkan pada program keterampilan 42 % dan menitikberatkan pada program keterampilan 62%. Pelaksanaannya di lapangan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan di mana sekolah tersebut berada dan hal ini pun masih harus disesuaikan dengan keberadaan situasi dan kondisi lingkungan daerah masing-masing. Sebagai contoh :
Sekolah yang berada di lingkungan pantai, maka kurikulum muatan lokalnya antara lain pengolahan hasil laut, atau keterampilan yang menunjang perangkat nelayan, misalnya merajut jaring, jala dan sebagainya :
Sedangkan untuk sekolah yang berada pada daerah pegunungan atau dataran rendah dapat menerapkan keterampilan pertanian, perikanan darat, keterampilan menganyam dan sebagainya.
Sekolah yang berada di perkotaan dapat menerapkan keterampilan otomotif, percetakan, sablon, mengukir atau membatik.
D. Pembinaan Kesiswaan
Pembinaan kesiswaan pada Sekolah, pada dasarnya sama polanya dengan pembinaan pada sekolah umum, akan tetapi lebih menitik beratkan pada pembinaann khusus sesuai dengan kebutuhan anak didik, antara lain pembinaan mental, pembinaan sensor motorik, pembinaan.
UNESCO membahas dan mengusulkan paradigma baru pendidikan di Indonesia antara lain yang pertama mengubah paradigma teaching menjadi learning sehingga dengan perubahan ini proses pendidikan menjadi “proses bagaimana belajar bersama antara guru dan murid” dimana guru juga mengalami proses, dalam istilah Ivan Illich, lingkungan sekolah menjadi learning society (masyarakat belajar). Kedua learning to do (belajar berbuat/hidup), sistem ini aspek yang ingin dicapai adalah keterampilan anak didik dalam menyelesaikan problem keseharian. Ketiga learning to live together (belajar hidup bersama), disini pendidikan diarahkan kepada pembentukan seorang anak didik bahwa hidup dalam sebuah dunia yang global mengalami berbagai tantangan. Keempat learning to be (belajar menjadi diri sendiri), sistem ini menjadi sangat penting sebab masyarakat modern saat ini sedang dilanda krisis kepribadian. Keempat gagasan atau pemikiran tersebut merupakan kata kunci berupa learning how to learn (belajar bagaimana belajar), sehingga pendidikan tidak hanya berorientasi pada lingkungan, pengalaman, kekayaan alam tetapi dapat juga mengembangkan sikap kreatif dan imaginatif.
Pola ini juga dapat dilakukan pada "proses pembelajaran siswa" sebab dengan menerapkan pola tersebut maka proses pembelajaran akan lebih meningkat dan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan. Disamping itu wawasan Wiyatamandala juga perlu dilaksanakan mengingat lingkungan sekolah pada dasarnya sama dengan sekolah umum. Program bimbingan bagi siswa di lingkungan Ditjen Dikdasmen mengacu pada konsep Wiyatamandala, yaitu suatu lingkungan tempat pendidikan yang mempunyai makna sebagai berikut:
a. Sekolah harus benar-benar menjadi tempat diselenggarakannya proses belajar mengajar, tempat di mana ditanamkan nilai-nilai pandangan hidup dan keperibadian, agama, berbagai macam ilmu pengetahuan dan teknologi serta keterampilan;
b. Sekolah sebagai tempat dilaksanakannya proses belajar-mengajar harus diamankan dan dilindungi dari segala macam pengaruh yang bersifat negatif, yang dapat mengganggu pelaksanaan proses belajar mengajar;
c. Sekolah sebagai masyarakat belajar, tempat diselenggarakannya proses belajar mengajar, yaitu interaksi antara siswa, guru dan lingkungan sekolah. Dalam kehidupan sekolah terdapat peran berbagai unsur utama, yaitu: Kepala Sekolah, Guru, Orangtua dan Siswa serta fungsi lembaga sosial itu sendiri dalam lingkungan kehidupan masyarakat di mana sekolah itu berada.
E. Pengelolaan Sumber Dana
Sekolah bersama-sama dengan tokoh masyarakat dalam hal ini komite sekolah/ dewan sekolah dapat mencari, menggali, merencanakan dan memonitor penggunaan dana dalam rangka melaksanakan program yang telah disusun bersama. School Based Management adalah merupakan gagasan yang menempatkan kewenangan pengelolaan sekolah sebagai satu entitas sistem, dalam format ini kepala sekolah dan guru-guru sebagai kelompok profesional, bermitra dengan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya, dianggap memiliki kapasitas untuk memahami kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan yang dihadapi sekolah dalam upaya mengembangkan program-program sekolah yang diinginkan sesuai dengan visi dan misi sekolah.
Prinsip perencanaan anggaran sampai dengan penggunaan dan pertanggungjawaban dapat dilakukan bersama antara stake holders sekolah dengan masyarakat dalam hal ini dewan sekolah/komite sekolah.
Fungsi dasar suatu anggaran adalah sebagai suatu bentuk perencanaan, alat pengendalian, dan alat analisis. Penyusunan anggaran berangkat dari rencana kegiatan atau program yang telah disusun dan kemudian diperhitungkan berapa biaya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan tersebut, bukan dari jumlah dana yang tersedia dan bagaimana dana tersebut dihabiskan. Dengan rancangan yang demikian fungsi anggran sebagai alat pengendalian kegiatan akan dapat diefektifkan.
Langkah-langkah penyusunan anggaran yang dilakukan dan direncanakan bersama masyarakat meliputi:
a. Menginventarisasi rencana kegiatan yang akan dilaksanakan.
b. Menyusun rencana berdasar skala prioritas pelaksanaannya.
c. Menentukan program kerja dan rincian program.
d. Menetapkan kebutuhan untuk pelaksanaan rincian program.
e. Menghitung dana yang dibutuhkan.
f. Menentukan sumber dana untuk membiayai rencana.
Berbagai rencana yang dituangkan ke dalam Rencana dan Program Tahunan sekolah pada dasarnya untuk merealisasikan program sekolah, oleh karena itu anggaran yang diperlukan juga tercakup dalam Rencana Anggaran dan Pendapatan Belanja Sekolah (APBS). Anggaran untuk rencana program MBS dapat berasal dari berbagai sumber dana. Prinsip efisiensi harus diterapkan dalam penyusunan rencana anggaran setiap program sekolah. Pada anggaran yang disusun perlu dijelaskan, apakan rencana program yang akan dilaksanakan merupakan hal yang baru atau merupakan kelanjutan atas kegiatan yang telah dilaksanakan dalam periode sebelumnya, dengan menyebutkan sumber dana sebelumnya.
Di dalam anggaran yang disusun harus memuat informasi/data minimal tentang:
a. Informasi rencana kegiatan : sasaran, uraian rencana kegiatan, penanggungjawab, rencana baru atau lanjutan.
b. Uraian kegiatan program : program kerja, rincian program.
c. Informasi kebutuhan : barang/jasa yang dibutuhkan, volume kebutuhan.
d. Data kebutuhan : harga satuan, jumlah biaya yang diperlukan untuk sekolah volume kebutuhan
e. Jumlah anggaran : jumlah anggaran untuk masing-masing rincian program, program, rencana program, dan total anggaran untuk seluruh rencana kegiatan periode terkait.
f. Sumber dana : total sumber dana, masing-masing sumber dana yang mendukung pembiayaan program.
Dalam pelaksanaan kegiatannya, jumlah yang direalisasikan bisa terjadi tidak sama dengan anggarannya (karena sesuai dengan kondisi pada saat transaksi), bisa kurang atau lebih dari jumlah yang telah dianggarkan. Realisasi keuangan yang tidak sama dengan anggaran, terutama yang cukup besar perbedaannya (jumlah material), harus dianalisis sebab-sebabnya dan apabila diperlukan dapat dilakukan revisi anggaran agar fungsi anggaran dapat tetap berjalan. Perbedaan antara realisasi pengeluaran dengan anggarannya bisa terjadi karena:
a. Adanya efisiensi atau inefisiensi pengeluaran;
b. Terjadi penghematan atau pemborosan;
c. Pelaksanaan kegiatan yang tidak sesuai dengan yang telah diprogramkan;
d. Adanya perubahan harga yang tidak terantisipasi, atau
e. Penyusunan anggaran yang kurang tepat.
Sifat anggaran yang lain adalah bahwa anggaran bersifat luwes, artinya apabila dalam perjalanan pelaksanaan kegiatan ternyata harus dilakukan penyesuaian kegiatan, maka anggaran dapat direvisi dengan menempuh prosedur tertentu. Perubahan-perubahan yang mungkin terjadi adalah:
a. Adanya suatu kegiatan program yang sebelumnya tidak dicantumkan di dalam proposal, sedangkan dilain pihak terdapat rencana kegiatan yang telah dicantumkan dalam proposal namun tidak jadi dilaksanakan karena suatu sebab. Apabila terjadi perubahan yang demikian, sekolah harus melaporkannya secara tertulis ke komite sekolah/dewan sekolah untuk mendatkan persetujuan tanpa melihat besarnya perubahan jumlah anggaran yang terjadi dan selanjutnya menginformasikan kepada Dinas Pendidikan Propinsi/Kabupaten/Kota.
b. Perubahan yang tidak berkaitan dengan rencana kegiatan, hanya dalam komponen program atau aktivitas. Apabila terjadi perubahan komponen program atau aktivitas dan mengakibatkan perubahan alokasi biaya di atas 10% dari total anggaran program yang bersangkutan maka perubahan tersebut harus segera dilaporkan secara tertulis ke Komite Sekolah.
c. Perubahan berkaitan dengan perubahan komponen program atau aktivitas namun pergeseran/perubahan dana yang terjadi secara komulatif masih di bawah 10% dari total anggaran rencana kegiatan. Perubahan yang demikian tidak perlu dilaporkan segera tetapi cukup diberikan penjelasan dalam laporan pelaksanaan kegiatan dan keuangan program MBS yang disampaikan pada setiap semester.
Untuk lebih tertib dalam hal administrasi keuangan, apabila sekolah mengajukan beberapa rencana, maka setiap rencana hendaknya memiliki RAPBS sendiri (format Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja BS) dan selanjutnya dibuat dalam satu anggaran keseluruhan (Rencana Anggaran Pembiayaan BS Total) yang merupakan kompilasi dari seluruh anggaran yang dibuat oleh sekolah dalam satu tahun pelajaran.
F. Pengelolaan Sarana dan Fasilitas
Pengelolaan sarana dan fasilitas pendidikan mengacu pada prinsip pelayanan kepada masing-masing jenis kelainan anak dan memiliko spesifikasi tersendiri perjenis kelainan. Di samping itu lingkungan fisik yang dapat mengakses anak dalam bersosialisasi dengan sesamanya juga perlu diperhatikan dalam artian minimal harus disediakan oleh penyelenggara pendidikan baik pemerintah maupun swasta.
Pengelolaan dan pendayagunaan sarana pendidikan untuk penyelenggaraan pendidikan baik yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat yang menunjukkan adanya keterbatasan bahkan mungkin dapat disebut sangat minim keberadaannya. Di sisi lain masih terdapat dikotomi antara sekolah swasta dan negeri, mengingat bahwa sebagian besar sekolah yang ada adalah milik swasta. Pengelolaan dan pendayagunaan sarana pedidikan yang menunjang proses belajar mengajar masih kurang efektif dan efisien.
a. Pengelolaan dan pendayagunaan sarana pendidikan yang mendukung proses belajar mengajar pada Pendidikan , yang berprinsip efisiensi diperlukan satu strategi bagaimana melakukan efektifitas dalam penangannya. Pengadaan sarana pendidikan dan fasilitas pendukung baik oleh pemerintah maupun swasta dilakukan dengan mengikuti standar pelayanan minimal yang telah ditetapkan. Penggunaan dan pendayagunaan sarana pendidikan dapat dilakukan secara simultan antar sekolah, demikian juga koordinasi antar pengelola sekolah dalam hal pendayagunaan sarana pendidikan dalam proses belajar mengajar.
b. Penyediaan sarana pendidikan yang mendukung proses belajar mengajar pendidikan adalah bagaimana memberikan layanan pendidikan bukan hanya kepada mereka yang memiliki kelainanan namun juga kepada mereka yang memiliki kecerdasan (gifted), korban narkoba dan autis.
c. Sarana pendidikan yang digunakan dalam proses pembelajaran di Sekolah di samping menggunakan alat pendidikan khusus juga menggunakan sarana lingkungan fisik berupa aksesibilitas fisik, sehingga siswa dapat berlatih mandiri dalam kehidupan masyarakat. Pendayagunaan aksesisibilitas fisik dan alat pendidikan khusus diharapkan akan mendorong dan mempercepat upaya peningkatan mutu pendidikan sesuai dengan harapan.
G. Pengelolaan Lingkungan
Untuk mewujudkan kondisi yang kondusif di sekolah-sekolah , perlu diciptakan lingkungan yang harmonis dan menyenangkan, sehingga semua warga belajar merasa betah berada di sekolah. Sisi lain yang perlu mendapat perhatian adalah terbinanya wawasan wiyatamandala yang melibatkan semua warga sekolah turut bertanggungjawab untuk mewujudkan lingkungan yang kondusif dalam proses pembelajaran, antara lain pemeliharaan halaman/lingkungan sekolah, sarana/prasarana sanitasi dan keamanan sekolah. Selanjutnya pengelolaan lingkungan belajar siswa meliputi sebagai berikut:
- Pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang dapat melaksanakan fungsinya, yaitu mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat menusia seutuhnya melalui pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar.
- Keberhasilan mutu pendidikan sangat tergantung dari proses belajar mengajar yang merupakan sinergi dari komponen-komponen pendidikan baik dari kurikulum, tenaga pendidikan, sarana prasarana, lingkungan yang aksesibel, sistem pengelolaan maupun berupa faktor lingkungan alamiah dan lingkungan sosial dengan peserta didik sebagai subyeknya.
- Alat pendidikan khusus dan lingkungan yang aksesibel merupakan komponen yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan kegiatan belajar mengajar dan merupakan sumber belajar yang cukup signifikan dalam mencapai tujuan pembelajaran. Namun pada kenyataan di lapangan sumber belajar belum dimanfaatkan oleh guru secara optimal. Kondisi demikian tentu kurang menguntungkan bagi peningkatan kualitas proses dan hasil belajar mengajar di sekolah.
Dengan demikian salah satu isu utama yang perlu diangkat ke permukaan dan dijawab dengan sungguh-sungguh adalah bagaimana mengoptimalkan pendayagunaan lingkungan sekolah sebagai sumber belajar auntuk menuju pendidikan yang lebih berkualitas.
H. Kerjasama dan Partisipasi Masyarakat Dalam Wadah Komite Sekolah/ Dewan Sekolah
Kehadiran suatu lembaga khusus dalam konteks pengelolaan pendidikan sekolah dengan pendekatan manajemen berbasis sekolah sangat diperlukan. Sebagai wadah keterlibatan masyarakat lingkungan sekolah sesuai Kepmendiknas No. 044/U/2002 tgl 2 April 2002 telah dibentuk lembaga Komite Sekolah atau Dewan Sekolah.
Komite sekolah adalah lembaga/badan khusus yang dibentuk berdasarkan musyawarah yang demokratis oleh para stakeholder pendidikan di tingkat sekolah sebagai representasi dari berbagai unsur yang bertanggung jawab terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Komite ini bertempat di sekolah masing-masing dan dikelola oleh ketua komite yang dibantu oleh para stekeholder yang berkolobarasi dengan solid untuk meningkatkan penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas tinggi guna mewujudkan tujuan penyelenggaraan pendidikan dan salah satu kontribusi dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat.
Komite sekolah secara khusus memiliki peran dalam pengguliran model pendekatan MPMBS (Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah) dalam rangka otonomi pendidikan dan menjadi patner kemitraan kepemimpinan kepala sekolah. Pola pengelolaan pendidikan semacam ini nantinya tugas-tugas birokrat dibidang pendidikan.
Komite sekolah bertugas sebagai bentuk kontrol msyarakat yang peduli terhadap penyelenggaraan pendidikan antara lain dalam hal pengadaan sarana prasarana, penggalangan dana operasional, aktif dan mengetahui alur penerimaan dan penyaluaran berbagai bantuan dan dana dari pemerintah pusat maupun provinsi.
BAB IV
PENUTUP
Mewujudkan Sekolah Efektif dalam Kerangka Manajemen Berbasis Sekolah, merupakan buku referensi yang terdiri dari dua bagian. Bagian pertama memuat beberapa hal yang merupakan filosofi dan pertimbangan mendasar mendasar perlunya supervisi pendidikan, paradigma baru sistem pembinaan dan pengembangan pendidikan, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Sedangkan bagian kedua, membahas hal - hal yang bersifat teknis mengenai supervisi pendidikan sesuai dengan kondisi nyata di lapangan. Buku ini sangat penting bagi pejabat Dinas Pendidikan, pengawas, kepala sekolah, guru dan siapa saja yang pekerjaannya terkait dengan supervisi pendidikan, untuk mengetahui filosofi, konsep dasar dan teknik serta aspek – aspek supervisi di bidang pendidikan sejalan dengan paradigma baru sistem pengelolaan dan pembinaan pendidikan. .
Sebagai sebuah konsep dan pemikiran tentang Manajemen Berbasis Sekolah pada merupakan hal baru dan tidak secara otomatis berjalan sempurna, oleh karena itu perlu masukkan yang berharga.
DAFTAR PUSTAKA
Juliandi, Azuar. 2002. “Pemanfaatan Internet dalam Proses Belajar dan Penulisan Karya Ilmiah Bidang Manajemen dan Bisnis”. Jurnal Ilmiah Manajemen dan Bisnis Vol. 02 No. 02 Oktober.
Kerlinger, Fred N. 2000. Asas-Asas Penelitian Behavioural. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Miles, M.B. dan Huberman, A.M. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. UIPress. Jakarta.
Sarwono, J. 2003. “Perbedaan Dasar antara Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif“.
Anoraga Pandji, 2006, Psikologi Kerja, Rineka Cipta, Jakarta.
As’ad, Moh. 2001. Psikologi Industri. Yogyakarta : Liberty.
Balfour, D.L. dan Bartos W, 1991. Commitment, Performance, and Productivity in Public Organization. Public Productivity & Management Review, Vol. 14, Iss 14, Summer, p.355-367
Burton W.H. dan Lee J. Bruckner, 1955, Supervision, Appleton Century_Craff, Inc, New York.
Durham, R. B., Grube, J. A., & Castaneda, M. B., 1994, Organizational Commitment : the utility of an integrative definition, Jurnal of Applied Psychology, 79 (3) : 3750-380
Greenberg, Jerald, Robert A. Baron, 1993, Behavior in Organizations, Fourth Edition, Allyn and Bacon, USA
Harris Chester, 1959, Encyclopedia of Educational Researsh, Mc. Graw Hill Company Inc, New York.
Haryono Agung, 2005, Tantangan Profesionalisme Guru Ekonomi Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, Jurnal Ekofeum, Ekonomi Pembangunan FE, UM, Malang
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara RI Nomor 25/KEP/M.PAN/04/2002 tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara, Jakarta
Ko. J. W.. Price. J. 1.. & Mudler, C. W. 1997. Assessment of Meyer and Alien's three-component model of organizational commitment in South Korea. Journal of Applied Psychology: 82 (6): 961-973
Lee, Chris, 1987. The New Employment Contract. Training, Vol. 24, Iss. 2, December, p.45-46
Mangkunegara, A.A. Anwar Prabu. 2000. Manajemen Sumberdaya Manusia Perusahaan. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Meyer, J. P., Irving, P. G.. & Alien, N. J. 1998. Examination of the combined effects of work values and early work experiences on organizational commitment. Journal of Organizational Behmior, 19: 29-52.
Meyer., J. P., Alien, N. J., &-Gellatly, i. R. 1993. Affective and continuance commitment: evaluation of measures and analysis of concurrent and time-lagged relations. Journal of Applied Psychology, 75 (6); 710
Meyer, J, P., Alien, N. J., & Smith, C. A. 1990. Commitment to organizations and occupations: extensions and tests of a three-component conceptualization. Journal of Applied Psychology: 78 (4): 538-551
Miner, John B, 1992, Industrial-Organizational Psychology, McGraw-Hill, Inc, Singapore
Mulyasa E, 2007, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Nasution, 2006, Budaya Organisasi, Kepuasan Kerja, Komitemen Organisasi dan Keinginan Berpindah : investigasi Empiris Pada Berbagai Unit Kerja di universitas Bengkulu, Jurnal Bisnis dan Ekonomi, Vol 13 No. 2 September 2006.
__________2004, Hubungan antara keadilan. kepuasan dan keinginan berpindah peran komitmen organisasional sebagai variabel pemediasi. Jurnal Siasat Risnis. Volume 2. no. 9. halaman: 157-177.
__________, 2002, Persepsi keadilan organisasional dalam penilaian kinerja: sebuah penelitian empiris. Jurnal Bisnis dan Ekonomi 9 (2) 183-199
Robbinson, David, Linda S dan Frank P., 1999. Research On Staff Commitment : A Discussion Paper. Correctional Service of Canada
Sahertian Piet A, 2000, Konsep Dasar dan Teknik : Supervisi Pendidikan Dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia, Rineka Cipta, Jakarta.
Saifuddin, Azwar. 1997. Reliabilitas dan Validitas. Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Satria R Yudi, 2005, Hubungan antara Komitmen Organisasi dan Iklim Organisasi dengan Kepuasan Kerja Karyawan Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jurnal Manajemen dan Bisnis, Volume 9, No. 2, Desember 2005, Jakarta
Shadur, M.A., R. Kinzle dan J.J. Rodwell, 1999. The Relations Between Organization Climate and Employee Perceptions of Involvement. Group Organization Management, Vol. 24, Iss. 4, December, p 479-504
Soetjipto dkk, 2004, Profesi Keguruan, Rineka Cipta, Jakarta
Sugiyono, 2006, Statistika Untuk Penelitian. Alfabeta, Bandung
Undang-Undang no 14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen sebagai Tenaga Profesi
Labels:
Makalah
Thanks for reading Plat Form Supervisi Pendidikan. Please share...!
Terima Kasi banyak, sangat membantu sekali.
ReplyDeletehttp://www.estojaya.co.cc/2011/04/meriahkan-pesta-ulang-tahun-bersama.html
http://www.estojaya.co.cc/2011/01/obat-mata-minus-plus-dan-katarak.html